“Ayuna ...!” teriak Bellina dari ruangannya.
Yuna yang baru saja ingin duduk di kursi langsung
berhenti bergerak. “Kenapa lagi sih itu nenek sihir?” gumamnya dalam hati.
Selma, Bagus dan Pak Tono saling pandang.
“Ckckck, Bellina bener-bener keterlaluan!” celetuk Pak
Tono.
Yuna memaksa bibirnya untuk tersenyum. Ia bangkit dan
bergegas ke ruangan Bellina.
“Ada apa?” tanya Yuna saat masuk ke ruang kerja Bellina.
“Ini berkas semua karyawan. Aku minta kamu pisahin
karyawan yang masih aktif kerja dan yang udah resign. Fotocopy tiga rangkap
untuk karyawan yang masih aktif. Satu, kamu serahkan ke Selma, satu lagi kamu
serahkan ke Pak Tono dan satunya kamu simpan sendiri!” perintah Bellina.
Yuna menatap tumpukan map yang ada di atas meja.
“Kenapa? Mau protes?”
Yuna menggelengkan kepala. Ia segera mengambil map yang
ada di atas meja dan membawanya keluar.
Yuna masuk ke ruangan dengan membawa tumpukan berkas yang
hampir menelan tubuhnya. Ia meletakkan tumpukan berkas itu di lantai, tepat di
sisi meja kerjanya.
“Eh, kamu disuruh ngapain sama Bos? Kenapa bawa berkas
sebanyak ini?” tanya Bagus, rekan kerja Yuna.
“Disuruh milihin karyawan yang masih aktif sama nggak,”
jawab Yuna.
Selma menatap tumpukan berkas yang tersusun di lantai.
“Sebanyak ini? Ini berkas dari tahun berapa?” tanyanya.
Yuna menggelengkan kepala. “Kalau minta data keluar masuk
karyawan, sama siapa?” tanya Yuna.
“Ada sama aku. Sini copy di FD,” jawab Selma.
Selma tertawa kecil. Ia segera meng-copy dokumen miliknya
ke dalam Flash Disk dan memberikannya pada Yuna.
“Makasih!” Yuna tersenyum sambil meraih Flash Disk dari
tangan Selma. Ia segera mengambil dokumen tersebut dan mulai mengolah data
karyawan yang ia dapat dari Selma.
“Bisa?” tanya Selma.
Yuna menganggukkan kepala. Setelah mem-filter karyawan
yang statusnya sudah tidak bekerja, ia langsung membuka map dan mulai
mengeluarkan berkas-berkas karyawan yang sudah resign.
“Yun, mau aku bantu?” tanya Bagus.
Yuna menggelengkan kepala.
“Ini banyak banget. Selama kita kerja di sini, nggak
pernah disuruh ngerjain kayak gini. Bukannya semua datanya sudah ada di
komputer dan bisa dilihat semua?”
Yuna mengedikkan bahu. Ia menatap Bagus yang berdiri di
sampingnya. “Kamu mau bantu aku?”
Bagus menganggukkan kepala.”
“Kalo gitu, kamu diam dan kerjain kerjaan kamu aja. Aku
nggak fokus kalau ada yang ngajak ngomong,” tutur Yuna.
“Oh ... sorry!” Bagus berbalik dan melangkah pergi.
“Sorry ...! Kamu jangan salah paham. Aku ...”
“Nggak papa, aku ngerti. Ini pasti melelahkan banget dan
aku juga nggak mau ganggu kamu.”
Yuna tersenyum. “Makasih atas pengertiannya.”
Dua jam berlalu, akhirnya Yuna selesai memilah berkas
karyawan yang masih aktif dan yang sudah tidak aktif bekerja lagi.
Yuna bangkit dari tempat duduk sambil meliukkan badannya.
“Akhirnya ... kelar juga,” celetuknya.
“Eh, berkas karyawan yang udah nggak aktif ini diapain
ya?” tanya Selma.
“Aku nggak tahu,” jawab Selma sambil mengedikkan bahunya.
“Bu Belli nggak ada ngomong?”
Yuna menggelengkan kepala. “Dia cuma nyuruh fotocopy
berkas karyawan yang masih aktif.”
“Bakar aja kalo gitu,” sahut Bagus.
“Jangan! Memusnahkan dokumen perusahaan itu harus pake
berita acara,” sahut Pak Tono sambil menatap Bagus.
“Gitu ya?” tanya Yuna. “Jadi, diapakan dong?”
“Mending kamu bawa ke gudang aja,” sahut Pak Tono.
“Aha ... iya. Bener banget! Mending bawa ke gudang aja.
Kalau sewaktu-waktu diperlukan, nggak susah juga buat dicari,” Selma menengahi.
Yuna tersenyum sambil mengangguk. “Makasih, kalian udah
bantu aku.”
“Nggak usah sungkan! Biasa aja,” sahut Selma. “Oh ya,
coba deh turun ke kantin. Minta kardus bekas untuk nyimpan dokumen lama itu.
Kalau udah dikardusin, nanti dikasih nama pakai spidol dan ditutup rapat pakai
selotip besar atau lakban. Kalau sewaktu-waktu diperlukan, kamu nggak susah
nyarinya.”
Yuna menganggukkan kepala. Ia bergegas turun ke kantin
untuk meminta kardus bekas. Setelah mendapatkannya, ia kembali ke ruangan dan
memasukkan semua berkas-berkas karyawan yang tidak aktif ke dalamnya. Dengan
cekatan, ia mengemas berkas itu dan membawanya ke gudang.
Yuna menghela napas lega saat keluar dari gudang.
“Akhirnya ... kelar juga.”
“Eh, belum fotocopy!” seru Yuna. Ia langsung berlari
kembali ke dalam ruang kerjanya.
“Sel, ruang fotocopy di mana?” tanya Yuna.
“Di ruangan sebelah. Deket toilet.”
Yuna mengambil beberapa map dan langsung keluar dari
ruangan. Ia berjalan sambil membaca isi map tersebut untuk memastikan NIK
karyawan sudah berurutan dengan benar.
BRUG ...!
Yuna langsung menatap mapnya yang berhamburan ke lantai
karena menabrak seseorang. Wajahnya berubah muram. “Astaga! Udah aku urutin
berkasnya. Jadi hamburan gini,” gumamnya dalam hati sambil membungkuk mengambil
berkas yang ada di depannya.
“Maaf, kamu nggak papa?”
“Nggak papa. Aku yang seharusnya minta maaf karena nggak
perhatikan jalan,” jawab Yuna.
“Biar aku bantu.”
Yuna langsung menengadahkan kepala menatap laki-laki yang
berjongkok di depannya.
“Lian?” batin Yuna dalam hati. Jantungnya berdegup sangat
kencang saat mengetahui pria yang ada di hadapannya adalah Wilian.
“Yuna!? Kamu kerja di sini?” tanya Lian dengan mata
berbinar.
Yuna mengangguk. Ia mengumpulkan semua berkas dengan
cepat dan segera bangkit.
“Berkas karyawan sebanyak ini, mau diapakan?”
“Fotocopy,” jawab Yuna.
Lian mengernyitkan dahi mendengar jawaban Yuna.
“Halo, Sayang!” sapa Bellina yang tiba-tiba muncul dan
langsung menggandeng lengan Lian.
Yuna memutar bola matanya. “Pasti mau pamer kemesraan
lagi,” celetuknya dalam hati.
“Bell, kamu ngasih tugas sebanyak ini ke Yuna?” tanya
Lian.
Bellina menganggukkan kepala. “Nggak banyak, kok.”
“Tapi ... ini ...?” Lian menunjuk tumpukan berkas yang
ada di tangan Yuna.
“Tenang aja. Ibu muda ini kuat banget, kok. Dia pasti
bisa menyelesaikan semuanya dengan mudah.”
“Dia baru aja kerja di sini kan? Apa nggak keterlaluan
kalau kamu ngasih kerjaan sebanyak ini?” tanya Lian.
“Sayang, ini nggak banyak. Masih banyak kerjaan dia
sebagai ibu rumah tangga,” sahut Bellina sambil tertawa kecil.
Yuna mencebik ke arah Bellina. “Sorry, yah! Aku nggak
pernah ngerjain kerjaan rumah tangga. Suamiku itu kaya banget, di rumah ada
banyak pembantu yang ngelayani aku.”
“Hahaha. Oh ya? Aku lupa kalo kamu sekarang udah jadi
Nyonya Mudanya sugar daddy,” sahut Bellina.
Yuna merapatkan bibirnya menahan emosi. “Kamu ...!?” Ia
langsung menunjuk wajah Bellina. “Bener-bener nggak ada gunanya berdebat sama
cewek kayak gini,” gumamnya.
“Kenapa? Emang kenyataan kan?”
Yuna tersenyum sinis. “Setidaknya aku nggak ngerebut
pacar orang!”
“Sayang, lihat deh kelakuan mantan pacar kamu ini. Dia
kasar banget, sih?” tutur Bellina manja. “Kenapa kamu bisa pacaran sama dia?”
Lian tak menyahut ucapan Bellina. Ia hanya menatap Yuna
yang berdiri di hadapannya.
“Oh ya ... kamu selama balik dari Melbourne, kamu belum
pernah datang dan menginap di rumah kami. Aku harap, kamu mau tinggal di rumah
selama beberapa hari!” pinta Bellina sambil tersenyum.
Yuna melirik tajam ke arah Bellina. Senyuman Bellina
benar-benar seperti pedang yang menghunus lehernya. Ia sangat membenci Bellina
yang tersenyum kepadanya.
Lian mulai tidak nyaman dengan perdebatan dua wanita
bersaudara itu. “Biar gimana pun, Yuna pernah jadi bagian hidupku dan kami ...”
batin Lian dalam hati.
Yuna berusaha tersenyum sambil menatap Bellina. “Aku sama
sekali nggak tertarik tinggal di rumah nenek sihir itu!” sahutnya dalam hati.
Ia berbalik dan bergegas pergi ke ruang fotocopy.
Bellina tersenyum sinis. “Sialan! Aku nggak akan pernah
bikin hidupmu tenang!” makinya dalam hati.
Bellina tersenyum kecil saat melihat ember dan kain pel
yang tak jauh dari tempatnya berdiri. “Ada hadiah kecil buat kamu, Yun.
Bersiaplah menerimanya,” tuturnya dalam hati.
“Kita ke ruangan kamu, yuk! Ada yang mau aku diskusikan
soal produktivitas tenaga kerja.”
Bellina mengangguk dan langsung melangkah ke ruang
kerjanya.
Sementara itu, Yuna bolak-balik dari ruang fotocopy ke
ruangan kerjanya untuk menyelesaikan pekerjaan secepatnya.
“Huft, akhirnya kelar juga!” Yuna terduduk lemas di
samping mesin fotocopy setelah menyelesaikan pekerjaanya.
Ia bangkit perlahan dan langsung menuju ke toilet.
0 komentar:
Post a Comment