Ponsel Yuna berdering. Yuna meraba tempat tidurnya,
mencari sumber suara Ia langsung bangkit saat tak bisa menemukan ponsel di atas
kasurnya.
Yuna menatap ponsel yang tergeletak di atas meja dan
langsung meraihnya. “Halo ...!” jawabnya dengan nada sayu.
“Hah!? Are you seriously?” Yuna langsung berteriak begitu
mendengar berita via telepon. “Oke. Thank you!”
Yuna langsung menutup panggilan telepon. Ia melompat
riang gembira di atas tempat tidur. Kemudian memeluk ponsel dan merebahkan
tubuhnya ke atas kasur.
“Akhirnya ... aku dapet tempat magang juga!” seru Yuna.
“Eh!? Jam berapa ini?” tanyanya sambil menoleh ke arah
jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. “Udah sesiang ini!?” Yuna
langsung melompat dari atas ranjang dan berlari menuju kamar mandi.
Yuna menghentikan langkahnya saat akan masuk ke kamar
mandi. “Bukannya aku udah nikah? Suami aku mana?” Yuna mengedarkan pandangannya
ke seluruh ruangan.
“Ya ampun, Yuna! Bego banget sih!? Bangun sesiang ini,
jelas aja suami kamu udah pergi kerja. Bukannya seharusnya kamu yang nyiapin
sarapan dan pakaian kerja dia? Bego! Bego! Bego!” Yuna memaki dirinya sendiri.
Yuna bergegas keluar dari kamar dan turun ke lantai
bawah.
“Sudah
bangun, Mbak?” sapa Bibi War.
Yuna menganggukkan kepala. “Yeriko mana?”
“Sudah berangkat kerja dari jam enam tadi.”
“Jam enam? Pagi banget?”
“Biasanya begitu, Mbak.”
“Dia udah sarapan?”
Bibi War menganggukkan kepala.
Yuna menundukkan kepala sambil memainkan kakinya.
“Kenapa, Mbak? Mbak Yuna mau sarapan sekarang? Biar Bibi
siapin!”
Yuna menggelengkan kepala.
“Kenapa murung?”
“Ini hari kedua aku resmi jadi istrinya Yeriko dan aku
selalu bangun kesiangan. Aku bener-bener nggak bisa jadi istri yang baik.”
Bibi War tersenyum sambil merangkul pundak Yuna. “Mas
Yeri, sayang banget sama Mbak Yuna. Bahkan, Bibi nggak boleh ganggu
tidurnya Mbak Yuna,” ucapnya sambil
membawa Yuna duduk di meja makan.
“Dia memperlakukan aku dengan sangat baik. Aku
bener-bener ngerasa bersalah karena aku nggak bisa melayani suami dengan baik.”
Yuna menundukkan kepala sambil memutar-mutar ponselnya.
TING ...!
Yuna langsung membuka pesan Whatsapp yang masuk di
ponselnya.
“Jangan lupa sarapan. Kalau jenuh di rumah, pergi
jalan-jalan sama sahabat kamu. Di samping tempat tidur, ada credit card. Kata
sandinya, hari ulang tahunmu. Pakailah untuk bersenang-senang!”
Yuna membelalakkan mata membaca pesan dari nomor baru
yang masuk ke ponselnya.
“Aargh ...!” Yuna mengacak rambutnya. Ia semakin merasa
bersalah dengan kebaikan Yeriko.
“Kenapa, Mbak?” tanya Bibi War.
“Eh!? Nggak papa,” jawab Yuna. Ia segera mengetik ponsel
untuk membalas pesan dari Yeriko.
“Hari ini ... aku dapet surat magang dari universitas.
Aku bakal pergi ke PT. Raya Wijaya untuk interview magang. Makasih untuk
semuanya, Suamiku. Soal kartu kredit, aku belum memerlukannya.” Yuna langsung
mengirim pesan ke Yeriko.
“Oh ya? Kabar baik. Semoga sukses!” balas Yeriko lewat
pesan.
Yuna tersenyum. Ia memeluk ponselnya dan bangkit dari
tempat duduk.
“Mau ke mana? Bibi lagi siapin sarapan,” tanya Bibi War
sambil membawakan nasi dan lauk ke atas meja.
“Aku mandi dulu!” jawab Yuna sambil bergegas pergi. Ia
melenggang menaiki anak tangga penuh ceria.
Bibi War tersenyum menatap Yuna. “Anak itu, suasana
hatinya cepat sekali berubah,” gumamnya.
Usai mandi, Yuna langsung bersiap dan turun ke lantai
bawah. Bibi War sudah menyiapkan beberapa hidangan untuk sarapan.
“Mbak Yuna mau minum apa?” tanya Bibi War saat Yuna sudah
duduk di kursi meja makan.
“Ini aja cukup, Bi,” jawab Yuna sambil menunjuk segelas
air putih dengan dagunya.
“Oke. Kalau gitu, Bibi pergi beres-beres dulu. Mbak Yuna
mau ke luar?”
Yuna menganggukkan kepala.
“Makan yang banyak dan nggak perlu beresin meja makan.
Biar nanti, Bibi yang beresin.”
“Nggak papa. Aku juga nggak buru-buru kok, Bi.”
“Eh, jangan gitu! Tangan Mbak Yuna yang mulus, nanti jadi
kasar kayak tangannya Bibi kalau ngerjain kerjaan rumah. Bos Yeri bisa minta
ganti rugi sama Bibi,” ucap Bibi War sambil menahan tawa.
Yuna tergelak. “Ah, Bibi bisa aja. Tanganku nggak akan
lecet kalau cuma beresin meja makan.”
Bibi War terkekeh. Ia bergegas pergi untuk membersihkan
kebun kecil yang ada di belakang rumah villa milik Yeriko.
Yuna segera menyelesaikan makannya dan pergi ke PT. Raya
Wijaya, anak perusahan dari Wijaya Group.
Sesampainya di depan gedung PT. Raya Wijaya. Yuna berdiri
sambil menatap gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ada hal yang
mengganggu pikirannya. Tentang masa lalu, tentang keluarga, tentang semua hal
yang pernah ia lalui beberapa tahun belakangan ini.
Yuna menarik napas panjang. Ia melangkah dengan pasti
memasuki gedung perkantoran tersebut.
“Permisi, Mbak. Manager Personalia ruangannya di mana
ya?” tanya Yuna saat sampai di meja resepsionis.
“Mbak dari mana? Sudah ada janji?”
Yuna menganggukkan kepala. “Saya mahasiswa lulusan
Melbourne University. Ada perintah magang dari kampus. Ini suratnya!” jawab
Yuna sambil menyodorkan surat ke resepsionis.
“Oh ... suratnya silakan di bawa ke Manager Personalia
langsung, Mbak. Ruangannya ada di lantai enam.”
“Oke. Makasih banyak, Mbak Cantik!” Yuna tersenyum manis
sambil bergegas pergi.
“Ah, Mbak bisa aja. Mbak juga cantik,” sahut resepsionis
sambil menatap Yuna yang berlalu menuju lift untuk naik ke lantai enam.
Yuna melangkah penuh percaya diri menuju ruang Manager
Personalia.
Tok ... tok .. tok ...!
“Masuk!”
Yuna langsung membuka pintu perlahan dan masuk ke dalam
ruangan.
Seorang wanita berambut cokelat terlihat sibuk di meja
kerjanya.
“Permisi ...!” sapa Yuna sambil melangkah masuk. “Saya
mahasiswa magang dari Melbourne University ...” ucapan Yuna terhenti saat
wanita berambut cokelat itu mengangkat kepala menatap Yuna.
“Kamu ...!?” Yuna melebarkan kelopak matanya menatap
wanita yang ada di hadapannya.
“Kenapa? Kaget lihat aku di sini?”
Yuna menggelengkan kepala. “Bellina!? Penjilat kayak kamu
nggak akan bikin aku kaget kalo ada di tempat ini,” tutur Yuna dalam hati.
Wanita berambut cokelat itu bangkit dari tempat duduk dan
menghampiri Yuna. “Sepertinya kita berjodoh,” bisiknya. “Oh ya, denger-denger,
kamu udah nikah ya?”
“Bukan urusan kamu!” sahut Yuna.
Bellina tersenyum sambil menatap Yuna. “Emang bukan
urusan aku sih. Tapi, sikap kamu ini bakal jadi urusanku. Kamu tahu, aku bakal
jadi atasan langsung kamu. Baik-baik sama aku atau kamu bakal aku bikin
menderita!” ancamnya.
Yuna menarik napas mendengar ucapan Bellina. Ia berusaha
tersenyum manis, menutupi rasa kesal di dalam benaknya.
“CV kamu, aku udah tahu semua. Aku nggak bakal meriksa
lagi,” tutur Bellina sambil mengitari tubuh Yuna. “Kamu bisa langsung mulai
kerja hari ini.”
“Eh!? Beneran?” tanya Yuna dengan mata berbinar.
Bellina menganggukkan kepala. “Kita ini saudara, aku
nggak mungkin tega nolak kamu kan?” ucapnya sambil tersenyum menatap Yuna.
Yuna tersenyum kecut. Walau Bellina tersenyum manis
kepadanya, senyuman Bellina seperti sebuah ancaman besar untuk Yuna.
“Ayo, aku tunjukin meja kerjamu dan kenalin kamu ke
karyawan yang lain!” ajak Bellina. Ia mengajak Yuna keluar dari
ruangannya.
“Selamat pagi semua!” sapa Bellina saat sudah sampai di
ruang karyawan departemennya.
“Pagi, Bu ...!” sapa semua karyawan yang ada di dalam
ruangan.
“Pagi ini, saya mau kenalin karyawan baru di departemen
kita. Dia, salah satu karyawan yang akan magang di sini,” ucapnya sambil
melirik Yuna yang berdiri di sampingnya.
Yuna menundukkan kepala memberi salam hormat pada
semuanya. “Salam kenal, nama saya Fristi Ayuna Linandar. Cukup panggil Ayuna
saja. Saya karyawan baru di sini. Mohon kerjasamanya!”
Semua karyawan saling pandang, kemudian menatap Yuna.
Bellina tersenyum. “Itu, meja kerja kamu!” ucapnya sambil
menunjuk meja kerja yang masih kosong.
Yuna menganggukkan kepala.
“Buatkan aku kopi dan bawa ke ruanganku!” perintah
Bellina.
“Eh!?” Yuna langsung menoleh ke arah Bellina.
“Aku tunggu secepatnya!” ucapnya sambil berlalu pergi.
Yuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tak
semangat melangkah menuju meja kerjanya.
“Kamu yang sabar ya! Bu Belli memang kayak gitu,” bisik
karyawan yang duduk di sebelah Yuna.
Yuna tersenyum. Ia meletakkan tasnya ke atas meja.
“Kenalin, namaku Selma Indiyani. Panggil Selma aja,”
tutur Selma sambil mengulurkan tangannya ke arah Yuna.
“Yuna,” balas Yuna mengulurkan tangan.
Selma tersenyum manis menatap Yuna.
“Dapurnya di mana ya?”
“Itu!” Selma menunjuk ke arah pintu dapur.
“Makasih ya!” ucap Yuna. Ia bangkit dari tempat duduk dan
bergegas menuju dapur untuk membuat kopi. Yuna langsung mengantarkan kopi
buatannya ke ruangan Bellina.
Jangan malu buat sapa aku di
kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment