Thursday, January 23, 2025

Bab 13 - Perawatan Terbaik

 


Usai berbelanja dan makan bersama. Yuna mengajak Jheni untuk mengunjungi ayahnya.

 

“Ayah kamu dirawat di mana? Bukannya ada di lantai bawah ya?” tanya Jheni.

 

“Udah dipindahin ke VVIP,” jawab Yuna sambil melangkah menuju ruang rawat ayahnya.

 

“Kamu beruntung banget sih. Punya suami ganteng dan perhatian banget. Aku nggak sabar pengen kenalan sama suami baru kamu itu.”

 

Yuna tersenyum dan langsung membuka pintu ruang VVIP tempat ayahnya dirawat.

 

Yuna mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ruangan ini sudah bersih dan rapi. Tidak ada perawat yang berjaga dan juga tidak ada ayahnya di sana.

 

“Ayah ke mana!?” Yuna panik dan bergegas keluar dari ruangan. Ia mencari dokter yang bertugas merawat ayahnya.

 

“Kenapa, Yun?” tanya Jheni sambil mengikuti langkah Yuna.

 

“Ayah aku nggak ada, Jhen!” seru Yuna.

 

“Mungkin ada pemeriksaan di ruangan lain.”

 

“Nggak mungkin.” Yuna terus berjalan menuju ruang dokter yang merawat ayahnya.

 

Tanpa mengetuk pintu, Yuna langsung masuk ke dalam ruangan dokter.

 

Dokter yang sedang sibuk memeriksa berkas medis, menengadahkan kepala menatap Yuna.

 

“Dokter, ayah aku ke mana?” tanya Yuna dengan napas tersengal.

 

“Ayah kamu? Pak Adjie?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Sudah dipindahkan.”

 

“Dipindahkan ke mana?”

 

“Ke Rumah Sakit Siloam.”

 

“Kenapa dipindahin? Kenapa nggak kasih tahu aku dulu? Aku ini anaknya, Dok!” seru Yuna kesal.

 

“Sabar, Yun!” ucap Jheni lirih sambil mengusap pundak Yuna.

 

Yuna langsung menyingkirkan tangan Jheni.

 

“Siapa yang pindahin ayah?” tanya Yuna.

 

“Menantunya.”

 

“Yeriko?”

 

Dokter menganggukkan kepala. “Di sana, fasilitasnya lebih lengkap dan lebih baik dari rumah sakit ini. Suami kamu berusaha memberikan perawatan terbaik untuk ayah kamu. Kamu sangat beruntung.”

 

Yuna terdiam sesaat. “Kenapa dia nggak bilang ke aku dulu kalo mau mindahin ayah?” bisiknya dalam hati.

 

“Mmh ... makasih untuk informasinya, Dokter. Maaf karena udah bersikap nggak sopan. Tadi, aku terlalu panik. Maaf!” ucap Yuna sambil membungkukkan badanya.

 

“Nggak masalah. Sebaiknya kamu temui ayah kamu di rumah sakit yang baru.”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Permisi, Dokter!”

 

“Permisi, Dok!” Jheni juga ikut berpamitan.

 

Mereka berdua bergegas pergi ke Siloam Hospital.

 

Sesampainya di rumah sakit, Yuna langsung menghampiri meja resepsionis.

 

“Ada yang bisa kami bantu?” sapa petugas resepsionis dengan ramah.

 

“Apa ada pasien yang namanya Adjie Linandar?” tanya Yuna.

 

“Sebentar, saya cek dulu ya!” tutur petugas resepsionis tersebut sambil terus tersenyum.

 

Yuna menganggukkan kepala sambil menunggu selama beberapa detik.

 

“Ada, Mbak.”

 

“Di ruangan mana sekarang?”

 

“Beliau ada di ruang VVIP 1.”

 

Yuna dan Jheni bergegas mencari ruang VVIP 1. Mereka langsung masuk ke dalam ruangan begitu menemukan ruangan yang dimaksud.

 

“Yun, ini kamar gedenya kayak rumahku,” celetuk Jheni saat masuk ke dalam ruangan.

 

Yuna tak menyahut, kakinya melangkah perlahan menghampiri ayahnya yang terbaring di atas tempat tidur. Ia tersenyum melihat ayahnya yang terlelap.

 

Yuna berbalik dan mengajak Jheni duduk di sofa. “Ayah lagi tidur,” tuturnya.

 

“Yun, suami kamu kaya banget ya?” tanya Jheni.

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

Jheni tertawa kecil menatap Yuna. “Kamu tuh aneh. Nikah sama cowok yang kamu sendiri nggak tahu asal-usulnya gimana. Kalo dia nggak kaya, dia nggak mungkin pindahin ayah kamu ke sini. Setahu aku, biaya perawatan di sini mahal banget. Apalagi ini VVIP room.”

 

“Aku nggak tahu, Jhen. Waktu itu, aku bener-bener nggak tahu harus bawa ayah ke mana. Dia cuma bilang, bakal ngasih perawatan terbaik buat ayah. Aku sama sekali nggak nyangka kalau dia bisa sehebat ini.”

 

“Itu artinya ... dia cinta banget sama kamu. Kalo nggak, nggak mungkin kan dia kasih fasilitas mewah buat ayah kamu?”

 

Yuna tertegun dan langsung menatap Jheni.

 

“Kenapa?” Jheni mengerutkan kening menatap Yuna.

 

“Kami baru kenal seminggu yang lalu. Nggak mungkin dia cinta sama aku. Lagian, sikapnya dingin banget kayak beruang kutub.”

 

“Hah!? Terus gimana kalian bisa nikah?”

 

“Aku kan udah bilang kalau aku mau nikah sama dia karena ayah.”

 

“Kalau cuma karena ayah, harusnya kamu sudah nikah sama direktur tua yang dijodohin sama tante kamu itu kan?”

 

Yuna terdiam mendengar ucapan Jheni. “Bener juga, kenapa aku mau nikah sama Yeriko?” batinnya bertanya-tanya.

 

“Kamu suka sama dia juga kan?”

 

“Mmh ...”

 

“Udah, deh. Ngaku aja! Ganteng mana, dia atau Lian?”

 

“Iih ... ngapain sih bawa-bawa nama Lian segala!?” sahut Yuna.

 

Jheni terkekeh melihat Yuna. “Jawab!”

 

“Mmh ... ganteng Yeriko, sih.”

 

“Nah ... kan!? Kamu pasti jatuh cinta pada pandangan pertama ya?”

 

“Mmh ... kamu haus nggak? Mau aku ambilkan minum?” tanya Yuna mengalihkan pembicaraan.

 

“Nggak usah menghindar!” seru Jheni.

 

Yuna menghela napas. “Jhen, kamu tuh kalo udah nanya kayak wartawan aja. Kenapa nggak kerja jadi wartawan sekalian, sih!?”

 

“Karena kamu nggak ceritain semuanya secara detil. Harusnya, kamu cerita dari awal pertama kalian kenal dan apa aja yang udah kalian lakuin?”

 

“Jhen, kita kenal baru seminggu dan kita nggak ngapa-ngapain. Kenalnya juga nggak sengaja. Aku bahkan baru tahu nama aslinya waktu ijab kabul.”

 

Jheni melebarkan kelopak matanya. “Hmm ... oke, karena kalian emang baru kenal. Pernikahan kilat ini pasti belum banyak punya cerita. Tapi ... mulai besok kamu harus ceritain semua yang terjadi sama kamu tanpa terkecuali.”

 

“Idih ... kepo banget! Mau denger juga cerita main di ranjang?” sahut Yuna.

 

“Udah ada rencana, Yun?” tanya Jheni makin penasaran.

 

Yuna langsung mengetuk dahi Jheni. “Sembarangan!”

 

“Kalian kan udah sah jadi suami istri. Nggak ada yang salah kan?”

 

“Mmh ... iya juga sih. Tapi ... aku belum terbiasa sama status yang tiba-tiba kayak gini.”

 

“Terus, rencana kamu selanjutnya apa?”

 

“Belum tahu.”

 

“Sudah sejauh ini kamu belum tahu mau ngelakuin apa?”

 

“Kenapa emangnya?”

 

“Yah, setidaknya kamu berterima kasih sama suami kamu karena udah ngasih perawatan yang terbaik buat ayah kamu. Dan juga ... kamu nggak mau tinggal sama dia?”

 

Yuna tersenyum kecil. “Yah, nggak mungkin aku tinggal di rumah kamu terus kan?”

 

“Nggak papa kali. Aku seneng kok, kamu mau tinggal di rumah aku.”

 

“Biar gimana pun, aku udah jadi istrinya Yeriko. Riyan dan Bibi War pasti bakal mempertanyakan hubungan kami kalau kami nggak tinggal sama-sama.”

 

“Jadi, mulai kapan kamu bakal tinggal sama dia?”

 

“Secepatnya.”

 

Jheni langsung memeluk tubuh Yuna. “Aku beneran bakal kehilangan kamu,” tuturnya pelan.

 

Yuna tersenyum. “Aku nggak ke mana-mana, Jhen. Cuma di rumah suami aku. Kita masih bisa ketemu setiap hari.”

 

Jheni melepas pelukannya dan mengusap pipinya yang basah. “Janji ya! Kamu harus sering-sering main ke rumah aku!”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Kamu juga harus sering main ke rumah kami, gimana?”

 

“Dengan senang hati,” jawab Jheni. “Sekarang juga, gimana? Aku pengen lihat suami kamu.”

 

“Jangan sekarang!” pinta Yuna.

 

“Kenapa?” Jheni mengerucutkan bibirnya.

 

“Dia belum jinak,” jawab Yuna.

 

Jheni menahan tawa. “Kamu kira dia apaan? Pake acara dijinakin segala?”

 

“Beruang Kutub itu, selain dingin juga buas banget. Kamu mau ditelan mentah-mentah sama dia?”

 

“Kamu sendiri gimana?”

 

“Aku sih aman-aman aja. Kamu tahu kan kalau aku ini kuat.”

 

Jheni terkekeh menatap Yuna. “Oke. Oke. Tapi ... someday, kamu harus kenalin dia ke aku.”

 

“Pasti!” sahut Yuna.

 

“Mmh ... aku balik dulu ya! Soalnya, aku ada janji mau ketemu sama seseorang.”

 

“Siapa?” tanya Yuna.

 

“Kepo ih! Ada, deh.”

 

“Iih ... mulai main rahasia-rahasiaan ya!?” dengus Yuna.

 

Jheni tersenyum kecil. “Nggak, kok. Ada janji mau makan malam bareng temen-temen kantor.”

 

“Oh ...”

 

“Aku pamit dulu ya!”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Aku juga mau balik.”

 

“Ke rumah aku?”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Aku langsung ke rumah villa Yeriko.”

 

“Ciyeee ... pengantin baru ... yang udah nggak tahan mau ‘ehem-ehem’,” goda Jheni.

 

“Apaan sih!?” sahut Yuna, ia tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya. Ucapan Jheni membuatnya tersipu malu.

 

Jheni tertawa kecil. Ia bangkit dari duduk dan bergegas meninggalkan Yuna.

 

Yuna tersenyum. Ia melihat keadaan ayahnya selama beberapa menit dan segera kembali ke rumah Yeriko.

 

(( Bersambung ... ))

Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas