Usai berbelanja dan makan
bersama. Yuna mengajak Jheni untuk mengunjungi ayahnya.
“Ayah kamu dirawat di mana?
Bukannya ada di lantai bawah ya?” tanya Jheni.
“Udah dipindahin ke VVIP,”
jawab Yuna sambil melangkah menuju ruang rawat ayahnya.
“Kamu beruntung banget sih.
Punya suami ganteng dan perhatian banget. Aku nggak sabar pengen kenalan sama
suami baru kamu itu.”
Yuna tersenyum dan langsung
membuka pintu ruang VVIP tempat ayahnya dirawat.
Yuna mengedarkan pandangannya
ke sekeliling ruangan. Ruangan ini sudah bersih dan rapi. Tidak ada perawat
yang berjaga dan juga tidak ada ayahnya di sana.
“Ayah ke mana!?” Yuna panik
dan bergegas keluar dari ruangan. Ia mencari dokter yang bertugas merawat
ayahnya.
“Kenapa, Yun?” tanya Jheni
sambil mengikuti langkah Yuna.
“Ayah aku nggak ada, Jhen!”
seru Yuna.
“Mungkin ada pemeriksaan di
ruangan lain.”
“Nggak mungkin.” Yuna terus
berjalan menuju ruang dokter yang merawat ayahnya.
Tanpa mengetuk pintu, Yuna
langsung masuk ke dalam ruangan dokter.
Dokter yang sedang sibuk
memeriksa berkas medis, menengadahkan kepala menatap Yuna.
“Dokter, ayah aku ke mana?”
tanya Yuna dengan napas tersengal.
“Ayah kamu? Pak Adjie?”
Yuna menganggukkan kepala.
“Sudah dipindahkan.”
“Dipindahkan ke mana?”
“Ke Rumah Sakit Siloam.”
“Kenapa dipindahin? Kenapa
nggak kasih tahu aku dulu? Aku ini anaknya, Dok!” seru Yuna kesal.
“Sabar, Yun!” ucap Jheni lirih
sambil mengusap pundak Yuna.
Yuna langsung menyingkirkan
tangan Jheni.
“Siapa yang pindahin ayah?”
tanya Yuna.
“Menantunya.”
“Yeriko?”
Dokter menganggukkan kepala.
“Di sana, fasilitasnya lebih lengkap dan lebih baik dari rumah sakit ini. Suami
kamu berusaha memberikan perawatan terbaik untuk ayah kamu. Kamu sangat
beruntung.”
Yuna terdiam sesaat. “Kenapa
dia nggak bilang ke aku dulu kalo mau mindahin ayah?” bisiknya dalam hati.
“Mmh ... makasih untuk
informasinya, Dokter. Maaf karena udah bersikap nggak sopan. Tadi, aku terlalu
panik. Maaf!” ucap Yuna sambil membungkukkan badanya.
“Nggak masalah. Sebaiknya kamu
temui ayah kamu di rumah sakit yang baru.”
Yuna menganggukkan kepala.
“Permisi, Dokter!”
“Permisi, Dok!” Jheni juga
ikut berpamitan.
Mereka berdua bergegas pergi
ke Siloam Hospital.
Sesampainya di rumah sakit,
Yuna langsung menghampiri meja resepsionis.
“Ada yang bisa kami bantu?”
sapa petugas resepsionis dengan ramah.
“Apa ada pasien yang namanya
Adjie Linandar?” tanya Yuna.
“Sebentar, saya cek dulu ya!”
tutur petugas resepsionis tersebut sambil terus tersenyum.
Yuna menganggukkan kepala
sambil menunggu selama beberapa detik.
“Ada, Mbak.”
“Di ruangan mana sekarang?”
“Beliau ada di ruang VVIP 1.”
Yuna dan Jheni bergegas
mencari ruang VVIP 1. Mereka langsung masuk ke dalam ruangan begitu menemukan
ruangan yang dimaksud.
“Yun, ini kamar gedenya kayak
rumahku,” celetuk Jheni saat masuk ke dalam ruangan.
Yuna tak menyahut, kakinya
melangkah perlahan menghampiri ayahnya yang terbaring di atas tempat tidur. Ia
tersenyum melihat ayahnya yang terlelap.
Yuna berbalik dan mengajak
Jheni duduk di sofa. “Ayah lagi tidur,” tuturnya.
“Yun, suami kamu kaya banget
ya?” tanya Jheni.
Yuna menggelengkan kepala.
Jheni tertawa kecil menatap
Yuna. “Kamu tuh aneh. Nikah sama cowok yang kamu sendiri nggak tahu
asal-usulnya gimana. Kalo dia nggak kaya, dia nggak mungkin pindahin ayah kamu
ke sini. Setahu aku, biaya perawatan di sini mahal banget. Apalagi ini VVIP room.”
“Aku nggak tahu, Jhen. Waktu
itu, aku bener-bener nggak tahu harus bawa ayah ke mana. Dia cuma bilang, bakal
ngasih perawatan terbaik buat ayah. Aku sama sekali nggak nyangka kalau dia
bisa sehebat ini.”
“Itu artinya ... dia cinta
banget sama kamu. Kalo nggak, nggak mungkin kan dia kasih fasilitas mewah buat
ayah kamu?”
Yuna tertegun dan langsung
menatap Jheni.
“Kenapa?” Jheni mengerutkan
kening menatap Yuna.
“Kami baru kenal seminggu yang
lalu. Nggak mungkin dia cinta sama aku. Lagian, sikapnya dingin banget kayak
beruang kutub.”
“Hah!? Terus gimana kalian
bisa nikah?”
“Aku kan udah bilang kalau aku
mau nikah sama dia karena ayah.”
“Kalau cuma karena ayah,
harusnya kamu sudah nikah sama direktur tua yang dijodohin sama tante kamu itu
kan?”
Yuna terdiam mendengar ucapan
Jheni. “Bener juga, kenapa aku mau nikah sama Yeriko?” batinnya bertanya-tanya.
“Kamu suka sama dia juga kan?”
“Mmh ...”
“Udah, deh. Ngaku aja! Ganteng
mana, dia atau Lian?”
“Iih ... ngapain sih bawa-bawa
nama Lian segala!?” sahut Yuna.
Jheni terkekeh melihat Yuna.
“Jawab!”
“Mmh ... ganteng Yeriko, sih.”
“Nah ... kan!? Kamu pasti
jatuh cinta pada pandangan pertama ya?”
“Mmh ... kamu haus nggak? Mau
aku ambilkan minum?” tanya Yuna mengalihkan pembicaraan.
“Nggak usah menghindar!” seru
Jheni.
Yuna menghela napas. “Jhen,
kamu tuh kalo udah nanya kayak wartawan aja. Kenapa nggak kerja jadi wartawan
sekalian, sih!?”
“Karena kamu nggak ceritain
semuanya secara detil. Harusnya, kamu cerita dari awal pertama kalian kenal dan
apa aja yang udah kalian lakuin?”
“Jhen, kita kenal baru
seminggu dan kita nggak ngapa-ngapain. Kenalnya juga nggak sengaja. Aku bahkan
baru tahu nama aslinya waktu ijab kabul.”
Jheni melebarkan kelopak
matanya. “Hmm ... oke, karena kalian emang baru kenal. Pernikahan kilat ini
pasti belum banyak punya cerita. Tapi ... mulai besok kamu harus ceritain semua
yang terjadi sama kamu tanpa terkecuali.”
“Idih ... kepo banget! Mau
denger juga cerita main di ranjang?” sahut Yuna.
“Udah ada rencana, Yun?” tanya
Jheni makin penasaran.
Yuna langsung mengetuk dahi
Jheni. “Sembarangan!”
“Kalian kan udah sah jadi
suami istri. Nggak ada yang salah kan?”
“Mmh ... iya juga sih. Tapi
... aku belum terbiasa sama status yang tiba-tiba kayak gini.”
“Terus, rencana kamu
selanjutnya apa?”
“Belum tahu.”
“Sudah sejauh ini kamu belum
tahu mau ngelakuin apa?”
“Kenapa emangnya?”
“Yah, setidaknya kamu
berterima kasih sama suami kamu karena udah ngasih perawatan yang terbaik buat
ayah kamu. Dan juga ... kamu nggak mau tinggal sama dia?”
Yuna tersenyum kecil. “Yah,
nggak mungkin aku tinggal di rumah kamu terus kan?”
“Nggak papa kali. Aku seneng
kok, kamu mau tinggal di rumah aku.”
“Biar gimana pun, aku udah
jadi istrinya Yeriko. Riyan dan Bibi War pasti bakal mempertanyakan hubungan
kami kalau kami nggak tinggal sama-sama.”
“Jadi, mulai kapan kamu bakal
tinggal sama dia?”
“Secepatnya.”
Jheni langsung memeluk tubuh
Yuna. “Aku beneran bakal kehilangan kamu,” tuturnya pelan.
Yuna tersenyum. “Aku nggak ke
mana-mana, Jhen. Cuma di rumah suami aku. Kita masih bisa ketemu setiap hari.”
Jheni melepas pelukannya dan
mengusap pipinya yang basah. “Janji ya! Kamu harus sering-sering main ke rumah
aku!”
Yuna menganggukkan kepala.
“Kamu juga harus sering main ke rumah kami, gimana?”
“Dengan senang hati,” jawab
Jheni. “Sekarang juga, gimana? Aku pengen lihat suami kamu.”
“Jangan sekarang!” pinta Yuna.
“Kenapa?” Jheni mengerucutkan
bibirnya.
“Dia belum jinak,” jawab Yuna.
Jheni menahan tawa. “Kamu kira
dia apaan? Pake acara dijinakin segala?”
“Beruang Kutub itu, selain
dingin juga buas banget. Kamu mau ditelan mentah-mentah sama dia?”
“Kamu sendiri gimana?”
“Aku sih aman-aman aja. Kamu
tahu kan kalau aku ini kuat.”
Jheni terkekeh menatap Yuna.
“Oke. Oke. Tapi ... someday, kamu harus kenalin dia ke aku.”
“Pasti!” sahut Yuna.
“Mmh ... aku balik dulu ya!
Soalnya, aku ada janji mau ketemu sama seseorang.”
“Siapa?” tanya Yuna.
“Kepo ih! Ada, deh.”
“Iih ... mulai main rahasia-rahasiaan ya!?” dengus Yuna.
Jheni tersenyum kecil. “Nggak,
kok. Ada janji mau makan malam bareng temen-temen kantor.”
“Oh ...”
“Aku pamit dulu ya!”
Yuna menganggukkan kepala.
“Aku juga mau balik.”
“Ke rumah aku?”
Yuna menggelengkan kepala.
“Aku langsung ke rumah villa Yeriko.”
“Ciyeee ... pengantin baru ...
yang udah nggak tahan mau ‘ehem-ehem’,” goda Jheni.
“Apaan sih!?” sahut Yuna, ia
tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya. Ucapan Jheni membuatnya tersipu
malu.
Jheni tertawa kecil. Ia
bangkit dari duduk dan bergegas meninggalkan Yuna.
Yuna tersenyum. Ia melihat
keadaan ayahnya selama beberapa menit dan segera kembali ke rumah Yeriko.
Jangan malu buat sapa aku di
kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment