Thursday, January 23, 2025

Bab 12 - Be a Wife

 


“Kenapa?” tanya Yeriko yang menyadari kalau Yuna berjalan sambil melamun.

 

“Eh!?” Yuna langsung menoleh ke arah Yeriko. “Nggak papa. Aku cuma belum terbiasa aja. Aku nggak tahu harus ngapain setelah ini. Aku nggak tahu gimana caranya jadi istri ...”

 

“Kamu nggak perlu mikirin apa-apa. Cukup berdiri di samping aku dan terus tersenyum!” pinta Yeriko.

 

Yuna tersenyum menanggapi ucapan Yeriko.

 

“Nah, gitu dong! Istriku makin cantik kalau senyum kayak gini,” tuturnya sambil mengusap dagu Yuna.

 

Yuna hanya tersenyum canggung menanggapi ucapan Yeriko.

 

Yeriko menggenggam jemari Yuna dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. “Yuk, pulang.”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko memasangkan safety belt ke tubuh Yuna. Setelah ia memasang safety belt ke tubuhnya, ia langsung menyalakan mesin mobil dan bergegas melajukan mobilnya menuju rumah villa miliknya.

 

Sesampainya di rumah, makanan sudah terhidang di meja makan.

 

“Bibi War ke mana?” tanya Yuna.

 

Yeriko mengedikkan bahunya. “Mungkin lagi keluar. Kita makan dulu, yuk!”

 

“Nggak mandi dulu? Aku belum mandi seharian.”

 

“Makanannya keburu dingin. Mending kita makan dulu, abis ini mandi. Gimana?”

 

Yuna mengangguk. Ia duduk di meja makan bersama dengan Yeriko. Yuna mengambil piring dan nasi untuk Yeriko. “Mau lauk apa?” tanyanya.

 

“Apa aja yang kamu kasih, aku makan.”

 

Yuna tersenyum kecil. Ia mengambil sepotong ayam goreng dan tumis kangkung, lalu memberikannya pada Yeriko.

 

Yeriko tersenyum. “Makasih!”

 

Yuna mengangguk. Ia segera mengambil piring dan mengisi dengan makanan yang ia suka.

 

Yuna langsung menghentikan suapan pertamanya. “Kenapa nggak pedas?” gumamnya.

 

“Aku nggak suka makanan pedas. Bibi nggak pernah masak pedas buat aku.”

 

“Oh ya?” Yuna bangkit dari duduknya.

 

“Mau ke mana?” seru Yeriko.

 

“Aku bikin sambal dulu,” sahut Yuna sambil melangkah menuju dapur. Ia bergegas membuat sambal dan kembali ke meja makan.

 

“Kamu suka sambal?” tanya Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Nggak sakit perut?”

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

Yeriko nyengir saat melihat Yuna menumpahkan sambal ke atas makanannya. “Yun, makan pedas berlebihan nggak baik buat kesehatan.”

 

“Ini nggak pedes banget, kok. Aku kasih tomat. Mau nyobain?”

 

Yeriko menggelengkan kepala.

 

“Huh! Cemen!”

 

“Apa kamu bilang?”

 

“Cemen!” sahut Yuna menegaskan.

 

“Bukan cemen. Aku jaga kesehatan aja.”

 

Mereka pun tertawa. Setelah itu, masing-masing sibuk dengan makanannya sendiri.

 

“Cepet habisin makannnya! Aku mandi duluan.”

 

“Eh!? Kamu udah selesai?” tanya Yuna sambil menatap piring Yeriko yang masih berisi makanan.

 

“Udah kenyang.”

 

“Belum habis makanannya,” sahut Yuna.

 

Yeriko tak menghiraukan dan tetap bangkit dari duduknya.

 

Yuna langsung menarik lengan Yeriko. “Kata orang, nggak baik nyia-nyiain makanan. Abisin dulu makanannya!” pinta Yuna.

 

“Oke,” jawab Yeriko datar.

 

Yeriko menghela napas dan kembali duduk di kursinya. “Kenapa sih, aku nggak bisa marah sama cewek ini?” gumamnya dalam hati.

 

Yuna tersenyum senang karena Yeriko mau menuruti keinginannya.

 

***

 

 

 

“Hai, Jhen!” sapa Yuna yang sudah berdiri di depan pintu kamar Jheni.

 

“Astaga! Kamu kayak hantu aja. Ngilang tiba-tiba, muncul juga tiba-tiba,” tutur Jheni sambil memegang dadanya. Ia sangat terkejut dengan kehadiran Yuna saat ia baru saja bangun dan membuka pintu kamarnya.

 

Yuna meringis dan langsung masuk ke kamar Jheni.

 

“Jalan yuk!” ajak Yuna.

 

“Ke mana?”

 

“Mmh ... shopping?”

 

“Aku lagi bokek.”

 

“Aku traktir.”

 

“Emang punya duit?”

 

Yuna melirik ke langit-langit sambil tersenyum.

 

“Aha ... aku ingat. Terakhir kali kamu pergi. Kamu mau nikah sama direktur kaya raya yang dijodohin sama kamu itu kan? Kamu udah beneran nikah sama dia dan sekarang punya uang banyak?”

 

“Sembarangan!”

 

“Terus!?” Jheni mengernyitkan dahi. “Sejak malam itu, kita belum ketemu dan kamu nggak pernah hubungi aku. Aku kira, kamu udah jadi istri muda Oom-Oom itu.”

 

Yuna tersenyum. “Nanti aku ceritain! Mandi gih! Aku tunggu.”

 

Jheni bergegas masuk ke dalam kamar mandi.

 

Setelah Jheni selesai mandi dan berganti pakaian, mereka bergegas menuju salah satu mall yang ada di pusat kota.

 

“Yun, kamu beneran punya uang?” tanya Jheni setelah mereka keluar dari salah satu toko pakaian.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Uang dari mana?”

 

“Mmh ... sebenarnya ini uang tabungan aku.”

 

“Kamu gila ya! Uang tabungan kamu pake buat belanja kayak gini?”

 

“Nggak papa. Santai aja!” Yuna mengerdipkan mata ke arah Jheni.

 

“Aku jadi nggak enak sama kamu.”

 

“Nggak perlu sungkan. Anggap aja ini uang sewa selama aku tinggal di rumah kamu.”

 

“Aku nggak pernah minta kamu buat bayar sewa, Yun.”

 

Yuna tersenyum. “Aku yang nggak enak sama kamu karena selalu makan dan tidur numpang di rumah kamu. Kalau kamu nolak pemberianku, aku nggak mau tinggal di rumah kamu lagi!” Yuna melipat kedua tangan dan pura-pura marah.

 

“Iya, iya. Makasih ya!” Jheni langsung merangkul tubuh Yuna.

 

Yuna tersenyum senang. “Nah, gitu dong! Cari makan yuk! Sambil cerita-cerita.”

 

Jheni menganggukkan kepala. Mereka masuk ke salah satu restoran yang ada di pusat perbelanjaan tersebut.

 

“Kamu mau makan apa?” tanya Yuna.

 

“Ikut sama kamu aja, deh. Ditraktir gini.”

 

Yuna tertawa kecil. “Ya nggak gitu juga kali. Kalo kamu pengen makan yang lain juga nggak papa.”

 

“Samain aja! Toh, selera kita juga sama.”

 

Yuna tersenyum dan langsung memesan makanan.

 

“Jhen, aku mau ngasih tau kamu sesuatu,” tutur Yuna sambil menatap Jheni.

 

“Apa?” Jheni sangat antusias mendengar ucapan Yuna.

 

“Mmh ... kemarin ... kemarin aku ...”

 

Jheni mengerutkan kening, ia tak sabar menunggu Yuna bercerita. “Kenapa?” tanya Jheni.

 

Yuna tersenyum menatap Jheni. “Kemarin aku ... udah nikah.”

 

“What!? Nikah sama siapa?”

 

“Sama ... cowok yang aku kenal beberapa hari lalu.”

 

“Apa!? Kamu udah gila ya!?”

 

“Aku tahu aku gila. Tapi ... aku juga nggak bisa nolak cowok itu. Dia ...” Yuna menghentikan ucapannya saat Melan tiba-tiba sudah berdiri di depannya.

 

“Anak nggak tahu diri. Bukannya ayah kamu lagi lumpuh? Kamu malah bersenang-senang di sini,” tutur Melan sambil menatap Yuna.

 

Yuna hanya diam. Ia pura-pura tidak mendengar ucapan Melan.

 

“Ma, mungkin dia nggak sempat mikirin ayahnya karena sibuk jual diri. Lihat aja! Dapet uang dari mana buat belanja dan makan di tempat yang bagus kayak gini. Jangan-jangan, udah jadi istri simpanan,” celetuk Bellina.

 

Yuna bangkit sambil menatap Bellina. “Sekalipun aku nggak punya uang. Aku masih punya harga diri. Lagian, aku terlalu mahal buat jual diri. Tanya aja sama mama kamu, berapa uang yang dia dapat buat jual aku ke Bajingan Tua itu!?” tutur Yuna sambil membelalakkan matanya ke arah Bellina.

 

“Kamu ... berani-beraninya ...!” Melan menatap Yuna penuh amarah.

 

Yuna tersenyum sinis. “Kalian itu sama-sama murahan! Cocok banget, sih. Satunya germo, satunya pelacur!”

 

“Jangan sembarangan kalo ngomong!” seru Melan sambil menjambak rambut Yuna.

 

Yuna mengerutkan hidung, menahan rambutnya yang terasa sakit karena Melan menariknya begitu kuat.

 

“Kalo kamu berani macem-macem, aku bakal bikin ayah kamu makin menderita!” ancam Melan. “Bahkan, aku bisa bikin kamu nggak bisa lihat dia lagi selamanya!”

 

“Aargh ...!” Yuna langsung menepis tangan Melan dengan kasar. “Aku nggak akan biarin Tante menyentuh ayah biar cuma sedikit aja!” ancam Yuna balik.

 

“Kamu ...!? Bener-bener nggak tahu diri! Kamu nggak mikir kalo biaya pengobatan ayah kamu itu mahal banget. Kamu bisa bayar pake apa?”

 

“Aku bakal bayar semuanya nanti!” sahut Yuna.

 

Melan tersenyum sinis. “Kamu itu udah nggak punya apa-apa lagi. Kamu pikir, bisa ngelunasi hutang-hutang kamu?”

 

“Aku pasti ngelunasi semua hutangku dengan cara yang halal. Nggak harus menjual diriku ke germo kayak kamu!?”

 

Melan makin naik pitam mendengar ucapan Yuna.

 

“Yun, udahlah. Nggak usah diladenin lagi!” bisik Jheni sambil menarik ujung jemari Yuna.

 

“Ma, kita pergi aja!” bisik Bellina sambil menarik lengan mamanya menjauh dari Yuna.

 

“Awas kamu ya!” ancam Melan sebelum akhirnya pergi meninggalkan Yuna.

 

“Masa bodoh!” sahut Yuna tanpa suara. Ia kembali duduk di kursinya.

 

“Tante kamu itu bener-bener nggak punya perasaan ya?” tutur Jheni.

 

“Ngeselin banget!” celetuk Yuna.

 

“Aku salut deh sama kamu. Bisa ngelawan dia sampe segitunya.”

 

“Orang kayak dia itu emang harus dilawan. Dikira aku bakal diam aja? Aku nggak bakal nyerah gitu aja.”

 

Jheni tersenyum sambil mengacungkan dua jempolnya.

 

Yuna tersenyum menatap Jheni.

 

“Eh, kamu belum lanjutin ceritanya,” tutur Jheni.

 

“Cerita apaaan?”

 

“Yang tadi.”

 

“Yang tadi apa ya?”

 

“Nggak usah pura-pura lupa!” dengus Jheni.

 

“Duh, kayaknya aku beneran lupa,” sahut Yuna sambil memijat keningnya.

 

“Yuna!” seru Jheni geram.

 

Yuna terkekeh melihat wajah Jheni.

 

“Cepet cerita!” pintanya.

 

Yuna menoleh ke arah pelayan dan mengambil makanan yang ia pesan. “Makan dulu!” pinta Yuna pada Jheni.

 

“Kamu ngulur-ngulur waktu buat cerita aja!” ucap Jheni kesal.

 

Yuna tersenyum kecil menatap Jheni. “Iya ... aku ceritain. Dengerin baik-baik ya!”

 

Jheni mengangguk. Ia melipat kedua tangannya di atas meja dan memasang telinganya dengan baik.

 

“Semalam, aku nikah sama cowok yang udah nolongin aku beberapa hari belakangan ini. Aku nggak bisa nolak dia. Aku punya hutang budi yang besar banget dan nggak tahu harus balas pakai apa. Dia cuma minta, aku jadi istrinya.”

 

“Kamu setuju?”

 

Yuna mengangguk. “Semalam, dia nikahin aku di depan ayah.”

 

“Serius?”

 

“Di rumah sakit?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“So sweet banget, sih!” seru Jheni.

 

(( Bersambung ... ))

 Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas