“Kenapa?” tanya Yeriko
yang menyadari kalau Yuna berjalan sambil melamun.
“Eh!?” Yuna langsung
menoleh ke arah Yeriko. “Nggak papa. Aku cuma belum terbiasa aja. Aku nggak
tahu harus ngapain setelah ini. Aku nggak tahu gimana caranya jadi istri ...”
“Kamu nggak perlu
mikirin apa-apa. Cukup berdiri di samping aku dan terus tersenyum!” pinta
Yeriko.
Yuna tersenyum
menanggapi ucapan Yeriko.
“Nah, gitu dong!
Istriku makin cantik kalau senyum kayak gini,” tuturnya sambil mengusap dagu
Yuna.
Yuna hanya tersenyum
canggung menanggapi ucapan Yeriko.
Yeriko menggenggam jemari Yuna dan mengajaknya
masuk ke dalam mobil. “Yuk,
pulang.”
Yuna menganggukkan
kepala.
Yeriko memasangkan
safety belt ke tubuh Yuna. Setelah ia memasang safety belt ke tubuhnya, ia
langsung menyalakan mesin mobil dan bergegas melajukan mobilnya menuju rumah
villa miliknya.
Sesampainya di rumah,
makanan sudah terhidang di meja makan.
“Bibi War ke mana?”
tanya Yuna.
Yeriko mengedikkan
bahunya. “Mungkin lagi keluar. Kita makan dulu, yuk!”
“Nggak mandi dulu? Aku
belum mandi seharian.”
“Makanannya keburu
dingin. Mending kita makan dulu, abis ini mandi. Gimana?”
Yuna mengangguk. Ia
duduk di meja makan bersama dengan Yeriko. Yuna mengambil piring dan nasi untuk
Yeriko. “Mau lauk apa?” tanyanya.
“Apa aja yang kamu
kasih, aku makan.”
Yuna tersenyum kecil.
Ia mengambil sepotong ayam goreng dan tumis kangkung, lalu memberikannya pada
Yeriko.
Yeriko tersenyum.
“Makasih!”
Yuna mengangguk. Ia
segera mengambil piring dan mengisi dengan makanan yang ia suka.
Yuna langsung
menghentikan suapan pertamanya. “Kenapa nggak pedas?” gumamnya.
“Aku nggak suka makanan
pedas. Bibi nggak pernah masak pedas buat aku.”
“Oh ya?” Yuna bangkit
dari duduknya.
“Mau ke mana?” seru
Yeriko.
“Aku bikin sambal
dulu,” sahut Yuna sambil melangkah menuju dapur. Ia bergegas membuat sambal dan
kembali ke meja makan.
“Kamu suka sambal?”
tanya Yeriko.
Yuna menganggukkan
kepala.
“Nggak sakit perut?”
Yuna menggelengkan
kepala.
Yeriko nyengir saat
melihat Yuna menumpahkan sambal ke atas makanannya. “Yun, makan pedas
berlebihan nggak baik buat kesehatan.”
“Ini nggak pedes
banget, kok. Aku kasih tomat. Mau nyobain?”
Yeriko menggelengkan
kepala.
“Huh! Cemen!”
“Apa kamu bilang?”
“Cemen!” sahut Yuna
menegaskan.
“Bukan cemen. Aku jaga
kesehatan aja.”
Mereka
pun tertawa. Setelah itu, masing-masing sibuk dengan makanannya sendiri.
“Cepet habisin
makannnya! Aku mandi duluan.”
“Eh!? Kamu udah
selesai?” tanya Yuna sambil menatap piring Yeriko yang masih berisi makanan.
“Udah kenyang.”
“Belum habis
makanannya,” sahut Yuna.
Yeriko tak menghiraukan
dan tetap bangkit dari duduknya.
Yuna langsung menarik
lengan Yeriko. “Kata orang, nggak baik nyia-nyiain makanan. Abisin dulu
makanannya!” pinta Yuna.
“Oke,”
jawab Yeriko datar.
Yeriko menghela napas
dan kembali duduk di kursinya. “Kenapa sih, aku nggak bisa marah sama cewek
ini?” gumamnya dalam hati.
Yuna tersenyum senang
karena Yeriko mau menuruti keinginannya.
***
“Hai, Jhen!” sapa Yuna
yang sudah berdiri di depan pintu kamar Jheni.
“Astaga! Kamu kayak
hantu aja. Ngilang tiba-tiba, muncul juga tiba-tiba,” tutur Jheni sambil
memegang dadanya. Ia sangat terkejut dengan kehadiran Yuna saat ia baru saja
bangun dan membuka pintu kamarnya.
Yuna meringis dan
langsung masuk ke kamar Jheni.
“Jalan yuk!” ajak Yuna.
“Ke mana?”
“Mmh ... shopping?”
“Aku lagi bokek.”
“Aku traktir.”
“Emang punya duit?”
Yuna melirik ke
langit-langit sambil tersenyum.
“Aha ... aku ingat.
Terakhir kali kamu pergi. Kamu mau nikah sama direktur kaya raya yang dijodohin
sama kamu itu kan? Kamu udah beneran nikah sama dia dan sekarang punya uang
banyak?”
“Sembarangan!”
“Terus!?” Jheni
mengernyitkan dahi. “Sejak malam itu, kita belum ketemu dan kamu nggak pernah
hubungi aku. Aku kira, kamu udah jadi istri muda Oom-Oom itu.”
Yuna tersenyum. “Nanti
aku ceritain! Mandi gih! Aku tunggu.”
Jheni bergegas masuk ke
dalam kamar mandi.
Setelah Jheni selesai
mandi dan berganti pakaian, mereka bergegas menuju salah satu mall yang ada di
pusat kota.
“Yun, kamu beneran
punya uang?” tanya Jheni setelah mereka keluar dari salah satu toko pakaian.
Yuna menganggukkan
kepala.
“Uang dari mana?”
“Mmh ... sebenarnya ini
uang tabungan aku.”
“Kamu gila ya! Uang
tabungan kamu pake buat belanja kayak gini?”
“Nggak papa. Santai
aja!” Yuna mengerdipkan mata ke arah Jheni.
“Aku jadi nggak enak
sama kamu.”
“Nggak perlu sungkan.
Anggap aja ini uang sewa selama aku tinggal di rumah kamu.”
“Aku nggak pernah minta
kamu buat bayar sewa, Yun.”
Yuna tersenyum. “Aku
yang nggak enak sama kamu karena selalu makan dan tidur numpang di rumah kamu.
Kalau kamu nolak pemberianku, aku nggak mau tinggal di rumah kamu lagi!” Yuna
melipat kedua tangan dan pura-pura marah.
“Iya, iya. Makasih ya!”
Jheni langsung merangkul tubuh Yuna.
Yuna tersenyum senang.
“Nah, gitu dong! Cari makan yuk! Sambil cerita-cerita.”
Jheni menganggukkan
kepala. Mereka masuk ke salah satu restoran yang ada di pusat perbelanjaan
tersebut.
“Kamu mau makan apa?”
tanya Yuna.
“Ikut sama kamu aja,
deh. Ditraktir gini.”
Yuna tertawa kecil. “Ya
nggak gitu juga kali. Kalo kamu pengen makan yang lain juga nggak papa.”
“Samain aja! Toh,
selera kita juga sama.”
Yuna tersenyum dan
langsung memesan makanan.
“Jhen, aku mau ngasih
tau kamu sesuatu,” tutur Yuna sambil menatap Jheni.
“Apa?” Jheni sangat
antusias mendengar ucapan Yuna.
“Mmh ... kemarin ...
kemarin aku ...”
Jheni mengerutkan
kening, ia tak sabar menunggu Yuna bercerita. “Kenapa?” tanya Jheni.
Yuna tersenyum menatap
Jheni. “Kemarin aku ... udah nikah.”
“What!? Nikah sama
siapa?”
“Sama ... cowok yang
aku kenal beberapa hari lalu.”
“Apa!? Kamu udah gila
ya!?”
“Aku tahu aku gila.
Tapi ... aku juga nggak bisa nolak cowok itu. Dia ...” Yuna menghentikan
ucapannya saat Melan tiba-tiba sudah berdiri di depannya.
“Anak nggak tahu diri.
Bukannya ayah kamu lagi lumpuh? Kamu malah bersenang-senang di sini,” tutur
Melan sambil menatap Yuna.
Yuna hanya diam. Ia
pura-pura tidak mendengar ucapan Melan.
“Ma, mungkin dia nggak
sempat mikirin ayahnya karena sibuk jual diri. Lihat aja! Dapet uang dari mana
buat belanja dan makan di tempat yang bagus kayak gini. Jangan-jangan, udah
jadi istri simpanan,” celetuk Bellina.
Yuna bangkit sambil
menatap Bellina. “Sekalipun aku nggak punya uang. Aku masih punya harga diri.
Lagian, aku terlalu mahal buat jual diri. Tanya aja sama mama kamu, berapa uang
yang dia dapat buat jual aku ke Bajingan Tua itu!?” tutur Yuna sambil membelalakkan
matanya ke arah Bellina.
“Kamu ...
berani-beraninya ...!” Melan menatap Yuna penuh amarah.
Yuna tersenyum sinis.
“Kalian itu sama-sama murahan! Cocok banget, sih. Satunya germo, satunya
pelacur!”
“Jangan sembarangan
kalo ngomong!” seru Melan sambil menjambak rambut Yuna.
Yuna mengerutkan
hidung, menahan rambutnya yang terasa sakit karena Melan menariknya begitu
kuat.
“Kalo kamu berani
macem-macem, aku bakal bikin ayah kamu makin menderita!” ancam Melan. “Bahkan,
aku bisa bikin kamu nggak bisa lihat dia lagi selamanya!”
“Aargh ...!” Yuna
langsung menepis tangan Melan dengan kasar. “Aku nggak akan biarin Tante
menyentuh ayah biar cuma sedikit aja!” ancam Yuna balik.
“Kamu ...!? Bener-bener
nggak tahu diri! Kamu nggak mikir kalo biaya pengobatan ayah kamu itu mahal
banget. Kamu bisa bayar pake apa?”
“Aku bakal bayar
semuanya nanti!” sahut Yuna.
Melan tersenyum sinis.
“Kamu itu udah nggak punya apa-apa lagi. Kamu pikir, bisa ngelunasi
hutang-hutang kamu?”
“Aku pasti ngelunasi
semua hutangku dengan cara yang halal. Nggak harus menjual diriku ke germo
kayak kamu!?”
Melan makin naik pitam
mendengar ucapan Yuna.
“Yun, udahlah. Nggak
usah diladenin lagi!” bisik Jheni sambil menarik ujung jemari Yuna.
“Ma, kita pergi aja!”
bisik Bellina sambil menarik lengan mamanya menjauh dari Yuna.
“Awas kamu ya!” ancam
Melan sebelum akhirnya pergi meninggalkan Yuna.
“Masa bodoh!” sahut
Yuna tanpa suara. Ia kembali duduk di kursinya.
“Tante kamu itu
bener-bener nggak punya perasaan ya?” tutur Jheni.
“Ngeselin banget!”
celetuk Yuna.
“Aku salut deh sama
kamu. Bisa ngelawan dia sampe segitunya.”
“Orang kayak dia itu
emang harus dilawan. Dikira aku bakal diam aja? Aku nggak bakal nyerah gitu
aja.”
Jheni tersenyum sambil
mengacungkan dua jempolnya.
Yuna tersenyum menatap
Jheni.
“Eh, kamu belum
lanjutin ceritanya,” tutur Jheni.
“Cerita apaaan?”
“Yang tadi.”
“Yang tadi apa ya?”
“Nggak usah pura-pura
lupa!” dengus Jheni.
“Duh, kayaknya aku
beneran lupa,” sahut Yuna sambil memijat keningnya.
“Yuna!” seru Jheni
geram.
Yuna terkekeh melihat
wajah Jheni.
“Cepet cerita!”
pintanya.
Yuna menoleh ke arah
pelayan dan mengambil makanan yang ia pesan. “Makan dulu!” pinta Yuna pada
Jheni.
“Kamu ngulur-ngulur
waktu buat cerita aja!” ucap Jheni kesal.
Yuna tersenyum kecil menatap
Jheni. “Iya ... aku ceritain. Dengerin baik-baik ya!”
Jheni mengangguk. Ia
melipat kedua tangannya di atas meja dan memasang telinganya dengan baik.
“Semalam, aku nikah
sama cowok yang udah nolongin aku beberapa hari belakangan ini. Aku nggak bisa
nolak dia. Aku punya hutang budi yang besar banget dan nggak tahu harus balas
pakai apa. Dia cuma minta, aku jadi istrinya.”
“Kamu setuju?”
Yuna mengangguk.
“Semalam, dia nikahin aku di depan ayah.”
“Serius?”
“Di rumah sakit?”
Yuna menganggukkan
kepala.
“So sweet banget, sih!” seru Jheni.
Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya!
Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment