Yeriko menyentuh kedua
pundak Yuna dan mengajaknya pergi.
“Tapi ...” Yuna menoleh
ke arah ayahnya. Kursi roda yang ia pegang sudah berpindah ke tangan Riyan.
“Riyan bakal ngurus
ayah kamu dengan baik. Percayalah!” tutur Yeriko sambil mengajak Yuna keluar
dari rumah sakit.
Yuna terus menoleh ke
belakang sambil melangkahkan kakinya. Ia terus menatap wajah ayahnya yang
semakin lama semakin menjauh.
Yeriko mengelus pundak
Yuna. Mengajaknya masuk ke dalam mobil dan membawa gadis itu ke restoran
western yang ada di pusat kota.
Yuna dan Yeriko tak
saling bicara sampai makanan terhidang di atas meja.
“Makanlah!”
Yuna mengangguk dan
makan dengan lahap.
Yuna menatap Yeriko
yang terlihat sangat elegan saat makan. “Kenapa dia tetep ganteng banget di
saat seperti ini?” batinnya.
Yeriko berhenti makan
saat Yuna menatap dirinya.
Yuna langsung
menundukkan kepala dan melanjutkan melahap steak di hadapannya.
“Kamu mau nikah sama
aku?” tanya Yeriko.
“Uhuk...!
Uhuk…!” seketika Yuna tersedak.
“Eh..?”
Yeriko panik lalu memberikan air kepada Yuna.
“Mmh ... aku ngerasa
nggak pantas buat jadi istri kamu. Aku ini nggak tinggi, nggak cantik, nggak
punya apa-apa. Aku cuma cewek gelandangan yang nggak punya tempat tinggal. Aku
bahkan dibuang gitu aja sama pacarku setelah aku kembali. Dan Ayah ...” Yuna
menundukkan kepalanya.
“Aku udah tahu
semuanya.”
Yuna langsung
mengangkat wajahnya menatap Yeriko. “Maksudnya?”
“Aku udah dapet
informasi tentang kamu dalam beberapa tahun belakangan ini.”
“Hah!? Dasar cowok nggak punya kerjaan!”
seru Yuna
kesal.
“Sampai kapan kamu mau
menghadapi masalah kamu sendiri? Setelah menikah, aku bakal bantu kamu
menyelesaikan semuanya sampai tuntas.”
“Tapi ...”
“Bukannya kamu bilang
kalau mau balas budi sama aku karena aku udah nolong kamu?”
Yuna menganggukkan
kepala. “Apa harus jadi istri kamu?”
Yeriko menganggukkan
kepala. “Aku nggak butuh yang lain.”
“Kenapa?”
Yeriko mengangkat kedua
alisnya.
“Kenapa harus aku?”
tanya Yuna lagi.
Yeriko menarik napas
dalam-dalam. “Karena kamu udah masuk ke dalam kehidupan aku. Bikin Mama Rully
suka sama kamu, Bibi War suka sama kamu, Riyan juga suka sama kamu dan ...
rumah itu menyukai kehadiran kamu.”
Mata Yuna berbinar
menatap Yeriko. Pipinya menghangat hingga tak bisa menyembunyikan rona merah
yang muncul dengan sendirinya. Tanpa sadar, ia tersenyum menatap Yeriko.
“Aku janji bakal bikin
ayah kamu dapet perawatan terbaik dan melindungi kamu. Semua masalah yang kamu
hadapi, bakal aku selesain semua masalah kamu dan bikin kamu bahagia. Asal kamu
mau jadi istri aku.”
Yuna berpikir sejenak.
Ia tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak menyukai Yeriko, tapi juga tidak
ingin menolaknya.
“Gimana?”
“Kasih aku waktu, aku
pikir-pikir dulu!” pinta Yuna.
“Oke. Lima menit,”
sahut Yeriko sambil melirik arloji di tangannya.
“Hah!? Kamu gila ya!”
Yeriko tersenyum
menatap Yuna. “Pikirkan ayah kamu yang lagi butuh pengobatan.”
Yuna menggigit bibir
bawahnya.
“Waktunya habis,” tutur
Yeriko. Ia melirik jam tangannya. Baru satu menit ia memberikan kesempatan Yuna
untuk berpikir.
“Cepet banget!” batin
Yuna sambil menatap Yeriko.
“Gimana?”
Yuna menganggukkan
kepala.
“Aku nggak dengar
apa-apa.”
“Aku mau,” ucap Yuna
lirih sambil menundukkan kepalanya.
“Mau apa?” tanya Yeriko
lagi.
“Aku mau jadi istri
kamu,” jawab Yuna secepat kilat.
Yeriko tersenyum. “Nah,
gitu dong! Aku cuma butuh perempuan yang nggak nyebelin dan rewel. Jangan
bertingkah seperti anak kecil di depanku!”
Yuna menganggukkan
kepala.
Yeriko merogoh ponsel
di sakunya dan mengirimkan beberapa pesan untuk Riyan dan dua sahabatnya.
Yuna bangkit dari
tempat duduk setelah menyelesaikan makannya.
“Mau ke mana?”
“Aku pamit pulang dulu!
Makasih untuk traktirannya. Nanti, aku bakal traktir kamu kalau aku sudah dapet
kerjaan dan dapet gaji,” tutur Yuna sambil tersenyum. Ia berbalik dan melangkah
pergi.
Yeriko langsung menarik
lengan Yuna, menahannya agar tidak pergi.
“Kenapa?” tanya Yuna
sambil menatap tangan Yeriko yang mencengkeram pergelangan tangannya.
“Ikut aku!”
“Ke mana?”
Yeriko tak menjawab.
Setelah membayar semua makanannya, ia langsung membawa Yuna masuk kembali ke
dalam mobil.
Beberapa menit
kemudian, Yeriko memarkirkan mobilnya di halaman rumah sakit. Sudah ada Riyan di sana.
“Lutfi sama Chandra udah datang?” tanya Yeriko.
“Masih dalam perjalanan,” jawab Riyan.
“Ini ada apa sih?”
tanya Yuna dalam hati. Ia tidak tahu apa yang ingin dilakukan oleh Yeriko.
“Bukannya cuma mau jenguk ayah? Kenapa sesibuk ini?”
“Penghulunya ada kan?” tanya Yeriko.
Riyan menganggukkan
kepala. “Sudah di perjalanan
juga.”
“Bagus. Di mana
ruangannya?”
Riyan bergegas mengajak
Yeriko dan Yuna menyusuri koridor rumah sakit dan memasuki salah satu ruang
rawat VVIP.
Yuna mengedarkan
pandangannya ke sekeliling ruangan. Ruangan dengan ukuran delapan kali delapan
meter itu cukup luas dengan fasilitas lengkap dan mewah, juga perawat pribadi
yang selalu merawat ayahnya dengan baik.
“Ruangannya gede dan
nyaman banget. Aku seneng banget ayah bisa dapet perawatan sebagus ini,” tutur
Yuna dalam hati sambil menatap wajah Yeriko. “Kenapa dia mau lakuin ini buat
kami?” batin Yuna.
Yeriko menghampiri
Adjie yang terbaring di atas ranjangnya. “Oom ... hari ini saya datang untuk
menikahi putri Oom. Saya bersedia menerima dia apa adanya dan membahagiakan dia
seumur hidup.”
Yuna terkejut mendengar
ucapan Yeriko. Tanpa terasa, ia meneteskan air mata. Ia merasa sangat beruntung
bisa mengenal Yeriko. Pria yang begitu dewasa, siap melindunginya. “Kenapa kamu
lakuin ini buat wanita yang baru kamu kenal beberapa hari yang lalu?” batinnya.
“Suster, bantu Pak
Adjie duduk di kursi rodanya.”
Dua orang perawat yang
menjaga menganggukkan kepala dan membantu Pak Adjie turun dari ranjang dan
duduk di kursi roda.
Yuna menoleh ke arah
pintu ruangan yang terbuka. Dua pria tampan masuk ke dalam ruangan.
“Hei ...! Kenapa
manggil kita ke sini?” tanya Lutfi yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Sementara,
Chandra hanya tersenyum kecil di belakangnya.
“Aku butuh bantuan
kalian,” jawab Yeriko.
“Bantuan apa?” tanya
Lutfi sambil menatap gadis yang berdiri di belakang Yeriko.
Belum sempat menjawab,
Riyan masuk ke dalam ruangan bersama seorang ustadz. “Bos, penghulunya sudah datang,” ucapnya sambil
menatap Yeriko.
“Pak, ini bos saya yang
minta Bapak kemari,” tutur Riyan pada ustadz yang berdiri di sebelahnya.
Lutfi dan Chandra
saling pandang. “KUA!?”
Yeriko tersenyum
menatap kedua sahabatnya. “Aku minta kalian jadi saksi pernikahan aku hari
ini.”
Lutfi membelalakkan
mata, ia memandang Chandra yang ada di sebelahnya. “Chan, tampar aku!”
pintanya.
Chandra menaikkan kedua
alisnya.
“Ini bukan mimpi kan?”
tanya Lutfi lagi.
“Kayaknya mimpi,” jawab
Chandra.
PLAK ...!!!
“Bukan
mimpi!”
Chandra menggelengkan
kepala.
Yeriko dan Yuna menahan
tawa melihat sikap Lutfi dan Chandra yang sedang berdebat.
“Berkas yang diperlukan
sudah disiapkan?” tanya Ustadz yang bersama Riyan.
“Sudah, Pak.” Riyan mengajak
ustadz tersebut duduk di sofa sambil mengisi berkas yang diperlukan untuk
mendaftarkan pernikahan mereka secara resmi ke Pengadilan Agama.
Yuna menghampiri
Yeriko. “Kamu dapet dokumen pribadi aku dari mana?” bisiknya.
Yeriko tersenyum kecil
menatap Yuna.
Yuna menggaruk
kepalanya yang tidak gatal. Ia melangkah menghampiri lemari kecil yang ada di
sisi ranjang pasien. Ia teringat kalau dokumen keluarganya ada bersama ayahnya.
“Lumayan pintar,”
celetuk Yuna dalam hati.
“Nyonya Muda, ini untuk
akad nikah,” tutur Riyan sambil menyodorkan selendang putih ke arah Yuna.
Yuna tersenyum sambil
mengangguk. “Makasih,” tuturnya sambil meraih selendang yang diulurkan oleh
Riyan.
Riyan tersenyum, ia
meminta perawat untuk membawa Adjie ke hadapan meja kecil yang akan digunakan
sebagai tempat untuk melakukan akad nikah.
Akad
nikah pun berjalan dengan lancer. Meskipun kilat, semuanya terlihat Bahagia.
“Selamat ya, Yer!” ucap
Lutfi begitu proses akad nikah selesai dengan hikmat.
Yeriko tersenyum. Ia merasa
sangat lega karena akhirnya bisa melewati suasana yang paling menegangkan dalam
hidupnya.
Lutfi tertawa kecil. Ia
menatap Yuna yang berdiri di sebelah Yeriko. “Kakak Ipar, kami pulang dulu!
Selamat menikmati malam pengantin baru.”
Yuna tersenyum kecil.
Pipinya bersemu merah karena malu.
Yeriko langsung
menyubit lengan Lutfi. “Jangan godain Kakak Iparmu!” dengusnya.
“Kami pulang dulu!”
pamit Chandra.
Yeriko dan Yuna
menganggukkan kepala.
Lutfi dan Chandra
bergegas keluar dari ruang rawat ayah Yuna.
Yuna dan Yeriko saling
pandang, kemudian sama-sama tersenyum bahagia.
Yuna berbalik, ia
melangkah mendekati ayahnya yang masih duduk di kursi roda.
“Ayah ... sekarang Yuna
nggak sendirian. Ada seseorang yang akan mendampingi Yuna dalam suka dan duka.
Ayah nggak perlu khawatir. Ayah juga harus sembuh ya!” tutur Yuna sambil
menitikan air mata. Ia mencium punggung tangan ayahnya dan langsung memeluk ayahnya
dengan erat.
Adjie dapat melihat dan
mendengar semua hal yang terjadi. Namun, ia tak bisa membalas pelukan hangat
putrinya. Ingin sekali, ia bisa menggerakkan tangan dan memeluk puteri
kesayangannya itu.
Yuna melepas pelukannya
perlahan. Ia menatap Yeriko yang berdiri di sebelahnya.
Yeriko berlutut di
hadapan Adjie. “Ayah ... mulai hari ini, aku adalah anakmu juga. Aku akan
selalu mencintai dan melindungi Ayuna. Ayah tidak perlu khawatir. Aku akan
memberikan kehidupan yang terbaik untuk kalian.”
Yeriko mencium punggung
tangan Adjie dan bangkit. “Suster, tolong kembalikan Pak Adjie ke tempat
tidurnya!” perintah Yeriko.
Dua suster yang ada di
ruangan itu mengangguk dan mengikuti perintah dari Yeriko.
Yeriko menoleh ke arah
Yuna dan mengajak gadis itu keluar dari ruang rawat.
Yuna melangkah perlahan
menyusuri koridor rumah sakit. “Secepat ini dunia berubah? Beberapa jam yang
lalu aku masih lajang. Dan sekarang sudah jadi istri orang lain saat keluar
dari pintu rumah sakit ini,” batinnya dalam hati.
0 komentar:
Post a Comment