Thursday, January 23, 2025

Bab 10 - Hubungan yang Menjijikkan

 


“Uhuk ... uhuk ...!” Yuna langsung meneguk air putih yang ada di depannya.

 

“Mmh ... apa Tante nggak keberatan kalau perempuan yang disukai Yeri adalah perempuan yang nggak jelas asal-usulnya?”

 

“Yeriko nggak mungkin milih perempuan sembarangan buat jadi pasangan hidupnya. Dia itu selektif banget. Mama pasti setuju siapa aja pilihan dia. Asal dia bahagia, Mama juga ikut bahagia.”

 

Yuna tersenyum menatap Rullyta.

 

“Eits, satu lagi! Jangan panggil Tante!” pintanya. “Call me, Mama Rully!”

 

Yuna tertawa kecil. “Iya, lupa Tante. Eh, maksudnya ... Mama Rully.”

 

Mereka asyik bercengkerama sambil menikmati hidangan bersama.

 

Sementara, Yeriko bersama Riyan di ruang kerja pribadinya.

 

“Data yang aku minta sudah ada?” tanya Yeriko.

 

“Sudah, Bos. Ini!” Riyan langsung menyodorkan sebuah map ke hadapan Yeriko.

 

Yeriko sibuk membuka map itu dan membacanya dengan saksama.

 

“Aku mau mandi dulu. Setelah ini kita ke rumah sakit, ujar Yeriko lalu menutup map itu.

 

“Ngapain Bos? Bos sakit?”

 

Yeriko menghela napas menatap Riyan. “Kita lihat kondisi ayahnya.”

 

“Oh.” Riyan mengangguk-anggukkan kepala.

 

Yeriko bangkit dari kursinya dan melangkah pergi.

 

“Eh, Bos ... semalam gimana?”

 

“Apanya?” Yeriko mengerutkan dahi menatap Riyan.

 

“Itu ...” Riyan mematukkan kedua ujung jari-jemarinya.

 

“Anak kecil mau tau aja!” sahut Yeriko sambil mengetuk kepala Riyan.

 

“Aha ... sukses, Bos!?” ucapnya sambil mengacungkan jempol.

 

Yeriko hanya tersenyum kecil sambil melangkah pergi meninggalkan ruang kerjanya dan bergegas mandi.

 

Riyan ikut tersenyum bahagia. “Akhirnya ... bakal ada nyonya muda di rumah ini. Aku harus deketin nyonya supaya Bos Yeri nggak berani menindas aku,” gumam Riyan. Ia keluar dari ruang kerja Yeriko, menuruni anak tangga dan menghampiri Yuna yang sedang makan bersama dengan Rullyta.

 

“Hei ... Yan, udah makan?”

 

“Sudah, Nyonya.”

 

“Hmm ... Mama nggak suka dipanggil Nyonya. Kamu terlalu sopan. Panggil Mama Rully! Oke!?”

 

Riyan nyengir ke arah Rullyta. Meski Rullyta sudah menganggapnya seperti anak sendiri, namun ia tetap sungkan dengan nyonya besar pemilik rumah ini.

 

Setelah mandi, Yeriko menyesap kopi yang dibuatkan oleh Bibi War. Ia termenung sambil memikirkan ucapan mamanya.

 

“Mama dan kakek sama-sama menyebalkan,” celetuknya sambil memutar-mutar cangkir yang ada di tangannya. “Gadis itu ...” Yeriko tersenyum kecil setiap kali mengingat pertemuannya dengan Yuna. Ia membalikkan tubuhnya saat mendengar langkah kaki yang berisik.

 

“Mau ke mana?” tanya Yeriko.

 

“Mau pulang,” jawab Yuna.

 

“Kamu punya rumah?” tanya Yeriko sambil bangkit dari duduk dan menghampiri Yuna.

 

“Eh!? Apa aku kelihatan kayak gelandangan yang nggak punya rumah?” sahut Yuna kesal.

 

Yeriko tersenyum kecil menatap Yuna. “Kamu sering keliaran di luar sampai tengah malam. Bahkan sudah nginap di rumah ini sampai dua kali. Aku nggak nemuin alamat rumah di tas kamu. Hp-mu juga nggak pernah bunyi. Apa nggak ada yang nyari keberadaan kamu kalau nggak pulang sama sekali?”

 

“Eh!?” Yuna gelagapan mendengar pertanyaan dari Yeriko. “Kamu ...!? Bongkar-bongkar tas aku!?” seru Yuna.

 

Yeriko tersenyum kecil. “Kamu pikir, aku mau nampung cewek kayak kamu di rumah ini kalo tahu alamat rumah kamu di mana?”

 

Yuna mengerucutkan bibirnya. “Aku emang belum punya tempat tinggal sekarang. Masih numpang di rumah Jheni. Tapi bukan berarti aku ini gelandangan,” tutur Yuna dalam hati.

 

“Kamu bisa tinggal di rumah ini sampai ...” Ucapan Yeriko terhenti saat ponselnya tiba-tiba berdering. Ia langsung meraih ponsel dan mengangkat panggilan telepon dari sahabatnya.

 

“Kenapa? Sekarang? Oke. Kita ketemu di sana.” Yeriko langsung mematikan sambungan telepon.

 

“Mau pergi?” tanya Yuna.

 

“He-em.” Yeriko mengangguk pelan.

 

Yuna tersenyum ke arah Yeriko. “Kalo gitu, aku juga pamit pulang. Makasih sudah nolongin aku. Aku pasti nggak lupa balas budi ke kamu.”

 

Yeriko tersenyum kecil sambil mengedarkan pandangannya. “Riyan ...!” teriaknya.

 

“Kenapa, Bos?”

 

“Ikut aku sekarang!”

 

Riyan menganggukkan kepala. Ia mengeluarkan permainan di ponselnya dan bergegas mengikuti langkah Yeriko.

 

Yuna keluar dari rumah villa milik Yeriko dan langsung menuju rumah sakit tempat ayahnya dirawat.

 

“Aku udah bikin masalah semalam. Nenek sihir itu pasti bakal bikin ayah dalam bahaya.” Yuna mempercepat langkahnya menyusuri koridor rumah sakit.

 

Benar saja, Yuna harus menghadapi situasi seperti kemarin lagi.

 

“Suster, tolong jangan usir ayahku dari sini!” pinta Yuna. Ia tidak tahu lagi harus meminta tolong pada siapa. Tantenya pasti sangat marah karena dia melarikan diri dan tidak mau menyerahkan dirinya pada laki-laki tua pilihan tantenya.

 

“Ayah ...!” Yuna berlari menghampiri tubuh ayahnya yang terbaring di atas ranjang. “Ayah nggak perlu khawatir, Yuna bakal kasih perawatan terbaik buat ayah. Rumah sakit ini payah!” tutur Yuna sambil menangis. Ia mencoba menghibur diri sendiri dan orang yang paling ia sayangi di dunia ini.

 

“Hari ini cerah banget! Sangat menyenangkan bisa lihat anak yang nggak tahu diri ini dalam kesulitan.”

 

Yuna memejamkan mata, menahan sakit dan emosi yang hampir meletus dari dadanya saat mendengar suara Bellina di belakangnya.

 

“Kasihan banget, sih. Udah nggak punya apa-apa. Bahkan ayahnya yang lagi lumpuh aja dikorbankan karena keegoisanmu. Kalo kamu nurut sama Mama. Semua ini nggak bakal terjadi. Ayah kamu tetap bisa dapet perawatan dengan baik.”

 

Yuna menarik napas dalam-dalam. Ia mengunci mulutnya rapat-rapat untuk menghindari perdebatan dengan Bellina.

 

“Kenapa? Kamu masih ngarepin Lian? Jangan harap bisa ngerebut Lian dari tanganku!” bisik Bellina.

 

“Pergi dari sini!” pinta Yuna.

 

“Kamu ngusir aku?”

 

“Aku bilang, PERGI DARI SINI!” teriak Yuna.

 

“Aku nggak akan pergi,” sahut Bellina sambil tersenyum sinis.

 

“Kamu nggak perlu pamer hubunganmu ke aku! Makin pamer, kamu makin menjijikkan! Pelacur nggak laku!”

 

“Apa kamu bilang!?” Bellina melotot menatap Yuna.

 

“Pelacur nggak laku!” sahut Yuna sambil membulatkan matanya ke arah Bellina.

 

“Kamu ...!? Berani-beraninya ...!” Bellina mengangkat telapak tangannya dan bersiap menampar Yuna.

 

Dengan cepat, Yuna menangkap pergelangan tangan Bellina. “Aku nggak akan ngebiarin kamu menindas aku terus-terusan. Kamu pikir, aku nggak bisa apa-apa, hah!?”

 

Bellina menatap kesal ke arah Yuna. Pandangannya kemudian tertuju pada pintu di belakang Yuna yang tiba-tiba terbuka. Ia pura-pura menjatuhkan dirinya ke lantai dan menangis.

 

Yuna mengerutkan kening melihat Bellina yang tiba-tiba tersungkur di hadapannya.

 

“Kamu nggak papa?” tanya Lian yang tiba-tiba muncul dan langsung mengangkat tubuh Bellina.

 

Dia marah-marah dan dorong aku. Padahal, aku ke sini bermaksud baik, pengen jengukin ayahnya yang lagi sakit. Aku nggak nyangka kalau Yuna memperlakukan aku seperti ini,” tutur Bellina sambil menangis.

 

Yuna mengerutkan kening menatap Bellina. “Heh!? Kamu jangan pura-pura baik di depan Lian , ya!” ancamnya.

 

“Sayang, kamu lihat sendiri kan. Dia kasar banget sama aku,” tutur Bellina sambil menatap Lian yang merangkul tubuhnya.

 

“Sumpah ya, kamu pinter banget akting. Jelas-jelas kamu yang jatuhin diri kamu sendiri!”

 

“Hiks ... hiks ... aku tahu kamu masih nggak rela kalau aku sama Lian. Tapi jangan fitnah aku kayak gini, Yun. Aku minta maaf sama kamu ... aku sama sekali nggak bermaksud ngerebut Lian dari kamu. Kami saling mencintai, tolong kamu restui hubungan kami!” Bellina meraih lengan Yuna perlahan.

 

Yuna langsung menepis tangan Bellina dengan kasar.

 

“Yun, dia itu bermaksud baik sama kamu! Udah minta maaf sama kamu. Aku nggak habis pikir, kenapa kamu bisa sejahat ini jadi cewek? Bener-bener nggak punya perasaan!” maki Lian sambil menatap Yuna.

 

“Apa kamu bilang? Jelas-jelas dia yang jahat dan licik. Kamu aja yang buta!”

 

“Aku nggak akan tertipu sama wajah cantik kamu itu. Hatimu nggak sebagus wajahmu.”

 

“Heh!? Kamu kira perek di sebelahmu ini cewek baik-baik, hah!?” seru Yuna.

 

“Jangan pernah ngatain Bellina di depan aku atau aku bakal bikin kamu nggak bisa ngomong selamanya!” ancam Lian.

 

“Coba aja! Aku nggak takut!”

 

Lian makin naik pitam. Ia mengangkat telapak tangannya dan bersiap menampar Yuna.

 

“Tampar aja! Tampar!” seru Yuna sambil menyodorkan pipinya ke arah Lian.

 

Tangan Lian bergetar saat menatap mata Yuna. Bayangan masa lalunya bersama Yuna berkelebat di pelupuk mata dan membuatnya tak berdaya. Senyum, canda tawa dan masalah yang pernah mereka hadapi bersama.

 

“Kenapa? Nggak berani!?” tanya Yuna sambil menatap Lian.

 

Lian melipat jari-jemari dan menurunkan tangannya. Ia menarik lengan Bellina perlahan. “Kita pergi dari sini!” pintanya. “Nggak ada gunanya ngeladenin dia.” Ia bergegas membawa Bellina keluar dari ruangan.

 

Yuna menarik napas sambil memejamkan mata agar air matanya tidak terjatuh. Ia menghampiri ayahnya yang duduk di kursi roda tanpa bisa bergerak sedikit pun.

 

Yuna menatap mata sambil mengusap pipi ayahnya. “Ayah, semua akan baik-baik aja!” tuturnya sambil tersenyum. “Yuna bakal bawa ayah pergi ke rumah sakit yang lebih baik. Ayah harus sembuh,” tuturnya. Ia meraih kedua telapak tangan ayahnya. Menggenggamnya erat dan mencium punggung tangan ayahnya.

 

Yuna bangkit, perlahan ia mendorong kursi roda ayahnya, menyusuri koridor rumah sakit. Air matanya menetes, ia tak berdaya melakukan apa pun. Ia tidak tahu harus membawa ayah ke mana.

 

“Yun, kamu kenapa?” tanya Yeriko yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

 

Yuna menghentikan langkahnya. Ia menengadahkan kepala menatap Yeriko. Ia tersenyum sambil mengusap air matanya. “Nggak papa.”

 

“Ini ... ayah kamu?” tanya Yeriko sambil menatap Adjie yang duduk di kursi roda.

 

Adjie hanya bisa membuka matanya. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya dan terus terbaring di ranjang rumah sakit. Kini, ia lumpuh setelah kecelakaan yang merenggut nyawa istrinya sebelas tahun lalu..

 

“Yan, tolong kamu urus masalah ini!” pinta Yeriko sambil menoleh ke arah Riyan.

 

“Siap, Bos!”

 

 

(( Bersambung ... ))

Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas