“Uhuk ... uhuk ...!”
Yuna langsung meneguk air putih yang ada di depannya.
“Mmh ... apa Tante
nggak keberatan kalau perempuan yang disukai Yeri adalah perempuan yang nggak
jelas asal-usulnya?”
“Yeriko nggak mungkin
milih perempuan sembarangan buat jadi pasangan hidupnya. Dia itu selektif
banget. Mama pasti setuju siapa aja pilihan dia. Asal dia bahagia, Mama juga
ikut bahagia.”
Yuna tersenyum menatap
Rullyta.
“Eits, satu lagi!
Jangan panggil Tante!” pintanya. “Call me, Mama Rully!”
Yuna tertawa kecil.
“Iya, lupa Tante. Eh, maksudnya ... Mama Rully.”
Mereka asyik
bercengkerama sambil menikmati hidangan bersama.
Sementara, Yeriko
bersama Riyan di ruang kerja pribadinya.
“Data yang aku minta
sudah ada?” tanya Yeriko.
“Sudah, Bos. Ini!”
Riyan langsung menyodorkan sebuah map ke hadapan Yeriko.
Yeriko
sibuk membuka map itu dan membacanya dengan saksama.
“Aku mau mandi dulu.
Setelah ini kita ke rumah sakit,” ujar Yeriko lalu menutup map itu.
“Ngapain Bos? Bos
sakit?”
Yeriko menghela napas
menatap Riyan. “Kita lihat kondisi ayahnya.”
“Oh.” Riyan
mengangguk-anggukkan kepala.
Yeriko bangkit dari
kursinya dan melangkah pergi.
“Eh, Bos ... semalam
gimana?”
“Apanya?” Yeriko
mengerutkan dahi menatap Riyan.
“Itu ...” Riyan
mematukkan kedua ujung jari-jemarinya.
“Anak kecil mau tau
aja!” sahut Yeriko sambil mengetuk kepala Riyan.
“Aha ... sukses, Bos!?”
ucapnya sambil mengacungkan jempol.
Yeriko hanya tersenyum
kecil sambil melangkah pergi meninggalkan ruang kerjanya dan bergegas mandi.
Riyan ikut tersenyum
bahagia. “Akhirnya ... bakal ada nyonya muda di rumah ini. Aku harus deketin
nyonya supaya Bos Yeri nggak berani menindas aku,” gumam Riyan. Ia keluar dari
ruang kerja Yeriko, menuruni anak tangga dan menghampiri Yuna yang sedang makan
bersama dengan Rullyta.
“Hei ... Yan, udah
makan?”
“Sudah, Nyonya.”
“Hmm ... Mama nggak
suka dipanggil Nyonya. Kamu terlalu sopan. Panggil Mama Rully! Oke!?”
Riyan nyengir ke arah
Rullyta. Meski Rullyta sudah menganggapnya seperti anak sendiri, namun ia tetap
sungkan dengan nyonya besar pemilik rumah ini.
Setelah
mandi, Yeriko menyesap kopi yang dibuatkan oleh Bibi
War. Ia termenung sambil memikirkan ucapan mamanya.
“Mama dan kakek
sama-sama menyebalkan,” celetuknya sambil memutar-mutar cangkir yang ada di
tangannya. “Gadis itu ...” Yeriko tersenyum kecil setiap kali mengingat
pertemuannya dengan Yuna. Ia membalikkan tubuhnya saat mendengar langkah kaki
yang berisik.
“Mau ke mana?” tanya
Yeriko.
“Mau pulang,” jawab
Yuna.
“Kamu punya rumah?”
tanya Yeriko sambil bangkit dari duduk dan menghampiri Yuna.
“Eh!? Apa aku kelihatan
kayak gelandangan yang nggak punya rumah?” sahut Yuna kesal.
Yeriko tersenyum kecil
menatap Yuna. “Kamu sering keliaran di luar sampai tengah malam. Bahkan sudah
nginap di rumah ini sampai dua kali. Aku nggak nemuin alamat rumah di tas kamu.
Hp-mu juga nggak pernah bunyi. Apa nggak ada yang nyari keberadaan kamu kalau
nggak pulang sama sekali?”
“Eh!?” Yuna gelagapan
mendengar pertanyaan dari Yeriko. “Kamu ...!? Bongkar-bongkar tas aku!?” seru
Yuna.
Yeriko tersenyum kecil.
“Kamu pikir, aku mau nampung cewek kayak kamu di rumah ini kalo tahu alamat
rumah kamu di mana?”
Yuna mengerucutkan
bibirnya. “Aku emang belum punya tempat tinggal sekarang. Masih numpang di
rumah Jheni. Tapi bukan berarti aku ini gelandangan,” tutur Yuna dalam hati.
“Kamu bisa tinggal di
rumah ini sampai ...” Ucapan Yeriko terhenti saat ponselnya tiba-tiba
berdering. Ia langsung meraih ponsel dan mengangkat panggilan telepon dari
sahabatnya.
“Kenapa? Sekarang? Oke.
Kita ketemu di sana.” Yeriko langsung mematikan sambungan telepon.
“Mau pergi?” tanya
Yuna.
“He-em.” Yeriko
mengangguk pelan.
Yuna tersenyum ke arah
Yeriko. “Kalo gitu, aku juga pamit pulang. Makasih sudah nolongin aku. Aku
pasti nggak lupa balas budi ke kamu.”
Yeriko tersenyum kecil
sambil mengedarkan pandangannya. “Riyan ...!” teriaknya.
“Kenapa, Bos?”
“Ikut aku sekarang!”
Riyan menganggukkan
kepala. Ia mengeluarkan permainan di ponselnya dan bergegas mengikuti langkah
Yeriko.
Yuna keluar dari rumah
villa milik Yeriko dan langsung menuju rumah sakit tempat ayahnya dirawat.
“Aku udah bikin masalah
semalam. Nenek sihir itu pasti bakal bikin ayah dalam bahaya.” Yuna mempercepat
langkahnya menyusuri koridor rumah sakit.
Benar saja, Yuna harus
menghadapi situasi seperti kemarin lagi.
“Suster, tolong jangan
usir ayahku dari sini!” pinta Yuna. Ia tidak tahu lagi harus meminta tolong
pada siapa. Tantenya pasti sangat marah karena dia melarikan diri dan tidak mau
menyerahkan dirinya pada laki-laki tua pilihan tantenya.
“Ayah ...!” Yuna
berlari menghampiri tubuh ayahnya yang terbaring di atas ranjang. “Ayah nggak
perlu khawatir, Yuna bakal kasih perawatan terbaik buat ayah. Rumah sakit ini
payah!” tutur Yuna sambil menangis. Ia mencoba menghibur diri sendiri dan orang
yang paling ia sayangi di dunia ini.
“Hari ini cerah banget!
Sangat menyenangkan bisa lihat anak yang nggak tahu diri ini dalam kesulitan.”
Yuna memejamkan mata,
menahan sakit dan emosi yang hampir meletus dari dadanya saat mendengar suara
Bellina di belakangnya.
“Kasihan banget, sih.
Udah nggak punya apa-apa. Bahkan ayahnya yang lagi lumpuh aja dikorbankan
karena keegoisanmu. Kalo kamu nurut sama Mama. Semua ini nggak bakal terjadi.
Ayah kamu tetap bisa dapet perawatan dengan baik.”
Yuna menarik napas
dalam-dalam. Ia mengunci mulutnya rapat-rapat untuk menghindari perdebatan
dengan Bellina.
“Kenapa? Kamu masih
ngarepin Lian? Jangan harap bisa ngerebut Lian dari tanganku!” bisik Bellina.
“Pergi dari sini!”
pinta Yuna.
“Kamu ngusir aku?”
“Aku bilang, PERGI DARI
SINI!” teriak Yuna.
“Aku nggak akan pergi,”
sahut Bellina sambil tersenyum sinis.
“Kamu nggak perlu pamer
hubunganmu ke aku! Makin pamer, kamu makin menjijikkan! Pelacur nggak laku!”
“Apa kamu bilang!?”
Bellina melotot menatap Yuna.
“Pelacur nggak laku!”
sahut Yuna sambil membulatkan matanya ke arah Bellina.
“Kamu ...!?
Berani-beraninya ...!” Bellina mengangkat telapak tangannya dan bersiap
menampar Yuna.
Dengan cepat, Yuna
menangkap pergelangan tangan Bellina. “Aku nggak akan ngebiarin kamu menindas
aku terus-terusan. Kamu pikir, aku nggak bisa apa-apa, hah!?”
Bellina menatap kesal
ke arah Yuna. Pandangannya kemudian tertuju pada pintu di belakang Yuna yang
tiba-tiba terbuka. Ia pura-pura menjatuhkan dirinya ke lantai dan menangis.
Yuna mengerutkan kening
melihat Bellina yang tiba-tiba tersungkur di hadapannya.
“Kamu nggak papa?”
tanya Lian yang tiba-tiba muncul dan langsung mengangkat tubuh Bellina.
“Dia marah-marah dan dorong aku.
Padahal, aku ke sini bermaksud baik, pengen jengukin ayahnya yang lagi sakit.
Aku nggak nyangka kalau Yuna memperlakukan aku seperti ini,” tutur Bellina
sambil menangis.
Yuna mengerutkan kening
menatap Bellina. “Heh!? Kamu jangan pura-pura baik di depan Lian , ya!”
ancamnya.
“Sayang, kamu lihat
sendiri kan. Dia kasar banget sama aku,” tutur Bellina sambil menatap Lian yang
merangkul tubuhnya.
“Sumpah ya, kamu pinter
banget akting. Jelas-jelas kamu yang jatuhin diri kamu sendiri!”
“Hiks ... hiks ... aku
tahu kamu masih nggak rela kalau aku sama Lian. Tapi jangan fitnah aku kayak
gini, Yun. Aku minta maaf sama kamu ... aku sama sekali nggak bermaksud
ngerebut Lian dari kamu. Kami saling mencintai, tolong kamu restui hubungan
kami!” Bellina meraih lengan Yuna perlahan.
Yuna langsung menepis
tangan Bellina dengan kasar.
“Yun, dia itu bermaksud
baik sama kamu! Udah minta maaf sama kamu. Aku nggak habis pikir, kenapa kamu
bisa sejahat ini jadi cewek? Bener-bener nggak punya perasaan!” maki Lian
sambil menatap Yuna.
“Apa kamu bilang?
Jelas-jelas dia yang jahat dan licik. Kamu aja yang buta!”
“Aku nggak akan tertipu
sama wajah cantik kamu itu. Hatimu nggak sebagus wajahmu.”
“Heh!? Kamu kira perek
di sebelahmu ini cewek baik-baik, hah!?” seru Yuna.
“Jangan pernah ngatain
Bellina di depan aku atau aku bakal bikin kamu nggak bisa ngomong selamanya!”
ancam Lian.
“Coba aja! Aku nggak
takut!”
Lian makin naik pitam.
Ia mengangkat telapak tangannya dan bersiap menampar Yuna.
“Tampar aja! Tampar!”
seru Yuna sambil menyodorkan pipinya ke arah Lian.
Tangan Lian bergetar
saat menatap mata Yuna. Bayangan masa lalunya bersama Yuna berkelebat di
pelupuk mata dan membuatnya tak berdaya. Senyum, canda tawa dan masalah yang
pernah mereka hadapi bersama.
“Kenapa? Nggak
berani!?” tanya Yuna sambil menatap Lian.
Lian melipat
jari-jemari dan menurunkan tangannya. Ia menarik lengan Bellina perlahan. “Kita
pergi dari sini!” pintanya. “Nggak ada gunanya ngeladenin dia.” Ia bergegas
membawa Bellina keluar dari ruangan.
Yuna menarik napas
sambil memejamkan mata agar air matanya tidak terjatuh. Ia menghampiri ayahnya
yang duduk di kursi roda tanpa bisa bergerak sedikit pun.
Yuna menatap mata
sambil mengusap pipi ayahnya. “Ayah, semua akan baik-baik aja!” tuturnya sambil
tersenyum. “Yuna bakal bawa ayah pergi ke rumah sakit yang lebih baik. Ayah
harus sembuh,” tuturnya. Ia meraih kedua telapak tangan ayahnya. Menggenggamnya
erat dan mencium punggung tangan ayahnya.
Yuna bangkit, perlahan
ia mendorong kursi roda ayahnya, menyusuri koridor rumah sakit. Air matanya
menetes, ia tak berdaya melakukan apa pun. Ia tidak tahu harus membawa ayah ke
mana.
“Yun, kamu kenapa?”
tanya Yeriko yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
Yuna menghentikan
langkahnya. Ia menengadahkan kepala menatap Yeriko. Ia tersenyum sambil
mengusap air matanya. “Nggak papa.”
“Ini ... ayah kamu?”
tanya Yeriko sambil menatap Adjie yang duduk di kursi roda.
Adjie hanya bisa
membuka matanya. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya dan terus terbaring di
ranjang rumah sakit. Kini, ia lumpuh setelah kecelakaan yang merenggut nyawa
istrinya sebelas tahun lalu..
“Yan, tolong kamu urus
masalah ini!” pinta Yeriko sambil menoleh ke arah Riyan.
“Siap, Bos!”
Jangan
malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran
juga ya!
Much
Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment