“Na ... na ... na ...
na ...” Yuna melenggang memasuki rumah Wilian. Di tangan kirinya tergantung
sebuah paper bag berisi hadiah yang yang sengaja ia siapkan untuk pacarnya.
Yuna menghentikan
langkah kaki saat mendengar suara wanita mendesah dan mengerang dari arah kamar
Wilian. Dari
ujung dahinya keluar keringat dingin dan dadanya naik turun lebih cepat dari
biasanya.
Perlahan, Yuna
melangkahkan kaki menyusuri lorong menuju kamar Wilian. Langkahnya kembali
terhenti saat kakinya menginjak kain yang tercecer di lantai. Yuna
membungkukkan badan dan mengambil kain dari bawah kakinya.
Yuna membelalakkan mata
saat melihat mini dress yang ada di tangannya. Ia meremas mini dress tersebut
sambil mengeratkan gigi-giginya. Tanpa banyak berpikir, ia langsung
melangkahkan kaki dan membuka lebar pintu kamar Wilian yang sudah terbuka
selebar lima sentimeter.
“Ya Tuhan ...! Dugaanku bener,” bisik Yuna
dalam hati sambil menatap Wilian dan sepupunya yang sedang asyik melakukan
hubungan suami-istri.
“Ternyata ini yang
kalian lakuin di belakang aku!” seru Yuna.
Wilian dan Bellina
langsung menghentikan aksinya, mereka menoleh ke arah Yuna bersamaan. “Yuna?”
Mereka saling pandang, sama sekali tidak menyangka kalau Yuna akan datang saat
mereka sedang bersenang-senang.
Wilian langsung melepas
alat vitalnya dari tubuh Bellina dan bergegas mencari CD miliknya yang berserak
di lantai kamar.
“Yuna, kamu kapan
datangnya? Kenapa nggak kabarin aku dulu?” tanya Wilian sambil mengenakan
pakaiannya dan melangkah mendekati Yuna.
“Kalo aku kabarin dulu,
aku nggak akan tahu kelakuan asli kamu di belakangku!” seru Yuna dengan mata
memerah.
Wilian terdiam sesaat.
“Kamu nyari ini?” tanya
Yuna sambil melemparkan mini dress di tangannya ke arah Bellina.
“Yun, maafin aku. Aku nggak
bermaksud buat ...”
“Diam kamu!” sentak
Yuna.
“Sejak kapan kalian
main di belakang aku?” Yuna menatap wajah Wilian penuh amarah.
Wilian hanya
menundukkan kepala.
“JAWAB! SEJAK KAPAN
KALIAN KAYAK GINI DI BELAKANG AKU!” Nada suara Yuna makin meninggi.
Bellina tersenyum
sinis. Ia merasa, tak perlu lagi menyembunyikan hubungan gelapnya di depan
Ayuna. Perlahan, ia melangkahkan kaki dan bergelayut manja di tubuh Wilian.
“Kita udah kayak gini
sejak tujuh tahun yang lalu,” tutur Bellina sambil tersenyum ke arah Yuna. “Iya
kan, Sayang,” lanjutnya sambil menatap Wilian penuh kehangatan.
Mata Yuna terasa sangat
perih, di setiap sudutnya mengeluarkan air mata yang tak bisa ia bendung lagi.
“Brengsek kamu ya!
Selama itu kamu main di belakang aku dan masih bilang kalau kamu bakal ngelamar
aku!?” seru Yuna sambil mendorong dada Wilian yang bidang.
Dada Yuna semakin sesak
dan sakit sehingga membuatnya sulit mengeluarkan kalimat untuk memaki dua orang
yang ada di hadapannya.
“Seharusnya kamu sadar diri,
kenapa pacar kamu bisa selingkuh!” sahut Bellina.
“Kamu yang sadar diri!
Kamu lihat-lihat dong, Lian itu pacarnya siapa! Dia itu pacar aku, Bel. Saudara
kamu sendiri!” teriak Yuna sesenggukan.
Bellina tersenyum sinis
menatap Yuna. “Pacar? Pacar yang nggak bisa ngasih kepuasan buat pacarnya
sendiri? Kamu itu cuma pajangan buat Lian, nggak bisa ngasih kenikmatan dan
kesenangan buat dia.”
“Lian ... bener apa
kata dia?” Yuna menatap Lian bersama derai air mata.
Wilian menganggukkan
kepala.
“Kamu bilang sayang ke
aku, selama ini bohong!? Kamu bilang mau ngelamar aku, itu juga bohong!?”
Wilian terdiam.
“Aku jauh-jauh datang
dari Melbourne buat kasih kamu kejutan. Aku selalu setia sama kamu dan berharap
kalo kamu bakal ngelamar aku saat aku pulang. Tapi kamu malah kayak gini.
Kenapa kamu tega ngelakuin ini semua? Kenapa?” tutur Yuna sesenggukan.
“Karena aku lebih
sayang sama Bellina daripada sama kamu. Dia bisa ngasih apa yang nggak pernah
kamu kasih ke aku,” sahut Wilian.
PLAK ...!
Telapak tangan Yuna
mendarat dengan keras di pipi Wilian. Ia masih berharap Wilian akan menyesali
perbuatannya. Tapi, tidak terlihat penyesalan sedikit pun dari wajah Wilian.
Wilian tersenyum kecil
sambil memegangi pipinya. “Sebaiknya kamu pergi dari sini dan jangan pernah
ganggu kami!” pintanya.
“Kalian bener-bener
menjijikkan!” seru Yuna.
Yuna menghentakkkan
kaki dan berlari keluar dari kamar Wilian. Meninggalkan air mata kepedihan yang
berjatuhan di lantai kamar Wilian. Dadanya terasa sangat sesak dan sakit.
Hatinya tercabik-cabik dan jatuh berkeping-keping saat keluar dari halaman
rumah Wilian.
“Dasar cowok brengsek!
Ngeselin! Nyebelin!” seru Yuna. Ia melempar kotak hadiah dan menginjak-injak
sampai tak berbentuk lagi.
Yuna mengusap air mata
saat melihat seseorang sedang membakar sampah di tepi jalan perumahan. Ia
langsung mengambil hadiah yang sudah ia injak-injak, perlahan ia mendekati api
dan memasukkan hadiah ke dalam api yang sedang berkobar.
“Aku sudah menghabiskan banyak
waktu bikin sweeter rajut ini. Sikapmu hari ini bener-bener udah bikin semuanya
jadi abu. Bahkan aku nggak akan pernah lihat kamu pake ini.”
“Ngapain sih aku nangisin cowok
brengsek kayak dia!” teriak Yuna. Tapi, air matanya tetap saja jatuh berderai. Yuna
merogoh ponsel di saku celananya. “Jhen, kamu di mana?” tanyanya begitu Jheni
menjawab telepon.
“Huaa ... temenin aku
jalan!” pinta Yuna.
“Kamu kenapa?” tanya
Jheni.
“Temenin aku ke bar
sekarang juga! Aku mau cerita di sana.”
“Kamu di mana
sekarang?”
“Masih di pinggir
jalan, deket rumah Lian.”
“Aku jemput kamu di
sana!” Jheni langsung mematikan sambungan teleponnya.
Yuna menaikkan kedua
alisnya begitu panggilannya terputus. Ia menunggu beberapa saat sampai mobil
Jheni datang menghampirinya.
Yuna langsung
menyandarkan kepalanya begitu masuk ke dalam mobil Jheni. Kepalanya terasa
berdenyut dan kelopak matanya seperti menahan beban puluhan kilogram.
“Kamu baik-baik aja?”
tanya Jheni.
Yuna menganggukkan
kepala.
Jheni tak banyak
bertanya. Ia menyalakan mesin mobil dan bergegas pergi ke bar, tempat ia dan
Yuna biasa menghabiskan waktunya bersama.
Sesampainya di bar,
Yuna langsung memesan sepuluh botol bir.
“Yun, kamu beneran
pesen bir sebanyak ini?”
Yuna tersenyum. Ia
membuka salah satu tutup botol bir yang sudah ada di hadapannya. “Malam ini,
aku pengen senang-senang!” serunya.
Jheni hanya tersenyum
kecil sambol memerhatikan Yuna yang terus menenggak bir satu per satu di hadapannya.
“Yun, sebenarnya kamu
kenapa?” tanya Jheni.
Yuna memangis
sejadi-jadinya di
tengah hiruk-pikuk bar.
“Yun, jangan nangis
kayak gini!” pinta Jheni berbisik sambil mengedarkan pandangannya. “Ntar dikira
aku yang macem-macemin kamu!”
Yuna sesenggukan.
“Lian, Jhen ... Lian!” seru Yuna yang sudah mulai dipengaruhi alkohol.
“Iya. Lian kenapa?”
“Aku sengaja nggak
kasih tahu dia kalo aku pulang sore ini. Rencananya, aku mau kasih kejutan. Aku
udah siapin sweeter yang aku rajut sendiri. Aku harap dia bisa seneng sama
hadiah yang aku kasih dan secepatnya ngelamar aku. Tapi ... malah aku yang
dibuat terkejut,” tutur Yuna bersama derai air mata.
“Waktu aku dateng ke
rumahnya, dia lagi asyik main di ranjang sama Bellina.” Tangis Yuna makin
menjadi.
“What!? Bellina sepupu
kamu itu?”
Yuna menganggukkan
kepala.
“Tega banget sih dia!
Bener-bener nggak punya perasaan. Dia tahu kan kalo kamu pacarnya Lian?” Jheni ikut
tersayat melihat penderitaan Yuna.
Yuna mengerucutkan
bibir dan menjatuhkan wajahnya ke atas meja. Ia menatap botol bir yang ada di
hadapannya. “Aku kurang apa sih? Kenapa Lian sampe selingkuh di belakang aku?
Lebih parahnya lagi, dia udah selingkuh sama Belli sejak tujuh tahun belakangan
ini.”
“Kamu yang sabar ya!”
Jheni mengelus rambut Yuna perlahan. “Mungkin, Tuhan punya rencana yang lebih
indah. Lian bukan cowok yang baik buat kamu. Pasti ada cowok yang bisa lebih
menghargai dan mencintai kamu lebih dari apa pun.”
Yuna tersenyum kecil. “Apa
aku masih pantes buat dicintai? Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi. Bellina,
keluargaku satu-satunya malah nusuk aku dari belakang. Lian, satu-satunya orang
yang aku harap bisa nemenin aku, ternyata dia malah milih cewek lonte itu.”
Yuna menertawakan
dirinya sendiri. “Aku memang payah!” celetuknya. Ia terus menenggak bir yang
ada di hadapannya.
Jheni menatap Yuna,
hatinya ikut tersayat melihat sahabatnya begitu menderita. Matanya terasa
perih, ia tak bisa lagi membendung air matanya untuk Yuna. Ia langsung
merengkuh tubuh Yuna yang mungil. Begitu banyak penderitaan yang telah ia
saksikan dalam hidup Yuna. Ia harap, sahabatnya itu bisa menemukan kebahagiaan.
“Yun, aku harap akan
ada orang yang bisa mengeluarkan kamu dari penderitaan-penderitaan yang sudah
kamu alami selama ini. Kamu perempuan yang baik, kenapa harus terus menderita
seperti ini?” tuturnya Jheni lirih.
(( Bersambung ... ))
Baca terus kisah seru
mereka ya! Jangan lupa kasih komentar juga biar aku makin semangat nulis dan bikin
ceritanya lebih seru lagi. Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal
bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya!
Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment