Wednesday, January 22, 2025

Bab 1 - Perselingkuhan yang Kejam

 


“Na ... na ... na ... na ...” Yuna melenggang memasuki rumah Wilian. Di tangan kirinya tergantung sebuah paper bag berisi hadiah yang yang sengaja ia siapkan untuk pacarnya.

 

Yuna menghentikan langkah kaki saat mendengar suara wanita mendesah dan mengerang dari arah kamar Wilian. Dari ujung dahinya keluar keringat dingin dan dadanya naik turun lebih cepat dari biasanya.

 

Perlahan, Yuna melangkahkan kaki menyusuri lorong menuju kamar Wilian. Langkahnya kembali terhenti saat kakinya menginjak kain yang tercecer di lantai. Yuna membungkukkan badan dan mengambil kain dari bawah kakinya.

 

Yuna membelalakkan mata saat melihat mini dress yang ada di tangannya. Ia meremas mini dress tersebut sambil mengeratkan gigi-giginya. Tanpa banyak berpikir, ia langsung melangkahkan kaki dan membuka lebar pintu kamar Wilian yang sudah terbuka selebar lima sentimeter.

 

 “Ya Tuhan ...! Dugaanku bener,” bisik Yuna dalam hati sambil menatap Wilian dan sepupunya yang sedang asyik melakukan hubungan suami-istri.

 

“Ternyata ini yang kalian lakuin di belakang aku!” seru Yuna.

 

Wilian dan Bellina langsung menghentikan aksinya, mereka menoleh ke arah Yuna bersamaan. “Yuna?” Mereka saling pandang, sama sekali tidak menyangka kalau Yuna akan datang saat mereka sedang bersenang-senang.

 

Wilian langsung melepas alat vitalnya dari tubuh Bellina dan bergegas mencari CD miliknya yang berserak di lantai kamar.

 

“Yuna, kamu kapan datangnya? Kenapa nggak kabarin aku dulu?” tanya Wilian sambil mengenakan pakaiannya dan melangkah mendekati Yuna.

 

“Kalo aku kabarin dulu, aku nggak akan tahu kelakuan asli kamu di belakangku!” seru Yuna dengan mata memerah.

 

Wilian terdiam sesaat.

 

“Kamu nyari ini?” tanya Yuna sambil melemparkan mini dress di tangannya ke arah Bellina.

 

“Yun, maafin aku. Aku nggak bermaksud buat ...”

 

“Diam kamu!” sentak Yuna.

 

“Sejak kapan kalian main di belakang aku?” Yuna menatap wajah Wilian penuh amarah.

 

Wilian hanya menundukkan kepala.

 

“JAWAB! SEJAK KAPAN KALIAN KAYAK GINI DI BELAKANG AKU!” Nada suara Yuna makin meninggi.

 

Bellina tersenyum sinis. Ia merasa, tak perlu lagi menyembunyikan hubungan gelapnya di depan Ayuna. Perlahan, ia melangkahkan kaki dan bergelayut manja di tubuh Wilian.

 

“Kita udah kayak gini sejak tujuh tahun yang lalu,” tutur Bellina sambil tersenyum ke arah Yuna. “Iya kan, Sayang,” lanjutnya sambil menatap Wilian penuh kehangatan.

 

Mata Yuna terasa sangat perih, di setiap sudutnya mengeluarkan air mata yang tak bisa ia bendung lagi.

 

“Brengsek kamu ya! Selama itu kamu main di belakang aku dan masih bilang kalau kamu bakal ngelamar aku!?” seru Yuna sambil mendorong dada Wilian yang bidang.

 

Dada Yuna semakin sesak dan sakit sehingga membuatnya sulit mengeluarkan kalimat untuk memaki dua orang yang ada di hadapannya.

 

“Seharusnya kamu sadar diri, kenapa pacar kamu bisa selingkuh!” sahut Bellina.

 

“Kamu yang sadar diri! Kamu lihat-lihat dong, Lian itu pacarnya siapa! Dia itu pacar aku, Bel. Saudara kamu sendiri!” teriak Yuna sesenggukan.

 

Bellina tersenyum sinis menatap Yuna. “Pacar? Pacar yang nggak bisa ngasih kepuasan buat pacarnya sendiri? Kamu itu cuma pajangan buat Lian, nggak bisa ngasih kenikmatan dan kesenangan buat dia.”

 

“Lian ... bener apa kata dia?” Yuna menatap Lian bersama derai air mata.

 

Wilian menganggukkan kepala.

 

“Kamu bilang sayang ke aku, selama ini bohong!? Kamu bilang mau ngelamar aku, itu juga bohong!?”

 

Wilian terdiam.

 

“Aku jauh-jauh datang dari Melbourne buat kasih kamu kejutan. Aku selalu setia sama kamu dan berharap kalo kamu bakal ngelamar aku saat aku pulang. Tapi kamu malah kayak gini. Kenapa kamu tega ngelakuin ini semua? Kenapa?” tutur Yuna sesenggukan.

 

“Karena aku lebih sayang sama Bellina daripada sama kamu. Dia bisa ngasih apa yang nggak pernah kamu kasih ke aku,” sahut Wilian.

 

PLAK ...!

 

Telapak tangan Yuna mendarat dengan keras di pipi Wilian. Ia masih berharap Wilian akan menyesali perbuatannya. Tapi, tidak terlihat penyesalan sedikit pun dari wajah Wilian.

 

Wilian tersenyum kecil sambil memegangi pipinya. “Sebaiknya kamu pergi dari sini dan jangan pernah ganggu kami!” pintanya.

 

“Kalian bener-bener menjijikkan!” seru Yuna.

 

Yuna menghentakkkan kaki dan berlari keluar dari kamar Wilian. Meninggalkan air mata kepedihan yang berjatuhan di lantai kamar Wilian. Dadanya terasa sangat sesak dan sakit. Hatinya tercabik-cabik dan jatuh berkeping-keping saat keluar dari halaman rumah Wilian.

 

“Dasar cowok brengsek! Ngeselin! Nyebelin!” seru Yuna. Ia melempar kotak hadiah dan menginjak-injak sampai tak berbentuk lagi.

 

Yuna mengusap air mata saat melihat seseorang sedang membakar sampah di tepi jalan perumahan. Ia langsung mengambil hadiah yang sudah ia injak-injak, perlahan ia mendekati api dan memasukkan hadiah ke dalam api yang sedang berkobar.

 

Aku sudah menghabiskan banyak waktu bikin sweeter rajut ini. Sikapmu hari ini bener-bener udah bikin semuanya jadi abu. Bahkan aku nggak akan pernah lihat kamu pake ini.”

 

Ngapain sih aku nangisin cowok brengsek kayak dia!” teriak Yuna. Tapi, air matanya tetap saja jatuh berderai. Yuna merogoh ponsel di saku celananya. “Jhen, kamu di mana?” tanyanya begitu Jheni menjawab telepon.

 

“Huaa ... temenin aku jalan!” pinta Yuna.

 

“Kamu kenapa?” tanya Jheni.

 

“Temenin aku ke bar sekarang juga! Aku mau cerita di sana.”

 

“Kamu di mana sekarang?”

 

“Masih di pinggir jalan, deket rumah Lian.”

 

“Aku jemput kamu di sana!” Jheni langsung mematikan sambungan teleponnya.

 

Yuna menaikkan kedua alisnya begitu panggilannya terputus. Ia menunggu beberapa saat sampai mobil Jheni datang menghampirinya.

 

Yuna langsung menyandarkan kepalanya begitu masuk ke dalam mobil Jheni. Kepalanya terasa berdenyut dan kelopak matanya seperti menahan beban puluhan kilogram.

 

“Kamu baik-baik aja?” tanya Jheni.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Jheni tak banyak bertanya. Ia menyalakan mesin mobil dan bergegas pergi ke bar, tempat ia dan Yuna biasa menghabiskan waktunya bersama.

 

Sesampainya di bar, Yuna langsung memesan sepuluh botol bir.

 

“Yun, kamu beneran pesen bir sebanyak ini?”

 

Yuna tersenyum. Ia membuka salah satu tutup botol bir yang sudah ada di hadapannya. “Malam ini, aku pengen senang-senang!” serunya.

 

Jheni hanya tersenyum kecil sambol memerhatikan Yuna yang terus menenggak bir satu per satu di hadapannya.

 

“Yun, sebenarnya kamu kenapa?” tanya Jheni.

 

Yuna memangis sejadi-jadinya di tengah hiruk-pikuk bar.

 

“Yun, jangan nangis kayak gini!” pinta Jheni berbisik sambil mengedarkan pandangannya. “Ntar dikira aku yang macem-macemin kamu!”

 

Yuna sesenggukan. “Lian, Jhen ... Lian!” seru Yuna yang sudah mulai dipengaruhi alkohol.

 

“Iya. Lian kenapa?”

 

“Aku sengaja nggak kasih tahu dia kalo aku pulang sore ini. Rencananya, aku mau kasih kejutan. Aku udah siapin sweeter yang aku rajut sendiri. Aku harap dia bisa seneng sama hadiah yang aku kasih dan secepatnya ngelamar aku. Tapi ... malah aku yang dibuat terkejut,” tutur Yuna bersama derai air mata.

 

“Waktu aku dateng ke rumahnya, dia lagi asyik main di ranjang sama Bellina.” Tangis Yuna makin menjadi.

 

“What!? Bellina sepupu kamu itu?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Tega banget sih dia! Bener-bener nggak punya perasaan. Dia tahu kan kalo kamu pacarnya Lian?” Jheni ikut tersayat melihat penderitaan Yuna.

 

Yuna mengerucutkan bibir dan menjatuhkan wajahnya ke atas meja. Ia menatap botol bir yang ada di hadapannya. “Aku kurang apa sih? Kenapa Lian sampe selingkuh di belakang aku? Lebih parahnya lagi, dia udah selingkuh sama Belli sejak tujuh tahun belakangan ini.”

 

“Kamu yang sabar ya!” Jheni mengelus rambut Yuna perlahan. “Mungkin, Tuhan punya rencana yang lebih indah. Lian bukan cowok yang baik buat kamu. Pasti ada cowok yang bisa lebih menghargai dan mencintai kamu lebih dari apa pun.”

 

Yuna tersenyum kecil. “Apa aku masih pantes buat dicintai? Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi. Bellina, keluargaku satu-satunya malah nusuk aku dari belakang. Lian, satu-satunya orang yang aku harap bisa nemenin aku, ternyata dia malah milih cewek lonte itu.”

 

Yuna menertawakan dirinya sendiri. “Aku memang payah!” celetuknya. Ia terus menenggak bir yang ada di hadapannya.

 

Jheni menatap Yuna, hatinya ikut tersayat melihat sahabatnya begitu menderita. Matanya terasa perih, ia tak bisa lagi membendung air matanya untuk Yuna. Ia langsung merengkuh tubuh Yuna yang mungil. Begitu banyak penderitaan yang telah ia saksikan dalam hidup Yuna. Ia harap, sahabatnya itu bisa menemukan kebahagiaan.

 

“Yun, aku harap akan ada orang yang bisa mengeluarkan kamu dari penderitaan-penderitaan yang sudah kamu alami selama ini. Kamu perempuan yang baik, kenapa harus terus menderita seperti ini?” tuturnya Jheni lirih.

 

 

(( Bersambung ... ))

Baca terus kisah seru mereka ya! Jangan lupa kasih komentar juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas