Saturday, October 5, 2024

Kaya Harta Tapi Tak Kaya Hati





 Penting mana? Kaya harta atau kaya hati?

Mayoritas orang pasti akan memilih kaya harta. Karena dengan harga, kita bisa punya segalanya. Orang yang banyak harta, bisa makan enak setiap hari, tinggal di rumah mewah, punya kendaraan mewah, mau pergi ke mana pun tidak pusing memikirka ongkos. Enak, kan?

Tapi, ada tidak enaknya juga ketika orang yang kaya harta, tidak dibarengi dengan kaya hati. Karena orang sekaya apa pun, dia akan meninggalkan hartanya pada waktunya nanti. Dia tidak akan diingat oleh orang lain ketika tidak memiliki hati yang baik terhadap orang-orang di sekelilinya.

Di dalam sebuah lingkungan sosial, biasanya ada orang yang sangat kaya, tapi tak pandai berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang-orang di sekelilingnya. Hubungan dengan tetangga tidak buruk, tapi tidak baik juga.

Biasanya, seseorang yang merasa dirinya sudah berkecukupan, akan menciptakan garis batas antara dirinya dan orang-orang di sekelilingnya yang dianggap tidak setara. Sehingga, ada dinding besar dan tinggi di antara mereka. Kalau tinggal di perkotaan, mungkin tidak akan begitu kontras karena rata-rata orang perkotaan memiliki karakter individualis. Akan berbeda dengan orang kaya yang tinggal di pedesaan.

Orang kaya dan orang biasa di pedesaan akan terlihat sangat kontras. Kenapa? Karena orang-orang di desa memiliki jiwa kebersamaan dan kepedulian yang tinggi. Sehingga, orang desa sangat menjunjung tinggi rasa gotong-royong. Contohnya, ketika memiliki hajat/acara. Biasanya orang di pedesaan akan bergotong-royong bersama untuk mewujudkan acara sang pemilik hajat.

Cukup lama tinggal diperkotaan, kita akan merasakan bagaimana rasanya menjadi makhluk yang individualis dan tak acuh pada orang-orang sekelilingnya. Bahkan, ada saja warga yang tidak saling mengenal, meski jarak rumah mereka cukup dekat. Ketika memiliki hajat atau acara, jarang sekali masyarakatnya bergotong-royong, orang Jawa menyebutnya rewangan. Yah, mungkin ada yang rewang, tapi hanya keluarga dekat saja. Menggelar acara pernikahan, bahkan tidak lebih dari lima orang yang membantu.

Bayangkan, ketika kita hidup individualis, semuanya akan terasa sangat berat karena semua pekerjaan harus ditanggung seorang diri. Tidak banyak yang membantu ketika memiliki hajat. Jangankan hajat, ketika sedang mengalami kemalangan, juga tak banyak orang yang membantu. Bahkan, tetangga sebelah saja tidak muncul untuk membantu jika tidak dimintai pertolongan. Kan, lucu. Orang yang sedang kemalangan, harusnya mendapatkan bantuan dari tetangga-tetangganya tanpa diminta. Artinya, tetangga akan membantu tanpa pamrih ketika mereka memiliki kepedulian. Tapi karena tidak memiliki kepedulian, maka akan mementingkan dirinya sendiri.

Lebih penting mana? Bekerja mencari uang atau membantu tetangga yang tidak menghasilkan uang?

Ketika kita berpikir menggunakan logika, tentunya kita akan memilih untuk bekerja mencari uang. Sebab, kebutuhan hidup harus kita tanggung sendiri, tidak ditanggung oleh tetangga. Namun, ketika berpikir menggunakan hati yang luas sebagai makhluk sosial, maka kita akan memilih untuk membanti tetangga, semampu kita.

Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Tidak ada satu pun manusia yang bisa melakukan semuanya sendiri. Manusia butuh makan, butuh pakaian, butuh tempat tinggal, dan lainnya yang tidak bisa dikerjakan sendiri. Tidak ada manusia yang bisa membuat baju, memasak, bertani, beternak, dan semuanya sekaligus. Oleh karena itu, manusia disebut sebagai makhluk sosial. Sayangnya, di zaman modern ini, peran sosial masyarakat mulai tergerus dan banyak manusia untuk memilih hidup secara individualis.

Sebenarnya, tidak ada manusia yang benar-benar mampu untuk hidup individualis. Semuanya saling membutuhkan. Sehingga, kegiatan gotong-royong yang sudah diwariskan oleh nenek-moyang kita, harus bisa dijaga dan dilestarikan.

Kegiatan gotong-royong, biasanya tidak dilakukan oleh orang yang kaya. Mereka punya uang. Lebih baik mengeluarkan uang daripada bergotong-royong. Sehingga, mereka kehilangan sebuah ikatan antar manusia sebagai makhluk sosial. Ketika hubungan sosial manusia bermasalah, tentunya akan membuat manusia itu kesulitan. Artinya, mereka harus bekerja keras menghasilkan uang yang lebih banyak dari orang lain. Agar mereka bisa membayar jasa lebih banyak lagi untuk melancarkan semua urusannya.

Hal ini tentunya akan berbeda ketika manusia memiliki hubungan sosial yang baik di masyarakat. Terkadang, tidak perlu mengeluarkan banyak uang saat memiliki hajat karena semua tetangganya ikut membantu. Mungkin, tetangga atau teman tidak membantu banyak. Tapi jika yang membantu banyak, tentu bantuan itu sangat cukup, bahkan bisa lebih. Sehingga, semua berjalan lancar dan terasa berkecukupan.

Dalam beberapa kasus sosial, kerap ditemukan perbedaan kontras antara si kaya dan si miskin saat mereka menggelar hajatan. Beberapa orang yang terlihat kaya, memiliki rumah bagus, kendaraan bagus, juga pekerjaan bagus, tidak mampu untuk memberikan jamuan yang lebih baik dan sangat terbatas. Sedangkan orang yang dianggap miskin, biasanya sangat berhati-hati dengan penilaian orang dan mampu memberikan jamuan lebih layak dari si kaya.

Tidak semua orang kaya bersikap individualis. Masih banyak juga orang kaya yang sangat senang berbaur dengan masyarakat. Tetapi, di era sekarang ini, mayoritas orang kaya bersifat individualis. Sehingga, mereka menyulitkan diri sendiri di masa depan ketika mereka sudah tua, sakit, atau kehilangan hartanya. Karena mindset mereka adalah harta dan keturunan-keturunannya juga hanya akan mementingkan harta, bukan hubungan sosial.

Ketika kita tidak memiliki kekuatan finansial, maka kita harus bisa memiliki kekuatan sosial. Meski tidak menjadi kaya raya, tapi akan memberikan jalan kemudahan untuk berbagai hal. Oleh karenanya, berlatihlah untuk menjalin hubungan sosial yang baik agar hidup kita terasa berharga di masa depan, terutama ketika kita sudah tiada, kita akan diingat sebagai apa oleh orang-orang di sekitar kita. Jiks kita ditakdirkan menjadi orang kaya, maka jadilah orang kaya yang kaya hati.


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas