SESUNGGUHNYA
KITA MASIH DIJAJAH
Penulis:
N. Laila
Makna kemerdekaan adalah bebas dari
penjajah. Namun, apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka dari segala
bentuk penjajahan?
“Berapa kompensasi yang
kudapat jika terjadi kesalahan teknis?”
Astaga, sontak aku
berpikir Ibu terlalu lembek mendidikku. Wajahnya lebih dingin dari arak yang
dihidangkan di meja kami.
Arthuro merupakan orang pribumi
yang dilahirkan dengan nama depan terlalu Latin dan perawakan setengah Eropa.
Matanya terlihat bengis dan rahang yang membuat iri para preman pasar. Ia
datang ke perusahaan sebagai subjek penelitian eksperimen.
Pada hari pertama
perjumpaan kami, setelannya lebih rapi daripada bosku sendiri. Kemeja putih,
celana bahan hitam, sepatu hitam. Kalau kau bekerja di Microsoft atau Delta Air
Lines, busana seperti itu akan sangat normal. Namun, aku bekerja di sebuah perusahaan
OSCORP dengan seorang bos yang bisa datang menggunakan kaus polo Ralph Lauren
dan pulang “berseragam” LA Lakers. OSCORP merupakan sebuah perusahaan pelopor
teknologi yang memiliki keahlian penuh dalam segala hal sains mulai dari
robotika hingga genetika.
“Ah, Bara, sepertinya
rekor datang pagimu punya penantang sekarang,” cibir bosku yang kini tampak
terlalu konvensional dalam segi apa pun. Ya, ketika aku datang, Arthuro sudah
duduk sendirian di sofa lobi kantor.
Arthuro menatapku sambil
tersenyum dingin. “Saya sudah menandatangani surat persetujuan subjek
eksperimen dan menyetujui semua peraturan perusahaan. Dia memberimu delapan.
Tapi kalau kau bisa mendapat lima saja, saya bisa membuang
obat tidur ke kloset.”
Darahku menjadi dingin.
Aku melongok ke arah bosku untuk menuntut penjelasan. Apakah wajahku memiliki
citra pelawak sehingga ia malah tertawa?
“Bara,” panggilnya, menepuk
pundakku. Dua minggu bukan waktu yang cukup untuk membiasakan diri dengan gaya
bicaranya yang singkat menusuk. “Kautemani Arthuro pergi menguji kelayakan
mesin. Meski secara fisik bangsa Indonesia telah merdeka sejak 1945, tetapi
kita masih dijajah oleh teknologi yang semakin hari kian berkembang. Perkembangan
teknologi yang maha dahsyat itu telah berhasil menjajah generasi muda.”
“Santai saja. Saya
berharap jawabannya tidak, kok. Kalau kau berhasil pulang dengan
membawa dampak baik, bukan hanya delapan, tetapi sepuluh miliar pun menjadi
milikmu,” lanjut bosku.
Kami diberi waktu satu
pekan untuk mempersiapkan diri menjadi tikus praktikum sebelum dieksekusi. Aku
tidak berperan sebagai relawan uji klinis vaksin yang dijamin asuransi kesehatannya.
Melainkan, sebuah apel di atas kepala seseorang yang hendak dipanah, kembali
utuh atau tidak, bergantung kepada keberuntungan. Sampai tibalah saatnya di
mana aku dan Arthuro bermain dengan kematian.
Terowongan mesin waktu
atau yang kami sebut “Wormhole” tampak seperti mimpi buruk di kepala
anak-anak. Terowongan sempit dengan kedua ujung lebih lebar—mirip dua buah
corong yang bagian kecil ujungnya saling terhubung—merupakan ciptaan sekelompok
ilmuwan OSCORP dibuat dengan menyimulasikan dua foton, partikel tunggal cahaya
dasar yang dapat berinteraksi ketika melakukan perjalanan waktu.
Arthuro menepuk pundakku
cukup keras. “Tidak perlu takut mati. Bukankah kau percaya Tuhan? Jika belum
saatnya mati, tubuh tanpa kepala pun kau masih bisa berjalan.”
Apakah hidup baginya hanya
sebuah lelucon? Hidup dan mati memang di tangan Tuhan, tetapi alat di depan
kami ini tidak bedanya media untuk bunuh diri.
Bosku mulai mengatur tujuan
hari, tanggal, bulan, dan tahun yang akan dikunjungi, tetapi tidak memberi tahu
kami secara detail. “Tenanglah, Bara. Obyek astronomis ini selaras dengan teori
Relativitas Umum dan Mekanika Umum Albert Einstein. Apa yang perlu diresahkan?”
cetusnya.
“Kenapa tidak Bos saja
yang coba?” Ia hampir menampar mulutku dengan sepatu.
Tentunya, kami tidak
langsung dibuang bertelanjang badan seperti kotoran. Kemungkinan tubuh kami akan
hancur lebur dalam se per sekian detik ketika meluncur di wormhole.
Ada mesin khusus serupa kapsul dengan bodi terbuat dari zirkonium berlapis
boron. Aku dan Arthuro berbaring di mesin tersebut secara terpisah dengan
tingkat keamanan sempurna. Sabuk pengaman ini nyaris membuatku kesulitan
memperoleh oksigen dan membuang karbon dioksida.
Mesin meluncur memasuki terowongan
penjelajah waktu yang gelap dan mengeluarkan bunyi dengung menakutkan—seperti bunyi
“ng” yang sangat panjang tanpa waktu jeda. Sontak aku berpikir inilah
rasanya kematian, dilingkupi kegelapan dan ketakutan. Ibu pernah mendidikku
untuk “survive alone”. Boleh jadi hari ini banyak yang
menyayangiku, tetapi, “In the end of the day, just you, and yourself,” tuturnya.
Kami terkatung-katung di
dalam wormhole selama beberapa jam, sebelum akhirnya mendarat di sebuah
hutan atau perbukitan pada malam hari.
Arthuro tidak menjawab pertanyaanku.
Di mana ini? Tahun berapakah? Mengapa begitu pekat bau anyir darah? Aku
merinding sekujur badan, tetapi ia tetap terlihat gagah sambil menutup hidung
dengan kerah kemejanya. Kami menelusuri tempat ini dengan bantuan korek api, gelap
dan sepi. Namun, isi kepalaku ribut dihantui teriakan-teriakan pilu yang
mungkin saja hanya halusinasi semata.
Kami menemukan sebuah pos
jaga. Pria berperawakan gagah dengan tinggi sekitar 160 cm, memakai seragam hansip,
dan kumis tebal yang melintang, lantas mencegat kami. “Cepat kenakan seragam! Sebentar
lagi rombongan truk yang membawa pesakitan ke lokasi pembantaian akan segera sampai!”
perintahnya tiba-tiba.
“Kenapa diam? Bukankah
kalian hansip baru yang dikirim kantor camat untuk ditempatkan di sini? Kami
kekurangan petugas!” Tatapan pria itu seperti hendak menelan kami hidup-hidup.
“Ya!” jawab Arthuro.
Cukup lama aku membatu
untuk mencerna setiap kalimat yang dikatakan pria itu. Namun, mengapa Arthuro
mengiyakannya begitu saja?
Kami berganti pakaian. Diam-diam
Arthuro memberi penjelasan lewat petunjuk yang didapatkannya dalam tabel jadwal
harian jaga di dinding pos. “Kita berada di perbukitan Seulawah, pinggiran Kota
Sigli, Aceh pada Oktober tahun 1965. Itu artinya ....” Ia menjeda kalimatnya.
“Sedang terjadi penangkapan massal orang-orang komunis.”
“Dari mana kautahu?”
tanyaku.
Ia menoyor kepalaku. “Pemuda
yang berhasil dijajah teknologi akan melahirkan generasi yang bodoh.”
Ketika langit di atas
perbukitan Seulawah makin gelap gulita, jam sembilan malam rombongan truk yang
membawa para tahanan tiba di pos jaga. Mereka yang membawa orang-orang putus
asa itu merupakan TNI, polisi, polisi militer, dan Pertahanan Sipil (Hansip) dari
kecamatan. Aku turut dipaksa ikut menjadi algojo yang bermain di lokasi
pembantaian. Sungguh, ini seperti mimpi buruk, dan aku tidak bisa melakukan apa-apa.
“Kalau tidak mati atau
lepas kepalanya, potong lagi! Tarik rambutnya, potong lagi!” teriak seorang
tentara lengkap dengan seragam, sepatu hitam, dan topi pet.
Tidak berpanjang-panjang
Arthuro mengayunkan parang sebanyak dua kali ke tengkuk tahanan hingga
kepalanya terpisah. Sontak aku merasa mual dan lemas. Rasa dingin mengalir di
punggungku. Gelombang ketakutan merambat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku
lumpuh seketika.
Mereka yang hendak
dieksekusi itu duduk satu per satu, kakinya masuk ke dalam lubang pembuangan
mayat. Mereka adalah orang-orang sial yang dituduh anggota, simpatisan, dan ada
kaitannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), atau bagian dari Gerakan
Wanita Indonesia (Gerwani). Laki-lakinya hanya mengenakan kaus putih dan kain sarung.
Perempuan mengenakan kebaya, sebagian dari mereka adalah penari.
“Keluarkan!” Kali ini,
satuan polisi militer menggeledah tubuh tahanan dan menemukan sesuatu di kantong
bajunya. “Apa ini?!”
Ia menjawab dengan kepala
tegak dan sorot mata berani. “Kitab surat Yasin. Kami diperlakukan seperti
anjing. Biar Tuhan yang mengadili!”
“Mana ada Tuhan! Apa
Tuhan? Mana Tuhan?!” Hardikan terakhir sebelum parang diayunkan ke tengkuk
orang (yang dituduh) komunis itu.
Tidak ada satu orang pun
yang dieksekusi di tempat ini ditembak dengan senjata api. Semua orang-orang komunis
dihabisi sampai ke akar-akarnya menggunakan parang. Selain hemat peluru, juga untuk
menjaga kesenyapan tempat kejadian perkara karena operasi pembantaian dilakukan
secara “rahasia”.
Aku dipaksa memegang
parang oleh satuan tentara dan dibentak-bentak, diperintah untuk melanjutkan
pembantaian kepada orang-orang PKI. Betapa gemetar tanganku memperoleh alat
eksekusi yang telah berlumuran darah itu. Memegang pisau saja tidak pernah
benar. Di hadapanku adalah calon korban terakhir yang akan bersatu dengan empat
belas mayat tanpa kepala lainnya dalam satu lubang sempit. Setiap lubang berisi
antara tujuh sampai lima belas orang.
“Bunuh saya ... tapi kuburkan
saya sendiri supaya anak-anak saya bisa berziarah,” mohon sang eksekutor di
hadapanku sembari menempelkan jidatnya ke tanah.
Tubuhku hampir terguncang.
Perut memilin dan sulit untuk bernapas. Namun, perkataan lirih pria itu tidak
ada artinya bagi para algojo yang telah kehilangan hati nurani. Jiwa
kemanusiaan dalam diri mereka hilang. Semua yang kulihat bagaikan sayap patah jasad-jasad
yang bertumpukan di lubang. Tanpa mengalihkan tatapan dari wajah melankolis
korban, aku meminta maaf lewat isyarat mata dan gerakan bibir.
“Kau benar-benar berpikir
saya akan setuju dengan hal itu?” Tentara di sampingku menatapnya dengan
kepuasan bengis. “Potong saja!”
Aku melempar parang. Nilai
manusia di sini tidak lebih dari sebatas sapi yang disembelih. Anjing saja kalau
kita sayang waktu ia mati, masih bisa usaha. Ini manusia. Nyawa-nyawa ‘tak
lebihnya hama yang perlu ditumpas. Mereka dibasmi seperti kecoak. Kemudian,
Arthuro menggantikan posisiku. “Biar aku saja,” katanya, demi menyelamatkanku
dari amukan satuan militer.
Ketika tubuh korban
ditendang ke lubang, itu belum seberapa sakitnya ketimbang melihat
perempuan-perempuan yang dituduh anggota Gerwani. Mereka diperintahkan untuk
melucuti pakaiannya karena dicurigai memiliki cap Gerwani. Salah seorang
perempuan dengan nama Harum tetap mengaku tidak tahu-menahu. Ia hanyalah seorang
penari kampung yang sering diminta tampil di hajatan-hajatan.
“Ini dia Gerwani yang
mencukil mata para jenderal!”
“Ini tokoh Gerwani yang
menyileti penis jenderal!”
“Ini penari Harum Bunga!”
Tuduhan-tuduhan itu melayang
tanpa bukti yang jelas, hanya sentimen pribadi. Pembunuhan massal ini dilatari
pembunuhan tujuh jenderal di pulau Jawa, kudeta yang gagal, polarisasi politik
tingkat lokal, dendam pribadi, isu agama, hingga kampanye
militer untuk menghabisi orang-orang komunis sampai ke akar-akarnya.
Lubang-lubang pembantaian
memang menjadi ciri khas pembunuhan massal oleh PKI. Lubang Buaya adalah bukti autentik
aksi kejam PKI dengan Gerakan 30 September 1965. Tidak tanggung-tanggung tujuh
orang jenderal (Letjen TNI A. Yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI M.T.
Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen TNI D.I. Panjaitan, Brigjen TNI
Soetodjo Siswomihardjo, dan Lettu Pierre Andries Tendean), dimasukkan ke dalam
sumur. Para Gerwani dan Pemuda Rakyat bersorak dan bergembira ria melihat para jenderal
dimasukkan ke dalam sumur di Lubang Buaya di Jakarta Timur.
“Buka ini beha, celana, berdiri
telanjang. Cari cap Gerwani di pantat atau di mana!” perintah algojo kepada
kami. Jika perempuan-perempuan itu melakukan perlawanan, tidak
berpanjang-panjang leher mereka dipotong.
Harum masih menyangkal, “Demi
Tuhan saya tidak tahu cap Gerwani itu seperti apa. Hanya jarum dan benang bola
untuk menyulam masih ada di rumah.”
Pengakuan yang tidak
memuaskan hati algojo akan ditumpas. Salah seorang di antaranya wanita—ditusuk kemaluannya
dengan bambu runcing sampai tembus ke perut, lalu ditancapkan di tengah sawah
sehingga terlihat seperti pengusir burung pemakan padi. Tentunya para algojo
tidak menyia-nyiakan hidangan di depan mata begitu saja. Tubuh mereka dijarah
terlebih dahulu.
Proses eksekusi
berlangsung selama satu jam. Parang yang digunakan terbuat dari bahan campuran
emas, kemiti, dan jarum. Adapun gagangnya terbuat dari tanduk kerbau. Panjang
parangnya tidak lebih dari satu meter. Kalau terlalu panjang, tidak kencang.
Kalau pendek, kencang.
Kami para petugas pos—di
antaranya polisi—kemudian menerima laporan jumlah korban berikut nama-namanya. Tidak
semua orang-orang yang dituduh PKI dieksekusi mati di lokasi pembantaian,
ratusan lainnya digelandang ke sebuah penjara untuk menerima penyiksaan dan
kekejaman dari aparat militer.
***
“Tersesat jauh di masa
lalu adalah bencana.” Apa yang dikatakan Arthuro terdengar seperti kabar buruk.
Setelah pagi, kami
mengecek mesin perjalanan waktu yang terdampar cukup jauh dari lokasi
pembantaian, tetapi aroma darah masih saja menguar. “Bagaimana caranya kita
pulang?” tanyaku.
Arthuro mendengkus. Wajah
dinginnya tidak pernah memberi harapan baik. “Jika blackhole sebagai
pintu masuk, maka whitehole adalah pintu keluar. Ketika lubang hitam
mulai terbentuk hingga mencapai batas tertentu, lubang hitam tersebut akhirnya
akan berubah menjadi lubang putih. Kita tunggu saja whitehole itu
muncul.”
Bagaimana ia bisa sesantai
itu hanya dengan persepsi pribadi yang belum jelas kebenarannya? Perilakunya
sangat berbanding terbalik denganku. Di mana, kehidupan ini benar-benar hanya
tempat lelucon baginya.
“Itu dia,” ujar Arthuro,
“masuk ke mesin sebelum lubangnya tertutup.”
“Tunggu! Tidakkah kita
meminta maaf terlebih dahulu kepada korban-korban pembantaian semalam?” Aku menerawang
jauh ke tempat kejadian perkara.
“Ya, tentunya.”
Jika di wormhole
kemarin tidak ada yang dapat kulihat selain warna hitam. Maka, di whitehole
ini bagaikan “Siksaan Ruang Putih” yang berefek brutal pada mental. Rasanya
kepalaku hendak meledak, tengkorak terangkat, dan akan pecah. Untungnya, ini
berjalan tidak begitu lama. Kami terlempar keluar dari whitehole di tempat
semula, perusahaan OSCORP pada tahun 2023.
“Haruskah kita temui Bos?”
tanyaku.
Ia menoyor kepalaku lagi.
“Dia tidak benar-benar membayar kita untuk menguji kelayakan mesin waktu. Dia mengirim
orang-orang sepertimu untuk mencintai sejarah. Mesin ini adalah alat teknologi
canggih masa depan untuk mengenalkan sejarah kepada generasi mendatang. Sebab,
sejarah akan terlupakan seiring berjalannya peradaban.”
Aku terpegun mendengar
penuturan Arthuro yang lugas dan berjiwa kepahlawanan. Ya, banyak tragedi Nusantara
memilukan yang menyertai derap langkah bumi pertiwi, yang akan diungkap terang
benderang oleh mesin perjalanan waktu ini. Mulai dari bencana politik
kemanusiaan, kerusuhan berbau SARA, konflik antar etnis, hingga korupsi.
Meski proklamasi
kemerdekaan telah dikumandangkan sejak 1945 dan berita lahirnya Republik
Indonesia telah menyeruak ke seantero dunia, kedaulatan tampaknya belum
sepenuhnya ada di tangan bangsa ini. September 1965, enam jenderal senior
diculik dan dibunuh di Pondok Gede, Jakarta, dalam peristiwa Pemberontakan G-30
S/PKI. Lalu, mayat mereka dimasukkan ke sumur tua yang kini dikenal dengan
Lubang Buaya.
Pada era 80-an, bumi Nusantara basah dan anyir
darah para korban Operasi Pemberantasan Kejahatan dengan modus penembakan
misterius alias Petrus. Para korban Petrus ditemukan dalam keadaan tangan dan
leher terikat. Kemudian, mereka dimasukkan ke karung dan ditinggal di tepi
jalan, depan rumah, dibuang ke sungai, gubuk, hutan, atau kebun.
Tahun 1989, wajah
Indonesia kembali berdarah. Kelompok-kelompok pengajian di Nusantara dianggap
subversif oleh penguasa. Mereka dinilai sebagai kelompok yang hendak
merencanakan gerakan makar dan bertentangan dengan Pancasila—yang karenanya
harus ditumpas.
Mesin ini merupakan Alat
Penolong Masa Depan sebagai media baru untuk generasi muda agar tidak
buta sejarah, mengantar mereka terjun langsung ke tahun-tahun kelam yang memilukan.
Pembelajaran sejarah cenderung membosankan jika hanya dijejali hafalan-hafalan seputar
materi. Kejadian masa lampau itu akan digali dan didalami melalui mesin waktu
sehingga dapat memahami makna suatu peristiwa sejarah.
Kini, media komunikasi
digital telah merambahi kehidupan manusia postmodern yang mengidap
berbagai penyakit kecanduan akibat kemajuan iptek, dan sastra cetak mulai
menampakkan tanda-tanda kejenuhan. Jika sejarah benar-benar dilupakan, maka
anak muda Indonesia akan kehilangan identitas, jati diri, dan memori
kolektifnya sebagai bangsa sehingga tidak lama kemudian NKRI akan bubar dengan
sendirinya.
Arthuro kemudian melempar
lima pertanyaan: Selain menjadi anggota PPKI, apa peran Achmad Soebardjo? Siapa
tokoh pemuda yang membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok dan
mendesak proklamasi? Siapa pemilik rumah perumusan naskah proklamasi? Siapa
tokoh barisan pemuda yang menyebarkan proklamasi dan membentuk komite aksi?
Tanggal berapa dan di mana Jepang dibom atom oleh Amerika Serikat?
Aku bergeming. Namun,
ketika ia bertanya siapa YouTuber nomor satu di Indonesia, aku bisa
menjawabnya dengan cepat dan tepat.
“Bukti bahwa teknologi telah
berhasil menjajah generasi muda dan mengganti otak manusia dengan otak udang
yang rendah moralitasnya,” cecar Arthuro seperti hendak mengulitiku
hidup-hidup. “Jadi, apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka?”
Bogor, 15 Agustus 2023
Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59765929
PROFIL
PENULIS
0 komentar:
Post a Comment