Meski Tidak Seperti
Cut Nyak Dhien
Penulis: Kim Sumi Ryn
Aku tersiksa melihat
semuanya berubah.
Mengapa kau tak mau
tahu?
Bagaimana hati ini
tanpamu.
Cintamu ....
Oh, di mana aku bisa
temui dirimu?
Yang dulu cinta dan
anggap aku ada.
Jika kau minta aku
menjauh,
hilang dari seluruh
memori indahmu.
Kan kulakukan semua,
walau tak mungkin
sanggup bohongi hatiku.
Suara alunan musik dan indahnya suara Mahalini mendadak berhenti. Aku yang
sedang sesegukan menangis, langsung menoleh ke samping. Menjijikkan sekali
sepertinya wajahku sekarang.
Terbukti ibu tiriku langsung melempar wajah ini dengan bantal. "Dasar
Cengeng!" umpatnya dengan wajah masam. Selalu begitu, kadang aku kesal
melihat wajah Nenek Sihir itu. Kalau bukan karena ayah aku tidak sudi tinggal
di rumah yang sudah bak neraka ini. "Cuma disuruh nyuci piring aja sampai
nangis-nangis kayak gitu? Udah enggak betah kamu di sini? Pergi aja sana,
tinggal sama ibu kamu yang Pelakor itu!"
Perempuan itu betul-betul selalu
membuat kepalaku ingin meledak. Pelakor dia bilang? Padahal dia sendirilah yang
merebut ayah dari ibu. Aku pun berdiri dengan dada sesak, menahan sakit yang
belum berkesudahan sejak hari dua minggu lalu. "Aku bakal pergi! Aku
enggak sudi tinggal sama perempuan enggak tahu malu kayak kamu! Aku bakal pergi
kalau ayah udah menceraikan kamu. Puas?!" Aku menunjuk perempuan berdaster
merah tersebut.
Ibu tiriku semakin meradang, dia
mendorong tubuh ini. "Pergi-pergi! Sana kamu pergi sekolah! Dasar Pemalas!
Disuruh ini itu enggak mau, bisanya molor doang." Akan begitulah dia,
kalau aku mengatakan perihal perceraian ayah dan dirinya.
"Sudah pergi sana!" Dia
kembali mendorong tubuhku. Untung saja aku sudah memakai tas, jadi bisa
langsung pergi dari hadapan perempuan itu. Dia lemah kalau menyangkut
hubungannya dengan ayah. Tentu saja, dia tidak mungkin mau kehilangan ayah
karena sedang mengandung.
Aku bisa saja memaksa ayah
menceraikan ibu tiriku atau bahkan melaporkan perempuan itu sebagai Pelakor,
sekarang kan ada hukumnya. Namun, tentu sebagai manusia aku mempunyai hati. Aku
tidak tega dengan janin yang ada di rahim ibu tiriku, meski karena kehadirannya
memporak-porandakan keluargaku.
Ah, sial! Aku sangat membenci
hidupku sendiri, kalau mengingat apa yang terjadi pada keluargaku sekarang.
Ayah menikahi pacarnya, karena pacarnya mengandung benih ayah. Kemudian, ayah
juga meninggalkan ibu. Ibu sekarang berada di rumah sakit karena depresi oleh
sikap ayah. Ayah masih bertanggung jawab dan membiayai pengobatan ibu, tapi
kalau aku mengingat keadaan sekarang malah semakin mengiris hatiku.
Dua minggu lalu tepatnya, perasaanku
kembali dihancurkan oleh seseorang yang sangat aku percaya. Dia adalah
kekasihku, lelaki yang aku anggap sempurna. Memiliki usia di atasku, tampak
dewasa, lembut, dan selalu memanjakanku. Sikap yang tidak pernah aku dapatkan
di rumah aku mendapatnya dari dia. Si Brengsek Johan! Iya, laki-laki itu
sekarang telah merubah pandanganku tentang laki-laki baik dan lembut. Dia yang
baik, lembut dan perhatian tidak selamanya memang betul-betul laki-laki yang
setia.
Johan pergi ke luar kota untuk
bekerja, katanya. Aku begitu percaya pada dia, karena sering melakukan video
call, tapi beberapa hari lalu seorang perempuan menghubungiku dan mengatakan
untuk menjauhi Johan. Kalian tahu siapa perempuan itu? Dia adalah istri Johan.
Dasar laki-laki Jahat! Aku yang tidak mau dicap sebagai Pelakor tentu saja
langsung memutuskan hubungan dengannya, meski laki-laki itu menolak. Aku tidak
peduli, dia sudah menghancurkan perasaanki.
Sakit sekali hatiku, selama di sini
dia selalu berjanji akan menikahiku, tidak peduli sekarang aku yang masih SMP,
katanya dia rela menunggu asal menikah denganku. Namun, semua itu hanya dusta
saja, perempuan itu mengatakan sudah menikah dengan Johan selama satu bulan.
Hah? Berarti aku sudah dibohongi Johan selama tiga puluh hari terakhir. Bodoh,
Rena! Aku benar-benar bodoh, bisa-bisanya aku tidak mengikuti saran Aira untuk
putus dengan Johan. Sekarang, aku merasakan sakit hati, karena benar ternyata
pacaran memang tidak ada manfaatnya, hanya menuai luka batin.
"Bodoh!" umpatku lirih
sambil menendang botol minuman di jalanan. "Kenapa aku begitu percaya sama
si Brengsek itu? Sekarang, dia bahkan enggak peduli sama aku yang udah
terlanjur sayang sama dia?" Aku kembali menangis. Sesak di dada rasanya
tak sanggup lagi aku tahan. Hubungan kami sudah ada satu tahun. Laki-laki itu
selalu baik bahkan tidak pernah menyentuh sembarangan padaku. Dia selalu ada
untukku, membantu urusan pelajaran bahkan mengantar jemput sekolah. Namun,
sekarang di mana dia?
Rasanya aku ingin menjerit
sekencang-kencangnya. Masalah di rumah tidak pernah selesai, tugas sekolah,
lalu sekarang pengkhianatan Johan. Sungguh dunia ini terasa menyakitkan untuk
anak remaja sepertiku. Aku hanya ingin bahagia, apa sesulit itu?
Ibu, aku ingin sekali kembali ke
masa lalu, di saat ibu masih sehat, ayah masih setia, keluarga kami masih utuh,
tidak ada si Nenek Sihir. Perih ini menyesakkan, setiap rasa sakit seolah
menghimpit dada, menyulitkan aku untuk bernapas.
Merasa kaki ini lemas, aku pun
terduduk, jongkok di pinggir jalan. Aku tidak peduli dan menenggelamkan wajah
di antara lutut. Kupuaskan menangis detik ini juga. Aku lelah.
"Rena!" Suara seorang
perempuan membuatku mendongkak. Mataku masih mengeluarkan bulir-bulir
kepedihan. Aku menatap Aira, lalu berdiri lekas memeluk sahabatku itu.
"Aira!" Tangisku pecah
dalam pelukan Aira. "Kamu bener, cowok yang kayak Johan itu bakal jadi
pengkhianat. Aku selalu berprasangka baik sama dia, aku pikir dia enggak
mungkin mengkhianati aku, dia baik. Tapi, kamu benar, Ra, laki-laki yang obral
janji bisa jadi pengkhianat dan pembohong. Aku salah, Ra. Aku sadar sekarang,
Johan udah jahatin aku."
"Maksud kamu apa, Re. Aku
bingung, kamu kenapa? Johan mengkhianati gimana?" Aira melerai pelukan.
Jemari dinginnya terasa mengusap pipiku.
"Si Johan nikah, Ra. Dia
ternyata pergi ke luar kota buat nikah, ninggalin aku. Kamu bener, dia cuma
basa-basi aja enggak sanggup LDR, nyatanya dia mau menikah sama perempuan
lain." Aku panjang lebar menceritakan sambil sesegukan menangis.
"Ya Allah, Ra." Perempuan
yang dua tahun lebih tua dariku itu kembali mengusap lembut air mata yang tak
mau berhenti ini. "Sabar, sabar, kamu masih diselamatkan Allah dari orang
yang salah."
"Maksud kamu apa? Aku sakit
hati." Sungguh memang agak aneh temanku satu ini. Kata-katanya memang
baik, tapi sabar untuk saat ini rasanya tidak semudah itu. "Ini sakit
banget, Ra. Aku bener-bener ngerasa enggak mau hidup, mau mati aja. Hidup aku
bener-bener sulit." Kembali aku menangis mengingat begitu banyaknya
penderitaan yang aku rasa. Nanti saja kalau pulang, Nenek Sihir itu pasti
mengomel lagi, karena ayah sedang kerja dinas. Aku benci perempuan itu! Aku
ingin ibu, ingin ibu sembuh.
"Bukan begitu, Ra. Aku mengerti
perasaan kamu. Tapi, jangan kamu jadikan alasan ujian hidup untuk menyerah dan
bunuh diri. Kok kamu yakin banget masalah kamu akan selesai dengan bunuh
diri?" Perempuan di depanku itu berbicara dengan nada lembut, tapi agak
sedikit menusuk.
"Hidup aku susah sejak ayah
menikah dengan si Nenek Sihir, ibu juga belum sembuh, malah makin parah sering
melamun. Belum lagi si Nenek Sihir yang suka nyuruh-nyuruh aku, ditambah si
Johan ninggalin aku demi perempuan lain. Gimana aku enggak mau nyerah, Ra?
Hidup aku udah enggak ada sandaran, aku udah enggak tahu harus berlindung sama
siapa?" ceritaku masih dengan dada berdebar-debar. Sakit ini betul-betul
menyakiti setiap sendi di tubuhku. Perut yang perih akibat belum sarapan juga
terasa semakin melilit.
"Aduh-duh." Tanganku
repleks menekan perut karena sudah begitu perih.
"Kenapa, Re? Kamu pasti telat
makan lagi, ya?" Aku melihat Aira tampak cemas. "Ayo-ayo kita sarapan
dulu."
***
Aku dan Aira makan di kantin
sekolah. Masih belum ramai sekolah di jam tujuh pagi. Hari ini adalah 17
Agustus. Rencananya memang tidak akan ada pelajaran, tapi akan ada upacara
bendera pukul delapan, setelahnya lomba-lomba.
Aku menghela napas melihat
bendera-bendera kecil yang diterpa angin. "Makasih, ya, Ra. Aku lupa minta
uang jajan tadi. Habis kesal sama si Nenek Sihir. Dia emang bakal ngasih uang,
tapi aku males denger omelannya."
"Iya, sama-sama, Re. Jadi,
gimana? Kamu sama Johan sekarang udah enggak kontekan?"
Sedikit denyutan menyakitkan terasa
di hati ini, tapi aku berusaha tegar, mengingat obrolan Aira di perjalanan tadi
membuatku sadar bahwa aku memang termasuk beruntung.
"Enggak. Enggak mau aku kenal
dia lagi. Cukup! Dia udah nyakitin aku, meskipun sakit, tapi aku enggak mau
jadi Pelakor." Aku menyeka air yang sudah menggenang di sudut mata.
"Alhamdulillah kalau gitu.
Sekarang, kamu lebih baik fokus belajar aja. Kita adalah pejuang untuk negara
kita. Masa di hari kemerdekaan ini hati kamu masih mau dijajah cinta yang
enggak jelas. Iya, emang luka kamu masih basah tapi enggak seharusnya kamu
terus berlarut-larut membiarkan luka itu," jelas Aira yang membuat aku menoleh
padanya.
"Iya, Ra, makasih, ya? Btw,
kata kamu, kamu mau bacain satu sejarah tentang pahlawan kita biar aku ada
motivasi hidup. Memang siapa tokoh itu?" Aku ingat tentang ucapan Aira
tadi, membuatku penasaran.
"Oh, itu. Sebentar." Aira
tampak mengambil buku dari tas, lalu dia membukanya. "Aku bacain,
ya?"
Aku hanya mengangguk dan bersiap
menyimak apa yang akan Aira baca.
"Jadi, ceritanya aku mau pidato
soal perempuan yang dijajah rasa cinta supaya jangan galau karena masalah
cinta." Aira terkekeh sebentar, mungkin menurutnya ini lucu, ya? Padahal
ini sangat menyakitkan bagiku. Kata-kata Aira seolah menyindir.
"Ketika Cut Gambang, anak Cut
Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu
memeluknya dan berkata:
“Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh
menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid.”
Cut Nyak Dien lalu memimpin
perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan
kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai
kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang
di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya
sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya
terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para
pasukan-pasukannya.
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya
kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di
Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha
mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Namun, aksi Dhien berhasil
dihentikan oleh Belanda. Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang
berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan
oleh ayah dan ibunya."
Aku mendengar dengan seksama cerita
Aira. Perempuan itu lalu tersenyum, masih melanjutkan bacaannya.
"Jadi, sebagai perempuan yang
hebat kita pun harus bisa melupakan duka untuk memerdekakan diri dari jajahan
perasaan yang menyakitkan. Umumnya, perempuan di zaman sekarang memang
diresahkan karena perasaan cinta.
Maka, dirinya bukan berperang dengan
orang lain, melainkan perasaannya sendiri. Terkadang perempuan juga tidak
sadar, jika perasaannya yang berlebihannya itu hanya nafsu dan bisa melukai
diri sendiri.
Kita memang bukan Cut Nyak Dhien,
perempuan hebat yang berperang melawan Belanda. Namun, setidaknya kita bisa
meneladani semangat juang beliau dalam memerdekankan diri dari penjajahan.
Jika dulu yang menjajah beliau
adalah Belanda dan beliau berusaha merdeka dari penjajah tersebut. Maka kini,
sebetulnya kita sebagai perempuan juga harus semangat memerdekakan diri dari
segala perasaan menyakitkan yang menjajah kita, salah satunya perasaan cinta
pada orang yang salah.
Kenapa kita harus repot-repot
memikirkan orang yang tidak mencintai kita? Bukankah itu hanya menjajah hati
kita untuk semakin menderita?"
Aira beralih menatapku. "Itu
isi pidato yang aku buat nanti, Re. Kamu harus semangat, ya? Kita bukan dijajah
sama orang lain, malah terkadang kita dijajah sama perasaan negatif. Termasuk
kamu sekarang ini."
Aku merasakan tangan Aira
menepuk-nepuk bahuku. Sedikitnya aku merasa terharu. "Makasih, ya,
Ra." Aku kembali memeluk Aira.
Betul juga apa kata Aira, aku tidak
harus mengangkat senjata. Ketika dulu orang-orang dijajah negara lain dan harus
berjuang memerdekankan diri, sekarang aku hanya diharuskan belajar untuk
mengharumkan nama bangsa, untuk bersyukur karena ada sekolah yang membantuku
mencari ilmu, juga ayahku masih membiayai sekolah.
Negara kita aman sekarang, mungkin
kitanya saja yang tidak bersyukur. Iya, aku lebih tepatnya. Aku merasa paling
menderita padahal dulu Cut Nyak Dhien sampai harus kehilangan suami tercinta
karena perang.
"Aku enggak bersyukur, ya, Ra.
Derita aku enggak seberapa dibanding orang-orang di zaman penjajahan
dulu," ucapku lagi sambil melerai pelukan.
"Mulai sekarang, kita harus
bersyukur. Lagi pula kamu pintar, Re. Kita masih muda dan banyak kesempatan untuk
sukses di masa depan. Ayo kita semangat seperti pahlawan di masa penjajahan
dulu. Kita harus merdeka, jadi perempuan independen yang hebat. Semua belum
terlambat, kamu hanya baik pada orang yang salah. Lupakan Johan dan mulai untuk
memperbaiki diri, semangat belajar!" Aira menggebu-gebu mengatakan itu
seolah tengah menyalurkan semangat untukku.
"Iya, Ra. Aku akan
semangat." Aku melukis senyum. Senang rasanya memiliki teman seperti Aira.
Dia baik, sholehah dan selalu mengingatkan aku dalam hal kebaikan. Ah, rasanya
aku juga lupa untuk bersyukur karena memiliki sahabat sebaik dia.
"Terima kasih, Aira. Aku
bersyukur punya teman sebaik kamu," ucapku terharu.
"Iya, kembali kasih,
Rena." Dia menjawab sambil memperagakan finger heart, membuat kami tertawa
setelahnya.
Profil Penulis
Kim Sumi Ryn (No. ID: PK23-1646891784),
Penulis yang satu ini, katanya suka mager nulis, bahkan sampai bingung pas bikin cerita ini. Kebetulan doi sedang galau, tema kemerdekaan dia jadikan jalan untuk memerdekakan hati kamu perempuan. (Ea! Semoga begitu, ya). Dia sudah menulis di beberapa platform online dengan nama pena Sumiryni dan Kim Sumi Ryn. Untuk tahu novel-novelnya boleh add Facebook: Kim Sumi Ryn or Instagram @sumi_ryn9. Thank you so much.
Much love for Kak Rin Muna and Pena Kreatif
community. ( ◜‿◝ )♡
0 komentar:
Post a Comment