I Lost You, Ustadz |
“Halimah, mau ke mana?” tanya Annisa ketika melihat
Halimah sudah berpakaian rapi. Gamis panjang menutupi seluruh tubuhnya dan
kerudung segi empat yang dipakai dengan rapi, dilengkapi dengan bross bunga
kamboja sebagai pemanis.
“Halimah mau ke kampung sebelah, Kak. Belajar mengaji
sama Ustadz Zuhri,” jawab Halimah sambil tersenyum lebar.
“Bukannya kamu juga sudah ngajar ngaji? Buat apa
jauh-jauh ke kampung sebelah?”
“Beda, Kak. Imah ngajar Iqro’ yang masih alif ba’ ta.
Masih harus mendalami ilmu mengaji yang baik dan benar supaya nanti bisa jadi
Ustadzah beneran di kampung ini.”
“Ya sudah kalau begitu. Kamu berangkat sama siapa?
Sendirian?” tanya Annisa.
“Nggak, Kak. Aku pergi sama Anjani dan teman-teman
yang lain juga, kok.”
“Rame-rame? Syukurlah kalau ada temannya. Pulangnya
jangan malam-malam, ya!” pinta Annisa.
“Iya, Kak. Kalau tidak ada kajian tambahan, Imah akan
pulang setelah sholat Isya’.” Halimah tersenyum sambil menghampiri Annisa. Ia
menyalami tangan kakaknya itu, mencium punggung tangan dan kedua pipinya
sebelum ia benar-benar keluar dari rumah. Itu adalah kebiasaan yang selalu ia
lakukan setiap kali akan keluar rumah.
Halimah tidak memiliki siapa pun selain sang kakak. Ia
dan Annisa sudah menjadi anak yatim-piatu sejak mereka masih berumur belasan tahun. Meski begitu,
kehidupannya di kampung tidak terlalu buruk. Kedua orang tuanya meninggalkan
sarang walet di belakang rumah mereka dan mereka bisa bertahan hidup dengan
menjual air liur burung walet tersebut. Hidupnya tidak kaya, tidak miskin juga.
“Kak Annisa, Halimah pergi dulu. Assalamualaikum …!”
pamit Halimah sambil melangkah keluar dari dalam rumah mungil nan asri milik
mereka.
“Waalaikumussalam …! Hati-hati di jalan. Semoga ilmu
yang kamu dapat jadi berkah,” ucap Annisa sambil tersenyum manis menatap tubuh
Halimah yang bergerak pergi.
Halimah tersenyum lebar. Ia terus melangkahkan kakinya
sembari memeluk tas kain yang berisi mukenah dan Al-Qur’an. Ia langsung
menghampiri Anjani dan teman-temannya yang menunggu di jembatan yang tak jauh dari
rumah mungil miliknya.
“Assalamualaikum …!” sapa Halimah sambil tersenyum
ramah.
“Wa’alaikumussalam Halimah cantik …!” balas tiga orang
pria yang ada di sana. Mereka tersenyum lebar sambil menatap wajah Halimah yang
sangat cantik di mata mereka.
Anjani melirik ke arah tiga pria yang menjadi kawan
sepermainan mereka. Ia tersenyum ke arah Halimah dan merangkul lengan
sahabatnya itu. “Kita berangkat, yuk! Nggak ada yang ketinggalan ‘kan?”
“Insya Allah nggak ada.”
Anjani tersenyum. Ia melangkahkan kakinya beriringan
dengan Halimah, sementara tiga pria remaja itu berada di belakang mereka.
“Anjani, kamu sudah hafalin tajwid yang diajari Ustadz
Zuhri kemarin?” tanya Halimah.
“Sudah, dong.”
“Oh, ya? Materi tilawah gimana? Kamu udah bisa semua nadanya?”
tanya Halimah.
Anjani menggeleng. “Aku nggak begitu bisa, Halimah.
Apalagi suaraku jelek dan napasku pendek. Suaraku nggak seindah kamu.”
“Jangan merendah, deh! Semuanya pasti bisa kalau
berlatih keras. Aku juga berlatih keras tiap hari. Kata Ustadz Zuhri, kalau
kita udah bisa menguasai semua tingkatan lagu tilawah, dia mau kasih hadiah ke
kita. Kira-kira hadiahnya apa, ya?” tanya Halimah penasaran.
“Kamu minta hadiah apa, Halimah?” sahut Agus. Salah
satu pria remaja yang berjalan di belakang Halimah dan Anjani.
“Memangnya boleh minta?” tanya Halimah.
“Kata Ustadz Zuhri, kita boleh minta apa aja.” Ibrahim
menimpali.
“Iya juga, ya?” ucap Halimah sambil mengetuk-ngetuk
dagunya. “Minta apa ya kira-kira?”
“Kamu sudah bisa semua, Halimah?” tanya Ihsan yang
juga ada di sana.
“Sudah, dong. Aku mau kasih tahu Ustadz Zuhri hari ini
supaya aku bisa minta hadiah dari dia,” sahut Halimah sambil tersenyum ceria.
“Mau minta hadiah apa, Halimah?” tanya Anjani lembut.
“Halimah pasti minta hadiah dilamar sama Ustadz
Zuhri,” sahut Ibrahim.
“Iih … Ibrahim apa-apaan, sih!?” sahut Halimah
tersipu.
“Nggak usah sok jaim depan kita, Halimah. Kelihatan
mukamu merah banget kayak gitu. Kamu ‘kan naksir sama Ustadz Zuhri. Iya ‘kan?”
ucap Ihsan sambil memainkan alisnya.
Halimah tersenyum sambil menyentuh kedua pipinya yang
menghangat. “Kelihatan banget, ya? Jangan bilang-bilang ke Ustadz Zuhri, loh!
Ntar aku malu. Kalau dia sudah punya calon istri, gimana?”
“Kayaknya belum. Katanya Ustadz Zuhri nggak pernah
pacaran dan nggak punya calon istri, Halimah,” ucap Agus.
“Sok tahu. Tahu dari mana?” dengus Halimah.
“Yee … Agus gitu loh. Tahu, dong. Apa yang Agus nggak
tahu,” sahut Agus sambil menepuk dadanya dengan bangga.
Halimah tersenyum malu sambil merangkul lengan Anjani.
“Semoga aja Ustadz Zuhri memang belum punya calon istri. Kalau udah punya, aku
bakal patah hati banget. Cuma bisa jadi penggemarnya aja.”
“Kamu beneran suka sama Ustadz Zuhri, Halimah?” tanya
Anjani.
Halimah mengangguk. “Dia ganteng banget, pintar, baik
hati, sholeh. Pokoknya, dia itu cowok idaman banget! Gimana menurutmu, Anjani?
Aku cocok nggak sama dia?”
“Eh!?” Anjani melongo menatap wajah Halimah yang
sedang bermanja-manja di pundaknya itu. “Cocok, kok. Cocok,” ucapnya sambil
meringis.
“Cocok banget, Halimah. Ganteng sama cantik. Kalau
punya anak, anaknya pasti kayak barbie,” sambar Ihsan sambil mengacungkan
jempolnya.
“Kalau anaknya laki-laki, gimana?” sahut Halimah
sambil memutar kepalanya menatap Ihsan.
“Kalau laki-laki … dia ganteng kayak Nabi Yusuf,”
jawab Ihsan.
“Aamiin.” Halimah tersenyum lebar. Ia terlihat sangat
bersemangat setiap kali ingin pergi belajar agama dan mengaji di kampung
sebelah. Meski harus berjalan kaki selama satu jam lebih, ia tidak pernah
merasa lelah jika itu untuk bertemu Ustadz Zuhri. Sosok pria idaman yang sangat
ia kagumi dan ia inginkan menjadi imam di masa depannya.
[[Bersambung …]]
Ini akan jadi Prekuel untuk novel "Assalamualaikum, Ya Habib!" yang ada di aplikasi Fizzo.
Terima kasih buat kalian yang udah bersedia baca di blog aku ini!
Jangan lupa share ke temen kalian, biar makin banyak yang baca dan authornya makin semangat nulis setiap hari!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment