“Saya terima nikah dan kawinnya
Raden Roro Ayu Rizki Prameswari binti Raden Mas Edi Baskoro Hadiningrat dengan mas
kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu dollar dibayar tunai ...!” ucap Nanda
tegas sembari menjabat tangan penghulu yang membimbing hari pernikahannya
dengan Roro Ayu.
SAH!
SAH!
SAH!
“Alhamdulillah ...!”
Semua orang ikut tersenyum lega
saat Nanda bisa mengucapkan ijab kabul dengan baik di hadapan penghulu yang
menikahkannya dengan Ayu.
Air mata Ayu menetes perlahan. Meski
ini pernikahan yang kedua kalinya, tapi ia tetap saja tidak bisa menahan rasa
haru ketika Nanda benar-benar mengucapkan ijab kabul dari hatinya sendiri.
Bukan dengan cara terpaksa seperti yang sudah terjadi pada pernikahan
sebelumnya.
Bunda Rindu langsung memeluk
tubuh Ayu dan menangis sesenggukan. Banyak hal yang telah membuat puterinya itu
sakit dan Ayu tetap memilih untuk mencintai Nanda. Hati seorang wanita bisa
begitu sabar dan setia pada pria yang pernah menyakiti. Dan ia kagum pada
puterinya sendiri karena mau membuka hati dan memberikan kesempatan untuk
Nanda, pria yang pernah menghancurkan kehidupannya di masa lalu dan menciptakan
dendam antara keluarga ini.
“Ay, selamat, ya ...!” ucap
Nadine sambil tersenyum meski air matanya ikut menetes. “Semoga kalian selalu
bahagia, langgeng sampai maut memisahkan!”
Ayu mengangguk sambil memeluk
erat tubuh Nadine. “Makasih banyak, Nad. Kamu udah jauh-jauh mau datang ke
acara pernikahan aku.”
Nadine mengangguk sambil
tersenyum manis. Ia mengusap air mata Ayu yang membasahi pipi indah itu. “Ini
hari bahagia kamu. Jangan nangis, ya!” ucapnya.
Ayu mengangguk sambil tersenyum
manis. Ia menoleh ke arah Nanda yang sudah berdiri tersenyum sambil menatapnya.
Nanda mengulurkan telapak
tangannya ke arah Ayu dan merangkul mesra pinggang wanita itu. “Ay, terima
kasih sudah bersedia kembali menjadi istriku, menjadi calon ibu dari
anak-anakku kelak,” ucapnya sembari mengecup punggung tangan Ayu. Ia beralih
mengecup kening Ayu dan menjalankan bibirnya hingga bermuara ke bibir lembut
wanita itu.
Ayu memejamkan mata perlahan.
Merangkul pundak Nanda sembari menikmati sentuhan lembut pria itu bersama
iringan musik piano yang begitu romantis dan nyaman di telinganya.
Beberapa jam kemudian,
tamu-tamu undangan sudah mulai kembali ke rumah mereka masing-masing.
Nanda mengempaskan tubuhnya ke
kursi pengantin sambil bernapas lega karena para tamu sudah pergi dan ia bisa
segera menikmati malam pengantinnya berdua dengan Ayu saja. “Akhirnya ... kelar
juga. Pegel banget!” keluhnya.
“Udah waktunya istirahat. Aku
ke kamar duluan, ya! Masih harus bersihin make-up dulu sama tim WO,” tutur Ayu
sambil menatap wajah Nanda.
Nanda mengangguk. Ia membiarkan
Ayu pergi ke kamar pengantin mereka. Sementara, ia memilih untuk bergabung di
meja sang papa dan ayah mertua yang sedang sibuk membicarakan bisnis dan
terlihat sangat akrab.
Beberapa menit kemudian, Nanda
memilih untuk berpamitan karena tubuhnya sudah sangat lelah dan matanya
terserang kantuk berat.
“Sudah pernah malam pertama,
masa ya masih buru-buru?” goda Edi Baskoro sambil menatap tubuh Nanda yang baru
saja bangkit dari kursi.
“Hehehe. Ini bukan masalah
malam pertama, Ayah. Masalahnya, aku memang sudah lelah duduk di pelaminan
seharian,” ucapnya. Ia menunduk hormat dan segera pergi ke kamar Ayu yang ada
di dalam keraton tersebut.
Nanda mengerutkan dahi saat
masuk ke kamar Ayu dan tak menemukan siapa pun di sana.
“Ay ...! Ayu ...!” panggil
Nanda sambil melangkah menyusuri setiap inchi lantai ruang kamar Ayu yang
besar. Matanya langsung teralihkan pada kain putih yang tersangkut di jendela
dan tercium bau anyir darah. Buru-buru, ia menyalakan semua lampu dan menatap
potongan gaun pengantin milik Ayu sudah berlumuran darah.
“Ay, kamu di mana!?” teriak
Nanda. Ia langsung membuka pintu jendela kamar Ayu dan bercak darah juga ada di
sekitar luar bangunan itu. Dengan cepat, Nanda berlari keluar dari dalam kamar
sembari membawa potongan gaun milik Ayu yang penuh darah.
“Ayah ...! Tolong ...!” Nanda
menghampiri Edi Baskoro dan semua keluarga yang ada di sana dengan napas
tersengal.
“Ada apa?” tanya Edi Baskoro
sambil menatap wajah Nanda.
“Ayu hilang,” jawab Nanda
sambil berusaha mengatur napasnya. Ia menunjukkan kain potongan gaun pengantin
di tangannya yang berlumuran darah. “Gaun pengantinnya berdarah. Apa ada
penyusup yang masuk ke keraton ini dan membunuh istriku? Ayah, harusnya tempat
ini aman ‘kan?”
Edi Baskoro melebarkan kelopak
matanya dan bangkit dari kursi. Ia langsung memerintahkan seluruh pengawal
istana untuk mencari keberadaan puteri mahkota mereka.
Nanda memukul tiang pilar
dengan kesal sembari memeluk kain gaun milik Ayu. Perasaannya tak karuan
melihat banyak darah yang tertinggal. Semua bayangan buruk tentang Ayu memenuhi
otaknya hingga membuat lututnya tak bisa berdiri tegak.
“AARGH ...! Roro Ayu ... jangan
tinggalin aku!” teriak Nanda histeris sambil memeluk potongan gaun pengantin
Ayu seperti sedang memeluk seorang bayi mungil. Ia benar-benar takut kehilangan
wanita yang baru ia nikahi beberapa jam lalu. Banyak hal yang telah mereka
korbankan untuk bisa bersatu kembali dan Tuhan masih saja membuat mereka harus berpisah
dengan cara yang begitu keji.
Nanda terus menangis
sesenggukan di halaman dalam keraton tersebut dan tidak tahu harus bagaimana
lagi menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi pada istrinya itu. Ia
benar-benar tidak siap kehilangan karena belum sempat membuat wanitanya itu
hidup bahagia.
Sementara itu ... dari lantai
tiga menara keraton tersebut. Sepasang mata Ayu menikmati tubuh Nanda yang
sedang meratap karena kehilangan istrinya.
“Ay, lucu ‘kan? Mampus tuh
Nanda! Hihihi.” Rocky terkekeh geli sambil menatap kamera video di ponselnya
yang sudah aktif sejak tadi.
“Sonny, Okky, Nadine ...! Aku
nggak tega lihat Nanda kayak gitu. Kalian ngerjainnya keterlaluan tahu,” ucap
Ayu sambil menatap wajah beberapa groomsman dan bridesmaid yang bersamanya.
“Sst ...! Biarkan dulu! Sampai
kita puas nontonin wajah payah dia,” sahut Rocky sambil menahan tawa. “Son,
Sonny ...! Udah disiapkan kembang apinya?”
Sonny mengangguk. Ia dan
beberapa saudara sepupu Ayu, sudah bersiap meledakkan kembang api di tangan
mereka masing-masing.
“Aku hitung mundur, ya!” ucap
Rocky dengan suara setengah berbisik. “Tiga ... dua ... satu ...!”
DUAR ...!
DUAR ...!
DUAR ...!
Percikan indah kembang api
tiba-tiba menghiasi tempat tersebut. Di saat bersamaan, lampu-lampu di sekitar
menara menyala terang satu per satu dan tubuh Ayu yang masih dibalut gaun
pengantin, terlihat begitu jelas dada di atas sana.
Nanda langsung menengadahkan
kepalanya menatap menara keraton yang ada di sana. “AYU ...!” teriaknya sambil
mengucek matanya sendiri. “Itu Ayu atau bukan, sih? Aku nggak halusinasi ‘kan?”
gumamnya.
Ayu tersenyum lebar sambil
melambaikan tangannya ke arah Nanda.
Nanda langsung tersenyum lebar.
Ia langsung berlari menghampiri menara tersebut dan naik ke atas dengan cepat.
Menghampiri Ayu yang berada di balkon lantai tiga menara bersama para
pendamping pengantin.
“Ay, ini beneran kamu ‘kan?”
Nanda langsung memeluk erat tubuh Ayu dan memeriksa seluruh tubuh wanita itu.
“Gaun kamu nggak rusak?”
Ayu menggelengkan kepala sambil
tersenyum manis. “I’m fine and wanna be with you.”
“Ini ...?” Nanda menunjukkan
potongan gaun pengantin yang sudah berlumuran darah.
“Sengaja kami siapkan buat
ngerjain kamu,” jawab Nadine sambil tersenyum manis.
“Kalian ...!?” Nanda mendengus
kesal ke arah semua pendamping pengantin yang berhasil mengerjai dirinya.
“Kalian sukses bikin pengantin nggak bisa hidup lagi, ya!” umpatnya kesal
sambil melemparkan potongan gaun berlumuran darah itu ke bawah menara begitu
saja.
Nanda langsung memeluk erat
tubuh Ayu. Mengangkat dan memutarnya dengan gembira. “Aku udah takut banget
kehilangan kamu, Ay. Lain kali, bercandanya jangan kayak gini. Ini nggak lucu!”
“Lucu, Nan. Aku lihat muka kamu
nangis, lucu banget! Asli. Ini lucu!” sahut Rocky sambil menunjukkan rekaman
video yang ia ambil.
“Hapus, nggak!?”
“Nggak. Weee ...!” Rocky
menjulurkan lidah dan bergegas berlari dari tempat tersebut bersama dengan yang
lainnya.
Nanda tersenyum kecil dan
menggenggam kedua tangan Ayu. “Ay, aku bener-bener takut kehilangan kamu. Demi
apa pun, kamu nggak boleh pergi atau mati sebelum aku bisa membahagiakan kamu.
Oke?”
Ayu mengangguk sambil tersenyum
manis. Ia mengecup lembut bibir Nanda dan pria itu membalasnya penuh
kehangatan. Hari ini ... ia merasa menjadi wanita yang sempurna karena berhasil
membuat Nanda, menangis sesenggukan saat kehilangan dirinya.
Mereka ingin, cinta bisa terus
seperti ini. Bisa terus merasa takut. Sebab, cinta adalah tentang rasa takut. Takut
kehilangan, takut tak bisa membuat bahagia, takut berada jauh di sisinya dan
takut menjadi lebih buruk dari hari ini.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah menjadi
sahabat setia bercerita!
Ada yang request malam pertama
mereka untuk ditulis?
Kalau nggak ada, author
skip-skip aja, ya!
Hehehe.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment