Nanda menghampiri tubuh Nia
yang masih duduk di kursi roda sambil menikmati pemandangan dari luar jendela
kamar rawatnya. “Mama, I have something for you,” bisiknya sembari memeluk
tubuh Nia dari belakang dan mengulurkan bucket bunga untuk wanita istimewa yang
telah memberinya hidup dan menghidupkannya itu.
Nia langsung menengadahkan
kepalanya menatap Nanda. Ia tersenyum saat puteranya itu begitu romantis.
Membuatnya teringat akan masa-masa mudanya saat bersama Andre. “Kenapa
tiba-tiba jadi romantis seperti ini ke Mama?” tanyanya.
“Nggak boleh?” tanya Nanda
sambil tersenyum manis.
“Boleh banget. Kalau perlu,
kamu setiap hari seperti ini. Mama pasti bahagia banget,” ucap Nia sambil
menyentuh lembut pipi Nanda.
“Dalam satu bulan, Mama udah
bisa buka toko bunga,” ucap Nanda sambil tertawa kecil.
Nia ikut tertawa menanggapi
ucapan Nanda. “Boleh juga. Mama jualan bunga untuk ngisi waktu luang di hari
tua biar nggak bosan.”
“Hmm ... katanya mau main sama
cucu? Kalau sibuk sama bunga, ntar cucunya dicuekin.”
“Kalau kamu kasih mama cucu,
mama pasti prioritaskan main sama cucu, dong. Kapan kamu menikahi Ayu?” tanya
Nia.
Nanda tersenyum dan beringsut
ke hadapan Nia. Ia berjongkok tepat di depan wanita itu dan menggenggam tangan
Nia. “Ma, kalau aku menikahi Ayu ... apakah Mama akan menyayangi dia seperti
anak Mama sendiri?”
Nia mengangguk sambil tersenyum
manis. “Siapa pun wanita pilihanmu, Mama akan menyayangi dia seperti Mama
menyayangi kamu.”
“”Makasih, Ma ...! Aku janji
akan membuat istriku juga menyayangi Mama seperti mamanya sendiri.”
Nia mengangguk sambil
tersenyum. “Mama harap, kamu bisa membawa istrimu menjadi anak mama yang baik.
Yang sayang sama mama kamu dan tetap sayang sama ibunya sendiri.”
Nanda menganggukkan kepala dan
mencium punggung tangan Nia. “Maafin Nanda karena selama ini sudah membuat Mama
bersedih terus-menerus. Mama harus sehat, ya! Kalau Mama udah sehat, Nanda
janji akan kasih cucu yang banyak supaya Mama nggak kesepian di rumah.”
Nia menganggukkan kepala.
“Jadi, kapan kamu akan menikah dengan Ayu?”
“Setelah papa merestui kami,”
jawab Nanda sambil melirik ke arah Ayu dan papanya yang sudah berdiri di
belakang tubuh mamanya itu.
“Kapan papamu akan memberikan
restu, Nan. Usiamu dan Ayu sudah semakin tua. Mau sampai kapan hubungan kalian
seperti ini? Kalau nggak bisa punya keturunan, gimana? Mama yang punya anak
satu aja, sekarang udah ngerasa kesepian karena anak Mama sudah dewasa dan
punya kehidupan sendiri,” ucap Nia sambil menatap pilu ke arah Nanda.
Nanda tersenyum sambil
menyentuh lembut pipi mamanya. “Mama nggak perlu khawatir! Nanda pasti akan
kasih cucu yang banyak buat Mama. Supaya Mama nggak kesepian, supaya istriku
juga nggak kesepian di hari tuanya.”
“Janji?”
Nanda mengangguk sambil
tersenyum manis. Ia memutar kursi roda Nia. Menghadapkan wanita itu pada Andre
dan Ayu yang sudah berdiri berdampingan di sana.
“Mas Andre? Ayu? Ka-kalian
...?”
Ayu tersenyum sambil merangkul
lengan Andre. “Aku dan Nanda akan segera menikah. Papa Andre sudah merestui
hubungan kami. Jadi, Mama Nia harus sehat supaya bisa menikahkan kami!”
ucapnya.
Nia langsung tersenyum lebar
sambil menutup mulutnya yang ternganga lebar. “Gimana ceritanya ... Mas Andre,
kamu benar-benar merestui hubungan Ayu dan anak kita?”
Andre mengangguk sambil
tersenyum manis. Ia melangkah perlahan menghampiri Nia. “Maafkan aku karena
terlalu takut akan masa depan anak kita. Aku lupa bahwa sekarang dia sudah
menjadi pria dewasa.”
Nia tersenyum manis. Ia bangkit
dari kursi roda dan memeluk tubuh Andre. “Aku juga punya rasa takut yang sama.
Tapi kita harus belajar bijak jadi orang tua. Nggak boleh egois. Saat anak udah
dewasa, dia bukan milik kita lagi, Mas,” ucapnya sambil menitikan air mata.
Sungguh, hati Nia sangat berat
ketika mendengar kata pernikahan. Sedih bercampur bahagia. Tidak ada orang tua
yang tidak sedih ketika anak yang sudah ia rawat selama kurang lebih dua puluh
tahun lamanya, harus ia serahkan untuk orang lain. Membiarkan anak-anak mereka
itu menghabiskan waktunya lebih banyak bersama orang yang dicintai daripada
dengan orang tuanya sendiri.
Andre memeluk erat tubuh Nia
sambil menganggukkan kepala.
Nanda tersenyum sembari
menghampiri Ayu yang berdiri di dekat ranjang tidur mamanya. “Ay, sudah tidak
ada yang mengganjal dalam hubungan kita. Apa aku sudah boleh melamarmu di depan
kedua orang tuaku?”
Ayu mengangguk sambil tersenyum
manis.
Nanda merogoh cincin berlian
yang ia selipkan di kantong celananya dan menekuk lututnya di hadapan Ay.
“Ay, maukah ...”
TING!
Cincin yang dipegang Nanda
tiba-tiba merosot jatuh membentur lantai, kemudian menggelinding cepat tak
tentu arah hingga berhenti di bawah lemari nakas yang sempit.
“Astaga ...!” seru Nanda kesal
saat cincin itu tak mau bersahabat dengannya.
“Kamu gimana sih megangnya?”
Ayu langsung membungkukkan tubuhnya, mencari di mana cincin berlian itu berada.
“Aku nervous, Ay! Aku nggak
pernah ngelamar cewek. Tanganku gemetaran,” sahut Nanda sambil merayap di
lantai, mencari cincin berlian yang masih belum tertangkap oleh matanya.
Nia dan Andre tertawa melihat
kekacauan lamaran yang terjadi. Terlebih, Nanda masih terus merayap mencari
keberadaan cincin berlian yang akan digunakan untuk melamar Ayu.
“Pa, jangan ketawa! Bantuin
cari cincinnya!” pinta Nanda sambil menggeser sofa dan semua perabotan yang ada
di dalam ruangan tersebut hingga menjadi kacau balau.
“Nan, kamu niat ngelamar aku
atau nggak, sih? Kenapa cincinnya malah dihilangkan?” tanya Ayu sambil menahan
kesal.
“Niat, Sayang! Ya Allah ...!”
Nanda berlari menghampiri Ayu. Menangkup kepala wanita itu dan menciumi
wajahnya. “Aku cari dulu cincinnya.”
Nia dan Andre terkekeh melihat
sikap puteranya yang masih kebingungan mencari cincin itu. Meski mereka melihat
ke mana arah cincin itu menggelinding, mereka sengaja tidak memberitahukan
Nanda.
Nanda menggeser ranjang pasien
yang ada di ruangan tersebut. Kemudian, menggeser lemari nakas yang menjadi
target terakhirnya.
“AY, KETEMU ...!” seru Nanda
sambil meraih cincin itu dari lantai dan meniupnya. Masih menggosoknya di kain
celana yang ia kenakan agar tidak kotor
dan melompat ke atas tempat tidur. Kemudian, menarik lengan Ayu dengan cepat.
Ayu langsung mengerutkan bibir
sambil menahan senyumnya.
“Kita jadi nikah ‘kan? Gimana
kalau kamu yang lamar aku aja biar nggak salah-salah? Aku nervous,” ucap Nanda
sambil menggenggam tangan Ayu.
Ayu langsung menoleh ke arah
Andre dan Nia. “Oom, masa Ayu yang disuruh lamar dia? Dia nggak mau lamar aku,
dong? Nggak jadi nikah, nih!”
“Hehehe. Jangan gitu dong, Ay!
Iya, iya. Aku yang lamar kamu,” sambar Nanda sambil memperbaiki posisi
duduknya. Ia duduk di tepi ranjang dengan dua kaki tergantung dan menarik tubuh
Ayu agar merapat dengannya.
“Ay, apakah kamu mau menikah
dengan lelaki brengsek ini?” tanya Nanda sambil menatap lekat wajah Ayu.
Ayu mengangguk sambil tersenyum
manis. “Kamu sudah lima belas tahun jadi pria brengsek. Sudah waktunya pensiun.
Harus berubah jadi pria baik, suami yang baik, ayah yang baik dan kakek yang
baik di masa depan.”
Nanda mengangguk. “I promise.
Aku akan menjadi apa pun yang kamu katakan dan kamu inginkan.”
Ayu tersenyum manis sambil
mengulurkan jemari tangannya. “Jadi pasangin aku cincin, nggak?”
Nanda tertawa kecil. Ia segera
memasangkan cincin itu ke jari manis Ayu dan mengecup lembut punggung tangan
wanita itu. “I love you, Ay ...!”
“So am I,” sahut Ayu sambil
tersenyum manis.
Nanda langsung memeluk erat
tubuh Ayu dan mengulum bibir wanita itu penuh cinta. Ia merasa sangat bahagia
karena akhirnya bisa menjalani setiap paginya bersama dengan wanita itu. Ia
tahu, ada banyak hal buruk di dunia yang tidak bisa ia kendalikan dan
membuatnya terjerumus.
Satu hal yang paling ia sesali
ketika remaja adalah ia tidak mampu membatasi pergaulannya sendiri hingga
pergaulan bebas adalah sebuah kebanggaan untuk dunianya. Hingga membuat masa
depannya begitu suram. Ayu adalah satu-satunya wanita yang berani menghukumnya
dengan kejam agar ia bisa menjadi pria yang baik di masa depan. Dan hari ini ia
berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi pria baik dan melahirkan anak-anak
yang baik pula untuk kehidupan-kehidupan berikutnya.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah jadi sahabat
setia bercerita!
Dukung terus supaya author
makin semangat berkarya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment