“Nan, sibuk banget?” tanya Ayu
sambil menyodorkan secangkir moccacino hangat ke atas meja kerja Nanda.
“Nggak terlalu. Lagi ngecek
ulang laporan produk yang mau diluncurkan aja,” jawab Nanda.
“Ini produk baru kamu?” tanya
Ayu sambil menatap beberapa botol yang ada di hadapan Nanda.
Nanda mengangguk. “Mau coba?”
“Aku baru aja mandi, Nan.”
“Mandi lagi, biar makin
glowing!” pinta Nanda sambil menahan tawa.
Ayu mengerutkan hidungnya. Ia
menarik kursi dan duduk di samping Nanda. “Dari semua produk yang ada di dunia
ini, kenapa pilih sabun mandi?”
Nanda langsung menoleh ke arah
Ayu. “Kamu lagi ngetes aku buat pitching?”
“Kamu mau menargetkan aku buat
nanam saham di perusahaanmu?” tanya Ayu balik.
“Janganlah! Kalau bisa, aku aja
yang tanam saham buat kamu,” jawab Nanda sambil melirik perut Ayu.
Ayu mendelik ke arah Nanda
sambil memegangi perutnya. “Kamu lagi menyimpan niat buruk?”
“Nggak, Sayang. Masa aku
berniat buruk sama istri sendiri?” sahut Nanda sambil merangkul tubuh Ayu.
Ayu tersenyum sambil menatap
lekat wajah Nanda. “Ada yang bisa aku bantu di perusahaanmu?”
Nanda menggeleng. “Kamu
rawat Mama Nia aja!” pintanya.
Ayu mengangguk sambil tersenyum
manis. “Mau sampai kapan kamu tinggal di kantor ini?”
“Sampai aku bisa beli rumah
baru. Doain, ya!” jawab Nanda sambil mengecup kening Ayu.
“Always,” sahut Ayu sambil
tersenyum manis. “Oh ya, rumah keluarga aku yang di sini udah nggak ditinggali
karena ayah dan bunda udah pindah ke Solo. Mmh, gimana kalau kita tinggal di
rumah itu setelah menikah. Jadi, kamu nggak perlu beli rumah baru. Uangnya bisa
digunakan untuk yang lain. Gimana?”
“Ay, aku nggak bisa seperti
itu. Aku nggak enak sama keluarga kamu kalau aku yang tinggal di rumah istri,”
tutur Nanda.
“Nan, aku anak tunggal. Nggak
ada yang nempati rumah itu lagi kalau bukan aku, suamiku dan anak-anak aku
kelak. Kamu nggak perlu gengsi. Aku udah bilang ke ayah dan bunda. Mereka malah
seneng kalau Nanda bisa tinggali rumah itu,” ucap Ayu sambil menggenggam tangan
Nanda.
“Serius!?” tanya Nanda sambil
menatap wajah Ayu.
Ayu mengangguk sambil tersenyum
manis.
Nanda langsung menangkup wajah
Ayu dan menciuminya bertubi-tubi. “Aku nggak nyangka kalau ayah dan bundamu
malah akan merestui kita setelah apa yang terjadi di masa lalu.”
“Karena kamu sudah menebusnya
dengan baik dan meyakinkan keluargaku kalau kamu bisa bikin puteri kesayangan
mereka bahagia,” tutur Ayu.
Nanda tersenyum dan memeluk
tubuh Ayu. “Ay, saat ini aku nggak punya apa-apa. Kamu yakin sama aku?”
“Kamu punya aku,” sahut Ayu
sambil tersenyum manis.
Nanda semakin mengeratkan
pelukannya. Ia merasa sangat bahagia karena wanita ini tetaplah satu-satunya
cinta yang bertahan dengannya hingga akhir.
“Mmh ... Nan, kapan kamu
ngelamar aku pake cincin berlian kayak waktu itu? Katanya, mau nikahi aku?”
Nanda tertawa kecil sambil
menatap wajah Ayu. “Kamu minta cincin
berlian di saat aku lagi start-up perusahaanku? Aku harus jual ini perusahaan buat belikan kamu cincin.
Cincin berliannya nyusul after marriage, bisa ‘kan?”
Ayu menggeleng. “Nggak mau! Itu
mah bukan cincin untuk ngelamar aku, dong?”
“Ck. Kenapa kamu jadi mata
duitan di saat aku nggak punya apa-apa?”
“Biar kamu kerja lebih keras
dari hari ini,” jawab Ayu sambil tersenyum manis.
“Aku udah kerja keras, Ay. Ini
udah jam sebelas malam, aku masih di
kantor.”
“Kamu tinggal di sini!” sahut
Ayu geram sambil memukul lengan Nanda.
“Iih, mukul? KDRT, nih.”
“Nggak. Bercanda,” tutur Ayu
sambil mengelus lembut lengan Nanda. Ia membuka rantai kalung yang ia kenakan
dan menunjukkan cincin pernikahan yang pernah Nanda berikan padanya di masa
lalu.
Nanda terdiam sambil menatap
cincin yang dijadikan liontin oleh Ayu. “Ka-kamu masih simpan cincin ini?”
Ayu mengangguk. “Aku selalu
memakainya dan membawanya ke mana pun setiap hari.”
“Tapi ... waktu nari sama ...”
“Udah ada kalung aksesoris yang
disediakan untuk nari. Masa aku mau pake kalung ginian lagi? Aneh ‘kan?”
Nanda tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Buruan lamar aku lagi!” pinta
Ayu sambil meletakkan cincin itu di atas telapak tangan Nanda.
Nanda tersenyum kecil sambil
menatap wajah Ayu. “Masa lamar di sini sih, Ay?”
“Jadi, mau lamar di bawah
menara Eiffel biar kayak orang-orang itu?” tanya Ayu sambil tersenyum menatap
Nanda.
Nanda menggeleng. “Tapi aku
ingin melamar kamu di depan orang paling penting dalam hidupku,” jawabnya. Ia
bangkit dari kursi dan menarik lengan Ayu.
“Kita mau ke mana? Udah malam,
Nan.”
“Ke rumah sakit, Ay. Aku mau
lamar kamu di depan Mama Nia,” jawab Nanda.
Ayu langsung menghentikan
langkah dan mengerutkan wajahnya ke arah Nanda. “Ini sudah jam sebelas malam.
Waktu besuk udah habis, Nan. Mau ngajak berantem satpam rumah sakit?”
“Boleh juga,” jawab Nanda.
“NANDA! Aku nggak lagi
bercanda. Masih mau berantem sama orang?” seru Ayu.
“Hehehe. Jadi, gimana?”
“Besok pagi aja lamarannya,
oke?”
“Subuh?”
“Ya nggak subuh juga, Nanda!”
sahut Ayu menahan kesal.
“Yah, kalo siangan dikit, aku
ada banyak kerjaan, Ay.”
“Ya udah, pulang kerja, deh!”
pinta Ayu.
Nanda manggut-manggut sambil
menahan tawa. “Kenapa kita mau lamaran kayak mau beli sayur di pasar? Hahaha.”
“Iya, ya? Hihihi.”
Nanda langsung menjepit leher
Ayu dan mengajaknya keluar dari kantor perusahaannya itu.
“Mau ke mana?”
“Kita cari cemilan malam, yuk!”
“Nanti aku gemuk, Nan.”
“Kamu udah pernah gemuk dan
cukup menarik,” ucap Nanda.
Ayu tertawa kecil. Ia merangkul
pinggang Nanda dan melangkah bersama pria itu. Menyusuri jalanan di sekitar
Ruko Bandar dan mencari jajanan yang ingin mereka santap untuk menemani mereka
malam ini.
“Sst ...!” Nanda langsung
menghentikan langkahnya dan berjalan mengendap-endap ketika melihat Karina dan
Enggar berada di salah satu warung sate yang ada di sana.
Ayu menahan tawa melihat sikap
Nanda. Ia memperhatikan Enggar dan Karina yang terlihat begitu intim dan nyaris
ingin berciuman.
“DOR ...!” teriak Nanda sambil
menepuk pundak Enggar dan Karina bersamaan.
“ASTAGA! ANJING KAMU, NAN!”
seru Karina sambil memukuli tubuh Nanda.
Nanda terkekeh geli. “Makanya,
mau ciuman jangan di tempat umum. Hotel di sini masih banyak yang kosong.”
“Nggak level main di hotel.
Kita biasa main di penthouse,” sahut Karina sambil menyeringai ke arah Nanda.
“Iih ... ngakuin? Beneran?”
tanya Nanda sambil menatap wajah Enggar.
Enggar menggelengkan kepala.
“Halah, ngaku aja!” pinta Nanda
sambil menoyor pundak Enggar. “Aku udah puas yang begitu-begituan. Nggak usah
sok alim!”
“Aku nggak sebrengsek kamu,
Nan,” sahut Enggar.
“Emang aku brengsek?” tanya
Nanda.
“Astaga! Nggak sadar?” tanya
Enggar balik sambil menatap Nanda.
Karina ikut tertawa. Ia menatap
wajah Ayu. “Ayu, kenapa kamu mau sama cowok brengsek kayak gini? Aku tuh
dijodohin sama dia udah lama. Mau nikah, masih mikir seribu kali. Takut dianya
selingkuh lagi, selingkuh lagi.”
Ayu tersenyum sambil duduk di
depan Karina. “Sebenarnya aku juga nggak mau. Tapi dia ngejar-ngejar terus. Aku
capek lari, Rin. Udahlah, aku pasrah aja.”
“HAHAHA.”
“Kamu tega banget ngomong kayak
gitu, Ay? Kesannya terpaksa nerima aku,” tutur Nanda sambil menggaruk kepalanya
yang tidak gatal.
Ayu tertawa sambil menarik
lengan Nanda agar duduk di sampingnya. “Bercanda. Nggak usah ngambekan!”
“Aku nggak ngambek. Cuma lagi
mikir aja,” sahut Nanda sambil tertunduk lesu.
“Mikir apa?” tanya Ayu. Ia
mulai khawatir dengan ucapannya sendiri yang membuat raut wajah Nanda berubah
memburuk.
“Mikir ... kalau kamu pasrah
... bisa nggak dilakuin juga di ranjang?”
Ayu langsung mengerutkan
hidungnya ke arah Nanda. “Aku udah serius! Malah bercanda!”
Mereka semua tergelak dan
berbincang banyak hal tentang masa depan mereka. Ayu merasa sangat lega saat
mengetahui kalau Karina akan membantu menyelamatkan hubungan mereka. Wanita
cantik yang sedang dekat dengan Enggar itu berjanji akan membuat papanya tetap
menaruh investasi di perusahaan keluarga Nanda, meski perjodohan mereka
dibatalkan.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah jadi sahabat
setia bercerita!
Jangan lupa kasih komentar,
biar author makin semangat nulisnya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment