“Selamat siang, Kakek ...!”
sapa Ayu sambil melangkah masuk ke dalam kediaman pribadi Sri Sultan yang
berada di pusat keraton tersebut.
“Siang ...!” balas Sri Sultan
sambil menatap wajah Ayu.
Ayu tersenyum dan pandangannya
malah tertuju pada Nanda yang sedang menikmati secangkir kopi hitam bersama
kakeknya dan ada papan catur di tengah-tengah mereka.
“Duduklah!” pinta Sri Sultan
sambil menatap Ayu.
Ayu mengangguk. Ia segera duduk
di kursi yang ada di sebelah kiri kakeknya itu, ia berada tepat di tengah dua
pria berbeda zaman itu.
“Kamu kenal dengan pria ini?”
tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu.
Ayu mengangguk dan menunduk
sopan. “Mantan suami saya, Kakek.”
“Masih mencintai dia?” tanya
Sri Sultan.
Ayu bergeming sambil
menundukkan kepalanya.
“Ay ...!” panggil Nanda lembut
sambil meraih jemari tangan Ayu. “Will you marry me?”
Ayu langsung mengangkat
kepalanya menatap Nanda. Ia tidak menyangka jika pria ini akan melamarnya di
depan sang kakek. Sesepuh sekaligus orang yang paling disegani di keraton ini.
“Ay, kali ini aku memintamu
dengan cara baik-baik. Aku ingin menikahimu dengan cara yang baik pula. Bukan
karena aku merenggut kesucianmu dan kebahagiaanmu seperti dulu. Banyak hal
sulit yang sudah kita lalui bersama. Aku yang terlalu bodoh karena tidak pernah
menyadari jika Tuhan menjadikanmu takdirku,” tutur Nanda sambil menatap lekat
mata Ayu.
Ayu tersenyum sambil menatap
wajah Nanda. Pria ini benar-benar membuat perasaannya kacau setiap hari. Dia
yang brengsek saja tetap ia cintai, apalagi berubah menjadi selembut dan
sebijaksana ini. Terlebih, Nanda mengatakan banyak kalimat indah di hadapan
kakeknya.
“Ay, boleh ‘kan kalau aku
menjadi suamimu lagi?” tanya Nanda sambil menatap lekat wajah Ayu.
Ayu langsung menoleh ke arah
kakeknya, meminta persetujuan darinya. Karena pernikahan sebelumnya,
dilangsungkan tanpa persetujuan dan restu keluarganya. Ia ingin pernikahannya
kali ini mendapat restu dari semua keluarga hingga membuatnya bisa menjalani
rumah tangga dengan tenang dan bahagia.
“Kamu mencintai pria ini atau
tidak?” tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu.
“Ayu mencintai Nanda, Kek,”
jawab Ayu sambil menatap wajah Sri Sultan.
“Kalau begitu ... ulang tahun
kakek yang ke sembilan puluh kali ini, berikan hadiah pernikahan kalian!” pinta
Sri Sultan.
“Sungguh?” Ayu menatap wajah
Sri Sultan dengan mata berbinar. “Kakek akan merestui pernikahan kami?”
Sri Sultan mengangguk. “Kamu
sudah banyak menderita beberapa tahun ini. Dosamu sudah kamu tebus. Jika
bersama pria ini bisa membuatmu bahagia, Kakek tidak akan menghalangimu.”
Ayu tersenyum dan memerosotkan
tubuhnya. Ia bersimpuh di hadapan Sri Sultan dan bersujud di bawah kaki
kakeknya itu. “Kakek, maafkan Roro Ayu karena pernah menjadi aib dan
mempermalukan seluruh keluarga keraton. Maafkan Ayu karena tidak menjadi anak
yang berbakti, tidak bisa menjaga nama baik keluarga dan melukai semuanya.”
Sri Sultan mengangguk sambil
menyentuh lembut pundak Ayu. “Hal yang sudah berlalu, sesalilah untuk membuatmu
lebih baik di masa depan! Hari ini ... pria yang dahulu mengambilmu dari
keluarga tanpa permisi, datang baik-baik ke hadapan kakek dan memintamu dengan
tulus. Maka, jangan sia-siakan pria yang kamu cintai agar kamu tidak akan
menyesal di masa depan.”
Ayu menganggukkan kepala sambil
menitikan air mata.
“Saat kamu sudah berumah
tangga, jadilah istri yang berbakti. Baik-buruknya suami, kamulah yang akan
menjaga namanya. Rumah tangga itu bukan tentang keindahan, Nak. Bukan tentang
kebahagiaan. Tapi tentang rasa sakit dan bertahan hidup. Kamu tidak lagi bisa
memikirkan dirimu sendiri, tapi harus merelakan jiwa ragamu untuk memikirkan
suami, anak-anak kalian dan keluarga,” ucap Sri Sultan sambil menatap Ayu yang
masih sungkem di hadapannya.
Nanda tersenyum. Ia ikut
berlutut di hadapan Sri Sultan dan melakukan sungkem bersamaan dengan Ayu.
Memohon restu agar ia dan Ayu bisa melangsungkan pernikahan mereka tanpa harus
bersembunyi dari semua orang.
...
Nanda melangkahkan kakinya
perlahan sembari menggandeng tangan Ayu. Mereka berdua berjalan beriringan
menyusuri jalanan malam di sekitar keraton. Sebelah kanan-kiri mereka penuh
dengan penjual jajanan dan souvenir oleh-oleh khas kota itu.
“Hei, udah pada baikan!?” seru
Nadine sambil menepuk pundak Ayu.
Ayu langsung mengelus dada
sambil menoleh ke arah Nadine. “Kamu ini ngagetin aja, sih!?”
Nadine langsung meringis sambil
merangkul Rocky yang ada di sebelahnya. “Ikut pacaran, dong!”
“Emang kalian berdua pacaran?”
tanya Nanda sambil menunjuk wajah Rocky.
“Kami bukan pacar, tapi pacaran
setiap hari!” sahut Rocky sambil menepis tangan Nanda.
“Hahaha.”
“Kapan merit? Kayaknya, kalian
ini pacarannya udah lama, ya?”
“Kami udah merit, Nan. Tapi
belum resepsi aja,” sahut Rocky.
“Oh.” Nanda manggut-manggut.
“Enak juga sih kalau udah sah. Terus, kapan rencana resepsinya?” tanya Nanda.
“Masih lama. Banyak yang harus
diurus, Nan. Dikira nyiapin pernikahan itu gampang apa?”
“Gampang. Tinggal telepon
vendor aja!” sahut Nanda sambil tertawa kecil.
“Kamu duluan kalau gitu!” pinta
Rocky.
“Sebentar lagi,” jawab Nanda
sambil memainkan alisnya. Ia langsung merangkul tubuh Ayu dan mengecup kening
wanita itu.
“Hei, pacaran tuh kayak gini!”
tutur Rocky sambil mengecup bibir Nadine. “Kayak anak SMP aja pacaran kecup
kening.”
“Apaan, sih!? Tempat umum ini
banyak anak kecil,” dengus Nadine sambil menoyor wajah Rocky.
Rocky tertawa kecil sambil
melingkarkan lengannya di leher Nadine dan menarik ke ketiaknya. “Mau makan
apa?”
“Apa aja, yang penting sama
kamu,” jawab Nadine sambil tersenyum menatap wajah Rocky.
“Kita makan sate aja, yuk!”
ajak Rocky.
“Sate di Surabaya banyak,”
sahut Nadine.
“Jadi, mau makan apa? Laper,
nih.” Rocky mengedarkan pandangannya sambil mengelus perut dengan satu tangannya.
“Nasi goreng aja, Ky,” sahut
Nanda.
“Nasi goreng di rumah juga bisa
bikin,” sambar Ayu.
Rocky dan Nanda menghela napas
menatap dua wanita milik mereka itu. “Kalian ini mau ngajak gelud, ya?”
Ayu dan Nadine terkekeh
bersamaan.
“Kita makan orang aja, Nan!”
ajak Nanda. “Di Surabaya belum ada warung makan yang sediain menu manusia
goreng. Di sini ada, nggak?”
“Ada. Kalau kamu yang
digoreng,” sahut Ayu sambil tertawa kecil.
Nanda tertawa mendengar ucapan
Rocky. Ia merangkul Ayu dan mengajaknya masuk ke dalam salah satu kedai Gudeg
Ceker yang terkenal dan sangat legendaris di kota Solo.
Ayu tersenyum sambil menatap
wajah Nanda yang masih terus memeluknya. “Kamu tahu tempat ini?”
Nanda mengangguk. “Waktu itu
nyari-nyari makan di sekitar sini sama Karina. Lumayan viral di internet dan
rasanya emang enak.”
Ayu tersenyum sambil menatap
wajah Nanda. Pandangannya langsung teralih pada sepasang muda-mudi yang duduk
berhadapan di salah satu meja yang ada di sana. “Itu ... Mbak Karina sama Mas
Enggar ‘kan?” tanya Ayu.
Nanda langsung memutar
kepalanya. “Iya. Sejak kapan mereka deket?” Ia mengernyitkan dahi ke arah
Karina dan Enggar yang sedang asyik berbincang hingga tak menyadari kehadiran
mereka.
Ayu menggelengkan kepala.
“Kenapa? Cemburu?”
Nanda menggeleng sambil
tersenyum manis. “Aku cemburu kalau kamu sama si cowok bangsawan itu.”
Ayu tertawa kecil sambil
menatap wajah Nanda. “Kenapa kamu jadi cemburuan gini?”
“Aku nggak cemburu, cuma takut
kehilangan kamu,” bisik Nanda.
Ayu tersenyum sambil menyubit
kecil perut Nanda. “Gombal terus!”
“Kalian ini ... mau pesen makan
atau mau mesra-mesraan? Kalau mau mesra-mesraan, ke hotel aja!” tanya Rocky
yang sudah berdiri di belakang Nanda bersama Nadine.
Nanda tertawa kecil dan menatap
penjual makanan yang sedang menghidangkan makanan untuk pelanggan mereka.
“Bude, pesen gudeng cekernya empat porsi. Antar ke meja sana, ya!” pintanya
sambil menunjuk meja dan kursi panjang yang diduduki oleh Enggar dan Karina. Ia
langsung mengajak Rocky dan dua wanita mereka untuk bergabung di sana.
“Ciyee ... pacaran?” goda Nanda
sambil menghampiri Karina.
Karina tersenyum malu sambil
menyikut tubuh Nanda yang sudah duduk di sampingnya. “Apaan, sih!?”
“Malu-malu gitu?” Nanda
menunjuk wajah Karina yang memerah dan semakin bersemangat untuk menggoda
wanita itu.
Karina mengerutkan hidung ke
arah Nanda. “Nggak usah ngecengin! Aku sama Mas Enggar cuma ngomongin rencana
bisnis.”
“Ngomongin rencana bisnis apa?
Bikin anak?” tanya Nanda.
“Hahaha.” Rocky langsung
tergelak mendengar pertanyaan Nanda. “Bener-bener. Bikin anak juga bagian dari
produksi. Masuk kategori bisnis, tuh.”
“Rocky seneng banget kalau
disuruh bisnis anak!” sahut Nanda sambil tertawa.
“Hahaha. Anak-anakku udah
banyak, Nan.”
“Eh!? Serius?” tanya Nanda
sambil melebarkan kelopak matanya. Ia menoleh ke arah Ayu yang duduk di
sebelahnya. “Kita kapan punya anak lagi?”
“Setelah kita sah, ya! Jangan
buat masalah lagi! Oke?” pinta Ayu sambil tersenyum manis.
Rocky menahan tawa sambil
menatap wajah Nanda yang ada di depannya. “Kenapa? Barangmu udah karatan karena
tiga tahun lebih nggak pernah diasah?”
“Ck. Kamu jangan gitu, dong!
Sekali diasah, keluarnya anak!” sahut Nanda.
“HAHAHA.”
Semua orang tergelak dan
menikmati makan malam mereka penuh suka cita sembari membicarakan banyak hal.
Ayu tersenyum sambil menatap
semua orang yang sedang bersamanya satu per satu. Baru kali ini, ia merasa
hidupnya begitu ramai. Biasanya, Nanda tidak pernah mengajaknya pergi makan
bersama seperti ini selain acara perjamuan keluarga atau rekan bisnisnya. Bisa
bercanda tanpa jeda seperti ini, barulah ia merasa hubungannya dengan Nanda tak
lagi berjarak.
((Bersambung ...))
Terima kasih sudah jadi sahabat
setia bercerita!
Dukung terus biar author makin
semangat nulisnya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment