Enggar melangkahkan kakinya
perlahan menyusuri koridor menuju ke kamar Ayu.
“Ayu ...!” panggil Enggar
sambil masuk ke dalam kamar Ayu karena kamar wanita itu dibiarkan terbuka.
Artinya, Ayu sedang bersantai di kamar bersama dengan pelayan-pelayannya.
“Ya, Mas.”
“Besok malam ada acara
perjamuan untuk ulang tahun Sri Sultan. Kamu mau ngasih hadiah tarian atau
nggak?”
“Mmh, boleh.” Ayu mengangguk
sambil tersenyum manis.
“Kamu mau nari apa? Rama-Shinta
lagi?” tanya Enggar sambil tersenyum manis ke arah Ayu.
“Emangnya kalau nari harus
pasangan?” tanya Nanda yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Ayu.
“Iya,” jawab Ayu santai.
“Kalau mau pasangan, kamu cuma
boleh pasangan sama aku!” pinta Nanda sambil menghampiri Ayu dan duduk di
sebelah wanita itu.
“Emangnya kamu bisa nari?”
tanya Ayu.
Nanda gelagapan mendengar
pertanyaan Ayu. “Aku bisa silat. Nggak beda jauh gerakannya sama nari.”
Ayu memutar bola matanya.
“Nggak usah sok cemburu dan posesif! Nggak cocok!”
“Kamu ...!?” Nanda menatap
geram ke arah Ayu. “Bisa nggak menghargai keberadaanku, Ay. Aku nggak mau kamu
deket-deket sama cowok lain,” pintanya manja sambil menggenggam tangan Ayu.
Ayu mengernyitkan dahi melihat
tingkah Nanda yang tiba-tiba berubah seperti anak kecil. Ia melirik ke arah
Enggar yang terlihat sedang menahan tawa. “Jangan kayak anak kecil gini, Nan!”
pintanya.
“Biar aja!” sahut Nanda sambil
memeluk lengan Ayu dan bergelayut manja di tubuh Ayu.
Ayu memutar bola mata
menghadapi sikap Nanda yang begitu manja. “Nan, kalau kamu masih manja kayak
gini, aku nggak mau ketemu sama kamu lagi!”
Nanda langsung melepaskan
lengan Ayu dan menatap wajah wanita itu. “Kamu tega banget sama suami sendiri?”
“Aku nggak suka lihat tingkah
manjamu ini! Kamu bukan anak kecil lagi!” ucap Ayu sambil bangkit dari tempat
duduk dan melangkah keluar dari kamar. “Ayo, Mas Enggar! Kita latihan nari di
aula aja!”
Enggar tersenyum sambil
menganggukkan kepala. Ia menoleh ke arah Nanda, mengerdipkan mata ke arah pria
itu dan melangkah menyusul Ayu ke ruang aula yang ada di keraton tersebut.
Nanda mendengus kesal ke arah
Enggar dan ikut mengejar langkah pria itu.
“Permisi, Tuan Ananda ...!
Dipanggil oleh Kanjeng Bopo Edi Baskoro di ruang rapat utama.” Salah seorang
pelayan tiba-tiba menghampiri Nanda.
Nanda langsung menghentikan
langkahnya. Ia teringat akan urusan bisnis yang sebenarnya sedang ia lakukan
bersama Karina di tempat tersebut. Nanda menyeringai kesal sembari menatap Ayu
dan Enggar yang sudah berjalan beriringan menyusuri koridor menuju aula tempat
mereka berlatih menari. Ia sangat penasaran dengan apa yang dibicarakan oleh
dua orang itu di ujung sana.
“Mari, Tuan ...!” Pelayan itu
mengacungkan jempolnya, mempersilakan Nanda untuk menuju ke arah ruang rapat
yang ada di keraton tersebut.
Nanda menghela napas kecewa dan
melangkahkan kakinya. “Karina ... Karina ...! Kenapa ngajak rapat di saat kayak
gini? Nggak tepat banget. Itu si Ayu ... aih ... bisa mesra-mesraan sama anak
bangsawan itu kalau cuma berduaan doang,” batinnya.
Di sisi lain, Ayu dan Enggar
sudah berada di ruang aula untuk berlatih menari bersama.
“Kamu sengaja mau buat pacar
kamu itu cemburu?” tanya Enggar sambil menatap wajah Ayu.
Ayu tersenyum menanggapi
pertanyaan Enggar. “Kelihatan jelas, Mas?”
Enggar mengangguk. “Kelihatan
juga kalau dia jealous.”
Ayu tertawa kecil. “Baguslah.
Biar dia tahu rasanya kalau perasaannya dimainin tuh kayak apa. Emang dia aja
yang bisa punya banyak cewek? Kalau aku mau, aku juga bisa punya banyak cowok.”
Enggar tersenyum dan duduk di
kursi yang ada di sana. “Tapi aku tahu kalau kamu nggak akan ngelakuin itu.”
Ayu menghela napas sambil
tertunduk lesu. “Susah, Mas. Aku susah untuk berpindah hati. Setelah putus dari
Sonny, aku udah nggak bisa suka sama yang lain lagi. Mentok aja gitu ke Nanda.
Udah bertahun-tahun pisah, aku juga tetep nggak bisa lepas dari dia. Kupikir,
dia yang don juan itu akan mudah menikah lagi setelah aku pergi.”
“Mungkin dia sudah tobat, Ay.”
“Emangnya cowok brengsek bisa
tobat?” tanya Ayu.
“Sebrengsek-brengseknya cowok,
akan ada saatnya dia berubah ketika dia sudah menemukan cinta dalam hidupnya
dan sudah memiliki seorang anak,” jawab Enggar sambil menatap wajah Ayu.
“Aamiin. Semoga aja dia berubah
ya, Ma. Aku masih worry banget. Gimana kalau sifat playboy dia itu kumat lagi
saat dia udah tua nanti?”
Enggar tertawa kecil. “Kurasa,
dia sudah berada di bawah kendalimu saat dia tua nanti.”
“Kenapa Mas Enggar berpikir
seperti itu?” tanya Ayu sambil tertawa kecil.
“Karena aku melihat jelas
bagaimana tingkahnya. Bagaimana cara dia mengejarmu kembali dan bagaimana cara
dia ingin menguasaimu,” jawab Enggar sambil tersenyum.
Ayu tersenyum menanggapi ucapan
Enggar. Ia harap, Nanda bisa berubah seperti yang ia inginkan. Berubah menjadi
pria yang lebih baik lagi untuk ia dan anak-anaknya di masa depan.
“Ayu ...! Mas Enggar ...!”
Suara teriakan seorang wanita,
langsung mengalihkan pandangan Enggar dan Ayu bersamaan.
“Nadine?” Ayu dan Enggar saling
menatap sambil mengernyitkan dahi. Entah mengapa, Nadine tiba-tiba datang ke
keraton tersebut.
“Gimana kabar kamu, Ay?” tanya
Nadine sambil merengkuh tubuh Ayu.
“Aku baik. Kamu gimana? Tumben
main ke sini?” balas Ayu sambil tersenyum manis.
“Aku baik juga. Nemenin Okky ke
sini. Katanya, ada urusan bisnis sama papa kamu.”
“Eh!? Serius? Ketemu Nanda,
dong?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nadine.
“Nanda ada di sini juga?” tanya
Nadine.
Ayu mengangguk. “Katanya ada
bisnis sama ayahku. Bawa cewek pula ngurus bisnisnya. Emangnya temen bisnis
harus cewek, ya? Kalau cinlok, gimana?”
“Dimakan aja! Kan, enak,” sahut
Nadine.
“Itu cilok, Nadine!” seru Ayu
kesal.
Nadine terkekeh dan duduk di
samping Ayu. “Kenapa kamu jadi baperan gini? Nanda sam Okky itu sebelas
duabelas, Ay. Sama-sama banyak ceweknya. Nggak usah baper! Kita harus buat diri
kita jadi wanita paling baik dan tempat paling nyaman buat cowok-cowok seperti
mereka. Kalau udah lelah sama cewek hiburannya, pasti bakal balik lagi ke
kita.”
Ayu menghela napas. “Kamu bener
juga, sih. Tapi tetep aja makan hati kalau ingat dia sama cewek lain. Cowok
kamu itu ... playboy-nya cuma gaya-gayaan aja karena duitnya banyak. Nggak
sampe berakhir di ranjang bareng kayak Nanda ‘kan? Aku tuh trauma banget
diselingkuhi mulu.”
Nadine tertawa kecil. “Aku
nggak tahu soal itu, Ay. Aku juga nggak mau tahu. Semakin ingin tahu, akan
semakin bikin hatiku sakit. Yang aku tahu, dia sayang sama aku dan mau
ngelakuin apa aja buat aku. Termasuk ngasih nyawa dia ke aku. Semua cewek yang
lagi deket sama dia, aku juga tahu.”
“Kamu diem aja digituin, Nad?”
tanya Ayu.
“Diemin aja, Ay. Ntar juga
balik sendiri. Gaya banget jalan sama cewek sana-sini. Giliran kita cuekin, dia
ketar-ketir juga. Apalagi kalau dia sakit atau susah. Siapa lagi yang dia cari
kalau bukan kita? Cewek-cewek yang mau happy-happy doang sama dia, mana mau
ngurusin pasangan kita waktu lagi sakit atau susah. Kalo udah kayak gitu,
tinggal aku omelin aja tuh cowok biar sadar.”
Ayu tertawa kecil. “Kamu ada
benernya juga, sih. Kalau suami sakit, nggak mungkin cewek simpanannya yang
rawat dia sampai sembuh. Tetep aja ujung-ujungnya nyari istri. Cowok tuh emang egois!”
“Ehem!” Enggar langsung
berdehem mendengar pembicaraan Nadine dan Ayu.
Ayu dan Nadine menoleh ke arah
Enggar bersamaan dan tertawa. “Maaf, Mas Enggar!” ucap mereka bersamaan.
“Jangan karena kalian dapet cowok playboy,
terus menyamaratakan semua cowok di dunia ini!” pinta Enggar sambil tersenyum
menatap Nadine dan Ayu.
“Inggih, Mas!” sahut Nadine dan
Ayu bersamaan.
“Ayo, nari lagi! Nadine ikut?”
Nadine mengangguk sambil
tersenyum manis. Mereka sudah bersama di sanggar tari sejak kecil dan menari
adalah bagian dari kesenangan yang tidak bisa mereka tinggalkan meski sudah
memiliki kesibukan dengan profesi masing-masing.
“Ndoro Puteri ...! Dipanggil
untuk menghadap Kanjeng Sri Sultan,” tutur salah seorang pelayan keraton sambil
menghampiri Ayu.
“Eh!? Ada apa?” tanya Ayu sambil
menoleh ke arah pelayan tersebut.
Pelayan itu menggeleng dengan
tubuh tetap membungkuk hormat.
Ayu langsung menghentikan
gerakan tarinya. “Mas Enggar, Nadine, aku pergi dulu, ya!”
Nadine dan Enggar mengangguk
bersamaan. Mereka melanjutkan berlatih tari bersama dan membiarkan Roro Ayu
pergi meninggalkan tempat tersebut.
Ayu segera melangkah menuju
kediaman kakeknya. Ia tidak tahu apa yang akan dibicarakan oleh sang kakek.
Biasanya, Sri Sultan memanggilnya hanya untuk mengatakan hal-hal penting saja. Ia
harap, tidak ada masalah besar yang membuat Sri Sultan tiba-tiba memanggilnya
ke dalam kediaman pribadinya.
0 komentar:
Post a Comment