Ayu memalingkan wajahnya saat
wajah Nanda semakin mendekatinya.
“Ay, kamu kenapa cuekin aku?
Bahkan, pelayanmu juga ikut ketus sama aku,” tanya Nanda sambil menarik dagu
Ayu agar menatapnya.
“Kamu pikir aja sendiri!” sahut
Ayu sambil mendorong tubuh Nanda dan duduk di kursi panjang yang ada di dalam
kamarnya.
“Aku udah mikir berhari-hari
dan aku masih nggak tahu kenapa kamu berubah. Apa karena ada pria bangsawan itu
yang selalu ada di samping kamu. Kamu udah lupa sama aku, sama janji kita?”
sahut Nanda.
Ayu mengernyitkan dahi menatap
Nanda. “Kenapa jadi bawa-bawa Mas Enggar?”
“Karena kamu sama dia itu
narinya mesra banget. Pegang-pegangan tangan. Dia nggak pake baju dan kamu cuma
pake kemben doang gitu. Nggak mungkin nggak nafsu kalau sering bersentuhan kulit
kayak gitu!” sahut Nanda kesal.
“Aku kayak gitu karena
profesionalitas aku sebagai penari. Mana mungkin kami nari pasangan kayak orang
musuh-musuhan. Sedangkan kamu, kamu bisa mesra-mesraan, rangkul-rangkulan dan
ketawa-ketiwi sama cewek lain di tempat umum. Aku tuh capek sama kamu, Nan.
Kamu bilang sayang ke aku, tapi bilang sayang juga ke cewek lain!” seru Ayu tak
mau kalah.
Nanda terdiam menatap wajah
Ayu. “Kamu lihat aku di mana?”
“Kenapa? Kaget? Mentang-mentang
aku lagi dihukum nggak boleh keluar keraton, kamu bisa seenaknya aja jalan sama
cewek yang kamu mau? Bagus, Nan. Kamu bikin aku menyesal bertubi-tubi karena
udah percaya sama cowok brengsek kayak kamu!” sahut Ayu sambil menatap tajam ke
arah Nanda.
“Aku nggak jalan sama
siapa-siapa, Ay. Aku cuma ngurus bisnis dan nggak deket sama siapa pun. Kamu
jangan salah paham dulu, dong!” pinta Nanda sambil meraih lengan Ayu dan
berusaha membujuknya.
Ayu menepis kasar tangan Nanda.
“Jelas-jelas kamu bawa perempuan itu masuk ke sini. Masih nggak mau ngaku!?”
“Eh!?” Nanda melongo mendengar
ucapan Ayu. “Maksud kamu ... Karina?”
“Siapa lagi!?” dengus Ayu
kesal.
Nanda tergelak sambil menatap
wajah Ayu.
“Kenapa malah ketawa, sih!?
Lucu?” seru Ayu makin kesal.
Nanda mengangguk sembari
menahan tawa. “Kamu lucu banget kalau lagi cemburu kayak gini. Biasanya, nggak
pernah kayak gini. Dulu aku punya banyak pacar, kamu nggak pernah ngambek kayak
gini.”
Ayu menyeringai kesal ke arah
Nanda. “Ya udah, kita balik aja kayak dulu lagi! Banyakin aja pacarmu,
BANYAKIN!” sahutnya. “Dan aku bersumpah aku nggak akan pernah cin—” Ucapan Ayu
terhenti saat Nanda tiba-tiba membungkam mulutnya.
“Jangan, Ay! Aku lebih suka
kamu yang sekarang,” sahut Nanda sambil merapatkan tubuhnya dan menatap lekat
mata Ayu. “Aku lebih suka kamu yang bawel, kamu yang bisa ngata-ngatain aku,
kamu yang bisa marah dan cemburu seperti ini.”
Ayu terdiam sembari membalas
tatapan Nanda yang terasa begitu hangat menjalar ke seluruh tubuhnya. “Oh, God!
Otakku kenapa? Stupid banget!” batinnya sambil berusaha melepaskan diri dari
Nanda yang sudah merangkul pinggangnya. Namun, ia malah mematung dan tidak bisa
menggerakkan seluruh tubuhnya. Otaknya benar-benar tidak bisa bekerja dengan
baik dan tidak mengerti mengapa tatapan mata pria ini membuatnya lumpuh.
Nanda menatap lekat mata Ayu.
Ia mengelus lembut pipi wanita itu dan mengecup lembut bibir mungilnya.
Ayu menelan saliva dan hanya
mematung saat Nanda mengecup lembut bibirnya. Tangannya mengepal erat dan ingin
memukul Nanda sepuasnya. Tapi semua itu tidak bisa ia lakukan. Ia lebih sibuk
melawan dirinya sendiri yang ingin membenci Nanda, tapi tetap tidak bisa. Cinta
... benar-benar membuatnya sangat bodoh.
“Udah ya, marahnya!” pinta
Nanda sambil merapikan anak rambut Ayu. “Kita udah terlalu lama berpisah, sudah
terlalu banyak hal yang dikorbankan. Waktu, tenaga, pikiran dan semuanya. Aku
nggak mau kalau hubungan kita berakhir hanya karena kesalahpahaman. Aku ingin
...cinta kita tidak pernah berakhir meski dunia ini sudah berakhir.”
Ayu menatap wajah Nanda dan
bulir air matanya jatuh begitu saja.
“Ay, kalau kamu cinta sama aku
... kamu percaya sama aku! Aku berani bersumpah, nggak ada wanita lain selain
kamu di hatiku saat ini dan sampai mati,” ucap Nanda sambil menatap wajah Ayu.
“Terus, siapa cewek yang selalu
sama kamu itu, Nan?” tanya Ayu. Hatinya benar-benar sulit untuk diyakinkan
karena masa lalu Nanda yang begitu mengesalkan.
“Dia ... sudah seperti adikku
sendiri. Sebenarnya, aku dan Karina dipaksa untuk melakukan pernikahan bisnis.”
“Tuh, kan?” Ayu langsung
menepis kedua tangan Nanda dan melangkah pergi dengan mengentakkan kakinya.
Sepertinya, tidak ada hal dalam diri Nanda yang tidak pernah membuatnya kesal.
“Ay, dengerin aku dulu!” Nanda
langsung menahan tubuh Ayu dan memeluknya dari belakang. “Aku janji, akan
melawan semua orang untuk mempertahankan hubungan kita. Meski harus
mempertaruhkan nyawaku, aku akan melakukannya. Please, kasih aku kesempatan
untuk memperjuangkanmu ... sekali lagi!” pintanya lirih.
Ayu terdiam sejenak dan
membalikkan tubuhnya menatap Nanda. “Gimana cara kamu meyakinkan aku kalau kamu
nggak akan selingkuh lagi?”
“Kamu mau aku ngelakuin apa
supaya kamu percaya sama aku?” tanya Nanda.
“Mmh ...” Ayu berpikir sejenak
sambil melangkahkan kaki, mondar-mandir di hadapan Nanda.
Wajah Nanda seketika menegang
saat Ayu terlihat begitu serius meminta pembuktian darinya. Ia harap,
permintaan Ayu masih wajar dan bisa untuk ia penuhi.
“Mmh ... di belakang kamarku
ini ada kolam. Aku mau ... kamu berendam selama tiga hari tiga malam di sana!”
ucap Ayu sambil menatap jahil ke arah Nanda.
“Oke. Aku akan lakuin itu.
Sekarang?” tanya Nanda lagi.
Ayu mengedikkan bahunya. “Tahun
depan juga nggak papa.”
“Nggak kawin-kawin kita kalau
masih harus nunggu tahun depan,” celetuk Nanda.
“Emangnya aku mau kawin sama
kamu?” dengus Ayu sambil mengerutkan hidungnya.
“Heleh ... sok gengsi! Dicium
aja keenakan, masa dikawinin nggak mau?” goda Nanda.
“Iih ... kamu!?” Ayu mendengus kesal sambil
memukul pundak Nanda.
Nanda terkekeh geli. Ia terus
menggoda Ayu dan menikmati wajah wanita itu yang merona merah dan terlihat
sangat menggemaskan di matanya.
...
Di tempat lain ...
Enggar mengajak Karina untuk
duduk di salah satu pendopo yang ada di bagian kanan sayap keraton tersebut.
Pendopo itu tepat berada di atas kolam air yang dipenuhi ikan-ikan hias
berukuran besar dan daun teratai yang tumbuh indah.
“Mmh, kamu bilang ... kamu
punya tawaran bisnis untuk aku. Kamu bisnis apa?” tanya Karina sambil menatap
wajah Enggar.
Enggar tersenyum sembari
mengangkat teko berisi teh hangat dan menuangkannya ke dalam gelas. Kemudian,
mengulurkannya ke arah Karina. “Saya dengar, Dua Permata adalah perusahaan yang
memiliki banyak pabrik di beberapa kota di Jawa Timur. Saya biasa menjual
bahan-bahan mentah untuk kebutuhan pabrikmu. Akan saya kasih harga yang lebih
murah dari supplier lain dengan kualitas lebih baik.”
Karina mengernyitkan dahi
menatap Enggar. “Aku sudah lama berkecimpung dalam dunia bisnis. Barang
berkualitas, tidak mungkin dijual dengan harga murah. Cara mendapatkannya saja
susah. Aku tidak bisa ditipu dengan iming-iming harga murah karena aku lebih
mementingkan kualitas.”
“Kalau mau yang kualitas lebih
baik dan lebih mahal lagi, juga ada,” tutur Enggar sambil tersenyum menatap
wajah Karina.
“Yang benar yang mana?” tanya
Karina lagi.
Enggar menghela napas sambil
menatap wajah Karina. Entah mengapa, membicarakan bisnis dengan wanita ini
tiba-tiba menjadi hal sulit. Wajah cantik Karina, benar-benar membuat
pikirannya teralihkan begitu saja dan tidak fokus saat diajak bicara.
Karina tersenyum sambil menatap
wajah Enggar. “Kalau kamu ingin mengajakku berbisnis. Kamu harus bisa
menyampaikannya dengan harga dan kualitas yang masuk akal!” pintanya.
“Mmh ... aku tidak begitu suka
menyia-nyiakan niat baik orang lain. Karena kamu sudah memberiku secangkir teh,
aku akan memberimu kesempatan untuk menjalin bisnis denganku. Aku mau lihat
sampel bahan-bahan baku milikmu lebih dulu. Barulah aku akan menentukan, kita
bisa menjalin kerjasama bisnis atau tidak,” ucap Karina sambil tersenyum
menatap Enggar.
Enggar balas tersenyum. Ia
mengajak Karina untuk membicarakan rencana bisnis masa depan dan membuat
pembicaraan mereka masuk ke dalam kehidupan pribadi masing-masing.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah jadi sahabat
setia bercerita!
Mohon maaf kalau author
update-nya tengah malam. Udah kayak hantu aja, yak? Hihihi.
Stay with love and me ...!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment