Nanda tersenyum penuh percaya
diri saat ia dan Karina berhasil masuk ke dalam Keraton Surakarta dengan alasan
untuk melakukan ekspansi bisnis.
“Rin, kenapa nggak dari dulu
aja aku masuk ke keraton ini dengan alasan bisnis?” tanya Nanda lirih sambil mengikuti
dua pengawal keraton yang sudah berjalan lebih dulu di hadapan mereka.
“Kamu aja yang bego. Otak tuh
dipake! Bukan buat pajangan doang!” sahut Karina.
“Sialan kamu, Rin!” celetuk
Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Entahlah, mungkin karena
terlalu banyak mikirin Ayu. Sampe nggak kepikiran yang lain.”
“Gayamu, Nan!” sahut Karina
sambil menoyor pundak Nanda.
“Eh!? Sst ...!” Nanda
meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. “Kita di keraton, Rin. Harus jaga sikap
dan elegan!”
“Oh, iya.” Karina menarik napas
dan menegakkan tubuhnya. Ia memasang sikap elegan dan melangkah mengikuti
pengawal keraton memasuki aula pertemuan yang ada di halaman muka keraton
tersebut.
“Selamat pagi, Tuan ...!” sapa
Karina begitu ia memasuki aula tersebut dan disambut oleh seorang pria paruh
baya yang tak asing lagi di mata Nanda. Pria itu adalah Edi Baskoro, mantan
mertuanya.
“Pagi ...! Dengan Mbak Karina
dari PT. Dua Permata?” balas Edi Baskoro sembari mengulurkan tangannya ke arah
Karina.
Karina mengangguk dan membalas
uluran tangan Edi Baskoro. “Karina Permata, Tuan. Ini rekan saya, Ananda
Putera,” ucapnya sembari menoleh ke arah Nanda.
Edi Baskoro langsung tersenyum
dan mengulurkan tangannya ke arah Nanda. “Salam kenal ...!”
“Salam kenal, Tuan ...!” balas
Nanda. Ia tersenyum manis sembari membalas uluran tangan Edi Baskoro. Ia hanya
bisa meringis ketika mantan papa mertuanya itu mencengkeram tangannya begitu
kuat.
“Silakan duduk!” pinta Edi
Baskoro dengan sopan sembari menunjuk kursi tamu yang sudah tersedia di sana.
Karina dan Nanda mengangguk
bersamaan. Mereka segera duduk di kursi yang telah disiapkan untuk mereka.
Beberapa orang pegawai istana juga sudah berkumpul di aula pertemuan tersebut.
“Selamat pagi semuanya ...!”
sapa Edi Baskoro membuka pembicaraan di aula tersebut. “Hari ini kita
kedatangan tamu istimewa untuk membicarakan hubungan bisnis dari PT. Dua
Permata milik Ibu Karina. Sebelum kita membicarakan bisnis lebih lanjut, mari
kita sambut kedua tamu istimewa ini dengan tarian pembuka yang akan dibawakan
oleh sepasang penari legendaris di kalangan bangsawan kami. Yakni, Raden Mas
Enggar Perkasa Dierjaningrat dan Raden Roro Ayu Rizky Prameswari.”
Nanda langsung memutar
kepalanya begitu mendengar nama dua orang itu disebut. Ia langsung bangkit dari
tempat duduk dan berusaha mencari keberadaan istrinya itu.
“Nan ...!” Karina langsung
menarik lengan Nanda agar kembali duduk di sisinya.
Nanda menoleh sekilas ke arah
Karina dan duduk kembali di kursinya. Dua manik matanya langsung tertuju pada
tubuh Roro Ayu yang muncul dari balik pintu besar di belakang singgasana yang
diduduki oleh Edi Baskoro.
Kedua tangan Nanda mengepal
erat saat melihat Ayu dan Enggar menarikan tarian Selamat Datang dengan pakaian
tradisional yang sangat terbuka baginya. Enggar hanya mengenakan celana dan
jarik motif parang yang khas dengan aksesoris tradisional yang terbuat dari
emas asli. Sedangkan Ayu, menggunakan kemben warna hijau ala Nyi Ratu Kidul dan
jarik bermotif sama dengan yang digunakan oleh Enggar.
Ayu terdiam sejenak saat manik
matanya menangkap tubuh Nanda yang sedang duduk berpegangan tangan dengan
Karina. Ia semakin merapatkan tubuhnya pada Enggar sembari mengikuti irama
musik yang menguasai ruangan tersebut. Ia benar-benar kesal karena Nanda masih
punya keberanian untuk masuk ke dalam keraton itu menggunakan hubungan bisnis
bersama dengan wanita simpanannya.
Lima belas menit kemudian, Ayu
mengerjapkan mata saat ia dan Enggar hampir menyelesaikan tariannya.
Pandangannya tiba-tiba memburam dan kepalanya sedikit pening. Ia langsung
memutar tubuhnya menuju pintu belakang dan berusaha mempercepat langkahnya.
Tapi, pandangan matanya semakin buruk dan membuatnya tidak bisa melihat apa
pun.
BRUG ...!
Tubuh Ayu tiba-tiba merosot ke
lantai dan tak sadarkan diri.
“AYU ...!” seru Enggar sambil
berusaha menangkap tubuh Ayu.
“Ay ...!” Nanda langsung
bangkit dari kursi begitu melihat Ayu tiba-tiba terjatuh saat ingin kembali ke
belakang panggung. Baru saja ingin mengejar Ayu, ia langsung mengurungkan
niatnya ketika Enggar sudah menggendong tubuh Ayu lebih dulu dan membawanya
masuk ke dalam pintu belakang singgasana itu.
“Kenapa, Nan?” tanya Karina
sambil menarik kembali lengan Nanda.
“Istriku, Rin.”
“Dia istrimu?” bisik Karina.
Nanda mengangguk dan kembali
duduk di kursinya. Perasaannya tiba-tiba gelisah saat melihat Ayu terjatuh di
sana. Ingin sekali ia menerobos pintu besar yang membawa tubuh Ayu menghilang
dari hadapannya. Tapi urusan bisnis, tidak bisa ia tinggalkan begitu saja.
“Cantik banget istrimu,” bisik
Karina. “Udah, nggak usah panik! Kita urus setelah urusan bisnis kita selesai,”
lanjutnya seolah memahami kegundahan yang sedang melanda dada Nanda.
Nanda menganggukkan kepala. Ia
mendekatkan bibirnya ke telinga Karina. “Kamu cari cara untuk bisa menginap di
keraton ini! Penari laki-laki itu juga tamu bisnis di keraton ini dan dia bisa
tinggal di sini,” pintanya.
“Eh!? Serius!?” tanya Karina
sambil melebarkan kelopak matanya.
Nanda menganggukkan tegas.
Karina mengangguk-anggukkan
kepala tanda mengerti. Ia mencoba bernegosiasi dengan pihak keraton agar
diizinkan untuk tinggal sementara di kediaman tersebut.
...
“Den, Ndoro Puteri kenapa?”
tanya salah satu pelayan saat melihat Enggar menggendong tubuh Ayu masuk ke
dalam kamarnya.
“Pingsan. Ada minyak angin?”
tanya Enggar.
Pelayan itu buru-buru mengambil
minyak angin dan memberikannya ke tangan Enggar.
“Ayu ...!” panggil Enggar
sembari mengenduskan minyak angin ke hidung Ayu.
Ayu mengerjapkan mata perlahan
sambil memegangi kepalanya yang terasa sangat pening. Ia berusaha mengangkat
kepalanya, tapi terasa sangat berat dan membuatnya tak bisa bergerak.
“Ayu, kamu sakit?” tanya Enggar
sambil memeriksa kening dan leher Ayu yang menghangat.
Ayu menggeleng. “Aku baik-baik
aja, Mas.”
Enggar menghela napas sambil
menatap wajah Ayu.
“Den, Ndoro Puteri nggak pernah
makan nasi selama satu minggu ini. Hanya minum air dan dua buah pir setiap
harinya. Sepertinya, tubuhnya sudah tidak bisa menahan lagi,” bisik pelayan itu
di telinga Enggar.
Enggar menghela napas dan
bangkit dari tepi ranjang Ayu. “Panggilkan dokter keluarga! Biar aku siapkan
sup hangat untuk Ayu,” perintahnya pada pelayan yang ada di sana.
“Siap, Den!” Pelayan itu
bergegas keluar dari dalam kamar Ayu.
Enggar menatap wajah Ayu yang
terlihat sangat pucat. “Apa yang terjadi denganmu sampai kamu menyiksa dirimu
sendiri seperti ini? Sudah bosan hidup?”
Ayu mengangguk kecil.
“Ay, jangan seperti ini!
Menyerah pada hidup, itu bukan kamu. Ayu yang aku kenal selalu energik, positif
dan kuat. Kamu hidup tidak sendiri. Apa pun kesulitanmu, berbagilah! Aku sudah
menganggapmu seperti adikku sendiri.”
Ayu menggigit bibir bawahnya
sembari menatap wajah Enggar.
“Aku akan buatkan sup untuk
kamu. Kamu harus makan banyak! Oke? Setelah sehat, aku akan menemanimu
bercerita,” ucap Enggar. Ia tersenyum manis dan segera melangkah keluar dari
dalam kamar tersebut.
Enggar langsung melepaskan
sumping emas di telinganya, juga beberapa aksesoris dan mahkota yang terbuat
dari emas asli dan memberikan pada pengawal pribadi yang terus mengikutinya
dari kejauhan. “Aku akan ke dapur keraton ini. Bawa barang-barang berhargaku ke
kamar!” perintahnya.
“Siap, Tuan!”
Enggar segera melangkahkan
kakinya perlahan menuju dapur keraton tersebut. Matanya terus menatap ke depan
hingga ia tidak menyadari jika ada sepasang mata indah yang mengawasinya dengan
penuh kekaguman. Ia hanya ingin segera memberikan asupan makanan untuk Ayu.
Baginya, Ayu sudah seperti saudara perempuannya sendiri. Sebab, hubungan mereka
sudah terjalin begitu lama sejak mereka masih kecil dan belajar di sanggar tari
yang sama.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah setia
menanti update cerita dari author yang receh ini ...!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment