“Ay, kamu kenapa?” seru Nanda
saat Ayu malah masuk ke dalam keraton tersebut dan menutup rapat pintu megah
yang ada di hadapannya.
“Maaf, Mas! Ndoro Puteri tidak
ingin bertemu dengan sampeyan. Silakan pergi dari sini!” pinta salah satu
penjaga sambil menghunuskan pedang ke leher Nanda. “Dia memberi izin pada kami
untuk membunuh Anda jika tetap memaksa masuk ke keraton kami.”
Nanda memundurkan kepalanya
saat mata pedang itu berada tepat beberapa senti dari lehernya.
“Nan, istri kamu kenapa? Kenapa
anak buahnya nyerang kamu?” Karina langsung menarik tubuh Nanda agar tidak
terkena hunusan pedang dari pengawal keraton tersebut.
Nanda menggelengkan kepala.
“Nggak tahu, Rin.”
“Apa karena aku?” tanya Karina.
Nanda menggelengkan kepala.
“Dia bukan perempuan yang seperti itu,” ucapnya sambil mengedarkan pandangannya
dan melangkah menyusuri pagar istana yang berdiri kokoh dan megah.
“Mbak ...! Mbak ...!” Nanda
langsung berlari menghampiri pelayan keraton yang baru saja keluar dari dalam
pintu khusus pelayan yang ada di bagian belakang istana tersebut.
“Ada apa?” tanya pelayan itu
sambil mengerutkan dahi menatap Nanda.
“Hhh ... hhh ... hhh.” Nanda terdiam
sejenak sambil mengatur napasnya yang tersengal. “Bisa panggilkan pelayan
istana puteri mahkota yang namanya Sri?”
“Sampeyan siapanya Sri?” tanya
pelayan itu.
“Saudara sepupunya,” jawab
Nanda.
“Oh. Sebentar, Mas.”
Nanda mengangguk.
Pelayan itu berbalik dan
melangkah menuju pintu khusus pelayan. Tapi pintu mungil itu sudah terbuka
lebih dahulu dan Sri keluar dari sana sembari membawa keranjang di tangannya.
“Sri, ada yang cari kamu.
Katanya, saudaramu,” ucap pelayan yang tadi sambil menatap wajah Sri.
Sri langsung menatap wajah
Nanda dengan tatapan tak bersahabat. “Dia bukan saudaraku, aku nggak kenal,”
ucapnya dengan dialek Jawa yang begitu kental. Ia langsung melangkah pergi
begitu saja dan tidak menghiraukan keberadaan Nanda.
“Hei, dia siapa?” tanya Karina
sambil menyenggol lengan Nanda.
“Pelayan pribadinya Roro Ayu,”
jawab Nanda.
Karina menahan tawa mendengar
jawaban Nanda. “Pelayan pun ikut ketus dan cuek sama kamu? Bener-bener cocok
sama majikannya.” Ia menepuk tangan di depan wajah Nanda.
Nanda langsung menepis tangan
Karina. “Nggak lucu!” ucapnya kesal.
Karina tertawa sambil merangkul
tubuh Nanda. “Eh, perjalanan Surabaya-Surakarta cukup menghabiskan energi. Kamu
belum ajak aku makan. Aku laper banget, Nan. Kita makan dulu, gimana? Kalau
laper, nggak bisa mikir. Setelah isi perut, barulah kita pikirkan cara untuk
masuk ke keraton ini.”
Nanda menghela napas.
“Sepertinya memang harus begitu. Aku juga laper.”
“Oke. Kita cari makan di dekat
sini. Enaknya makan apa, ya?”
“Aku pengen makan orang, Rin.”
“Hahaha.” Karina menoyor kepala
Nanda. Ia langsung merangkul lengan pria itu sambil melenggang ceria mencari
tempat makanan enak di sekitar keraton tersebut.
...
Karina tersenyum lebar setelah
ia menikmati beberapa makanan enak yang ia pesan di salah satu kedai seafood
sekitaran keraton tersebut.
“Mmh ... ini enak banget!” seru
Karina sambil menghisap jemari-jemari tangannya.
Nanda tersenyum sambil menatap
wajah Karina. “Kamu belum punya ide buat masuk ke keraton itu?”
“Mmh, bentar. Aku telepon
papaku dulu. Kayaknya, dia pernah punya kerjasama bisnis sama pihak keraton.
Kita bisa masuk ke keraton itu untuk hubungan bisnis,” jawab Karina sambil
menggeser ponselnya dan mencari kontak papanya.
“Halo, Karina ...! Ada apa?”
“Pa, aku mau tanya ... mmh,
perusahaan papa ada hubungan bisnis sama keraton Surakarta atau nggak, ya?”
“Ada. Kenapa?”
“Aku bisa minta datanya, Pa?
Kebetulan aku lagi di Solo, siapa tahu bisa bantu Papa untuk ngurus bisnis
dengan keluarga bangsawan keraton,” tutur Karina sambil membasuh tangannya dan
menyemprotkan hand sanitizer.
“Tumben kamu mau ngurus bisnis
di luar kota?”
“Hehehe. Nggak papa, Pa. Pengen
aja belajar pitching ke keluarga bangsawan itu. Sepertinya lebih menantang.”
“Baiklah. Akan Papa kirimkan
datanya untukmu.”
“He-em. Cepet ya, Pa! Nggak
pake lama!” seru Karina.
“Kamu ini ... kalau punya
keinginan, nggak sabaran!”
“Kalau udah tahu, jangan
lama-lama Papa Sayang!” pinta Karina.
“Tutup teleponnya supaya Papa
bisa carikan file kerjasama itu secepatnya!”
“Oke.” Karina langsung menutup
panggilan teleponnya.
“Gimana?” tanya Karina penuh
harap.
“Santai. Jangan tergesa-gesa!
Kita atur waktu untuk masuk ke dalam keraton itu. Karena ini udah terlalu sore,
nggak pantas kalau membahas bisnis malam hari. Kita masuk ke tempat itu besok
pagi.”
“Serius!?” tanya Nanda dengan
mata berbinar. “Makasih, Rin!”
Karina mengangguk. “Kita cari
hotel dulu untuk menginap. Kamu juga harus mempersiapkan dirimu dengan baik!
Masuk ke tempat itu nggak mudah. Jadi, jangan sia-siakan pengorbananku. Harus
berhasil membujuk istri tercintamu itu.”
Nanda menganggukkan kepala.
“Mmh ... aku nggak bawa baju ganti, Rin. Bisa pinjam uangmu dulu buat beli baju
ganti?”
Karina tertawa kecil sambil
menatap Nanda. “Bisa banget. Istrimu itu kaya raya dan punya status sosial yang
tinggi. Saat aku masuk ke keraton itu, aku akan kasih semua tagihanmu ke dia.”
“Jangan, Rin!” pinta Nanda
sambil menatap serius ke arah Karina. “Jangan bikin aku malu, dong!”
“Malu kenapa? Karena sekarang
jadi pria payah?” tanya Karina sambil menatap wajah Nanda.
“Jangan tunjukkan kepayahanku
di depan Roro Ayu, dong! Kamu ngomong yang baik-baik aja tentang aku! Kalau
kamu ngomong macem-macem, dia bisa makin menghindar dari aku, Rin. Kamu tahu,
perempuan itu yang paling susah aku hadapi. Nggak tahu maunya apa, nggak bisa
ditebak juga,” cerocos Nanda.
Karina mengangguk-anggukkan
kepala. “Baiklah. Aku akan bicarakan yang baik-baik tentang kamu. Tapi,
tarifnya beda ya!”
“Kamu mata duitan, ya!?” dengus
Nanda.
“Hahaha.” Karina terus tertawa
dan bercanda sembari membicarakan beberapa bisnis yang sudah dikirim papanya
untuk mereka bciarakan dengan pihak kesultanan.
...
Sementara itu, Ayu semakin
mengurung dirinya di ruang perpustakaan karena ia kembali harus terluka. Ia
benar-benar tidak menyangka jika Nanda datang ke keraton dengan membawa wanita
lain, bukan karena ingin menjemput dirinya seperti yang pernah dijanjikan oleh
pria itu.
Tok ... tok ... tok ...!
Ayu menoleh ke arah pintu yang
diketuk. “AKU NGGAK MAU MAKAN APA PUN!” serunya.
“Ini aku. Mas Enggar.”
Ayu terdiam sambil menatap
pintu perpustakaannya.
“Boleh masuk?” tanya Enggar
lagi.
Ayu menghela napas. Ia bangkit
dari tempat duduknya dan melangkah menuju pintu perpustakaan tersebut.
“Masuklah!” perintahnya sambil membuka pintu.
Enggar tersenyum sambil
melangkahkan kakinya memasuki perpustakaan tersebut. “Aku dengar, kamu sudah
satu minggu mengurung diri di perpustakaan. Ada banyak tugas?”
Ayu menganggukkan kepala
mendengar pertanyaan Enggar.
“Keningmu sudah terlalu banyak
kerutan karena terlalu lama berpikir. Sudah lama kita tidak menari. Gimana
kalau kita nari bareng?” ajak Enggar.
“Mmh ...”
“Ayolah!” ajak Enggar sambil
menatap Ayu. “Sudah berlalu sangat lama. Kamu nggak lupa dengan gerakan-gerakan
tari di sanggar ‘kan? Nggak rindu menari?”
Ayu tersenyum sambil
menganggukkan kepala. “Boleh juga.”
“Kita menari di pendopo yang
ada di kolam belakang. Suasananya nyaman dan penerangan di sana cukup bagus.
Gimana?”
Ayu menganggukkan kepala sambil
tersenyum manis. Ia segera melangkah keluar dari perpustakaan tersebut bersama
Enggar. Ia pikir, menari juga bisa membuat suasana hatinya membaik dan tidak
terus-menerus terisi sesak oleh Nanda yang kerap membuat suasana hatinya
memburuk dalam sekejap. Enggar juga tidak begitu buruk. Berasal dari keluarga
bangsawan dan selalu bersikap baik terhadapnya. Mungkin, ia bisa belajar
membuka hati untuk orang lain agar ia tidak lagi terluka karena terikat begitu
kuat dengan Nanda.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah jadi sahabat
setia bercerita!
Dukung terus supaya author
makin semangat nulisnya, ya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment