“Nan, kalau kamu nggak
keberatan. Aku bisa bantu kamu. Kamu bisa kerja di perusahaanku,” tutur Karina
setelah mengetahui keadaan Nanda yang diusir keluarga karena menolak perjodohan
dengannya.
Nanda menggeleng. “Nggak, Rin.
Makasih banget buat niat baikmu. Tapi ... aku nggak bisa menerimanya. Aku nggak
mau berhutang budi dan semakin mempersulit hubungan bisnis ini.”
“Jadi, mau kamu gimana?” tanya
Karina dengan mata berkaca-kaca. Ia benar-benar tidak tega melihat keadaan
Nanda saat ini.
“Kalau aku miskin dan nggak
punya apa-apa lagi, orang tuamu pasti nggak akan mau nerima aku ‘kan?” tanya
Nanda.
Karina menggelengkan kepalanya.
“Nggak gitu, Nan. Dengan kita menikah, kamu bisa masuk ke perusahaanku dan kita
bisa hidup bahagia bareng. Nggak perlu hidup miskin kayak gini, Nan. Demi
cintamu ke perempuan itu, kamu sampe rela ngelepasin semuanya? Nggak realistis
banget, Nan.”
Nanda tertawa kecil mendengar
ucapan Karina. “Kalau realistis, itu bukan cinta. Tapi rasa tanggung jawab.”
“Cinta juga harus bertanggung
jawab ‘kan?” tanya Karina sambil menatap wajah Nanda. “Sekarang, mana perempuan
yang lagi kamu perjuangkan itu, Nan? Dia ada di saat kamu lagi terpuruk kayak
gini? Nggak ada ‘kan?”
“Andai dia dekat, dia pasti
selalu ada untukku, Rin,” jawab Nanda sembari tersenyum membayangkan wajah Ayu
yang cantik, lembut dan selalu membuatnya tenang.
Karina menghela napas. “Aku
udah tahu semua cerita tentang mantan istrimu itu, Nan. Oom Andre bilang, dia
wanita jahat yang sudah memenjarakan kamu dan bikin keluarga kalian bangkrut
tiga tahun lalu. Kalau dia itu cinta sama kamu, nggak mungkin ngelakuin itu.
Kenapa perempuan kayak gitu masih kamu pertahankan? Ada aku yang selalu baik
sama kamu, selalu nolong kamu, selalu ada di saat kamu butuh. Kenapa kamu nggak
mau lihat aku?”
Nanda menghela napas dan
menatap lekat mata Karina. “Rin, andai cinta itu bisa dipilih. Aku jelas akan
pilih kamu. Itu lebih rasional. Tapi cinta itu soal hati, bukan pikiran. Cinta
itu tentang ketidakmungkinan, tentang ketidaksempurnaan dan tentang ketidakadilan.
Makanya, cinta itu bikin orang bodoh saat hati dan pikirannya nggak sejalan.”
Karina menatap wajah Nanda
dengan mata berkaca-kaca. “Kamu rela jadi bodoh, jadi badut, jadi sampah demi
perempuan itu?” tanyanya. Ia benar-benar merasa sakit karena Nanda tidak pernah
melihatnya dan ingin sekali bisa menjadi wanita yang begitu hebat hidup di
dalam hati Nanda saat ini. Meski wanita itu sudah menyakiti bertubi-tubi,
menjatuhkannya begitu dalam. Tapi Nanda ... tetap saja melihat wanita itu
sebagai wanita terbaiknya. Betapa beruntungnya wanita yang bisa dicintai Nanda
dan ia juga menginginkan itu.
“Rin, jangan nangis! Sudah
banyak air mata wanita di luar sana yang membawaku pada penderitaan dan karma
yang berkepanjangan. Saat ini aku bukan siapa-siapa. Aku bukan lagi anak dari
keluarga Perdanakusuma. Aku nggak punya apa-apa, nggak akan bisa bikin kamu
bahagia,” tutur Nanda.
Karina menggelengkan kepala dan
langsung memeluk erat tubuh Nanda. “Aku nggak peduli siapa dan bagaimana kamu
saat ini, Nan. Aku akan tetap sayang sama kamu. Asal kamu mau buka hatimu buat
aku, aku akan menerima kamu apa adanya. Aku nggak akan menuntut apa pun dari
kamu. Kalau kamu nggak bisa kerja, biar aku yang kerja dan kita bisa jadi
keluarga yang bahagia,” ucapnya sambil terisak.
Nanda tersenyum kecil sambil
mengusap pundak Karina. “Rin, kamu wanita yang baik, cantik, cerdas dan kaya
raya. Kamu lebih pantas untuk dicintai daripada mencintai. Wanita yang lebih
mencintai lelaki itu ... akan lebih banyak merasakan sakit. Aku bener-bener
nggak punya cinta buat kamu dan aku nggak mau melukai hatimu.”
“Huuaa ...! Hiks ... hiks ...
hiks ...! Aku harus gimana? Semua keluarga besarku udah tahu kalau kamu calon
istriku, Nan. Aku harus ngomong apa sama mereka? Umurku udah nggak muda lagi,
aku udah nggak punya waktu buat cari cowok lain lagi,” ucap Karina sambil
menangis histeris.
Nanda tersenyum sambil memeluk
Karina. “Rin, kamu bukan nggak punya waktu buat cari cowok lain. Ada banyak
cowok di luar sana yang selalu mengagumi dan menyukaimu. Kamu terlalu sibuk
mengejar pria yang tidak mencintaimu sehingga kamu melewatkan pria-pria yang
mungkin bisa mencintaimu dengan sungguh-sungguh.”
Karina melepas pelukan sambil
mengusap air matanya. “Apa iya seperti itu?”
Nanda mengangguk sambil
tersenyum lembut. “Kalau nggak percaya, cobalah!”
“Coba?” Karina mengerutkan dahi
sambil menatap wajah Nanda. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud
oleh pria itu.
Nanda menangkup kedua pipi
Karina dan memutar ke arah lain. “Lihat! Di sana ada banyak cowok ganteng! Coba
kamu ajak kenalan!”
“Iih ... nggak mau! Nggak
kenal,” tutur Karina sambil mengerutkan wajahnya.
“Makanya, kenalan!”
“Kamu kenal sama mereka,
nggak?”
“Nggak,” jawab Nanda sambil
terkekeh.
“Iih ... ogah, ah! Kalau mau
carikan aku jodoh tuh yang kamu kenal. Biar tahu bibit, bebet dan bobotnya. Pas
gitu, mereka cowok penipu gimana? Zaman sekarang, banyak cowok yang pura-pura
kaya biar bisa gaet mertua kaya!” sahut Karina.
Nanda terkekeh sambil menatap
wajah Karina.
“Aku serius!? Nggak usah
bercanda, deh!” pinta Karina sambil menepuk paha Nanda. “Jodohin aku sama salah
satu temen yang kamu kenal aja.”
“Aku nggak punya teman.”
“Bohong!”
“Serius. Temen-temenku bangsat
semua, Rin. Nggak cocok buat kamu.”
“Termasuk kamu?” tanya Karina
sambil melirik ke arah Nanda yang duduk di sebelahnya.
Nanda terkekeh sambil
menganggukkan kepala. “Aku ketua geng-nya. Kalau anak buahnya brengsek, berarti
ketuanya lebih brengsek dari mereka.”
“Hmm ... kalo ketua geng
ganteng kayak kamu, aku mau ... kayak Dilan.”
“Dilan siapa?” tanya Nanda.
“Tetangga!” sahut Karina kesal
karena Nanda tidak pernah tahu film romansa sekolah yang pernah hits di
Indonesia.
“Nah, itu udah punya tetangga
yang ganteng. Nikah aja sama Dilan-Dilan itu!” seru Nanda.
“Dilan itu tokoh halu, Nanda!
Kamu kudet banget, sih!?” seru Karina kesal.
“Oh gitu?” Nanda tertawa kecil
sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena ia tidak mengerti sama
sekali maksud Karina.
Karina mengangguk yakin.
“Rencana kamu selanjutnya gimana? Beneran mau nolak bantuanku?”
Nanda menghela napas. “Aku
nggak mau makin berhutang budi sama keluargamu, Rin.”
“Mmh ...” Karina membuka pesan
yang tiba-tiba masuk ke dalam ponselnya. “Eh, handphone kamu mana?”
“Aku nggak punya handphone,”
jawab Nanda.
“Astaga Dragon ...! Kamu
handphone aja nggak punya? Kalau mau hubungi orang lain, gimana?”
“Langsung datengin aja,” jawab
Nanda.
Karina menghela napas. Ia
mengeluarkan handphone lain dari dalam tas tangannya. “Pakai ini untuk
sementara!”
Nanda menggeleng. “Nggak usah,
Rin! Ini terlalu mahal buat aku.”
“Gaya banget, sih!?” dengus
Karina sambil tertawa kecil. “Nggak baik menolak bantuan dari orang lain,”
lanjutnya sembari memaksa Nanda menerima ponsel darinya.
“Eh, aku dapet info bagus,
nih.” Karina langsung menyodorkan layar ponselnya ke hadapan wajah Nanda. “Ada
lomba model bisnis dari perusahaan pengembangan marketing. Mau ikutan?
Hadiahnya lumayan, loh. Dikasih modal usaha sampai dua milyar.”
“Hah!? Serius? Bukan penipuan
‘kan?” tanya Nanda.
“Bukan, dong. Ini perusahaan
besar dan resmi. Mau ikutan, nggak? Kamu jago bikin Model Bussines Canvas.
Pasti menang kalau ikutan.”
“Mmh ... tapi untuk kayak gitu,
aku harus kerja bareng tim. Aku nggak punya tim apa pun, Rin. Mana mungkin aku
bisa.”
“Kamu bisa bentuk tim.”
“Itu semua butuh modal. Aku
punya uang dari mana?” sahut Nanda.
“Aku pinjamkan uang untuk kamu,
gimana?” tanya Karina. “Jaminannya, kamu harus dapet juara satu!”
Nanda tersenyum sambil menatap
wajah Karina. “Kamu mau bantu aku ... tulus atau modus?”
“Tulus, dong! Aku bukan orang
yang berpikiran sempit, Nan. Kalau kamu memang mau perjodohan kita batal, kita
harus memikirkan cara untuk membuat perjodohan kita batal tanpa memengaruhi
hubungan bisnis keluarga kita,” jawab Karina sambil tersenyum manis.
Nanda mengangguk-anggukkan
kepala sambil tersenyum lebar. “Thank’s, Rin ...! Aku janji, akan bayar semua
hutangku ke kamu secepatnya.”
Karina mengangguk sambil
tersenyum. Ia memang menyukai Nanda, tapi ia juga tidak begitu takut kehilangan
pria ini. Mungkin, ia belum sampai ke level cinta dengan pria ini hingga
membuatnya merasa lebih nyaman berteman daripada harus terikat hubungan bisnis
yang begitu formal dan membuat mereka canggung.
((Bersambung...))
0 komentar:
Post a Comment