Nanda melangkahkan kakinya
memasuki salah kantor perusahaan yang membuka lowongan kerja. Bermodalkan
laptop pinjaman dari Sonny dan sedikit bantuannya, ia membuat lamaran pekerjaan
dan mencoba mencari peruntungannya.
Sayangnya, sudah tujuh
perusahaan menolaknya untuk bekerja di sana.
“Maaf, Mas ...! Kami tidak bisa
menerima Anda. Posisi yang kami tawarkan tidak sesuai dengan pendidikan Anda.
Kami hanya butuh kepala bagian. Pendidikan dan pengalaman kerja Anda terlalu
tinggi untuk kami.” Ucapan beberapa HRD perusahaan itu kembali terdengar di
telinga Nanda.
Dari tujuh perusahaan yang ia
lamar. Lima perusahaan menolaknya dengan alasan pendidikannya. Meski tidak
terlalu pintar, tapi Nanda menyandang gelar Master of Bussiness dari salah satu
universitas ternama di kota New York. Dua perusahaan lagi, menolaknya tanpa
alasan yang jelas.
Nanda menghela napas sembari
duduk di bawah pohon yang ada di tepi jalan.
“Minum, Mas?” Seorang pedagang
es dawet yang berjualan di sebelah Nanda, langsung tersenyum manis ke arah pria
tampan itu.
Nanda menggeleng sambil melirik
rombong milik penjual es tersebut. Teriknya matahari, membuat keringatnya
bercucuran dan sangat menginginkan sesuatu yang bisa menyegarkan
kerongkongannya yang kering. Tapi ia mengurungkan niatnya saat ia menyadari
kalau tidak membawa uang banyak di sakunya.
Uang lima ratus ribu yang ia
pinjam dari Sonny, sudah hampir habis untuk membayar biaya kendaraan umum dan
fotokopi beberapa CV miliknya. Jika tidak berhemat, uangnya bisa ludes dalam
sekejap. Ia tidak punya muka jika harus meminjam uang lagi pada Sonny. Meski
mereka pernah bersahabat, tapi apa yang ia lakukan pada Sonny tiga tahun silam,
masih meninggalkan rasa bersalah di dalam lubuk hatinya.
“Keringetan gitu, Mas. Enak
minum yang seger-seger,” tutur penjual es dawet tersebut sambil tersenyum,
menatap Nanda penuh harap agar membeli dagangannya.
Nanda tersenyum. “Harganya
berapa, Paklek?”
“Lima ribu aja,” jawab penjual
es tersebut sambil tersenyum lega. “Mau?”
“Kalau beli setengah gelas aja,
bisa?” tanya Nanda lagi.
Penjual es dawet itu
menyeringai kesal ke arah Nanda. “Ganteng-ganteng moncer, moso beli es dawet
cuma setengah gelas? Cuma nyangkut di tenggorokan, Mas.”
Nanda tertawa kecil melihat
reaksi pedagang tersebut. “Iya, deh. Aku beli satu gelas,” ucapnya sembari
merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar uang lima ribuan.
Nanda menghela napas sambil
menatap selembar uang lima ribu di tangannya. Ia menoleh ke arah yang begitu
jauh. Tempat di mana Galaxy Hotel hotel dan apartemen-apartemen lain berdiri
megah. Saat tempat-tempat mewah itu menjadi bagian dari hidupnya, selembar uang
lima ribu tidak berharga. Bahkan, tidak pernah tersimpan di dompet atau sakunya
sekali pun.
Kini, ia menatap selembar uang
lima ribu itu seperti harta paling berharga dalam hidupnya. Ia sudah pernah
jatuh tiga tahun silam. Tapi tangan kedua orang tuanya tetap terbuka untuk
memberinya makan, tempat tinggal dan pakaian untuknya.
Nanda mengusap matanya yang
basah. Betapa beruntungnya ia bisa terlahir di keluarga kaya raya, tapi ia
tidak bersyukur dan berbakti dengan baik.
“Kenapa, Mas? Lagi ngelamar
kerja?” tanya pedagang es tersebut sambil menyodorkan segelas besar es dawet ke
hadapan Nanda.
Nanda hanya tersenyum sambil
mengulurkan uang lima ribu ke tangan pedagang tersebut.
“Alhamdulillah ...! Barokah,”
ucap pedagang itu dengan senyum mengembang sambil menciumi uang lima ribu
tersebut.
Nanda tersenyum menatap
pedagang minuman di tepi jalan itu. Semudah itu cara manusia untuk bersyukur
dan bahagia. Uang lima ribu saja, sudah membuat pedagang itu tersenyum bahagia.
Nanda langsung menyeruput es
dawet yang ada di tangannya. “Duh, kemanisan, Paklek!” serunya. “Ada air putih
lagi?”
“Diaduk dulu tho, Mas,” sahut
pedagang es dawet itu sambil memutar jemari tangannya, memberi isyarat pada
Nanda untuk mengaduk es dawet yang ada di tangannya.
“Oh.” Nanda tersenyum sambil
memperhatikan isi gelas itu sambil mengaduknya perlahan. Biasanya, yang
melakukan hal ini adalah asisten pribadi atau pelayan di rumahnya. Yang ia
tahu, hanya tinggal minum saja. Ia tidak menyangka jika minum es dawet pun ada
caranya. Sama seperti bagaimana cara menikmati wine atau bir yang nikmat.
Nanda langsung menyeruput
kembali es dawet tersebut dan merasakan kerongkongannya terlepas dari ancaman
kemarau panjang.
“Nanda ...!” seru seorang
wanita yang tiba-tiba berhenti di depan Nanda.
Nanda langsung menoleh ke arah
wanita cantik yang masih berada di dalam mobil mewah itu. “Karina?” batinnya
gusar.
Karina langsung tersenyum lebar
dan bergegas keluar dari mobilnya. “Kamu minum es dawet sendirian? Kenapa nggak
ajak aku?” tanyanya sambil duduk di samping Nanda.
“Paklek, aku mau satu juga!”
pinta Karina sambil menoleh ke arah pedagang es tersebut.
“Siap, Mbak Cantik!”
Karina tersenyum lebar dan
menoleh ke arah Nanda. “Kamu ke mana aja akhir-akhir ini? Aku telepon nggak
bisa. Aku cari ke rumah dan kantormu, kamu juga nggak ada. Sibuk banget?”
Nanda mengangguk sambil
menundukkan kepala.
Karina tersenyum kecil sambil
memperhatikan keringat yang membasahi wajah dan leher Nanda. Ia mengeluarkan
tisu dari dalam tas tangannya dan mengusapkan ke wajah Nanda.
“Kamu ngapain?” Nanda
menjauhkan wajahnya saat tangan Karina tiba-tiba menyentuhnya.
“Wajahmu keringetan, Nan. Kamu
abis ngapain? Sini, aku bantu lap wajahmu,” tutur Karina sambil mengulurkan
kembali tangannya ke wajah Nanda.
“Aku bisa sendiri.” Nanda
menyambar tisu dari tangan Karina dan mengusapkan ke wajahnya. Dahinya
mengernyit saat melihat tisu bekas itu berwarna cokelat kehitaman.
“Aku bisa jerawatan kalau kayak
gini terus,” gumamnya.
Karina tertawa kecil menatap
wajah Nanda. “Walau jerawatan, pasti tetep kelihatan ganteng.”
Nanda menghela napas mendengar
ucapan Karina. Ia menyedot cepat es dawet di tangannya dan bangkit dari tempat
duduknya. “Makasih, Lek!” ucapnya sembari meletakkan gelas es tersebut ke atas
rombong pedagangnya.
“Eh!? Kamu mau ke mana?” tanya
Karina sambil merentangkan kedua tangan, menghadang Nanda.
Nanda terdiam sejenak sambil
menatap belahan dada Karina yang terbuka dan terekspose di hadapannya. Ia memijat
keningnya sekilas dan berbalik menghindari wanita itu.
“Nan, kamu kenapa? Kenapa
tiba-tiba jauhin aku?” tanya Karina sambil mengejar langkah Nanda.
“Aku nggak akan jauhi kamu
kalau kamu bisa bikin perjodohan kita batal,” sahut Nanda.
Karina menghela napas dan terus
mengikuti langkah Nanda.
“Mbak, dawetnya jadi atau
nggak?” seru pedagang es dawet yang ada di sana.
Karina tak menghiraukan
teriakan pedagang itu dan terus mengikuti langkah Nanda.
Nanda menghentikan langkahnya
dan berbalik dengan cepat.
BUG!
“Aw ...!” seru Karina saat ia
tidak sempat menghentikan langkahnya dan bertabrakan dengan Nanda.
Nanda menghela napas melihat
tingkah Karina. “Nggak usah kayak anak kecil, Rin! Kamu udah pesen minum,
kasihan penjualnya.”
“Aku mau minumnya sama kamu, Nan.
Kalau kamu pergi, aku pergi juga.”
“Kasihan paklek itu, Rin. Kamu
jangan bersikap sesukanya sama orang kecil!” sahut Nanda.
Karina menoleh sekilas ke
belakangnya. “Dia bisa jual ke orang lain lagi.”
“Nggak gitu caranya, Rin.
Bertanggungjawablah!” perintah Nanda.
“Temenin! Aku nggak mau minum
di pinggir jalan kayak gini sendirian,” pinta Karina sedikit manja.
“Aku temenin kamu minum, tapi
kamu bayar lima puluh ribu untuk satu gelas! Mau?”
“No problem,” sahut Karina
sambil tersenyum.
Nanda tersenyum sambil
melangkahkan kakinya menghampiri rombong pedagang es dawet tersebut. Meski hari
ini ia tidak punya uang, setidaknya ia masih bisa membantu orang lain
menggunakan tangan Karina.
“Paklek, aku pesen es dawetnya
lagi dua gelas. Dia yang bayar!” pinta Nanda sambil duduk di kursi plastik yang
ada di dekatnya.
Karina tersenyum dan duduk di
sebelah Nanda.
“Rin, aku bisa minta bantuan
kamu?”
“Bisa. Selama aku bisa, aku
pasti bantu kamu.”
Nanda tersenyum menatap Karina
yang duduk di sampingnya. Ia pikir, ia
bisa memanfaatkan Karina untuk membantunya sembari memikirkan untuk membuat
wanita itu membatalkan perjodohan bisnis yang terjalin dalam keluarga mereka.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah menjadi
sahabat setia bercerita!
Dukung terus supaya author
makin semangat nulisnya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment