Nanda melangkahkan kakinya
perlahan memasuki kediaman orang tuanya. Sudah beberapa minggu ia tidak bertemu
dengan sang ibu dan merasa sangat rindu. Dua tangannya menenteng paper bag
berisi hadiah dan makanan kesukaan mamanya.
“Sore, Ma ...!” sapa Nanda sambil
menghampiri Nia yang sedang asyik berbincang dengan sahabatnya di ruang tamu.
“Eh, ada Bunda Yuna?”
Bunda Yuna tersenyum sambil
menatap wajah Nanda. “Iya. Kebetulan lewat sini, jadi Bunda sekalian mampir.
Gimana kabar kamu?”
“Baik, Bunda.” Nanda langsung
menyalami tangan Nia dan menciumnya. Ia juga tak lupa menyalami Bunda Yuna yang
ada di sana.
“Nia, aku balik dulu, ya!”
pamit Bunda Yuna. “Satu jam lagi suamiku pulang ke rumah. Dia bisa ngambek
kalau aku nggak ada saat dia pulang.”
Nia mengangguk sambil tersenyum
manis. Sebagai seorang istri, ia tahu bagaimana rutinitas dan tugas Yuna. Meski
di luar sana terlihat sebagai wanita karir dengan jabatan tinggi dan memiliki
banyak bisnis, saat masuk ke rumah dia tetaplah seorang istri.
“Jaga kesehatan, ya! Udah makin
tua, harus peduli sama diri sendiri!” ucap Yuna sambil merangkul tubuh Nia dan
bersalaman pipi.
Nia mengangguk sambil
tersenyum. “Kamu juga, ya! Memperhatikan keluarga, jangan lupa sama kesehatan
diri sendiri. Sebagai istri dan ibu, keluarga membutuhkan kita.”
Yuna mengangguk sambil
tersenyum. “Salam untuk Andre, ya!”
Nia mengangguk. “Salam untuk
Yeriko juga.”
Yuna mengangguk dan segera berpamitan dari rumah
tersebut.
Nanda terus memperhatikan Bunda Yuna yang terlihat
begitu cantik dan elegan meski usianya tak lagi muda. Wanita ini juga memiliki
kekuatan memengaruhi banyak orang hingga menjadikannya sebagai sosok menginspirasi.
Ketika di bumi, Miss Ayuna seperti berlian dan ketika di langit ia bersinar
seperti bintang. Tak banyak wanita yang masa tuanya diberi anugerah seindah
ini.
“Nan …!” panggil Nia membuyarkan lamunan Nanda.
“Eh!?” Nanda mengerjapkan mata dan baru menyadari
kalau mobil milik Bunda Yuna sudah tidak terlihat lagi di halaman rumahnya.
“Kenapa ngelamun? Masuk, yuk!” ajak Nia sambil
merangkul lengan Nanda. “Kamu dari mana aja? Kenapa akhir-akhir ini jarang
pulang? Ngurus bisnis?”
“Ngurus istri,” jawab Nanda santai dan mengempaskan
tubuhnya ke sofa.
“Karina?” tanya Nia sambil tersenyum lebar. Sejak
kejadian buruk yang menimpa keluarganya tiga tahun silam, puteranya itu
mengalami banyak perubahan. Bahkan, menutup diri dari semua wanita hingga ia
juga harus ikut campur mencarikan jodoh baru untuk puteranya tersebut.
“Kapan aku merit sama Karina!?” sahut Nanda ketus.
Nia menghela napas menghadapi sikap ketus puteranya
itu. “Dia calon istri kamu, Nan. Nggak boleh seperti itu! Kamu harus bisa
bangkit dari masa lalu. Karina wanita yang baik, cantik, dewasa dan berasal
dari keluarga baik-baik. Dia juga tidak akan menyakiti kamu.”
“Kalau cuma cari yang nggak nyakitin, piara kucing
atau kelinci aja beres!” sahut Nanda. “Aku nggak cinta sama Karina. Mama mau
kalau aku mencintai wanita lain saat aku menikah sama Karina? Cinta itu nggak
bisa dipaksakan, Ma.”
“Terus, kamu mau balik ke Arlita? Kamu tahu sendiri
kalau dia udah divonis HIV, Nan. Untungnya, kamu nggak ketularan kena HIV juga
sama dia. Kamu mau nikahi perempuan kayak gitu?” tanya Nia sambil menatap wajah
Nanda.
“Nggak usah bahas masa lalu, Ma! Aku pusing!” pinta
Nanda sambil mengacak rambutnya sendiri.
“Ya udah. Kamu mau minum apa? Mau kopi atau susu?”
tanya Nia.
“Nggak usah, Ma! Aku mau ngomong penting sama Mama,”
jawab Nanda sembari menggenggam tangan Nia yang duduk di sebelahnya.
“Tumben mukanya serius. Mau ngomong apa?” tanya Nia.
“Aku lagi ngejar Roro Ayu lagi,” tutur Nanda sambil
menatap wajah Nia.
Nia terdiam sejenak sambil menarik tangannya dari
genggaman Nanda.
“Mama kenapa? Nggak suka kalau aku balikan sama Roro
Ayu? Dia menantu kesayangan Mama ‘kan?”
“Itu dulu. Sebelum dia benar-benar mengirimmu ke
penjara,” jawab Nia dingin.
“Bukan dia yang mengirimku ke penjara,” sahut Nanda.
“Siapa lagi? Jelas-jelas, dia yang ngelaporin kamu,
Nan.”
“Ma, aku udah cari tahu semuanya. Saat laporan itu
masuk ke kepolisian, Roro Ayu dalam keadaan koma. Mama ingat ‘kan?”
“Ingat. Tapi dia tetep aja udah ngumpulin semua bukti
dan memenjarakan kamu,” sahut Nia.
“Ma, Nadine pernah bilang kalau Roro Ayu memang ingin
melaporkan aku ke polisi. Tapi dia mengurungkan niatnya dan membatalkan itu
semua.”
“Kamu percaya gitu aja sama omongan Nadine?”
“Aku percaya. Karena Roro Ayu juga nggak tahu apa pun
soal laporan kepolisian itu. Yang jahat itu keluarganya Roro Ayu, Ma. Mereka
yang udah bikin konspirasi dan membuat kita semua salah paham. Tanda tangan Ayu,
masih bisa mereka palsukan. Rekaman suara yang jadi bukti di pengadilan,
ternyata sudah diedit,” tutur Nanda menjelaskan.
“Serius!? Apa selama ini Mama salah menilai dia?”
tanya Nia.
“Bukan cuma Mama. Tapi aku juga. Dia sudah
berkali-kali menyerahkan nyawanya untuk menyelamatkan aku. Semua bukti-bukti
itu dia kumpulkan hanya untuk menggertakku saja dengan caranya. Dia nggak
benar-benar ingin melakukannya, Ma. Dia sudah cinta sama aku sejak kami masih
SMA. Cuma … wanita itu terlalu gengsi untuk mengakuinya,” jelas Nanda sambil
tersenyum mengingat masa-masa sekolahnya bersama Ayu.
“Beneran? Gimana keadaan dia
sekarang? Sehat?” tanya Nia.
Nanda mengangguk. Ia merogoh
ponsel di saku jasnya dan membuka galeri foto miliknya. “Dia makin cantik!”
ucapnya bersemangat sembari menunjukkan foto Roro Ayu yang sedang duduk di
sudut perpustakaan sembari membaca buku.
“Dari dulu, dia memang senang
belajar ya?” tanya Nia sambil tersenyum menatap wajah Roro Ayu.
Nanda mengangguk. “Dia baru aja
menyelesaikan gelar masternya di Cambridge University. Dia juga sudah
menerbitkan banyak jurnal bisnis selama sekolah di sana. Lihat, Ma! Dia itu
abis marah-marah sama aku, tapi malah ketiduran di pangkuanku. Lucu banget
‘kan? Hihihi.”
Nia tersenyum sambil ikut
mengusap layar ponsel Nanda. “Ini foto di mana? London Eye?”
Nanda mengangguk. Ia langsung
menutup layar ponsel dengan telapak tangannya saat sang mama mengusap ke kiri
dan foto yang terpampang adalah foto dirinya dengan Ayu yang sedang berciuman.
Nia tersenyum menggoda ke arah Nanda.
“Mama udah lihat. Nggak usah ditutupi. Kamu beneran balikan sama Roro Ayu?”
Nanda mengangguk sambil
tersenyum. “Saat ini, Roro Ayu sedang menjalani hukuman yang berat di keraton
demi mendapatkan restu keluarganya. Setiap malam, aku nggak bisa tidur karena
Ayu harus mempertaruhkan nyawanya. Aturan leluhur itu kuno dan kejam. Mama
jangan mempersulit Ayu, ya! Dia sudah berkorban banyak hal untuk mencintai
anakmu.”
Nia mengangguk sambil
tersenyum. “Mama menghargai keputusan kamu. Asal kamu bahagia, Mama akan
mendukung kamu. Tapi ... bagaimana dengan Karina? Apa kamu bisa mengatasinya?”
tanyanya.
“Dari awal aku sudah menolak
perjodohan bisnis ini. Aku akan berusaha keras untuk memperjuangkan apa yang
seharusnya aku perjuangkan dan melepaskan apa yang seharusnya aku lepaskan,”
jawab Nanda.
“Mama akan dukung aku sama Roro
Ayu ‘kan? Aku hanya butuh persetujuan dari Mama dan aku akan melawan semua
orang,” tutur Nanda.
Nia mengangguk. “Apa pun yang
membuatmu bahagia, Mama akan mendukungnya.”
“Aku nggak setuju!” seru Andre
sambil masuk ke dalam rumah tersebut. “Nggak ada alasan apa pun dan perjodohan dengan
Karina tidak bisa dibatalkan! Kamu mau perusahaan kita bangkrut lagi karena
keluarganya menarik semua investasi di perusahaan kita, hah!?”
“Pa, aku nggak mau terikat perjodohan bisnis
seperti ini. Papa mau jual anak!?”
“Berani kamu ngelawan Papa, hah!?” sentak
Andre sambil menunjuk wajah Nanda penuh emosi. “Kalau kamu masih bersikeras
ingin bersama perempuan keparat itu, keluar dari rumah ini dan jangan bawa apa
pun selain tubuhmu sendiri!”
“Mas, kenapa ngomong kayak gitu
sama anak sendiri?” Nia langsung menghampiri Andre dan mencoba untuk
menenangkan suaminya itu.
“Anakmu ini nggak pernah
berhenti berulah dan bikin malu keluarga. Apa kata keluarga Karina kalau sampai
perjodohan ini batal?”
“Pa, ini baru perjodohan, kok. Belum
sampai ke tahap pernikahan. Kemarin aku udah menikah pun, masih bisa
dibatalkan,” sahut Nanda.
“Kalau gitu, perjodohan kali
ini nggak boleh batal!”
“Aku nggak cinta sama Karina,
Pa! Kenapa papa maksa aku buat nikahin dia? Kalau memang pernikahan ini hanya
untuk bisnis, Papa aja yang nikahi Karina!”
PLAK!
Telapak tangan Andre langsung
mendarat di pipi Nanda. “Berani kamu ngomong gitu ke papa, hah!?”
“Mas, jangan pukul Nanda!
Cukup, Mas!” Nia langsung memeluk Nanda sambil menitikan air mata. “Kamu nggak
papa, Sayang?” tanya Nia sambil mengusap kedua pipi Nanda. “Papa nggak marah
beneran, kok. Nanda nggak boleh marah sama papa, ya!” lirihnya.
“Didik anak kamu ini! Jangan
jadi anak pembangkang dan bikin malu keluarga. Aku nyesal udah pilih istri
sepertimu. Lihat Yuna! Dia selalu tahu bagaimana caranya membahagiakan suami
dan keluarganya. Anak-anak dia, nggak ada yang kelakuannya begini. Semuanya
sukses. Kamu ngapain selama ini? Sampai nggak bisa didik anak kamu dengan
baik!” seru Andre penuh emosi.
Air mata Nia mengalir deras
mendengar ucapan kemarahan Andre. Ia tidak menyangka kalau suaminya itu masih
terus membandingkan ia dengan Ayuna yang kehidupannya jauh lebih baik dari
mereka.
“Mas, Mas Andre kenapa setega
ini ngomong sama aku? Kalau aku bisa milih, aku ingin terlahir seperti Yuna,
Mas. Perempuan mana yang nggak mau jadi seperti dia? Aku sudah berusaha menjadi
ibu yang baik untuk Nanda. Kalau aku gagal, itu semua di luar kuasaku, Mas,”
ucap Nia dengan derai air mata.
“Sebelum kamu gagal, kendalikan
anakmu ini!” sahut Andre sambil menunjuk wajah Nanda dan melangkah pergi.
Nanda menarik kerah baju Andre
dengan cepat dan tangannya yang sudah mengepal erat sejak beberapa detik lalu,
langsung menghujam wajah Andre.
BUG!
Tubuh Andre langsung tersungkur
ke lantai karena ia tidak siap menahan serangan Nanda yang tiba-tiba.
“Papa boleh maki aku sepuasnya,
tapi jangan maki mamaku!” seru Nanda kesal.
Nia langsung menghampiri tubuh
Andre dan memeluk suaminya itu. “Nan, papamu hanya emosi sesaat saja. Jangan
pukul dia!” Ia benar-benar serba salah dan tidak tahu harus memilih membela
siapa.
Nanda menatap kesal ke arah
Andre sambil merogoh saku celananya. “Ini kunci mobilku. Ambillah!” pinta Nanda
sambil melemparkan kunci mobilnya ke hadapan Andre.
“Nan, jangan ikut emosi juga!”
pinta Nia sambil menangis. Tapi, kalimatnya itu tidak didengar oleh bapak dan
anak yang sedang berseteru hebat itu.
“Ini dompetku! Jam tangan,
sepatu, jas dan semuanya. Aku balikin ke papa!” ucap Nanda lagi sambil melemparkan
barang-barang tersebut ke arah Andre yang masih terduduk di lantai.
Nanda memperhatikan kemeja dan
celana bahan yang ia kenakan. “Setelan kemeja ini, aku pinjam dulu. Besok, akan
aku kembalikan ke Papa!” ucapnya. Ia langsung berbalik dan melangkah pergi.
“Kita lihat, apa kamu bisa
hidup tanpa uang dan fasilitas orang tua, hah!?” seru Andre. Ia semakin emosi
melihat Nanda yang begitu berani di hadapannya.
“Mas, kenapa malah bilang
begitu? Bukannya dibujuk,” tanya Nia sambil memukul pundak Andre dan segera
berlari mengejar langkah Nanda. Ia berusaha keras mencegah puteranya itu untuk
tidak keluar dari rumah.
“Nan, Nanda ...! Jangan pergi,
Nak! Papamu hanya emosi sesaat. Jangan diambil hati ya!” seru Nia yang tidak
sanggup mengikuti jejak kaki Nanda yang berjalan lima kali lebih cepat darinya.
0 komentar:
Post a Comment