Satu minggu kemudian ...
Ayu akhirnya bisa menyelesaikan
hukuman keduanya dengan baik berkat bantuan dari Nanda dan beberapa pelayan
yang terus membantu menghangatkan tubuh Ayu. Meski beberapa kali mengalami
hipotermia, ia masih bisa melewatinya dan selamat menjalani hukuman tersebut.
“Nan, terima kasih banyak sudah
membantuku menyelesaikan hukuman ini. Aku tidak tahu apa jadinya kalau nggak
ada kamu di sisiku,” ucap Ayu saat ia sudah selesai mengganti semua pakaiannya
dan berada di dalam kamar bersama dengan Nanda.
Nanda mengangguk sambil
tersenyum manis. “Ay, aku tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Kepala pelayan
sudah mulai mencurigai keberadaanku. Kalau dia mengumpulkan semua pelayan dan
menghitungnya, dia akan tahu kalau ada orang lain yang menyelinap ke tempat
ini.”
Ayu menatap wajah Nanda
sejenak. Kemudian menganggukkan kepala. “Kamu juga sudah terlalu lama di tempat
ini. Perusahaanmu juga pasti membutuhkanmu, Nan.”
Nanda mengangguk. Ia menangkup
wajah Ayu dan mengecup bibir wanita itu. “Hukuman selanjutnya tidak terlalu
berat. Aku yakin, kamu pasti bisa menjalaninya dengan baik. Setelah hukuman
terakhirmu selesai, aku akan datang untuk menjemputmu. Aku janji, aku akan
meminta kamu kepada keluargamu dengan cara baik-baik. Tidak seperti dulu."
Ayu mengangguk sambil tersenyum
manis. “Kamu janji kalau akan kembali ke aku lagi ‘kan?”
Nanda mengangguk. “I promise.”
“Kamu bisa semudah ini mengikat
janji denganku? Bagaimana kalau kamu mengingkarinya?” tanya Ayu sambil menatap
lekat mata Nanda.
“Aku berani berjanji karena aku
akan mempertanggungjawabkan janjiku dengan penuh keberanian. Aku ingin menjadi
orang yang berani dan kuat sepertimu, Ay. Kalau kamu bisa mencintaiku dengan
sungguh-sungguh, maka aku juga akan bisa mencintaimu dengan kesungguhan hatiku,”
tutur Nanda sambil menatap lekat mata Ayu. “Jika suatu hari nanti, aku
mengingkari janjiku ... kamu bisa lakukan apa saja kepadaku. Mencabut nyawaku pun, aku izinkan.”
“Kalau aku cabut nyawamu, itu
artinya ... aku akan menjalani sisa hidupku diselimuti kesepian,” tutur Ayu
sambil menatap Nanda dengan mata berkaca-kaca.
Nanda tertawa kecil sambil
mengetuk hidung Ayu. “Kamu nggak akan kesepian. Di istana ini aja sudah ada
banyak orang yang melayanimu.”
“Pelayan tidak bisa diajak
curhat. Nggak bisa diajak melakukan hal gila seperti saat bersamamu. Nggak bisa
diajak membicarakan tentang masa depan. Dan nggak bisa menghangatkan aku dengan
baik saat aku kedinginan,” tutur Ayu sambil menatap wajah Nanda.
Nanda tertawa tanpa suara.
“Kamu sudah mulai ketagihan minta diangetin terus?” godanya.
Ayu tersipu sambil meninju ada
Nanda. “Nyebelinnya masih aja nggak ilang!” dengusnya. Ia langsung berbalik dan
duduk di tepi ranjang tidurnya. “Pergilah! Kamu harus mengurus perusahaanmu dan
aku nggak mau hukumanku semakin diperpanjang karena kamu ketahuan menyamar jadi
pelayan di sini.”
Nanda mengangguk. Ia tersenyum
dan mendekatkan tubuhnya ke tubuh Ayu. “Cium dulu!” pintanya.
Ayu tertawa kecil menatap wajah
Nanda. “Aku tuh agak kesel kalau dicium sama kamu dalam keadaan seperti ini.”
“Eh!? Kesel kenapa?” Nanda
mengernyitkan dahi.
“Kesel aja. Berasa kayak lagi
ciuman sama perempuan,” sahut Ayu sambil tertawa kecil.
Nanda ikut tertawa mendengar
ucapan Ayu. Ia menarik dagu wanita itu dan mengulum basah bibirnya. Semakin Ayu
membalas, ia semakin memperdalam ciumannya.
“Aw ...!” teriak Nanda sambil
melepas tautan bibirnya saat ia merasakan Ayu menggigit lidahnya. “Kenapa kamu
gigit beneran!?” serunya sambil menjulurkan lidah dan mengipas dengan jemari
tangannya.
Ayu terkekeh sambil menatap
wajah Nanda. “Biar aja! Biar kamu nggak nakal di luar sana.”
“Kamu udah pintar gigit, ya?
Mau aku gigit juga?” dengus Nanda sambil mennyondongkan tubuhnya dan berusaha
menyerang Ayu.
Ayu tertawa sambil menjatuhkan
tubuhnya ke atas kasur. Telapak tangannya menutup mulut Nanda yang berusaha
membalas perlakuannya. “Ampuun, Nan ...!”
Nanda terdiam. Ia tertawa kecil
dan mengangkat tubuhnya dari atas tubuh Ayu. “Aku akan segera pergi dari sini.
Kamu jaga diri baik-baik, ya!” ucapnya lirih.
Ayu mengangguk. “Kamu juga,
ya!” ucapnya sambil mengecup kembali bibir Nanda. Kedua lengannya melingkar di
pinggang pria itu dan enggan untuk berpisah. Seramai apa pun hidupnya, hatinya
akan tetap terasa sepi jika tanpa Nanda di sisinya. Ia mulai terbiasa berada di
sisi pria ini setiap hari, merasa nyaman dan tidak ingin ditinggalkan begitu
saja.
“Jangan nakal dan jangan
dekat-dekat sama cowok lain!” pinta Nanda.
“Aku sedang dihukum dan memang
tidak diizinkan dekat dengan pria lain. Kamu aja yang nakal dan nyusup ke tempat
ini,” sahut Ayu.
“Kamu juga mau menerima aku
menjadi penyusup di sini,” sahut Nanda sambil menjulurkan lidah dengan ekspresi
payahnya.
Ayu memonyongkan bibir sambil
melepaskan pelukannya. “Kapan sih kamu nggak ngeselin?”
“Aku nggak ngeselin, Ay. Kamu
aja yang menanggapinya terlalu berlebihan,” sahut Nanda sambil tertawa kecil.
Ia segera beringsut ke depan cermin untuk merapikan pakaian dan riasannya.
“Gimana caranya kamu keluar
dari keraton ini tanpa ketahuan?” tanya Ayu.
“Sama seperti saat aku masuk ke
keraton ini tanpa ketahuan,” jawab Nanda sambil mengerdip centil ke arah Ayu.
Ayu tersenyum sambil
mengacungkan jempolnya. “Jangan sampai ketahuan, ya!”
“Siap, Tuan Puteri ...!” ucap
Nanda sambil tersenyum manis. “Hamba pamit undur diri. Tuan Puteri harus
menjaga diri dengan baik sampai hamba datang kembali menjemput Tuan Puteri
untuk hamba persunting,” lanjutnya sambil membungkuk hormat di hadapan Ayu.
Ayu terkekeh menatap sikap
Nanda. “Nggak usah berlebihan kayak gini. Aku geli lihatnya.”
Nanda tersenyum sambil
menegakkan tubuhnya kembali dan menatap serius ke arah Ayu. “Sudah sepantasnya
wanita sepertimu diperlakukan sebagai Tuan Puteri. Aku yang terlalu rendah
hingga tidak pernah menyadari kalau dirimu berharga. Mulai saat ini ... aku
berjanji akan memperlakukan kamu dengan baik, menyayangi dan mencintai kamu
dengan tulus. Tidak akan pernah menyakiti dan menduakan cintamu lagi, Ay.”
“Janji?” tanya Ayu sambil
menatap serius ke arah Nanda.
“Janji.” Nanda mengacungkan dua
jarinya ke sebelah telinganya sendiri.
Ayu tersenyum. Ia berlari
menghampiri Nanda dan menghambur ke pelukan pria itu. “Nan, makasih, ya! Jangan
sakiti aku lagi! Aku sayang sama kamu dan aku mau ... kita bisa hidup bersama
seperti dulu lagi! Aku tahu, semua malapetaka di hidupku juga disebabkan oleh
diriku sendiri yang tidak pernah bisa ikhlas menerima jalan takdirku sendiri,”
lirihnya sembari menitikan air mata.
Nanda mengangguk. “Aku janji,
kita akan bersama kembali. Melahirkan banyak anak dan hidup bahagia seperti
orang lain. Kamu bisa menjalani hari-harimu dengan bersantai. Membaca novel,
menonton film, mendengarkan lagu dan bermain bersama anak-anak kita di masa
depan.”
Ayu mengangguk sambil
tersenyum. Ia terus memeluk erat tubuh Nanda. Enggan melepas pria itu pergi
dari sisinya. Dunia ini memang permainan yang tidak bisa ia kendalikan. Saat ia
tidak ingin bersama pria ini, dunia seolah membuatnya selalu berada di sisi
Nanda. Dan saat ia ingin bersama pria ini, seluruh dunia menolak apa yang
sedang ia inginkan dan ingin memisahkan mereka berdua.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah menjadi
sahabat setia bercerita!
Mohon maaf untuk telat update
karena author masih diajak gelud sama laptop yang rewelnya nggak kelar-kelar.
Hahaha. Meski mau gila, tetap aja masih harus ketawa untuk kalian semua, ya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment