Tepat jam enam sore, Nanda
langsung menarik tubuh Ayu yang masih berendam di dalam kolam. Ia langsung
membaringkan tubuh Ayu di tepi kolam dan pelayan lain buru-buru menghampiri
Nanda untuk membantunya.
“Nin, Tuan Puteri baik-baik
saja?” tanya salah seorang pelayan sambil memperhatikan wajah Ayu yang sudah
memucat dan nyaris tak sadarkan diri.
“Nan ... Nan ...!” lirih Ayu
dengan tubuh gemetaran dan langsung merangkul Nanda yang masih memangkunya.
“Nan itu siapa?” tanya salah
seorang pelayan sambil mengulurkan handuk ke arah Nanda dan membantu melepas
kain jarik yang melilit tubuh Ayu.
“Nama suaminya,” jawab Nanda
sambil menatap tubuh Ayu yang sedang dibuka oleh pelayan lain.
“Iya. Nama suaminya itu Mas
Nanda. Kalau nggak salah ingat,” sahut pelayan lain.
“Huft ...! Kasihan sekali Tuan
Puteri kita ini. Hanya untuk mendapatkan restu dari keluarganya, harus menerima
hukuman seberat ini. Kisah cinta orang-orang tinggi, memang diuji dengan masalah
yang tinggi juga. Untungnya aku hanya orang biasa. Ujianku ya biasa-biasa saja.”
“Nggak usah banyak bicara!
Cepat lepaskan kain Tuan Puteri! Keburu kedinginan,” perintah pelayan lain yang
mengetahui kalau Nindi adalah suami dari Roro Ayu yang sedang menyamar.
Pelayan yang dimaksud langsung melepaskan
jarik basah yang menutupi tubuh Ayu.
Nanda menahan napas saat tubuh
polos Ayu yang terpampang di pangkuannya. Tubuhnya yang putih polos itu,
berhasil membuat aliran darahnya tak karuan. Dengan cepat, tangannya menarik
badcover dari tangan pelayan lain dan menggulungkannya ke tubuh Ayu.
"Hangatkan jariknya supaya bisa digunakan lagi besok pagi!"
perintahnya pada pelayan lain.
Pelayan itu mengangguk. Mereka
segera menghangatkan kain jarik yang digunakan Ayu menggunakan api yang ada di
sana.
“Masih ada penjaga di luar?”
tanya Nanda.
“Masih.”
“Kalian siapkan makanan untuk
Tuan Puteri dan beristirahatlah dengan baik! Biar aku yang menemani dan
mengurus Tuan Puteri di sini,” pinta Nanda.
“Tapi ... kami juga ingin
menemani Tuan Puteri di sini,” tutur salah seorang pelayan yang ada di sana.
“Hush! Jangan sampai kita semua
sakit dan menularkan virus ke Tuan Puteri karena kita kurang istirahat. Lebih
baik, kita beristirahat dengan baik dan kita bergantian jaga untuk besok lagi,”
tutur pelayan lain sambil melangkah pergi.
Nanda menghela napas lega. Ia
memeluk tubuh Ayu yang sudah ia baringkan di atas tikar yang disediakan di sana.
“Ay ...!” panggilnya lirih sambil menepuk pipi Ayu. Ia ikut berbaring di
samping tubuh Ayu sembari memeluk erat tubuh wanita itu.
“Ay ...! Wake up! Say something
for me!” bisik Nanda sambil menempelkan keningnya ke kening Ayu. Ia terus
mengusap pipi Ayu yang dingin dan pucat. Air matanya mengalir perlahan.
Rasanya, ia ingin membawa Ayu pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Tapi ia
tahu, keinginan besar Ayu saat ini adalah diterima oleh keluarganya sendiri.
Mungkin, terlalu banyak hari sepi yang dijalani wanita ini selama ia
mengasingkan dirinya di London.
“Nan ...!” panggil Ayu lirih
sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Nanda yang terasa sangat hangat.
“It’s me,” tutur Nanda sambil
membelai lembut kepala Ayu.
“Dingin,” lirih Ayu sambil
mendekatkan bibirnya ke leher Nanda yang terasa hangat.
Nanda langsung membenamkan
kepala Ayu ke dalam dadanya. “Ay, kita akhiri saja, ya! Aku nggak sanggup lihat
kamu kayak gini,” bisiknya.
“Aku masih kuat,” bisik Ayu
sambil merasakan tubuh Nanda yang terasa sangat hangat dan nyaman. Ia terus
memeluk erat tubuh pria itu hingga kesadarannya bisa kembali dengan sempurna.
“Masih dingin?” tanya Nanda
sambil menatap wajah Ayu.
Ayu mengangguk. Ia membuka
matanya perlahan dan langsung berhadapan dengan wajah Nanda yang nyaris tak
berjarak dengannya. Suhu dingin yang menyelimuti tubuhnya, membuat gairahnya
tiba-tiba bangkit saat berhadapan dengan pria ini. Seluruh tubuhnya yang tadi
lumpuh dan tidak bisa bergerak, langsung merangkul tubuh Nanda dan menyambar
bibir pria itu penuh sensual.
Debar jantung Nanda semakin
menderu kala Ayu mulai memberikan sentuhan di tubuhnya dan meminta diperlakukan
lebih dari sekedar pelukan dan ciuman. Ketika gairah itu mulai menguasai
mereka, Nanda tiba-tiba terbangun dari fantasy seksualnya dan langsung
mendorong tubuh Ayu yang sudah bergerak agresif di atasnya.
“Ay, sadar!” pinta Nanda sambil
menangkup wajah Ayu.
“Aku kedinginan, Nan,” ucap Ayu
sambil menatap lekat wajah Nanda.
“Kita ada di kolam suci.
Bertemu dengan pria bukan mahrom saja kamu tidak diperbolehkan. Aku tidak ingin
kalau kamu harus menanggung hukuman yang lebih berat lagi dari leluhurmu,” ucap
Nanda.
Ayu menghela napas mendengar
ucapan Nanda. Ia langsung mengangkat
tubuhnya dari atas tubuh Nanda dan duduk di samping pria itu. Ia mengedarkan
pandangannya ke semua api unggun yang mengelilingi kolam tersebut.
“Kamu yang buat api-api ini,
Nan?” tanya Ayu.
Nanda mengangguk. “Dibantu
dengan pelayan lain. Mereka bawakan aku kayu bakar untuk memastikan kalau api
ini tidak akan pernah mati.”
“Semoga tidak pernah mati dan
abadi di sini. Aku suka melihatnya,” ucap Ayu sambil tersenyum. Ia memeluk
tubuhnya sendiri sembari merapatkan badcover yang menjadi selimutnya.
Nanda tersenyum mendengar
ucapan Ayu. “Kalau benar-benar bisa abadi, itu keajaiban. Aku ingin ... cinta
kita saja yang abadi. Tidak mati dimakan usia, tidak hilang ditelan zaman.”
Ayu tersenyum dan menoleh ke
arah Nanda. “Kamu udah pinter ngegombal?”
Nanda tertawa kecil sambil
menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kalau nggak pandai gombal, mana mungkin
dinobatkan sebagai playboy paling keren di negeri ini.”
“Playboy paling keren nggak
akan ngejar-ngejar aku,” sahut Ayu.
“Kamu ...!?” Nanda mendelik ke
arah Ayu sambil menahan geram. “Kamu udah pandai ngejek aku, hah!?”
“Di dunia ini ... karma beneran ada. Dulu, kamu selalu bilang
kalau aku ini cupu, kutu buku dan nggak menarik sama sekali. Kenapa sekarang
malah nempel mulu kayak lem tikus?”
“Karena kamu itu beda sama
cewek lain. Cuma kamu satu-satunya wanita yang mau berkorban banyak buatku, Ay.
Rela memberikan nyawa kamu buat aku dan satu-satunya wanita yang menjadi tempat
untuk melahirkan bayi-bayiku,” jawab Nanda.
“Bayi-bayi? Kamu kira aku ini
binatang ternak?” dengus Ayu.
Nanda terkekeh dan menarik
tubuh Ayu ke pelukannya. “Hehehe. Jangan ngambek, dong! Kamu tuh makin lucu
kalau lagi ngambek. Eh, kapan aku pernah ngomong kalau kamu cupu dan nggak
menarik?”
“Entah kapan,” sahut Ayu sambil
melirik Nanda.
“Serius, Ay!”
“Iya, serius. Udahlah, nggak
usah dibahas! Oh ya, gimana acara pernikahan Sonny? Kamu jadi datang ke acara
dia?”
Nanda menggeleng. “Aku mana
mungkin pergi ke pesta saat kamu lagi dihukum seperti ini. Nanti, kita datang
ke rumah Sonny saat hukumanmu sudah selesai. Gimana?”
Ayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Aku rindu sama semua temen-temen SMA kita. Mereka semua apa kabar,
ya? Kenapa saat kita sudah dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing,
kisah-kisah remaja itu menguap begitu saja?”
“Karena ...” Nanda menghentikan
ucapannya saat ia mendengar langkah kaki memasuki gua tersebut. Ia langsung
melepas pelukannya dan merapikan pakaiannya.
“Permisi ...! Kami mau antar
makan malam untuk Tuan Puteri,” ucap dua pelayan sambil menghampiri Ayu.
“Taruh saja di sini!” perintah
Ayu sambil menunjuk ke bagian depan kakinya. “Kalian bisa langsung keluar! Aku
nggak mau diganggu.”
Dua pelayan itu mengangguk dan
segera keluar dari dalam gua tersebut.
“Kamu udah makan?” tanya Ayu
sambil menatap wajah Nanda.
Nanda menggeleng.
“Makan dulu, ya!” pinta Ayu
sambil membuka kotak makanan yang dibawakan untuknya.
Nanda langsung menyambar kotak
makanan itu dari tangan Ayu. “Kamu yang belum makan, masih bisa memperhatikan
orang lain?”
“Kamu sudah menjagaku seharian.
Pasti belum makan ‘kan? Aku nggak mau kalau kamu sakit. Kalau sakit, siapa yang
jaga aku lagi?” tanya Ayu balik.
Nanda tersenyum menanggapi
pertanyaan Ayu. “Baiklah. Kita makan sama-sama, ya!”
Ayu mengangguk. Ia menikmati
makanan yang disuapkan Nanda ke mulutnya dengan perasaan bahagia. Semakin
banyak ujian yang ia hadapi, membuat Nanda semakin perhatian terhadapnya. Tidak
bisa dipungkiri jika naluri wanita memang selalu ingin dimanja dan dicintai
seperti ini. Ia harap, cinta Nanda kepadanya bisa terus bertambah dan membuat kisah
mereka bisa berakhir bahagia.
((Bersambung...))
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment