Tok … tok … tok …!
Pintu kamar Ayu tiba-tiba diketuk saat ia sedang asyik
bercanda dengan Nindi alias Nanda.
“Siapa?” tanya Ayu dari dalam kamar. Sementara, Nanda
langsung beringsut ke depan cermin dan memperbaiki riasan wajahnya. Juga
merapikan pakaian pelayan yang ia kenakan dan memoleskan lipstik di bibirnya.
“Cepet rapiin! Ntar ketahuan kalau kamu laki-laki!”
pinta Ayu sambil mengalungkan selendang ke leher Nanda.
Nanda mengangguk. “Udah?”
Ayu mengangguk sambil tersenyum. Ia mengecup pipi
Nanda dan beringsut ke atas tempat tidurnya. Sementara, pria itu langsung
melangkah menuju pintu kamar Ayu dan membukakan pintu untuk seseorang di luar
sana.
Nanda membungkuk hormat begitu mengetahui kalau yang
datang adalah ibu kandung dari Roro Ayu.
Bunda Rindu langsung melangkah masuk ke dalam kamar
Ayu begitu pintu terbuka untuknya.
Nanda buru-buru keluar dari
kamar tersebut sebelum Bunda rindu mengetahui
kehadirannya yang sedikit mencurigakan.
"Ayu, gimana
keadaanmu?" tanya Bunda Rindu sambil menghampiri Ayu yang sedang duduk di
atas ranjang tidurnya.
“Baik Bunda, Ayu baik-baik
saja,” jawab Ayu dingin.
“ Kamu marah sama Bunda?”
Ayu menggelengkan kepala. Dia
sendiri tidak tahu apa yang harus dia lakukan saat berhadapan dengan orang
tuanya sendiri. Selama ini Ayu melihat kedua orang tuanya adalah sosok yang
sangat baik. Dia bahkan masih belum mempercayai dan mempertanyakan tentang
kematian bayinya dan perawatannya di luar negeri yang dilakukan tanpa
sepengetahuan Nanda.
“Ayu, maafkan Bunda! Bunda bukan bermaksud mengabaikanmu. Kamu tahu,
semua orang akan mengecam keluarga
Keraton kita jika hukuman ini tidak dijalankan.”
Ayu mengangguk. “Ayu mengerti, Bunda.”
“Tubuhmu baik-baik saja
kan?" tanya Bunda rindu sambil
berusaha menyentuh pundak Ayu.
“Aku baik-baik saja, Bunda. Bunda tidak perlu
menghawatirkan Ayu. semua pelayan di sini memperlakukan aku dengan baik.”
“Syukurlah kalau begitu. Bunda sangat senang
mendengarnya. Apa yang sebenarnya membuatmu kembali ke sini? Kamu masih
mencintai Nanda?"
“Bunda, takdir membawaku untuk
selalu bertemu dengan Nanda. Berkali-kali aku menolak, berkali-kali pula Tuhan
mendekatkan aku kepadanya. Sudah begitu jauh, sudah begitu lama aku pergi. Takdir sengaja mempermainkan hidup kami. Tuhan
pasti punya rencana Mengapa aku menjadi satu-satunya wanita yang mengandung
anak dari Nanda. Padahal, ada banyak
wanita yang bersamanya dan semuanya terlihat sempurna.”
“Bunda paham perasaanmu. Jika kamu ingin
bersama dia, tidak harus kembali ke tempat ini. Tempat ini terlalu suci untuk
kamu.”
Ayu tersenyum menanggapi ucapan
Bunda Rindu. “Aku aku tahu, wanita kotor sepertiku tidak pantas untuk masuk ke
dalam tempat yang suci ini. Aku hanya butuh restu, Bunda. Apalah artinya hubunganku dengan dia jika keluarga
tidak merestui kami? Aku Aku tidak ingin
dicelakai lagi oleh karma.”
Bunda rindu menghela napas
sambil menyentuh lembut rambut Ayu. “Bunda tidak bermaksud menyinggung Ayu.
Kenapa Ayu jadi sedingin ini sama bunda?”
“Mungkin karena Ayu sudah
terlalu lama tinggal di England,” jawab Ayu sambil menatap wajah Bunda Rindu.
Bunda Rindu menghela napas
sambil menatap wajah Ayu. “Maafin Bunda dan Ayah, ya!”
Ayu mengangguk sambil menaikkan
kedua kakinya ke atas tempat tidur. “Ayu ngantuk, Bunda. Mau tidur. Bisakah
Bunda keluar dari kamar ini?”
Bunda Rindu mengangguk sambil
tersenyum manis. “Istirahatlah dengan baik!”
Ayu mengangguk. Ia membaringkan
tubuhnya ke atas kasur dan memejamkan mata.
Bunda Rindu menghela napas. Ia
menatap pilu ke arah puterinya, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain
mencoba membuat hukuman untuk puterinya bisa lebih ringan hingga bisa
menyelesaikannya dengan baik. Ia lebih senang jika Ayu tidak pernah mengambil
keputusan untuk kembali ke istana keluarga besar mereka. Meski sudah masuk ke
zaman modern. Ada hal yang tidak bisa diganggu gugat dalam peraturan
keluarganya.
...
Hanya selang satu minggu dari
hukuman pertamanya, Ayu sudah harus menjalani hukuman yang kedua. Kali ini, ia
harus berendam selama tujuh hari tujuh malam di sebuah kolam untuk mensucikan
diri.
“Ay, minum obat ini!” pinta
Nanda saat Ayu baru saja selesai mengganti pakaiannya.
“Obat apa?” tanya Ayu.
“Obat supaya tubuh kamu tetap
hangat saat di dalam air.”
“Ada obat beginian?” tanya Ayu
sambil menatap sebuah pil yang ada di atas telapak tangan Nanda.
“Ada. Buruan diminum!” pinta
Nanda dengan telapak tangan menjulur ke hadapan Ayu. Sedang tangan satunya
lagi, sudah menggenggam segelas air putih untuk Ayu.
Ayu tersenyum dan segera
menelan pil hangat yang disodorkan Nanda. “Kamu ini ada aja ide curangnya.”
“Hehehe. Apa aja akan aku
lakuin buat kamu, Ay. Asal kita bisa bersama lagi sampai tua,” jawab Nanda
sambil tersenyum ceria.
Ayu tertawa kecil melihat sikap
Nanda. “Sepertinya kamu sudah mulai terbiasa dengan setelan seperti ini.”
“Eh!?” Nanda memandangi
tubuhnya sendiri yang mengenakan kebaya kembang khas pelayan keraton tersebut
dan kain jarik di bawahnya. “Beneran?”
Ayu mengangguk sambil tertawa
kecil.
“Asal bisa bersamamu, aku rela
berpakaian seperti ini setiap hari,” ucap Nanda sambil mengecup pipi Ayu.
“Eh!? Astaga!” Nanda buru-buru
mengambil tisu basah dan membersihkan noda lipstik di pipi Ayu.
Ayu tertawa kecil menatap wajah
Nanda.
“Sekarang aku tahu, kenapa
cowok nggak diciptakan pakai lipstik. Kalau semua cowok pake lipstik, bekas
bibirnya bisa ketahuan tertinggal di mana-mana,” ucap Nanda.
“Maksudmu? Kamu mau bilang
kalau bekas bibirmu udah ada di mana-mana?” tanya Ayu menyelidik.
“Hehehe. Itu ‘kan dulu.
Sekarang aku udah tobat. Promise! Nggak akan savage lagi,” sahut Nanda sambil
mengacungkan dua jari sejajar dengan telinganya.
Ayu tertawa kecil sambil
merapatkan selendang ke tubuhnya. “Kenapa di saat aku pengen mati, aku nggak
bisa mati? Di saat aku pengen hidup, banyak hal yang ingin membunuhku?”
tanyanya.
“Mmh, jangan bilang seperti ini
lagi! Aku tidak akan membiarkan siapa pun membunuhmu,” sahut Nanda.
Ayu tersenyum. “Makasiih ...!”
ucapnya. Ia bergegas keluar dari dalam kamar karena di luar sana sudah ada
banyak pelayan yang menunggunya dan beberapa sesepuh kota yang akan membantunya
melakukan prosesi ritual di kolam suci.
Satu jam kemudian ...
Ayu sudah masuk ke dalam kolam
usai melakukan prosesi adat sesuai dengan aturan dari keraton tersebut. Kolam
suci itu juga sudah ditambahkan air suci dari empat penjuru negeri. Ia harus
bisa bertahan selama mungkin di kolam tersebut.
“Apakah Tuan Puteri diizinkan
keluar dari dalam kolam ini meski hanya sebentar saja?” tanya Nanda pada
beberapa pelayan yang bersamanya saat semua orang sudah meninggalkan tempat itu
satu per satu.
“Kanjeng Sultan memberikan
keringanan. Katanya, boleh keluar dari dalam kolam setelah dua belas jam. Tapi
tidak boleh meninggalkan kolam ini dan tidak diperbolehkan mengganti pakaiannya,”
jawab pelayan yang ditanya.
Nanda bernapas lega mendengar
ucapan pelayan yang ada di sana. Kolam yang ada di sana adalah kolam yang
berada di dalam gua dan membuatnya lebih kecil terkena dingin dibandingkan
harus berendam di danau terbuka.
“Setiap jam enam pagi dan jam
enam sore, utusan pengadilan kerajaan akan mengecek kemari. Kita pastikan Tuan
Puteri sedang dalam keadaan berendam,” tutur pelayan lain lagi.
Semua yang ada di sana
mengangguk setuju.
Nanda mengedarkan pandangannya
ke sekeliling kolam berbentuk piring dengan diameter sekitar tiga puluh meter.
“Pelayan, bisakah meminta bantuan pelayan keraton ini untuk mencari kayu bakar?
Yang lain, siapkan makanan dan minuman untuk Tuan Puteri. Juga bawakan tiga
badcover ke sini! Aku akan menemani Tuan Puteri.”
“Kayu bakar? Untuk apa?”
“Untuk membuat tempat ini
selalu hangat,” jawab Nanda.
“Apa kita tidak menyalahi
aturan?” tanya pelayan lain.
“Tidak ada aturan lain yang
tertulis selain Tuan Puteri kita berendam di sini selama tujuh hari tujuh
malam,” sahut Nanda. “Aku sudah memeriksa literatur keraton ini.”
“Iya juga, sih.” Pelayan yang
ada di sana mengangguk-anggukkan kepala dan segera mengerjakan perintah dari
Nanda agar Roro Ayu bisa menjalani hukumannya dengan baik tanpa harus
menderita.
Nanda tersenyum sambil meraih
beberapa ranting kayu yang ada di sekitarnya dan membuat api unggun untuk
membuat keadaan tetap hangat. Ia memerintahkan semua pelayan untuk tidak
berhenti memberinya kayu bakar selama Ayu menjalani masa hukumannya. Dengan
cekatan, ia membuat banyak api yang mengelilingi kolam tersebut untuk menjaga
tubuh Ayu tetap hangat, begitu juga saat wanita itu naik ke permukaan. Ia tidak
ingin Ayu terkena hipotermia karena terlalu lama berendam di dalam air.
Baginya, tujuh jam pun masih terlalu lama dan bisa saja membuat tubuh Ayu tidak
tahan.
((Bersambung...))
I’m so sorry ...!
Seharusnya author update tadi
malam. Tapi karena ngelonin si bocil dan aku ketiduran, bablas dah... hiks ...
hiks ... hiks ... ngelonin anak mengalihkan duniaku.
0 komentar:
Post a Comment