Nanda melangkahkan kakinya
perlahan sambil membawa beberapa barang yang dibutuhkan Ayu ke dalam kamarnya.
Ia terus menundukkan kepala dan berjalan sebaik mungkin sebagai seorang wanita
biasa.
“Hei, kamu pelayan pribadinya
Roro Ayu, ya?” sapa seorang pria bertubuh tinggi dan kekar yang tiba-tiba
menghadang langkah Nanda.
Nanda langsung mengangkat
wajahnya menatap pria itu. Matanya menyeringai tak bersahabat saat melihat pria
tampan yang sejak kemarin menjadi pembicaraan para pelayan karena pria itu
adalah putera mahkota dari keraton kesultanan Yogyakarta yang juga cukup
terkenal.
“Siapa nama kamu?” tanya pria
itu sambil memperhatikan wajah Nanda.
“Nindi, Tuan!” jawab Nanda
sambil menundukkan kepala dan memperbaiki selendang di lehernya. Tidak ada yang
boleh mengetahui kalau dia adalah pelayan wanita yang memiliki jakun.
“Nindi? Kamu tinggi banget
untuk seorang perempuan?” tanya pria itu sambil menegakkan tubuhnya. “Kamu
lebih cocok jadi model daripada jadi pelayan di keraton ini.”
Nanda tersenyum manis menanggapi
pertanyaan pria itu. “Terima kasih atas pujiannya, Tuan! Mohon maaf ...! Saya
harus segera ke kamar Tuan Puteri untuk membawakan makanan ini. Dia sedang
sakit, tidak boleh telat makan,” pamitnya sambil melangkah.
“E-eh. Tunggu!” Pria itu
kembali menghadang langkah Nanda.
“Ada apa, Tuan?”
“Ini obat oles mujarab dari
keratonku. Obat ini sangat terkenal dan bisa menyembuhkan luka dengan cepat.
Tidak semua orang bisa mendapatkan obat ini. Aku tahu, tubuh Roro Ayu pasti
masih terluka karena cambukan di tubuhnya,” ucap pria itu sambil menyodorkan
botol mungil berbahan keramik ke hadapan Nanda.
Nanda melebarkan kelopak mata
dan langsung menyambar obat tersebut begitu tahu kalau obat itu terkenal
mujarab. Meski ia sudah mencoba melindungi tubuh Ayu menggunakan busa. Tapi
tetap saja lima puluh cambukan yang menimpa wanita itu, meninggalkan bekas luka
di tubuh dan lengan belakangnya.
Pria itu tersenyum puas menatap
Nanda. “Sampaikan salamku untuk Roro Ayu! Bilang kalau Mas Enggar Dierjaningrat
akan tinggal di sini untuk memastikan keselamatan dia.”
“Baik, Tuan! Terima kasih ...!”
ucap Nanda sambil bergegas melangkah pergi dengan cepat. Ia mendengus kesal sambil
mencebikkan bibirnya. “Mentang-mentang keluarga ningrat dan bisa masuk ke sini
dengan bebas, mau ngambil kesempatan ngambil perhatian Ayu? Hellow ...! Ada
Nanda di sini. Aku nggak akan biarkan siapa pun deketin Ayu. Meski anaknya
presiden sekali pun, langkahi dulu mayatku!” gerutu Nanda sambil menahan kesal.
Nanda langsung masuk ke dalam
kamar Ayu dan mengunci rapat pintu kamar tersebut.
“Nanda?” Ayu langsung menutup
tubuhnya saat ia sedang memperhatikan punggungnya yang masih memar karena
terkena cambukan beberapa kali.
“Sakit, ya? Aku bawain obat
oles buat kamu,” tutur Nanda sambil menghampiri Roro Ayu dan menarik kain jarik
yang menutupi punggung wanita itu.
“Nan, kamu lancang banget,
sih!?” seru Ayu sambil berusaha menutup kembali tubuhnya menggunakan jarik yang
ia kenakan.
“Ay, aku udah lihat semuanya!
Ngapain sih masih malu-malu? Biar aku obatin lukamu,” pinta Nanda sambil
menarik jarik yang menutupi tubuh Ayu. Seketika, terjadi tarik-menarik antar
mereka berdua dan tidak ada yang mau mengalah.
“LEPASIN!” teriak Ayu kesal
sambil menarik jariknya.
Nanda mendengus kesal dan
melepaskan jarik yang ditarik oleh Ayu.
Bruug ...!
“Aargh ...!” Ayu merintih
kesakitan saat tubuhnya tersungkur ke lantai karena Nanda refleks melepas
tarikan jariknya.
“NANDA ...! Kenapa dilepasin
beneran!?” seru Ayu kesal sambil merintih kesakitan.
“Sorry ...! Sorry ...! Abisnya,
kamu nyuruh aku lepasin,” tutur Nanda sambil meraih kedua pundak Ayu dan
membantu bangkit dari lantai.
“Iya. Tapi jangan dilepasin
tiba-tiba juga, dong!” seru Ayu sambil memegangi punggungnya yang semakin sakit
karena terbentur lantai.
Nanda terkekeh dan mengecup
kening Ayu berkali-kali. “Jangan marah, dong! Aku nggak sengaja.”
“Sakit, tau! Kamu tuh nggak ada
puasnya bikin aku tersakiti?” protes Ayu sambil memonyongkan bibirnya.
Nanda tersenyum sambil menjepit
kedua pipi Ayu dan mengecupnya.
“Nan, kamu jangan cium aku!
Jijik banget tahu dicium sama perempuan,” tutur Ayu sambil menahan tawa.
“Aku laki-laki tulen, Ay,”
sahut Nanda sambil mengusap lipstik merah di bibirnya dan menyodorkan bibirnya
kembali ke bibir Ayu.
Ayu menarik mundur tubuhnya
sambil menahan bibir Nanda menggunakan jari telunjuknya. Tangan satunya
memegang pinggang Nanda karena Nanda masih terus menyodorkan tubuhnya hingga ia
hampir terjengkak ke lantai kembali.
Nanda mengalihkan pandangannya
ke bagian dada Ayu yang polos karena kain jarik yang menutupi tubuhnya sudah
terkulai di lantai yang ada di bawah mereka.
Ayu melebarkan kelopak mata dan
menoleh ke arah dadanya sendiri. Ia langsung mendorong kuat tubuh Nanda dan
buru-buru menarik kain jarik di bawahnya. “Kamu ini nyari kesempatan, ya!?”
dengusnya. Ia melilitkan kain jarik tersebut di tubuhnya.
Nanda tersenyum sambil
menggigit bibir bawahnya. “Kamu nggak kangen sama aku, Ay?”
“Nggak!” sahut Ayu kesal sambil
duduk di kursi meja riasnya.
“Jangan ngambek, dong!” pinta
Nanda sambil merangkul tubuh Ayu dari belakang.
“Nggak usah macem-macem dan
bikin aku kesel, deh! Ntar aku minta ganti pelayan, mau!?” dengus Ayu.
“Hehehe. Jangan, dong! Serius,
deh! Aku mau obatin kamu,” tutur Nanda sambil menarik kursi yang ada di sana
dan duduk di belakang Ayu. Ia membuka
botol obat dan mengoleskan salep perlahan di luka memar yang ada di bahu wanita
itu.
Ayu tersenyum kecil. Ia
memegangi jarik untuk menutupi dadanya dan membiarkan Nanda mengobati lukanya
perlahan. “Pelan-pelan!” pintanya lirih.
“Sakit, ya?” tanya Nanda.
Ayu mengangguk pelan sambil
menundukkan kepala.
“Ay, aku boleh tanya sesuatu?”
tanya Nanda.
“Hmm.”
“Kamu kenal sama anak bangsawan
dari keraton Jogja yang namanya Raden Mas Enggar ... mmh, nama belakangnya
siapa ya tadi?”
“Dierjaningrat?” tanya Ayu
balik.
“Kenal?” tanya Nanda sambil
menatap wajah Ayu.
“Kenal. Partner nari aku,”
jawab Ayu santai.
Nanda mengernyitkan dahi.
“Jangan bilang kalau dia cowok yang nari sama kamu di ulang tahun kota waktu
itu!”
“Emang dia orangnya,” jawab
Ayu.
“HAH!? Kamu ngakuin kalau itu
dia? Kenapa santai banget? Nggak ngerasa bersalah? Kamu ada hubungan apa sama
dia?” cecar Nanda.
Ayu langsung memutar tubuhnya
menatap Nanda yang ada di belakangnya. “Ini pertanyaan apa? Sejak kapan kamu
peduli dengan hubungan pertemananku di luar sana?”
Nanda gelagapan sambil menatap
wajah Ayu. “Sejak detik ini!” tegasnya.
Ayu tertawa kecil dan kembali
mengalihkan pandangannya ke cermin di hadapannya.
“Ay, kamu nggak mau jelasin
sesuatu ke aku?” tanya Nanda.
“Apa yang perlu dijelaskan?”
tanya Ayu.
“Hubungan kamu sama dia. Kamu
punya simpanan waktu pacaran sama Sonny?” tanya Nanda.
“Simpananku banyak!” sahut Ayu
sambil membanggakan dirinya.
“Kamu ...!?” Nanda
mengernyitkan dahi. “Diam-diam, kamu punya banyak pacar juga?”
Ayu mengangguk. “Emangnya cuma
kamu doang yang bisa punya banyak pacar? Aku ini cantik, baik hati dan puteri
bangsawan. Cowok mana yang nggak mau sama cewek kayak aku??” ucapnya penuh
percaya diri.
Nanda mengernyitkan dahi. “Kamu
begitu percaya diri kalau di kandang sendiri, ya? Dulu, kamu nggak seperti
ini?”
“Status sosial memengaruhi rasa
percaya diri seseorang ‘kan?” sahut Ayu sambil tersenyum manis.
Nanda ikut tersenyum sambil
menatap wajah Ayu. “Bukankah dari dulu status sosialmu yang paling tinggi waktu
SMA?”
“Mmh ... saat itu aku belum
terpikirkan dengan hal-hal seperti ini. Yang aku tahu hanya belajar, belajar
dan belajar,” jawab Ayu sambil tersenyum. Ia menghela napas saat mengingat
masa-masa SMA-nya. “Jadi orang dewasa itu nggak enak, ya? Jadi anak kecil terus
juga nggak mungkin,” keluhnya.
“Siklus hidup manusia memang
harus seperti ini ‘kan?” tutur Nanda sambil menutupkan jarik kembali ke tubuh
Ayu begitu ia selesai mengoleskan obat di punggung wanita itu.
“Tumben bijak?” sahut Ayu
sambil tersenyum.
“Titik terendah dalam hidup,
mengajarkan aku menjadi bijak. Makasih ...!” jawab Nanda sambil memeluk tubuh
Ayu.
“Makasih untuk apa?” tanya Ayu
sambil tertawa kecil menatap wajah Nanda. “Aku sudah membuat hidupmu menderita.
Masih bisa bilang terima kasih?”
“Karena aku sudah membuat
hidupmu jauh lebih menderita dari apa yang aku alami,” jawab Nanda sambil
tersenyum dan mengecup pipi Ayu. “Benar kata Bunda Yuna. Kamu sudah
mengorbankan diri dan menyelamatkan nyawaku sejak kita masih duduk di bangku
SMA. Jangan-jangan, kamu sebenarnya suka sama aku, ya?”
“Iih ... apaan, sih? Kepedean
banget? Sonny jauh lebih baik dari kamu,” sahut Ayu.
“Cuma karena gengsi sama status
kamu yang baik dan smart. Terus, kamu nggak mau mengakui kalau kamu cinta sama
aku?” goda Nanda.
“Iih ... nggak kayak gitu!”
sahut Ayu sambil mengerutkan wajahnya.
“Halah ... ngaku aja! Mana
mungkin kamu mau terluka berkali-kali demi aku kalau nggak cinta?” goda Nanda
sambil menggelitiki pinggang Ayu.
“Nanda ...! Geli tahu!” sahut
Ayu sambil membalas perlakuan Nanda. Mereka asyik bermain dan berkejar-kejaran
di kamar tersebut sambil tertawa bahagia. Menjalani waktu-waktu bersama seolah
tak ada rasa sakit dan penderitaan dalam hidup mereka.
((Bersambung...))
Setidaknya, Ananda udah tahu
bagaimana cara mengalihkan kesedihan Ayu dan membuatnya tetap bahagia menjalani
kesulitan dalam hubungan mereka. Supaya dia bisa belajar, bagaimana menghargai
seseorang dari ujian hidup yang sudah ia alami.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment