Nanda mondar-mandir di depan
pintu utama keraton kesultanan dengan perasaan tak karuan. Ia sudah berusaha
menerobos penjaga tempat itu agar bisa masuk, tapi tetap tak bisa melakukannya.
Ia juga tidak bisa meminta bantuan dari siapa pun karena aturan keluarga
keraton tidak bisa dicampuri oleh tangan orang lain, bahkan presiden sekali
pun.
Meski ia tahu kalau ia dilarang
masuk, tapi ia masih berusaha menerobos tempat itu agar bisa bertemu dengan
Roro Ayu. Wanita yang harus menjalani serangkaian hukuman mengerikan karena
perbuatan darinya. “Harusnya aku yang dihukum. Bukan Ayu. Istana ini isinya
orang gila semua!?” serunya kesal.
Nanda mengedarkan pandangannya.
Ia terus menyusuri pagar tinggi yang mengelilingi istana itu dan mencoba
mencari celah untuk masuk ke sana.
“Aku dengar, Puteri Mahkota
keraton sudah kembali masuk ke sini dan dua hari lagi akan menjalani hukuman,”
tutur salah seorang wanita yang mengenakan pakaian pelayan dan berjalan di
sekitar pagar keraton tersebut. Ia terdengar menggunakan bahasa jawa yang khas.
“Hukuman mengerikan itu
benar-benar ada?” tanya pelayan yang lainnya lagi.
Nanda langsung menyembunyikan
wajahnya ke tembok dan memasang telinga dengan baik agar ia bisa mendengarkan
pembicaraan wanita-wanita yang ada di sana.
“Beneran ada. Sudah ratusan
tahun tidak pernah ada puteri mahkota yang melanggar peraturan seperti ini. Aku
dengar, ini kedua kalinya. Puteri mahkota yang pertama kali menjalani hukuman,
sudah meninggal lebih dahulu sebelum hukuman dia selesai,” jawab wanita pelayan
yang lain lagi.
Nanda melebarkan kelopak
matanya saat ia mendengar desas-desus tentang peraturan keluarga keraton yang
begitu mengerikan itu. “Gimana caranya menyelamatkan Ayu? Apa harus mempertaruhkan
nyawa hanya untuk diterima di keluargamu lagi? Ini salahku, Ay. Bukan salahmu,”
batinnya sambil menitikan air mata.
Nanda memukul-mukul dinding
yang ada di hadapannya.
“Aargh ...!” Tiba-tiba seorang
pelayan yang tertinggal seorang diri, terjatuh tak jauh di belakang Nanda.
“Kenapa, Mbak?” tanya Nanda
sambil membantu pelayan itu bangkit dari tanah.
“Nggak papa, Mas. Cuma terkilir
saja. Terima kasih!” jawab pelayan itu sambil menatap buah-buahan yang jatuh
berserakan di sekitarnya.
Nanda buru-buru membantu
memungut buah-buahan tersebut dan mengumpulkannya kembali ke dalam keranjang
yang dibawa oleh pelayan tersebut. “Kamu kerja di keraton ini?”
“Iya, Mas.”
“Kamu tahu soal puteri mahkota
yang akan menjalani hukuman di dalam sana?” tanya Nanda.
Pelayan itu mengangguk sambil
mengusap air matanya yang basah.
“Kenapa nangis?” tanya Nanda
sambil menatap wajah wanita itu.
“Saya nggak tega lihat Tuan
Puteri dihukum seperti itu, Mas. Sejak kecil saya sudah mengenal tuan puteri
dan selalu melayani dia jika dia kembali ke keraton. Dia wanita baik-baik,
kenapa harus menerima hukuman seperti ini. Pria yang menodai dia sangatlah
kejam,” jawab pelayan itu sambil mengusap air matanya yang berderai.
“Pria yang kamu maksud itu
aku,” tutur Nanda sambil menatap wajah pelayan itu.
“Ha!?” Pelayan itu menutup
mulutnya yang ternganga lebar. “Maafkan kelancangan saya, Tuan Muda!” ucapnya
sambil membungkuk hormat di hadapan Nanda.
“Nggak papa. Saya memang
bersalah dan pantas menerima semua hinaan ini. Aku sangat mencintai Roro Ayu.
Bisakah kamu membantuku menyelamatkan tuan puterimu?” tanya Nanda penuh harap.
Pelayan itu sontak
menengadahkan kepala menatap Nanda. “Maaf, Tuan Muda ...! Saya tidak berani,”
jawabnya sambil menunduk hormat. Ia memundurkan lututnya dan bangkit dari tanah
dengan susah payah.
“Kamu tidak perlu melakukan apa
pun. Kamu hanya perlu bantu aku masuk ke dalam kediaman. Aku hanya ingin
memastikan kalau Roro Ayu baik-baik saja di dalam sana,” tutur Nanda sambil
menghadang pelayan itu.
Pelayan itu terdiam. Ia terus
menundukkan kepala dengan perasaan tak karuan.
“Aku tahu, kamu pasti sangat
menyayangi dan mempedulikan majikan kamu itu ‘kan? Kamu mau kalau dia mati di
dalam sana karena nggak ada yang nolong dia?” tanya Nanda.
Pelayan itu terdiam sambil menggigit
bibir bawahnya.
“Bantu aku masuk ke istana ini.
Aku janji, tidak akan melibatkan kamu. Aku akan melindungimu dari siapa pun,”
tutur Nanda lagi. Ia sangat berharap, pelayan kecil ini bisa membantunya.
“Ikut saya!” pinta pelayan
kecil itu sambil melangkahkan kakinya menuju ke suatu tempat yang ada di
halaman belakang keraton tersebut.
“Mas, tunggu di sini ya!” pinta
pelayan itu sambil masuk ke dalam pintu kecil yang ada di hadapannya.
Nanda mengangguk. Ia segera duduk
di salah satu pot besar yang ada di sana.
Beberapa menit kemudian, pelayan
kecil itu keluar dari sana sambil membawa tottebag di tangannya. “Mas pakai ini
dan silakan masuk ke kediaman tuan puteri. Kepala pelayan memerintahkan untuk
mengambil susu di peternakan sapi perah dan membawanya untuk tuan puteri. Mas
bisa masuk lewat pintu ini karena pintu ini khusus untuk pelayan dan ada
penjaga di dalamnya. Pelayan dilarang masuk lewat pintu depan. Lakukan dengan baik!”
ucap pelayan itu buru-buru dan kembali masuk ke dalam pintu khusus yang
diperuntukkan bagi pelayan-pelayan di sana.
Nanda mengangguk. “Terima
kasih, Mbak!”
Pelayan kecil itu mengangguk
dan segera masuk kembali ke pintu kecil yang ada di sana.
Nanda tersenyum melihat
tottebag yang ada di tangannya. Ia pikir, pelayan itu sedang memberinya seragam
pelayan pria atau pengawal keraton tersebut. Tapi saat ia mengeluarkan kain
yang ada di dalamnya, ia menghela napas lemas. “Aku disuruh pakai baju pelayan?
Nggak salah?” Ia mengernyitkan dahi menatap gaun khas pelayan keraton tersebut.
Nanda menghela napas. Ia
bangkit sambil melangkah perlahan menuju ke mobilnya yang terparkir di salah
satu halaman gedung yang ada di seberang keraton tersebut. “Nggak papalah jadi
banci demi Ayu. Daripada nggak bisa masuk sama sekali,” gumamnya.
Nanda segera mencari peternakan
sapi perah yang dimaksud oleh pelayan kecil itu. Berbekal sifatnya yang ramah
dan sok kenal, membuatnya begitu mudah mendapatkan informasi langganan peternakan
sapi perah keraton tersebut.
Nanda segera mengenakan pakaian
pelayan sebelum ia keluar dari dalam mobil. Ia memperhatikan bagian tubuhnya
sebelum ia keluar dari mobil. “Kayak ada yang kurang?” gumamnya sembari
memperhatikan wajahnya sendiri.
“Cewek harus pakai make-up
‘kan? Gimana caranya?” tanya Nanda pada dirinya sendiri.
Nanda membuka ponsel miliknya
dan mencari salon kecantikan yang ada di tempat itu. Ia memilih salon
kecantikan tersebut untuk mengubah wujudnya menjadi lebih sempurna dan mengajarinya
cara menggunakan make-up yang baik. Banyaknya wanita cantik di sekelilingnya
yang suka berdandan, membuatnya tidak asing dengan alat-alat rias khas wanita.
Setelah memastikan
penampilannya sempurna, Nanda langsung keluar dari salon tersebut dan kembali
ke peternakan sapi perah. Pakaian khas pelayan keraton, membuatnya langsung
disambut dengan baik oleh pemilik usaha susu tersebut.
“Saya baru lihat ada pelayan
secantik ini di keraton. Pelayan baru?” tanya pengusaha susu tersebut sambil
menatap wajah Nanda.
Nanda mengangguk sambil
tersenyum sinis. Ia kesulitan mengatur bicaranya agar bisa menyerupai suara
wanita.
“Ini susu pesanan untuk tuan
puteri. Sudah lama dia tidak terdengar berada di kediaman karena sekolah di
luar negeri. Sudah pulang ke sini?”
Nanda mengangguk. Ia tersenyum
manis ke arah pengusaha tersebut. “Terima kasih, Pak! Saya harus segera
kembali.”
Pengusaha itu mengangguk.
“Bergegaslah! Jangan sampai terlambat! Tuan Puteri sangat menyukai susu yang
masih segar.”
Nanda mengangguk sambil tersenyum
manis. “Baik, Pak. Permisi ...!” ucapnya sambil membungkuk sopan dan segera
masuk ke dalam mobilnya.
“Tumben pelayan naik mobil?
Biasanya jalan kaki? Aturan di keraton sudah mulai modern juga?” gumam
pengusaha itu sambil menatap tubuh Nanda yang sudah bergerak pergi meninggalkan
pelataran tokonya.
Nanda menarik napas
dalam-dalam. Ia segera kembali ke halaman belakang keraton tersebut dan
mengetuk pintu belakang yang terkunci rapat.
Tok ... tok ... tok ...!
Pintu besi itu terbuka dan
seorang pengawal langsung menatap ke arah Nanda. “Bawa susu untuk tuan puteri?”
Nanda mengangguk.
“Cepat! Dari tadi sudah ditanya
kepala pelayan!” perintah pengawal itu.
Nanda mengangguk. Ia berjalan
menundukkan kepala sembari memperbaiki selendang yang menutupi bagian lehernya.
Ia bergegas mengikuti langkah pengawal yang ada di hadapannya dan segera masuk
ke gedung yang ditinggali oleh Ayu.
“Sumpah, aku ngerasa kayak
balik ke zaman kerajaan Majapahit. Tempat kayak gini beneran masih ada?” batin
Nanda sambil memperhatikan arsitektur tempat itu yang begitu menakjubkan.
Bahkan, pilar-pilar bangunan tersebut dihiasi oleh emas asli.
“Bawa masuk ke dalam kamar
Ndoro Puteri! Dia belum makan dari pagi dan besok harus menjalani hukuman.
Bujuk dia supaya mau minum susu dan makan!” perintah kepala pelayan yang sudah
menunggu pelayannya mengambilkan susu untuk Roro Ayu.
Nanda mengangguk sambil
melangkah masuk ke pintu yang sudah ada di hadapannya. Ia segera menutup pintu
berbahan kayu ulin megah itu dan menghampiri Ayu yang sedang duduk berdiam diri
di dekat jendela.
“Ay ...!” panggil Nanda
berbisik sambil menghampiri Ayu.
Ayu langsung memutar kepala
begitu ia mendengar suara Nanda. Ia mengernyitkan dahi menatap wajah pelayan
yang tersenyum manis ke arahnya. “Kenapa aku denger suara Nanda? Apa aku
berhalusinasi? Apa aku terlalu kangen sama dia? Jangan-jangan aku udah mau
mati?” batinnya.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah jadi sahabat
setia bercerita!
Dukung terus supaya author
makin semangat berkarya!
Jangan lupa, bantu promosiin
juga, yak! Biar makin banyak yang bisa nikmati cerita dari author.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment