Nanda menarik napas dalam-dalam
saat ia sudah berada di halaman keraton Kesultanan Surakarta. Ia menggenggam
erat tangan Ayu yang ada di sebelahnya dan menoleh ke arah beberapa anak buah
yang ada di belakangnya.
“Kalian pulanglah! Aku ada
urusan pribadi. Kalau mama tanya, katakan saja jika aku sedang berada di
keraton untuk mengambil istri,” perintah Nanda.
“Baik, Tuan!”
Semua orang yang ada di
belakang Nanda, langsung bergegas pergi meninggalkan atasan mereka.
Ayu tersenyum kecil. Ia
melangkahkan kaki perlahan dengan tubuh gemetaran. Perasaannya bergejolak dan
tak karuan. Ia sudah melanggar aturan suci keraton tersebut dan tidak tahu
bagaimana harus menebus semua kesalahannya itu.
“Ndoro Puteri ...! Apakah Ndoro
Puteri ingin masuk ke Istana?” salah seorang abdi dalem keraton tersebut
terlihat terburu-buru menghampiri Ayu.
Ayu menghentikan langkah
kakinya saat ia sudah berada di depan pintu gerbang yang dijaga oleh dua
prajurit keamanan tempat tersebut. Ia langsung menoleh ke arah pria itu dan
menganggukkan kepala.
“Maaf, Ndoro ...! Ndoro Puteri
dilarang masuk ke istana.”
Ayu terdiam sejenak sambil
menelan saliva dengan susah payah. Ia berusaha mengumpulkan keberanian yang
selama ini sudah tercerai-berai entah ke mana. “Aku akan laksanakan upacara
kesucen,” ucapnya dengan bibir gemetar.
Abdi dalem itu terlihat sangat
gelisah mendengar ucapan Ayu.
“Kenapa? Apa aku masih belum
bisa melakukan upacaranya?” tanya Ayu.
“Bi-bisa, Ndoro. Tapi ... ada
beberapa syarat yang masih harus dipenuhi.”
“Katakan! Apa saja syaratnya?”
perintah Roro Ayu.
“Mari, ikut saya dulu!” pinta
abdi dalem yang ada di sana sambil mempersilakan Ayu dan Nanda penuh rasa
hormat.
Nanda dan Ayu melangkahkan kaki
mengikuti abdi dalem yang ada di hadapannya hingga sampai ke salah satu
kediaman yang biasa digunakan untuk menyambut tamu luar.
“Tunggu di sini! Saya akan
panggilkan Kanjeng Sultan untuk menemui kalian.”
Ayu mengangguk. Ia meletakkan
tas tangannya ke atas meja dan duduk bersimpuh di lantai, tepat di hadapan
kursi singgasana yang ada di sana.
“Ay, harus berlutut kayak
gini?” tanya Nanda.
Ayu langsung menarik tangan
Nanda agar segera duduk di sampingnya. “Ikuti saja peraturannya!”
Nanda langsung duduk bersila di
samping Ayu.
“Duduknya jangan kayak gitu!”
pinta Ayu. “Kakinya dilipat ke belakang.”
“Eh!?” Nanda memperhatikan cara
duduk Ayu. Ia langsung memperbaiki posisi duduknya. “Ay, susah duduk kayak
gini. Burungku kejepit,” bisiknya.
Ayu mendelik sambil menyikut
tubuh Nanda. “Jangan bercanda terus di sini!” pintanya berbisik.
“Nggak boleh, ya?” tanya Nanda
sambil mengedarkan pandangannya. Di tempat itu, tidak hanya mereka berdua. Ada
beberapa pelayan dan penjaga yang berdiri di sana, tapi semuanya hening. Tidak
ada yang mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan, napas mereka saja tidak sampai
terdengar di telinga Nanda.
Tiga puluh menit kemudian ...
Nanda mulai gelisah karena
orang yang akan ia temui, tak kunjung muncul di hadapannya. Duduk dengan kaki
terlipat di bawahnya, membuatnya sudah merasakan nyeri dan kebas. “Ay, masih
lama?” bisiknya lagi.
“Tunggu saja!” sahut Ayu.
Wanita itu tetap terlihat tenang meski sudah duduk bersimpuh selama tiga puluh
menit.
“Aku boleh duduk sila sebentar?
Keram banget kakiku, Ay,” tanya Nanda.
“Nan, seriuslah! Kita datang
untuk meminta pengampunan dan menebus kesalahan kita,” pinta Ayu.
“Kakimu nggak sakit?” tanya
Nanda. “Kita bisa lumpuh kalau terlalu lama duduk di sini.”
Ayu menggeleng.
Nanda menghela napas. Ia
menarik napas dalam-dalam sambil memperbaiki posisi duduknya. Ia tahu, saat ini
Ayu sedang menderita, tapi tidak mau menunjukkan penderitaan di hadapannya.
“Apa yang membuatmu kembali ke
sini?” tanya seorang pria tua yang dituntut untuk duduk di singgasananya. Di
belakangnya, juga sudah ada beberapa orang dengan pakaian kebesaran. Kedua
orang tua Ayu, juga ada di sana untuk menyambut kedatangan puteri mereka.
“Kenapa kamu membawa pria ini
lagi?” seru Edi saat melihat Nanda sudah duduk di samping Ayu.
“Seret pria ini keluar dari
sini ...!” perintah Edi pada penjaga yang ada di sana.
Dua orang penjaga, langsung
menarik lengan Nanda dengan cepat.
Nanda tersentak mendengar
perintah Edi yang begitu cepat membuatnya diseret keluar. Ia berusaha
mempertahankan diri agar tidak dibawa pergi dari sana. Seharusnya, ia membawa
semua anak buahnya ke tempat ini agar keluarga ini tidak bersikap semena-mena
terhadap dirinya.
“Ayah ...! Jangan usir Nanda
dari sini!” pinta Ayu sambil memegangi tubuh Nanda. Ia langsung menatap dua
pengawal yang memegangi tubuh Nanda. “Lepaskan dia!” perintahnya.
Pengawal yang ada di sana terlihat
kebingungan karena semua keluarga keraton adalah majikan bagi mereka.
“Bajingan ini nggak pantas
masuk ke keluarga kita. Kamu tahu apa yang sudah dia lakukan dulu dan kamu
masih membawanya kemari?” seru Edi sambil menatap tajam ke arah Ayu.
“Ayah, semua orang punya
kesalahan dalam hidupnya. Nanda sudah minta maaf, sudah menebus semua
kesalahannya. Apa masih belum cukup?” tanya Ayu sambil menatap wajahnya dengan
mata berkaca-kaca.
“Kamu ...!? Ke sini mau melawan
ayahmu, hah!?” seru Edi.
“Mas, jangan emosi! Kasihan
Ayu,” bisik Bunda Rindu sambil berusaha menenangkan emosi suaminya.
“Edi, apa kamu tidak melihat
keberadaanku? Kamu bisa sesukanya memarahi Roro Ayu dan tamu yang dia bawa?”
tanya seorang pria tua yang duduk di singgasana besar itu.
“Maaf, Romo ...!” Edi langsung
membungkuk dan memberi hormat pada pria nomor satu di keraton tersebut.
Sri Sultan Pakubuwono tersebut
langsung menatap wajah Nanda. “Lepaskan dia!” perintahnya pada pengawal yang
memegangi Nanda".
Nanda menghela napas lega saat
dua pengawal itu sudah melepaskannya. Ia
kembali berlutut di belakang Ayu sambil menengadahkan kepala menatap Sri Sultan
yang duduk di atas singgasananya. “Saya datang ke sini untuk meminta maaf dan
ingin kembali mengambil Roro Ayu sebagai istri saya!” ucapnya tegas.
“Kamu tahu apa yang kamu
lakukan tiga tahun lalu?” tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Nanda.
Nanda mengangguk.
“Kami tidak melarang Roro Ayu
menikah dengan siapa pun. Hanya saja, dia tidak boleh menginjakkan kakinya ke
istana karena seorang puteri mahkota telah melanggar peraturan yang mencoreng
nama baik keluarga besar keraton kesultanan,” ucap Sri Sultan sambil menatap
wajah Nanda.
“Eyang, saya akan lakukan
upacara kesucen untuk bisa masuk ke istana lagi. Saya ingin mendapatkan restu
pernikahan dari Eyang dan semua keluarga keraton,” tutur Ayu sambil menitikan
air mata menatap Sri Sultan yang juga kakeknya sendiri.
Sri Sultan menatap serius ke
arah Ayu. “Syarat untuk melakukan upacara mensucikan diri tidaklah mudah. Kamu
tidak akan sanggup menjalaninya, Roro Ayu.”
“Saya akan menjalaninya, Eyang.
Apa pun syaratnya, akan saya penuhi. Asalkan Eyang mengizinkan aku kembali ke
istana ini,” sahut Ayu sambil memberi hormat kepada Sri Sultan yang ada di
hadapannya.
Sri Sultan menganggukkan
kepala. Ia langsung menoleh ke arah salah satu staff administrasi kesultanan.
“Bacakan persyaratan yang harus dilakukan Roro Ayu agar dia bisa melakukan
upacara mensucikan diri dengan baik!”
Pria yang ditunjuk oleh Sri
Sultan, mengangguk dan segera membuka dekrit keraton yang sudah menjadi aturan
turun-menurun selama ratusan tahun.
“Tujuh syarat upacara
menyucikan diri yang harus dipenuhi oleh Raden Roro Ayu Rizki Prameswari selaku
puteri mahkota. Karena telah melanggar aturan besar, mencemarkan nama baik dan merusak
moral keluarga ... maka, Raden Roro Ayu Rizki Prameswari harus menjalani
hukuman pengasingan selama minimal satu tahun. Dilarang masuk ke Istana sebelum
melakukan upacara pensucian,” tutur staff administrasi kesultanan dengan suara
tegas.
Ayu menundukkan kepala sambil
menitikan air mata. Seharusnya, ia diadili sejak empat tahun lalu. Karena
permohonan penangguhan dari kedua orang tuanya dengan alasan janin dalam perut
Ayu, membuatnya hanya menjalani hukuman pengasingan dan dilarang masuk ke
istana kesultanan sebelum ia melakukan upacara penyucian diri. Lahir di dalam
keluarga keraton memang tidak mudah. Tidak ada hukum negara yang bisa menyentuh
apa yang sudah ditentukan oleh adat nenek moyang mereka. Sebagai puteri mahkota
yang hamil di luar nikah, dia harus menjalani hukuman yang sangat berat.
“Pertama ... Raden Roro Ayu
Rizki Prameswari harus mendapatkan lima puluh cambukan. Kedua ... Raden Roro
Ayu Rizki Prameswari harus melakukan kungkum [baca; berendam] selama tujuh hari
tujuh malam. Ketiga ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari tidak boleh keluar dari
tempat ibadah dan wajib menjaga kebersihan tempat ibadah setiap harinya selama
tiga puluh hari.”
Nanda melebarkan kelopak mata
mendengar tiga syarat pertama yang harus dipenuhi oleh Ayu. Dadanya sangat
sesak dan matanya ikut berkaca-kaca saat melihat air mata Ayu jatuh berderai ke
pangkuannya. “It’s Crazy ...! Ayu nggak mungkin sanggup menahan hukuman
seorang diri,” batinnya.
“Keempat ... Raden Roro Ayu
Rizki Prameswari wajib memberi makan anak yatim selama empat puluh hari. Kelima
... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari wajib berpuasa selama sembilan puluh hari.
Keenam ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari dilarang bertemu dengan orang yang
bukan mahrom-nya selama menjalani hukuman. Ketujuh ... Raden Roro Ayu Rizki
Prameswari wajib memberikan karya penebusan yang dipersembahkan untuk leluhur,”
lanjut staff administrasi itu. Kemudian, menutup dokumen yang ada di tangannya
setelah selesai membaca syarat-syarat yang harus dijalani Roro Ayu.
“Raden Roro Ayu Riski
Prameswari, apakah kamu bersedia memenuhi syarat hukuman untuk penyucian diri?”
tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu.
“Bersedia, Eyang,” jawab Ayu
sambil menangkup kedua tangan dan menunduk hormat kepada Sri Sultan.
Nanda melebarkan kelopak
matanya. Ia menengadahkan kepala menatap Sri Sultan. “Kanjeng Sultan, biar aku
saja yang menggantikan Roro Ayu menjalani hukumannya!” pintanya.
“Roro Ayu adalah puteri mahkota
keraton ini. Kedudukannya tidak bisa digantikan kecuali dia mati. Hukuman untuk
dia juga tidak bisa digantikan oleh siapa pun,” jawab Sri Sultan sambil menatap
Nanda.
Nanda menatap wajah Sri Sultan
dengan perasaan tak karuan. Ia langsung menghadapkan tubuhnya ke arah Ayu yang
duduk bersimpuh di sebelahnya. “Ay, kamu nggak perlu menjalani hukuman ini
untuk bisa menikah denganku. Aku nggak mau menyakiti kamu, Ay. Kita bisa tetap
saling mencintai tanpa menikah.”
Ayu tersenyum menatap wajah
Nanda. “Aku menjalani hukuman bukan untuk menikah denganmu, Nan. Tapi untuk
diterima kembali di keluargaku sendiri.”
“Tell me! Apa yang harus aku
lakukan untuk menebus semua ini? Apa yang harus aku lakukan supaya kamu tidak
perlu menjalani hukuman ini, Ay?” tanya Nanda dengan mata berkaca-kaca.
Ayu tersenyum sambil menatap
wajah Nanda. “Jangan temui aku dulu sebelum aku menyelesaikan hukumanku. Tunggu
aku!” pintanya lirih.
Nanda menggelengkan kepala. Ia
menggeser tubuhnya lebih dekat dengan singgsana Sri Sultan. “Ayu tidak
melanggar aturan keluarga kalian. Aku yang telah melakukan kesalahan. Ini semua
bukan kesalahan Ayu. Biar aku yang menanggungnya!” pintanya penuh harap. “Apa
pun syaratnya akan aku penuhi asalkan kalian bisa menerima Ayu di keluarga ini
lagi tanpa harus menjalani hukuman.”
Sri Sultan tersenyum ke arah
Nanda. “Kalian saling mencintai?”
Nanda dan Ayu mengangguk
bersamaan.
“Kalau begitu, jalani hukuman
sesuai dekrit! Tidak ada yang berubah. Kamu ... tidak boleh menemui Roro Ayu
selama dia menjalani hukumannya!” perintah Sri Sultan.
Nanda tertunduk lemas. Dunianya
seakan runtuh saat ia mengetahui kalau apa yang dia lakukan terhadap Ayu,
ternyata menimbulkan masalah besar baginya. Ia benar-benar menyesal karena
tidak bisa menyelamatkan Ayu dan tidak bisa melawan saat pengawal istana
tersebut menyeretnya keluar dari sana.
“AYU ...! Harusnya aku yang
dihukum, bukan kamu ...!” teriak Nanda sambil menatap punggung Ayu yang semakin
jauh dan menghilang di balik pintu besar yang sudah tertutup rapat untuknya.
((Bersambung...))
Apa yang akan dilakukan Nanda
selanjutnya? Bermasalah dengan keluarga bangsawan memang nggak mudah, ya?
Semangat untuk pasangan ini!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment