“Ay, aku boleh nginap di sini?”
tanya Nanda saat ia sudah mengantarkan Ayu kembali ke flat miliknya.
“Nggak boleh.”
“Jujur banget?”
“Kita belum nikah, mana boleh
tinggal bareng,” sahut Ayu sambil masuk ke dalam flat miliknya.
“Udah. Aku pegang buku nikahnya,”
sahut Nanda sambil mengeluarkan marriage book dari dalam saku jaketnya. “Kalau
kamu ngusir aku, aku tinggal tunjukin buku nikah ini dan bilang kalau kamu
istri yang kejam karena sudah mengusir suami sendiri.”
“Kamu ...!?” Ayu mendengus ke
arah Nanda. “Kenapa kamu masih pegang buku nikah? Padahal pernikahan kita udah
dibatalkan.”
“Ini bukti kalau orang tuamu
membatalkan pernikahan kita secara sepihak. Mereka pakai sistem cerai ghaib,
loh. Makanya, buku nikah ini masih ada sama aku,” jawab Nanda sambil tersenyum
menatap wajah Ayu.
Ayu menghela napas. Ia
melangkah begitu saja menuju sofa mungil rumahnya. “Tidur di sofa!”
“Ay, kita ini masih
suami-istri, loh. Buku nikahnya ada, Ay,” tutur Nanda sambil mengikuti langkah
Ayu menuju ke kamarnya.
“NANDA ...! Aku baru baik sama
kamu. Mau kalau aku marah lagi?” seru Ayu kesal.
“Iya, iya. Aku tidur di sofa.
Tapi temenin, ya!” pinta Nanda.
“Minta temenin sama TV. Aku
capek,” jawab Ayu sambil masuk ke dalam kamar dan mengunci rapat pintu kamar
tersebut.
Nanda gelagapan sambil menatap
pintu kamar Ayu yang sudah tertutup rapat. Ia menjatuhkan keningnya ke daun
pintu kamar tersebut. “Ay, kalau aku nggak boleh masuk. Kamu yang keluar,
dong!” rengeknya.
“Nan, aku capek. Mau tidur.
Kamu tidur, gih!” sahut Ayu yang sudah membaringkan tubuhnya di atas kasur.
“Ay, aku nggak bisa tidur,”
ucap Nanda sambil terus bergerak gelisah. Ia menyandarkan punggungnya ke daun
pintu. Telapak tangannya terus mengetuk-ngetuk pintu kamar Ayu.
“Iih ... Nanda ...! Kamu ini
ngriseli banget, sih!?” Ayu langsung bangkit dari kasur dan membuka pintu
kamarnya.
Nanda langsung tersenyum lebar
dan berbalik menatap wajah Ayu. “Aku belum ngantuk. Kita nonton, yuk!”
“Nonton apaan?” tanya Ayu.
“Film, dong. Masa nontonin
tetangga lagi main di sebelah,” jawab Nanda sambil memainkan alisnya.
Ayu memutar bola mata. Ia
meraih remote televisi dan duduk di sofa. “Mau nonton film apa?”
“Ini bisa streaming ‘kan?
Redtube bisa, nggak?” tanya Nanda sambil duduk di samping Ayu dan tersenyum
lebar.
“Redtube gundulmu!” dengus Ayu
sambil menoyor bantal sofa yang ada di tangannya.
“Eh, serius. Di sini nggak usah
pake VPN untuk akses situs-situs dewasa ‘kan?” tanya Nanda sambil merebut
remote dari tangan Ayu.
“Nggak boleh! Udah kena karma,
masih nggak tobat juga!?” dengus Ayu.
Nanda terkekeh. Ia memeluk
tubuh Ayu dan melingkarkan kedua kakinya di pinggang wanita itu. “Tobat, Ay.
Jangan dikasih karma lagi!” pintanya. “Disayang, ya!”
Ayu melirik wajah Nanda sambil
menahan tawa. “Kenapa kamu jadi manja gini?”
“Karena aku kangen banget sama kamu,” jawab Nanda sambil
bergelayut manja di tubuh Ayu.
Ayu tersenyum kecil sambil
menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak usah kayak anak kecil gini, deh! Kamu
nginap di hotel mana di kota ini?”
“Nggak tahu,” jawab Nanda.
Ayu mengernyitkan dahi sambil
menatap wajah Nanda. “Kamu udah berapa hari nggak mandi? Badanmu bau, Nan.”
“Eh!? Serius?” tanya Nanda
sambil mengendus tubuhnya sendiri. “Aku belum mandi dari pagi.”
“Mandi, gih!” perintah Ayu.
“Dingin, Ay. Ini England, bukan
Indonesia. Badanku nggak bau-bau banget, kok,” ucap Nanda sambil mengendus
tubuhnya sekali lagi. Ia mengubah posisinya dan memilih membaringkan tubuhnya
di sofa tersebut. Kepalanya berada tepat di pangkuan Ayu.
“Ay, aku mau tidur di
pangkuanmu malam ini. Mandinya besok pagi aja, ya! Dingin banget,” ucap Nanda
sambil memeluk tubuhnya sendiri.
Ayu tersenyum sambil membelai
lembut rambut Nanda. “Besok kita terbang ke Indonesia. Kita langsung ke rumah
eyang. Gimana?”
Nanda langsung menatap wajah
Ayu yang ada di atasnya. “Serius!? Beneran besok? Aku suruh asistenku siapin
tiket.”
“Nggak usah. Aku udah urus
tiket untuk pulang ke sana.”
“Serius!?” tanya Nanda sambil
menatap lekat mata Ayu.
Ayu mengangguk.
Nanda tersenyum bahagia. Ia
menarik kepala Ayu dan menciuminya berkali-kali. “Sebelum ke rumah eyang kamu
... kita ke makam Axel dulu, ya!”
Ayu mengangguk setuju. Ia
memeluk lembut kepala Nanda yang masih berbaring di pangkuannya sembari
menikmati film romance yang terputar di televisi miliknya. Bisa menikmati banyak
waktu bersama orang dicintai adalah hal yang paling membahagiakan.
Meski saat ini Nanda terkesan
manja, tapi ia tidak mempermasalahkannya. Mungkin sudah terlalu banyak
penderitaan yang ditanggung Nanda karena keegoisan keluarganya, juga karena
keegoisan dirinya sebagai seorang wanita.
...
Sepanjang perjalanan ke
Indonesia, Nanda tak pernah melepaskan genggaman tangan Ayu. Kecuali saat ia
pergi ke toilet.
Sesuai dengan jadwal perjalanan
yang sudah dipilih oleh Ayu, mereka berdua akan tiba di Bandara Juanda, tepat
jam satu siang waktu setempat.
Ayu mengedarkan menengadahkan
kepala sambil memutar tubuhnya saat ia sudah berada di pintu kedatangan Bandara
Internasional Juanda, kota Surabaya. Tak banyak hal yang berubah sejak ia pergi
tiga tahun lalu. Kota ini tetap menjadi kenangan masa-masa remajanya dan begitu
ia rindukan. Ada bahagia, sedih, sakit, kecewa dan harapan di dalamnya.
“Selamat siang, Tuan Presdir
...!” sapa salah seorang pria berjas sambil menghampiri Nanda yang baru saja
melewati pintu keluar.
“Siang,” balas Nanda sambil
melepas koper di tangannya dan membiarkan orang-orangnya mengambil alih koper
tersebut. Ia langsung menggandeng masuk tubuh Ayu, masuk ke dalam mobil yang
telah disediakan untuknya.
“Kamu lagi pamer kesuksesan
kamu di depanku, Nan? Pakai acara disambut pakai anak buah segala?” tanya Ayu
sambil mengerutkan wajahnya.
“Aku nggak tahu. Fasilitas dari
perusahaan,” jawab Nanda. “Jalan, Pak!” perintahnya pada supir yang duduk di
belakang kemudi.
“Ke makam putera saya,” jawab
Nanda.
“Baik, Pak!”
“Mampir ke toko bunga dulu
seperti biasa!” perintah Nanda lagi.
“Siap, Pak!”
Beberapa menit kemudian, mobil
yang membawa Nanda dan Ayu berhenti di salah satu toko bunga yang ada di tepi
jalan.
“Kamu mau kasih bunga apa untuk
Axel?” tanya Nanda sambil menajak Ayu masuk ke dalam toko bunga tersebut.
“Biasanya kamu kasih apa?”
tanya Ayu sambil mengedarkan pandangannya, memindai bunga-bunga yang tersedia
di toko bunga tersebut.
“Aku kasih kaktus,” jawab Nanda
sambil meraih pot mungil berisi bunga kaktus.
“Kaktus?”
Nanda mengangguk. “Ini lebih
sederhana untuk pria seperti Axel,” jawabnya sambil tersenyum.
“Masuk akal,” tutur Ayu sambil mengangguk.
Ia mengendus aroma mawar putih yang kebetulan berada di hadapannya.
“Mau bunga mawar?” tanya Nanda
sambil menatap wajah Ayu.
Ayu menggeleng. “Aku ambil
bunga ini saja untuk Axel,” ucapnya sembari meraih bunga lili warna kuning.
“Aku nggak pernah mengantarkan Axel ke peristirahatan terakhirnya. Ini pertama
kalinya aku mengunjungi dia. Semoga dia suka dengan bunga pilihanku.”
Nanda tersenyum sambil
merangkul dan mengecup pelipis Ayu. “Dia pasti senang dengan apa pun pemberian
ibunya.”
Ayu mengangguk. Ia tersenyum
manis sambil menatap bunga lily yang ada di tangannya. Ia tidak bisa
membayangkan wajah puteranya. Sebab, ia tidak pernah mengetahui bagaimana wajah
Axel setelah dilahirkan. Kedua orang tuanya pun tidak memiliki potret putranya
itu. Kalau dia masih hidup, sudah pasti akan setampan wajah papanya.
Beberapa menit kemudian, mereka
berdua sudah berpindah ke area pemakaman elite yang ada di kota tersebut.
Ayu terus melangkahkan kakinya
mengikuti Nanda. Ia tertegun ketika sampai di pusara puteranya dan menatap
wajah mungil Axel yang seharusnya ia lihat sejak dilahirkan.
“Anakku ...!” Ayu langsung
memeluk pusara dan potret Axel kecil yang ada di sana sambil menangis. Ia terus
menciumi potret Axel. Putera kecil yang ia lahirkan dan tidak pernah ia lihat,
apalagi ia sentuh tubuhnya. Di tengah hujan air matanya, bibir Ayu terus
menyunggingkan senyuman sambil memeluk bingkai foto Axel. Rasanya, ia ingin
berlama-lama ada di sana dan enggan pergi dari pusara puteranya itu.
“Nak, bisakah kamu turun lagi ke
dunia dan tetap menjadi anak kami?” bisik Ayu sambil mengusap lembut pusara
Axel Noah. Ia sangat berharap, bisa menggendong bayinya seperti yang selalu ia
impikan tiga tahun lalu.
((Bersambung ...))
Terima kasih sudah menjadi
sahabat setia bercerita!
Dukung terus supaya author
makin semangat nulisnya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment