Nanda tersenyum saat melihat
Ayu mencicipi hasil masakannya. Mereka sudah duduk di bawah salah satu pohon
pinus yang ada di Cherry Hinton Hall.
“Gimana? Enak?” tanya Nanda
sambil menatap wajah Ayu.
“Mmh ... lumayan,” jawab Ayu
sambil mengunyah mencicipi sup daging buatan Nanda.
Nanda tersenyum lega. Ia mulai
mencicipi porsi sup miliknya dan menikmati suasana taman yang sepi dan tenang.
“Kamu sering ke sini?”
Ayu mengangguk.
“Sama siapa?”
“Sendiri.”
“Nggak takut ada yang godain
kamu?” tanya Nanda sambil mengedarkan pandangannya.
Ayu menggeleng. “Di sini aman
dan aku selalu bawa chili spray untuk jaga diri,” jawabnya santai.
“Dari mana kamu kepikiran buat
bawa begituan?” tanya Nanda lagi.
“Karena aku nggak bisa bela
diri, aku juga nggak bisa mengandalkan orang lain untuk menjagaku. Jadi, aku
harus mengandalkan diriku sendiri,” jawab Ayu.
Nanda tersenyum dan menggenggam
tangan Nanda. “Mulai hari ini ... aku yang akan jaga kamu.”
“Nggak usah ngegombal di
depanku! Emangnya kamu bisa dua puluh empat jam nempel mulu ke aku? Nggak
kerja? Nggak sosialisasi sama orang lain?” tanya Ayu sambil menatap serius ke
arah Nanda.
“Aku akan kerja di samping
kamu. Aku akan sosialisasi barengan sama kamu. Duniamu akan jadi duniaku juga,”
jawab Nanda sambil tersenyum manis.
Ayu tersenyum sambil menatap
wajah Nanda. “Kamu ini lagi ngomong serius atau bercanda?”
“Ck. Serius, Ay. Emangnya
mukaku nggak kelihatan serius?”
Ayu menggeleng.
Nanda langsung meletakkan
mangkuk sup di tangannya. Ia menggeser posisi duduknya dan bersila di hadapan
Ayu. Nanda menarik napas dalam-dalam dan memasang wajah serius. “Aku serius,
Ay. Can you go back to me?”
“Kalau aku nggak bisa?”
“I’ll keep walking to you,”
jawab Nanda serius.
Ayu tersenyum mendengar ucapan
Nanda.
Nanda ikut tersenyum menikmati
wajah Ayu yang terlihat sumringah. “Kamu mau buka hati kamu lagi buat aku
‘kan?”
“Hatiku nggak pernah tertutup
buat siapa pun. Hanya saja ...”
“Apa?”
“Aku tidak diizinkan masuk
kembali ke dalam keraton eyangku karena statusku yang hamil di luar nikah.
Kalau kamu memang cinta sama aku ... dapatkan restu dari keluarga besarku!”
pinta Ayu sambil menatap serius ke arah Nanda.
“Sampai sekarang kamu masih
belum boleh masuk ke rumah keluargamu sendiri, Ay? Bukankah kamu bisa masuk ke
sana setelah menjalani upacara ... apa itu namanya?”
“Kesucen?”
Nanda mengangguk.
Ayu tersenyum. “Setiap rumah
punya aturan, Nan. Aku adalah garis keturunan langsung dari eyang dan harus
menjadi contoh yang baik untuk puteri-puteri keraton lainnya. Seharusnya, aku
mendapatkan hukuman karena aku melanggar aturan. Tapi bunda dan ayah sudah
memohon keringanan karena mereka tidak mau melukai janin yang aku kandung,”
jelasnya.
“Aku boleh masuk keraton
kembali setelah menjalani upacara menyucikan diri. Dan syarat untuk melakukan
upacara itu tidak mudah. Bukan hanya aku yang harus melakukannya, tapi juga
kamu. Upacara pernikahan kita saja, sudah membuatmu snewen dan tidak nyaman.
Bagaimana dengan upacara kesucen yang dianggap nggak masuk akal untuk
orang-orang awam? Aku takut, kamu nggak bisa menghadapinya,” lanjutnya sambil
menundukkan kepala.
“Ay, kamu cukup bilang ke aku
semua syarat yang harus kita penuhi dan aku akan berusaha melakukannya dengan
baik. Kalau aku gagal, aku akan mencobanya lagi sampai kita berhasil
mendapatkan restu dari keluarga keratonmu. Maafkan aku yang sudah membuatmu
terusir dari istanamu sendiri, Ay,” ucap Nanda sambil menggenggam kedua tangan
Ayu dan menciuminya.
Ayu tersenyum menatap wajah
Nanda. “Sudah jalan takdirku seperti ini. Aku hanya ... sering merindukan tempat
lahirku saja.”
“Aku akan membawamu kembali ke
sana. Bagaimana kalau kamu tunda program doctorate kamu? Kita menikah lagi!”
ajak Nanda.
“Menikah?” Ayu langsung melepas
tangannya dari genggaman Nanda.
Nanda mengangguk. “Kamu nggak
mau nikah sama aku lagi?”
Ayu menggigit bibirnya sambil
berpikir sejenak.
“Sejak kamu tinggal di London,
apa pernah mengunjungi anak kita? Kamu tidak ingin pulang? Tidak merindukan
dia?” tanya Nanda sambil tersenyum ke arah Ayu.
DEG!
Pertanyaan Nanda kali ini
langsung menusuk ke ulu hatinya. Sejak ia dibawa pergi ke luar negeri, ia tidak
pernah kembali ke Indonesia. Ia bahkan tidak pernah mengunjungi pusara anaknya.
Air matanya langsung mengalir begitu saja saat mengingat masa-masa kehamilan
dan penantiannya untuk melihat wajah sang putera, tapi tidak pernah ia lihat.
“Setiap tanggal kelahirannya,
aku selalu mengunjungi Axel. Setiap hari ulang tahunnya, aku selalu membawakan
hadiah untuk dia. Dua minggu lagi, ulang tahun dia yang keempat. Kalau dia
masih hidup, tahun ini dia sudah masuk sekolah TK. Aku sudah berjanji pada Axel
untuk membawa kamu sebagai hadiah ulang tahunnya tahun ini,” ucap Nanda sambil
menahan air matanya jatuh. “Kalau kamu nggak bersedia kembali karena aku,
kembalilah untuk Axel. Setidaknya, kamu punya waktu untuk mengunjungi dia meski
hanya sekali.”
Ayu terdiam sambil menatap
wajah Nanda yang menangis di hadapannya. Ia tidak tahu apa yang harus ia
lakukan saat ini. Ia sudah menangisi kepergian puteranya begitu lama dan air
mata tidak cukup untuk menggambarkan rasa sakitnya kali ini.
“Kamu nggak percaya sama aku?”
tanya Nanda sambil mengusap matanya yang basah dan mengeluarkan ponsel dari
sakunya. Ia langsung memperlihatkan foto-foto yang ia ambil setiap kali
mengunjungi pemakaman puteranya.
“Nan, apa maksudmu seperti
ini?” tanya Ayu sambil berusaha menahan air matanya untuk jatuh.
“Supaya kamu kembali ke aku,
kembali ke Axel, kembali ke keluarga kita. Aku janji, tidak akan menyakitimu
lagi!” jawab Nanda sambil menitikan air mata.
“Kamu ini ... kenapa jadi
cengeng banget?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda. “Dulu, kamu nggak pernah
nangis kayak gini?”
Nanda meringis sambil mengusap
air matanya. “Entahlah. Apa pun tentang kamu dan Axel, selalu membuat air
mataku keluar begitu saja. Air mata ini bukan sedang menangis, tapi sedang
merindukan kalian.”
Ayu tersenyum sambil menyentuh
lembut pipi Nanda. Ia mengusap lembut pipi pria itu dan mengecup sekilas
bibirnya.
Nanda tertegun selama beberapa
saat ketika Ayu menciumnya. Ia langsung tersenyum lebar dan menatap mata wanita
itu penuh harap. “Mau pulang ke Indonesia ‘kan?” tanya Nanda sambil menggenggam
tangan Ayu. “Aku janji, akan memintamu secara baik-baik ke keluargamu. Apa pun
hukumannya, akan aku jalani asal kita bisa bersama lagi. Asal kamu cinta sama
aku, aku akan berjuang.”
Ayu mengangguk kecil. “Makanlah
dengan baik! Jangan terlalu banyak bicara! Supnya keburu dingin.”
Nanda mengangguk sambil
tersenyum manis. “Apa kita bisa kembali ke Indonesia besok pagi?”
“Aku nggak bisa terburu-buru.
Harus menyelesaikan semua urusanku terlebih dahulu sebelum aku pergi. Lagipula,
acara ulang tahun anak kita masih dua minggu lagi ‘kan?”
Nanda mengangguk. “Tapi ...”
“Apa?”
“Sonny akan menikah tiga hari lagi dan dia memintaku
membawamu pergi ke pesta pernikahannya. Kamu mau datang?”
“Eh!? Sonny mau menikah? Kenapa
dia nggak kabari aku?” tanya Ayu sambil meraih ponselnya dan mencari nomor
kontak Sonny.
“Nggak usah hubungi dia! Ntar
dia nggak jadi nikah sama cewek itu karena ingat kamu terus,” pinta Nanda
sambil menahan pergelangan tangan Ayu.
Ayu berpikir sejenak, kemudian
meletakkan ponselnya kembali. “Sebelum kembali ke Indonesia. Aku punya beberapa
permintaan darimu.”
“Apa?” tanya Nanda sambil
menatap serius ke arah Ayu.
“Aku akan jawab setelah makanan
kita habis,” jawab Ayu sambil tersenyum.
“Oke.” Nanda langsung mengambil
kembali makanan di hadapannya dan memakannya dengan cepat agar ia bisa memenuhi
permintaan Ayu dan membawanya kembali ke Indonesia. Ia tahu, permintaan wanita
seperti Ayu tidak akan muda. Ia harus menyiapkan banyak tenaga dan pikiran
untuk mewujudkan permintaan Ayu yang mungkin ... rumit.
((Bersambung...))
0 komentar:
Post a Comment