Nanda langsung menyambar
kantong belanja dari tangan Ayu begitu melihat wanita itu sedang berbelanja di
salah satu minimarket yang ada di kota tersebut. “Pacarmu yang tadi mana? Nggak
temenin kamu belanja?” tanyanya.
Ayu terdiam sejenak mendengar
pertanyaan Nanda.
“Dia sibuk?” tanya Nanda lagi.
“Emangnya, pacar harus ada dua
puluh empat jam buat kita?” sahut Ayu sambil berusaha menarik kantong belanja
dari tangan Nanda.
“Nggak harus, sih. Tapi ...
setidaknya dia bisa nemenin kamu karena ada aku di kota ini. Nggak takut kalau
aku ngerebut kamu dari dia?” tanya Nanda sambil melangkah santai dan membawa
kantong belanja milik Ayu.
Ayu menghela napas sambil
mengikuti langkah Nanda. “Aku pikir, dia udah balik ke negaranya,” batinnya.
“Nan, kamu nggak balik ke
Indo?” tanya Ayu sambil mengejar langkah Nanda.
“Aku balik kalau kamu mau balik
juga ke sana.”
“Kalau aku nggak mau?”
“Aku bisa pindah ke kota ini.
It’s a good place,” jawab Nanda santai.
Ayu memutar bola matanya. “Kamu
ini nganggur banget sampai punya waktu buat main-main di sini?”
Nanda langsung menghentikan
langkahnya dan berbalik menatap Ayu. “Aku sedang berjuang, Ay. Bukan sedang
bermain.”
Ayu menghela napas dan
tertunduk lesu. Ia benar-benar tidak bisa menghindar lagi dari Nanda.
“Harusnya, kamu ngelakuin ini tiga tahun lalu. Kenapa baru sekarang?” gumamnya.
Nanda menatap wajah Ayu dan
melangkah mendekati wanita itu. “Aku tahu, aku terlambat. Bisa kasih aku
kesempatan? Aku janji, nggak akan sia-siakan kamu lagi.”
Ayu menatap lekat mata Nanda.
Mencoba mencari ketulusan dari mata pria itu dan tatapannya malah membuatnya
tidak bisa menolak permintaan pria itu. “Aku nggak yakin kalau kamu ...”
“Aku akan buktikan dan yakinkan
kamu, Ay. Please ...! Kasih aku kesempatan lagi! Aku tahu, Blaize bukan pacarmu
sungguhan ‘kan?”
“Kamu tahu dari mana?”
“Aku ke Rion Cafe dan dia ada
di sana,” jawab Nanda berbohong.
Ayu langsung menatap ke arah
yang tak menentu. Berusaha menyembunyikan perasaannya karena ketahuan
berbohong.
Nanda menangkup wajah Ayu
dengan satu telapak tangannya. “Ay, kita masih punya kesempatan untuk
berbaikan. Bisakah kita berbaikan seperti dulu? Menjadi suami-istri yang
bahagia seperti yang lainnya.”
“Aku nggak yakin.”
“Yakinlah, Ay! Aku bakal
buktikan ke kamu. I promise. Asal kamu kasih aku kesempatan sekali lagi!” pinta
Nanda.
Ayu menarik napas dalam-dalam
sembari menatap wajah Nanda. “Aku mau lihat usahamu dulu!”
“Oke.” Nanda langsung tersenyum
lebar. Ia menarik napas lega, berbalik dan melangkah bersemangat menuju flat
tempat tinggal Roro Ayu. Wanita itu belum mengetahui kalau saat ini ia tinggal
bersebelahan dengan flat miliknya. Ia harap, Ayu tidak pernah mengetahuinya
agar ia memiliki alasan untuk tetap tinggal satu flat dengan wanita itu.
Ayu tersenyum kecil. Ia tahu,
menghindar bukan lagi pilihannya saat ini. Jika cinta itu masih ada dan
terlanjur membeku, ia masih bisa berharap mendapatkan kehangatan agar hatinya
bisa mencair perlahan dan menikmati keindahan cinta yang sudah lama tak ia
rasakan.
“Hari ini kamu mau masak apa?”
tanya Nanda sambil meletakkan kantong belanja di atas meja pantry begitu ia
sudah masuk ke dalam rumah Ayu.
“Nggak tahu mau masak apa,”
jawab Ayu.
Nanda menghela napas. “Biar aku
yang masak buat kamu. Oh ya, di sini ada taman bagus yang bisa kita gunakan
untuk bersantai. Gimana kalau kita makan sore di sana setelah aku selesai
masak?”
“Kamu bisa masak?” tanya Ayu
sambil menatap ragu ke arah Nanda.
“Bisa. Meski hanya masakan
sederhana. Aku belajar memasak selama aku di lapas,” jawab Nanda sambil
tersenyum.
“Hmm ... penjara ada bagusnya
juga untuk kamu,” ucap Ayu sambil melepas sweeter yang ia kenakan dan membantu
Nanda menyiapkan bahan-bahan yang akan mereka masak.
“Penjara itu nggak buruk. Yang
buruk orang-orangnya di dalamnya,” sahut Nanda.
“Udah ngaku?” tanya Ayu sambil
menoleh ke arah Nanda.
“Aku nggak pernah mengingkari
perbuatanku, Ay. Aku cuma nggak habis pikir sama keluarga besarmu yang menuntut
aku habis-habisan. Padahal, aku nggak ngelakuin tindakan kriminal. Aku nidurin
kamu juga atas dasar suka sama suka,” jawab Nanda.
“Apa? Suka sama suka!?” Mata
Ayu terbelalak mendengar ucapan Nanda. “Aku nggak pernah suka sama kamu.”
“Oh ya?” Nanda menarik pinggang
Ayu dan merapatkan ke tubuhnya. “Look at me! Beneran nggak pernah suka?”
Ayu terdiam sambil berusaha
menelan salivanya dengan susah payah saat mata Nanda tepat berada di depan
matanya. Wajah tampan ini begitu menyenangkan dan bola matanya begitu
menyiratkan kenyamanan.
“Kenapa diam aja?” bisik Nanda
sambil melingkarkan satu lengannya lagi ke pinggang Ayu. “Kamu nggak mau ngaku
kalau kamu suka sama aku? Nggak ada cewek yang nggak suka lihat cowok ganteng
kayak aku.”
“Kepedean banget, sih!?” dengus
Ayu sambil mendorong dada Nanda agar melepas pelukannya.
Nanda semakin mengeratkan pelukannya.
“Lepasin, Nan!” pinta Ayu
sambil berusaha menarik lengan Nanda yang begitu kekar saat mendekap tubuhnya.
“Aku nggak akan lepasin kamu
sebelum kamu jawab pertanyaanku,” tegas Nanda sambil menatap wajah Ayu.
Ayu tetap berusaha berkelit. Ia
menoleh ke arah kompor yang sudah menyala. “Masakan kita ntar gosong.”
“Itu cuma sup, nggak akan
gosong,” sahut Nanda sambil mengalihkan kedua telapak tangannya, menekan
punggung Ayu hingga dada wanita itu merapat ke dadanya. “Jawab pertanyaanku, Raden
Roro Ayu Rizki Prameswari!” pintanya.
Ayu menatap wajah Nanda sambil
meletakkan kedua telapak tangannya di dada pria itu agar tubuhnya tak langsung
bersentuhan. Bola matanya tertuju pada wajah Nanda dan tidak tahu apa yang
harus ia katakan karena saat ini perasaan hatinya sedang tak karuan.
Nanda melirik dada Ayu yang ada
di bawahnya. Ia melihat rantai kalung yang tersembunyi di balik pakaian wanita
itu dan teringat akan salah satu potret Ayu yang terpajang di kamarnya. Potret
yang mengenakan kalung dengan liontin cincin yang membuatnya sangat penasaran
karena potret itu terlalu jauh dan membuatnya tak bisa melihat jelas.
“Kamu lihat apaan!? Mesum
banget, sih!?” dengus Ayu sambil memukul dada Nanda.
Nanda semakin mengeratkan
pelukannya. “Aku sudah lihat semuanya, Ay. Aku tahu kamu luar dalam. Buat apa
masih malu-malu?” tanya Nanda sambil merogoh rantai kalung dari dalam tubuh Ayu
dan mengeluarkannya.
Ayu melebarkan kelopak mata
saat liontin cincin pernikahannya tergantung tepat di bawah jari-jari tangan
Nanda. Matanya tiba-tiba menghangat dan hatinya bergejolak tak karuan. Ia tidak
ingin siapa pun mengetahui kalau ia masih menyimpan cincin pernikahan itu
dengan baik di dalam dadanya dan mengenakannya setiap hari, terutama Nanda.
Begitu Nanda menggenggam cincin itu ... rahasianya seolah terungkap begitu saja
dan tak bisa ia sembunyikan lagi.
“Kenapa kamu masih simpan
cincin pernikahan kita?” tanya Nanda sambil menatap lekat mata Ayu yang mulai
berkaca-kaca.
Ayu menarik napas kasar sambil
mengusap air matanya yang nyaris membasahi pipi.
“Ay, jawab! Kamu masih cinta
sama aku ‘kan?”
Ayu menggeleng sambil mengusap
matanya yang basah.
“Kenapa nangis?”
“Aku nggak tahu, Nan,” jawab
Ayu sambil menitikan air mata. Semakin ditanya, air matanya malah semakin deras
dan tidak sanggup ia bendung lagi. Tumpah begitu saja di saat ia harus mengubur
perasaannya dalam-dalam.
Nanda menarik napas dalam-dalam
sambil menengadahkan kepala. Menahan air matanya agar tidak ikut jatuh seperti
sepasang mata milik Ayu yang kini sedang banjir. Telapak tangannya menyentuh
kepala belakang Ayu dan membenamkan kepala wanita itu ke dadanya.
“Ay, kita pernah tertawa
bersama, terluka bersama, menangis bersama bahkan menahan penderitaan bersama
selama tiga tahun ini. Aku nggak pernah mengakui kalau aku pernah menyukaimu
saat kita masih SMA. Saat pertama kali kamu terluka karena menyelamatkan
nyawaku. Saat itu perasaanku benar-benar tak karuan. Aku menyukaimu, tapi kamu
adalah wanita kesayangan sahabatku. Sampai akhirnya ... takdir buruk menyatukan
kita dengan cara yang begitu menyiksa. Tapi aku tidak pernah menyesalinya, Ay.
Aku bahagia dengan penderitaan ini karena aku sempat memilikimu,” ucap Nanda
sambil menahan rasa sesak di dadanya. Saat kalimat terakhir terucap dari
bibirnya, ia merasa sangat lega.
Ayu langsung menengadahkan
kepalanya menatap Nanda. “Kamu beneran suka sama aku sejak masih sekolah?”
Nanda mengangguk sambil
tersenyum. Ia mengusap air mata Ayu dan menangkup wajah wanita itu perlahan. Nanda
menatap lekat mata Ayu dan semakin mendekatkan bibirnya ke bibir wanita itu.
Ayu memejamkan mata perlahan
ketika bibir Nanda menyentuhnya begitu lembut. Rasa ini sudah lama tak ia
rasakan dan kecupan lembut dari pria ini melepaskan semua beban yang selama ini
bergelayut di kepalanya. Tanpa ia sadari, nalurinya terus membawanya menikmati
kehangatan yang diberikan Nanda dan membuatnya semakin bergairah membalas
perlakuan mesra pria itu.
Nanda tersenyum puas setelah ia
melepaskan ciumannya. Ia mengusap lembut pipi Ayu dan berkata, “kita lanjutkan
masaknya! Setelah ini ... kita nikmati makanannya di taman. Ada banyak hal yang
ingin aku diskusikan sama kamu, Ay.”
Ayu mengangguk setuju. Ia
segera membantu Nanda menyelesaikan masakannya dan menyiapkan semua hal yang ia
butuhkan untuk menikmati sore hari di Cherry Hinton Hall, salah satu taman yang
cukup nyaman untuk bersantai di kota tersebut. Ia tidak tahu apa yang akan
didiskusikan oleh pria ini. Ia harap, hal ini bisa membuat hubungan mereka
menjadi lebih baik lagi.
Semua wanita ditakdirkan untuk
menjadi penerima. Apa pun yang akan dilakukan Nanda, ia hanya bisa menerimanya.
Sebab, menolak kehadirannya tetap saja tidak bisa membuatnye hidup tenang dan
bahagia. Hatinya tetap rindu, rindu pada pria brengsek yang telah berhasil
menjadi seorang ayah untuk anak yang pernah tumbuh di rahimnya.
Beberapa menit kemudian, Nanda
dan Ayu sudah duduk bersama di bawah pohon pinus yang ada di Cherry Hinton
Hall.
“Ay, kuliahmu di sini masih
lama?” tanya Nanda sambil menatap serius ke arah Ayu.
Ayu menggeleng. “Aku sudah
menyelesaikan S2 aku sekitar sebulan lalu. Aku lulus lebih cepat dari waktu
yang seharusnya,” jawabnya sambil tersenyum.
“Oh ya? Kenapa kamu tidak
kembali ke Indonesia?” tanya Nanda lagi.
“Aku lagi mempersiapkan diri
untuk ambil Doctorate,” jawab Ayu sambil tersenyum.
“S3?” Nanda mengernyitkan dahi.
“Apa kamu nggak berniat untuk kembali ke Indo lagi? Kenapa belajar terus? Nggak
capek? Nggak bosan?”
Ayu menggelengkan kepala.
“Nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan selain belajar.”
“Pulang ke Indonesia dan kita
lakukan banyak hal bersama!” pinta Nanda sambil menggenggam tangan Ayu.
Ayu terdiam. Ia sendiri tidak
tahu apakah ia harus tetap tinggal di kota ini atau kembali ke Indonesia. Ia
sudah lama tidak mengunjungi keluarganya dan ia tidak punya muka untuk
menginjakkan kakinya di tempat yang telah memutuskan takdirnya tiga tahun lalu.
0 komentar:
Post a Comment