Ayu menghela napas lega ketika
Nanda sudah keluar dari dalam flat rumah yang ia tinggali. “Thank you, Blaize!
Aku nggak tahu gimana cara mengusir dia dari sini.”
“He is your husband?” tanya
Blaize sambil tersenyum.
Ayu mengangguk. “My ex
husband.”
“How I say in Bahasa?”
“Mantan,” jawab Ayu sambil
tertawa.
“Owh ... mantan? Itu seperti
makanan yang kamu berikan untukku waktu itu ...”
“Itu ketan, Blaize,” sahut Ayu
meralat.
“Oh. Different?” tanya Blaize
sambil menatap wajah Ayu.
“Yeah.” Ayu mengangguk-anggukkan
kepala dan melanjutkan menyiapkan masakannya.
“Still love him?” tanya Blaize
sambil menatap wajah Ayu.
Ayu menggeleng. Bukan ingin
mengatakan tidak, tapi ingin mengatakan kalau ia juga tidak tahu dengan
perasaannya sendiri.
“Jika kamu tidak mencintainya,
kamu tidak akan terganggu dengan kehadirannya. Sama seperti aku saat ini yang
ada di dekatmu,” tutur Blaize sambil menatap wajah Ayu.
Ayu menghela napas. “Aku
bingung, Blaize. Terlalu banyak rasa sakit saat aku bersama dia. Juga terlalu
banyak hal sakit yang tidak bisa aku lupakan di masa lalu kami.”
“Roro ... love is about fight. You
have to love bravely. Kamu pernah mengatakan kalau kamu tertusuk pisau karena
menyelamatkan dia. If you never love him, you never give your blood to him.”
“Itu hanya sebatas rasa
kemanusiaan. Bukan cinta,” jawab Ayu sambil menyusun masakannya di atas meja.
Selama tiga tahun ini ... Blaize adalah satu-satunya orang yang tahu bagaimana
kehidupan masa lalunya. Profesi Blaize yang juga sebagai penulis buku fiksi,
membuat mereka sering bersama di perpustakaan dan bertukar cerita mengenai
banyak hal yang mereka temui.
“Tapi takdirmu selalu tertuju
ke sana. Kamu ingin melawan takdirmu dengan pergi jauh. Tapi takdir itu tetap
mengejarmu. How?”
Ayu menghela napas. “Entahlah,
Blaize. Ganti topik pembicaraan saja! Aku tidak ingin membicarakan dia.
Breakfast, yuk!”
Blaize segera melepas apron di
tubuhnya. Ia duduk di meja makan mungil ruangan tersebut den bercerita banyak
hal tentang apa yang akan mereka tuliskan untuk masa depan.
...
Sementara itu ...
Nanda melangkahkan kakinya tak
bersemangat menyusuri pedestrian kota London. Tidak tahu apa yang harus ia
lakukan setelah mengetahui kalau Ayu memiliki kekasih di kota ini. Harus
merebutnya kembali atau merelakannya bahagia bersama orang lain?
Tiiin ...!
Suara klakson mobil,
membuyarkan lamunan Nanda.
“Nanda, ya?”
Nanda langsung menoleh ke arah
mobil sport yang sudah berhenti di dekatnya. “Rocky? Nadine? Kalian di sini?”
“He-em. Lagi liburan. Kamu
ngapain di sini?” tanya Rocky.
“Jalan-jalan aja,” jawab Nanda.
“Kerja?” tanya Rocky.
Nanda mengangguk.
“Dia lagi ngejar Roro Ayu
lagi,” bisik Nadine di telinga Rocky.
“Eh!? Tahu dari mana?”
“Roro Ayu tinggal di sekitar
sini. Dia di sini, pasti nyari Roro Ayu,”
jawab Nadine.
“Oh.” Rocky manggut-manggut dan
menoleh ke arah Nanda. “Kebetulan ketemu di sini. Ngopi, yuk!” ajaknya.
“Ngopi?”
“He-em.” Rocky mengangguk dan
menoleh ke arah coffee shop yang ada di seberang mereka. “Aku parkir mobil
dulu. Kita ngopi di sana aja. Gimana?”
“Mmh.”
“Kamu lagi ngejar cewek ‘kan?
Mau dapet tips dari aku atau nggak?” tanya Rocky sambil mengerdipkan matanya.
“Boleh, deh.” Nanda mengangguk
setuju. Sebab, ia juga sudah tak punya cara mendapatkan Roro Ayu kembali.
Tak berapa lama, Nanda, Rocky
dan Nadine sudah duduk bersama di satu kafe yang ada di sana.
“Kalian ini lagi honeymoon?
Udah nikah?” tanya Nanda sambil menatap Rocky dan Nadine. “Aku nggak dapet
undangan pernikahan dari kalian.”
Rocky dan Nadine saling pandang
dan tersenyum.
“Kami ini friend, Nan.”
“Friendzone?” tanya Nanda.
“Bisa dibilang begitu,” jawab
Nadine sambil tertawa kecil.
“Kalian happy dengan hubungan
friendzone seperti ini?” tanya Nanda.
Rocky mengangguk. “Kami lebih
bebas aja kalau temenan. But, kami punya komitmen untuk menikah dalam dua tahun
ke depan.”
“Itu mah sama aja kalian
pacaran, Njir!” sahut Nanda kesal.
“Hahaha. Kami nggak pacaran.
Udah lewat masa-masa itu,” tutur Rocky.
“Kami udah tunangan,” tutur
Nadine sambil menunjukkan cincin berlian yang melingkar di jarinya.
Nanda manggut-manggut. “Selamat
ya buat kalian!”
Rocky dan Nadine mengangguk
sambil tersenyum bahagia.
“Kamu sendiri gimana? Gagal
mempertahankan rumah tanggamu karena mempertahankan perusahaan keluarga?” tanya
Rocky sambil menahan tawa.
Nanda menggaruk kepalanya yang
tidak gatal dan tidak tahu harus menjawab seperti apa.
“Sekarang, kamu lagi ngejar
Roro Ayu?” tanya Nadine.
“Kamu tahu dari mana? Dia
cerita ke kamu?” tanya Nanda sambil menatap serius ke arah Nadine.
Nadine menggeleng. “Dia belum
cerita kalau ada kamu di kota ini. But, Roro Ayu tinggal di sekitar sini ‘kan?
Kami pernah ketemu sama dia setahun lalu waktu kami ada acara di kota ini.”
Nanda manggut-manggut tanda
mengerti. Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap serius ke arah Nadine. “Dia
beneran sudah punya pacar di kota ini?”
Nadine tertawa mendengar
pertanyaan Nanda.
“Kenapa ketawa?”
“Wanita yang menghabiskan
waktunya di perpustakaan sepanjang hari dan sibuk menulis jurnal, punya waktu
buat pacaran?” sahut Nadine tanpa bisa menghentikan tawanya.
“Dia punya pacar, Nad. Aku baru
ketemu sama pacar dia tadi pagi. Ada di rumah Roro Ayu dan mereka masak bareng.
Ngeselin banget!” sahut Nanda sambil mendengus kesal.
“Pacar? Siapa? Blaize?” tanya
Nadine.
“Kamu kenal?” tanya Nanda
sambil menatap serius ke arah Nadine.
Nadine tertawa kecil sembari
memutar kepalanya ke arah meja counter kafe tersebut. “See that girl!” pintanya
sambil menunjuk wanita berambut blonde yang terlihat sedang mengatur karyawan
di sana.
Nanda mengangguk serius. “Apa
hubungannya sama Ayu?”
“Dia pemilik kafe ini dan ...
calon istrinya Blaize.”
“Kamu kenal?”
“Nggak kenal. Tapi tahu karena
terkadang aku sama Ayu cerita banyak hal saat kami ada waktu luang untuk video
call. Yang aku tahu, wanita itu namanya Catriona. Nama Rion Cafe ini juga
diambil dari nama dia. Ayu sering kerja part time di kafe ini dan mereka punya
hubungan baik. Oh ya, Ayu juga ngajar Bahasa Indonesia di sini, loh. Jadi,
Blaize dan Rion juga belajar Bahasa Indonesia dari dia,” jelas Nadine sambil
tersenyum.
Rocky menahan tawa mendengar
penjelasan Nadine. “Nan, kamu langsung percaya gitu aja sama Roro Ayu tanpa
menyelidikinya terlebih dahulu?”
“Nggak kepikiran, Ky. Aku
percaya gitu aja dan pikiranku langsung kacau,” jawab Nanda lemas.
“Cowok itu nggak boleh gampang
nyerah. Kalau aku ... waktu Nadine bilang dia punya pacar, aku pepetin terus
tuh cowok. Siapa aja cowok yang deket sama Nadine, pasti aku deketin juga.
Kalau sampai dia beneran suka sama Nadine, aku kasih tahu ke dia kalau Nadine
itu punyaku dan nggak boleh ada yang deketin dia,” tutur Rocky.
Nadine mengernyitkan dahi. “Semua
cowok yang deketin aku, tiba-tiba menjauh karena kamu, hah!?”
Rocky terkekeh mendengar
pertanyaan Nadine. “Sorry ..! Aku takut kehilangan peliharaan lucu kayak kamu,”
ucapnya sambil merangkul tubuh Nadine.
“Apa itu nggak terlalu
possessive, Ky?” tanya Nanda. “Aku takut, Ayu malah nggak nyaman sama aku.”
“Eits, jangan salah! Cewek itu
lebih suka di-possessive-in. Meski mulut mereka ngomel dan mencak-mencak, tapi
mereka akan selalu kangen loh sama posesifnya cowok. Cewek itu akan merasa
bahagia kalau dia merasa dimiliki, dijaga dengan baik dan dihargai. Lu cara
posesifnya yang elegan dan berkelas, dong! Jangan payah!” sahut Rocky.
“Caranya?”
Rocky langsung mendekatkan
wajahnya ke wajah Nanda. Ia menatap serius ke arah Nanda. “Kamu mau tahu?”
Nanda mengangguk.
“Jangan menjauh dari dia meski
hanya semenit saja! Pahami benar-benar apa mau dia saat kamu nggak ada di
sisinya! Cewek yang cinta sama kita, nggak akan tega lihat kita kesulitan.
Mereka lebih memilih berbohong asal kita bisa bahagia dan tidak menderita.
Kalau niat mau balikan sama Roro Ayu, jangan menyerah cuma karena satu pria di
samping dia. Fight, dong! Yang suka sama Nadine juga banyak. Tapi aku ajak
fight satu per satu sampai aku bisa miliki dia. Martabat dan harga diri
laki-laki itu terletak dari bagaimana dia memperjuangkan dan mempertahankan apa
yang akan menjadi masa depannya,” tutur Rocky panjang lebar.
Nanda terdiam sejenak. Ia
langsung bangkit dari kursi dan melangkah pergi. “Bayarin kopi aku, ya! Aku
akan ganti setelah aku berhasil bawa Roro Ayu balik ke Indonesia,” pintanya.
“Eh!?” Rocky melongo saat Nanda
tiba-tiba pergi begitu saja dari hadapannya. “Itu maksudnya ... dia nggak bakal
ganti uangku kalau nggak berhasil bawa Roro Ayu ke Indonesia?”
“Nggak usah diributin! Cuma
secangkir kopi doang,” pinta Nadine.
Rocky tertawa kecil. “Kasihan
juga sama anak itu. Berhadapan sama keluarga keraton emang susah banget. Bunda
sama Ayah juga sampe pusing bantu Oom Andre waktu itu. Meski bisa meringankan hukuman
penjara untuk Nanda, tapi nggak bisa bikin dia bener-bener lolos dari hukuman.
Yang susah itu hukum adat mereka. Perasaan, Satwika nggak gini-gini amat.”
Nadine tertawa kecil. “Satwika
itu beda sama Roro Ayu. Meski keturunan bangsawan, tapi Satwika bukan garis
keturunan langsung di keraton kesultanan. Sedangkan Ayu ... dia sudah punya
gelar Raden Roro sejak lahir dan dia memang puteri keraton. Mana bisa kamu
bandingkan.”
Rocky tertawa kecil. “Iya juga,
ya?” Ia mengangguk-anggukkan kepala sembari menatap tubuh Nanda yang semakin
menjauh dan menghilang di balik simpangan jalan yang ada di sana. Ia harap,
Nanda bisa memperjuangkan kembali masa depannya dan bundanya tidak perlu ikut
pusing memikirkan kehidupan salah satu sahabatnya.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah mau sabar
menunggu cerita dari author!
Mohon maaf kalau terlambat
update karena author juga butuh refreshing buat nyari inspirasi dan ide-ide
baru di kala mentok. Hehehe.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment