Ayu mengerjapkan mata saat
sinar matahari masuk lewat-lewat celah jendela dan menimpa wajahnya. Telapak
tangannya menyentuh sofa yang ia tiduri yang terasa sangat nyaman, tak seperti
biasanya.
Ayu meraba kain di bawahnya
yang terasa berbeda dan terasa seperti tubuh seseorang. Ia melebarkan kelopak
mata saat menyadari sesuatu. Dengan cepat, ia menengadahkan kepala. Ia menelan
saliva dengan susah payah sambil bangkit perlahan dari pangkuan Nanda.
“Stupid!” umpat Ayu dalam hati
sambil menepuk keningnya sendiri. “Kenapa aku bisa tidur di pangkuan dia?”
Ayu terdiam saat melihat wajah
Nanda yang tertidur pulas di hadapannya. Ia tersenyum dan mendekatkan wajahnya,
memperhatikan guratan wajah pria yang sudah tidak pernah ia temui selama tiga
tahun belakangan ini. Tapi bayangan wajahnya selalu menjadi kawan menikmati
malam-malamnya yang sepi.
Ayu menitikan air mata sambil
menyentuh lembut pipi Nanda. “Nan, ratusan hari aku mencoba mengusir
bayanganmu dan aku selalu gagal. Aku benar-benar tidak tahu mengapa begitu sulit
menepiskanmu. Hatiku yang terlalu benci atau aku yang terlalu takut mencintai
lagi?” batinnya.
Nanda mengerjapkan mata saat ia
merasakan pipinya disentuh oleh seseorang.
Ayu buru-buru menarik tangannya
dari wajah Nanda dan bergegas melangkah pergi.
Nanda mengucek mata sembari
memijat lehernya yang terasa sangat pegal. Ia membuka mata dan menatap televisi
di depannya yang sudah mati dan sinar matahari telah masuk melalui celah-celah
jendela rumah itu.
Nanda menyunggingkan senyum
sembari merentangkan kedua tangan dengan tubuh meliuk saat menyadari kalau masih
berada di dalam flat milik Ayu. Meski wanita itu tak mengajaknya bicara sama
sekali. Tapi juga tidak mengusirnya pergi.
Nanda melangkah perlahan
menghampiri pintu kamar Ayu dan mengetuk pintu kamar tersebut. “Ay ...!”
Hening.
“Ayu ...!” panggil Nanda lagi.
Hening.
“Ay, kenapa diam aja?” tanya
Nanda sambil menempelkan daun telinganya ke daun pintu kamar Ayu.
“Ada apa?” tanya Ayu sambil
membuka pintu kamar tersebut.
“E-eh.” Nanda langsung
terjerembab ke lantai saat pintu yang sedang ia sandari tiba-tiba terbuka. Ia
membelalakkan matanya saat ia melihat tubuh Ayu yang berdiri menjulang di
atasnya dan hanya mengenakan bathrobe.
“Nanda ...! Kamu lihat apa,
hah!?” seru Ayu sambil menjepitkan kedua tangannya, menutup miss v miliknya
yang berada tepat di atas kepala Nanda. Ia segera memundurkan langkahnya agar
pria itu tak melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat.
“Ay, aku tidak menceraikanmu.
Kita masih suami istri ‘kan?” tanya
Nanda. Ia malah menyilangkan kedua tangan di belakang kepala dan berbaring
terlentang di lantai kamar Ayu. Ia menoleh ke arah Ayu yang sedang duduk di
tepi ranjang tidurnya.
“Nggak! Pernikahan kita sudah
dibatalkan,” sahut Ayu ketus. “Kita
bukan suami-istri!”
“Aku masih pegang buku
pernikahan kita. Kartu ID aku juga statusnya nggak pernah ganti. Kita itu nggak
bercerai, Ay. Keluargamu aja yang maksa buat pisahin kita,” ucap Nanda santai.
“Mereka nggak maksa. Gugatan itu memang atas
permintaanku sendiri,” tutur Ayu sambil menatap kesal ke arah Nanda.
Nanda terdiam sambil melipat
satu kaki di atas lutua dan memainkannya dengan santai.
“Nan, bisa keluar? Aku mau
ganti baju,” pinta Ayu.
“Biasanya kamu ganti baju tanpa
aku harus keluar dari kamar.”
Ayu menghela napas sambil
memutar bola matanya.
“Nan, kamu ini kenapa jadi muka
tebal gini, sih?” tanya Ayu sambil menatap Nanda yang berbaring di lantai.
“Kamu boleh ngatain aku apa aja
asal kamu izinkan aku tinggal di sini,” jawab Nanda sambil tersenyum manis.
Ayu memutar bola matanya. Ia
memeluk beberapa lembar pakaian ganti miliknya dan bergegas masuk kembali ke
dalam kamar mandi. Ia terpaksa mengganti pakaiannya di sana dan bergegas
kembali.
“Nan ...!” panggil Ayu saat
melihat Nanda masih berbaring terlentang di dekat pintu kamarnya. Pria itu
malah memejamkan mata dan tidur di sana tanpa beban.
“Nanda ...!” Ayu meninggikan
nada suaranya.
Nanda masih bergeming.
Ayu segera menghampiri pria
itu. “Nan ...!” panggilnya sembari menggoyang-goyangkan tubuh Nanda.
“Tidur lagi?” gumam Ayu sambil
menatap wajah Nanda yang tertidur pulas. “Bisa-bisanya dia ini tidur di lantai.
Untung ada karpetnya.” Ia menarik selimut dari atas kasurnya dan menutupkan ke
tubuh Nanda.
Ayu melangkah perlahan melewati tubuh Nanda dan
bergegas keluar dari rumah tersebut.
Nanda membuka mata ketika Ayu sudah
keluar dari rumah tersebut. Ia tersenyum menatap selimut yang menutupi
tubuhnya. “Kamu ketus sama aku, tapi masih ingat untuk memperhatikanku, Ay.”
Nanda segera bangkit dari
lantai dan bermaksud untuk kembali ke flat miliknya yang bersebelahan dengan
flat milik Ayu. Belum sampai keluar, ia mengurungkan niatnya untuk pergi dari
sana. “Wait! Ayu ini ‘kan kelewat cerdas. Kalau aku balik ke flat aku untuk
mandi dan ganti pakaian. Aku bakal ketahuan kalau aku bohongi dia. Bisa makin
kacau dunia persilatan. Lebih baik, aku tetep di sini. Pura-pura jadi
gelandangan di sini,” ucapnya.
Nanda segera berbalik dan
melangkah masuk kembali ke dalam kamar Ayu. Ia memperhatikan detail kamar
wanita itu. Tidak ada yang aneh dari kamar itu. Meja dan rak di sana dipenuhi
dengan buku.
Mata Nanda tertuju pada buku
diary yang ada di atas meja. Ia meraih buku itu dan membukanya.
Halaman pertama buku itu dibuka
dengan potret USG yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Di bawahnya, tertulis
jelas kalimat “The New World” yang membuat Nanda menitikan air mata.
Halaman berikutnya, ada sebuah
ilustrasi foto wajahnya, wajah Ayu dan seorang anak kecil dengan tulisan
“Lovely Family”. Di baliknya, ada banyak kata-kata harapan yang ditulis Roro
Ayu tiga tahun silam saat ia masih mengandung anaknya.
“Jika Tuhan beriku
kesempatan ... aku ingin menjadi seorang istri yang dicintai ... menjadi
seorang ibu yang dicintai ... menjadi seorang wanita yang dicintai dan
berharga.”
Nanda terdiam saat membaca kalimat terakhir
yang tertulis di buku itu. Ia menutup buku diary tersebut dan tersenyum penuh
harapan. Meski terus menolak kehadirannya, tapi Ayu masih memiliki sebuah
harapan untuk menjadi wanita yang dicintai. Dan kalimat-kalimat itu membuatnya
mengerti bahwa wanita itu ingin dicintai oleh dirinya yang dulu tidak pernah
melihat keberadaan wanita itu, apalagi menganggapnya berharga.
“Ay, selama kamu tidak
mengusirku pergi. Aku masih memiliki harapan untuk membawamu kembali ke sisiku.
Kamu boleh ucapkan semua kata kebencian yang ada di dunia ini dan aku akan
tetap mencintaimu,” tutur Nanda sambil tersenyum menatap potret Ayu yang tersenyum
lebar dengan pakaian toga dan latar Melbourne University.
Beberapa menit kemudian, pintu
rumah Ayu terdengar terbuka. Nanda buru-buru keluar dari kamar milik Ayu dan
duduk di sofa ruang tamu sambil menonton televisi. “Dari mana?” tanya Nanda
sambil menoleh ke arah pintu. “Ini weekend. Kamu nggak sekolah ‘kan?”
Ayu tersenyum sambil membuka
sepatu dan menggantinya dengan sandal. “Dari pasar,” jawab Ayu sambil tersenyum
manis. Tangannya memeluk kantong kertas berisi sayur-sayuran.
Nanda tersenyum lebar. Ia
bangkit dari sofa dan berniat meraih kantong belanjaan dari tangan Ayu. Namun,
gerakan tangannya terhenti saat melihat seorang pria berada di belakang wanita
itu. Ia melongo menatap pria tampan berdarah Eropa dengan tubuh menjulang
tinggi. Mungkin, tingginya sekitar seratus delapan puluh sentimeter dengan
rambut cokelat dan bola mata warna biru keabu-abuan.
Ayu langsung tersenyum lebar
melihat reaksi Nanda. “Nan, kenalin ... ini Blaize. Kakak Senior aku di kampus
sekaligus pacarku.”
“Eh!? Pa-pa-ca-car?” Mata Nanda
terus tertuju pada pria tampan yang ada di hadapannya itu.
Blaize langsung tersenyum dan
mengulurkan tangannya ke arah Nanda. “Hello ...! I’m Blaize. I’m Roro
boyfriend. How do you do?”
Nanda tersenyum kecut sambil
menyambut uluran tangan Blaize.
“Masuk, yuk!” ajak Roro sambil
melangkah masuk ke dalam rumahnya.
Blaize mengangguk. Ia segera
masuk ke dalam rumah tersebut. Melewati tubuh Nanda begitu saja yang masih
tertegun di sana.
Nanda mengerjapkan mata dan
membuyarkan lamunannya. “Ay, dia beneran pacarmu?”
Ayu mengangguk sambil tersenyum
manis dan masuk ke pantry bersama Blaize. “Ini hari Minggu. Kami biasa
menghabiskan waktu bersama saat hari libur.”
Nanda terdiam sambil berdiri
menatap Ayu dan Blaize yang ada di sana. Blaize terus bergerak di dapur itu,
seolah pria itu memang sudah hafal dengan letak barang-barang yang ada di dapur
rumah Ayu.
“Hari ini kita masak apa?”
tanya Blaize dengan aksen British yang kental.
“Rendang.”
“Rendang? Oh, yeah. Rendang
sangat terkenal. How to make it?”
Ayu tersenyum menatap Blaize
sambil mengulurkan apron ke hadapan pria itu. “Masak rendang akan sangat lama.
Tidak secepat masak nasi goreng.”
“Oh ya? Are you hungry?
Bagaimana kalau ... aku potongkan buah untukmu. Supaya kamu tidak kelarapan,”
tutur Blaize sambil menatap wajah Ayu.
“Kelaparan, Blaize. Bukan
kelarapan,” sahut Ayu sambil tertawa kecil membenahi kalimat Blaize.
“Ke-la-pa-ran?” Blaize berusaha
meralat ucapannya sambil menatap serius ke arah Ayu.
Ayu mengangguk sambil tersenyum
manis. Ia membantu Blaize mengenakan apron sambil melirik Nanda yang masih
berdiri terdiam di sana.
Nanda terus menatap Ayu dan
Blaize yang terlihat sangat akrab dan begitu mesra. Ia langsung membalikkan
tubuhnya, menundukkan kepala sambil melangkah tak bersemangat. Ia segera keluar
dari dalam flat milik Ayu dengan perasaan putus asa. Ia benar-benar tak
menyangka kalau Ayu sudah memiliki seorang kekasih dan membuat harapannya yang
tadi sangat besar, tiba-tiba sirna begitu saja.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah menjadi
sahabat setia bercerita!
Mohon maaf, karena ada problem
... kemarin nggak sempat nulis cerita ini!
Stay with me and together fall
in love!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment