Ayu menguap beberapa kali. Ia
melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 00.30 waktu London. Sepertinya,
dunia begitu cepat berputar hingga ia tidak menyadari kalau sudah berada di
perpustakaan selarut ini.
Ayu segera memilih menu shut
down di laptopnya dan membereskan semua buku yang berhambur di sisinya. Ia
menoleh ke deretan meja yang ada di sisi kirinya. Biasanya, perpustakaan itu
tetap ramai meski sudah tengah malam. Tapi kali ini, hanya ada tiga orang pria
yang duduk berjauhan. Mungkin, mereka memang tidak saling mengenal.
Di sisi kirinya, ia mengetahui
kalau ada seorang pria yang meminta tanda tangannya dan sedang asyik membaca
buku yang ia tulis. Roro Ayu tersenyum menatap pria yang menutup wajahnya dengan
buku karyanya itu. Ia tidak tahu itu mahasiswa mana. Mungkin, mahasiswa baru
yang sedang belajar tentang ilmu bisnis.
Ayu menghela napas. Ia segera
mengambil buku-buku di tangannya dan melangkah menuju rak, mengembalikan
buku-buku itu ke tempatnya. Ia lebih senang menggunakan buku itu di
perpustakaan daripada harus membawanya pulang.
Nanda memutar kepalanya,
mengikuti tubuh Ayu yang sedang menyusun buku di rak. Ia ingin menyapa wanita
itu, tapi jantungnya tidak bisa ia kendalikan dan membuatnya sangat gugup.
“Nan, kamu ini umur berapa?
Sekarang udah tiga puluh tahun. Masa masih nervous kayak anak SMA? Mantan juga
banyak. Nggak segininya deketin cewek,” gumam Nanda dalam hati dengan gusar. Ia
segera berbalik dan menutup wajahnya kembali begitu Ayu sudah selesai menyusun
buku-bukunya.
Ayu melangkahkan kakinya
lunglai sambil menghampiri mejanya kembali. Ia segera memasukkan laptopnya ke
dalam tas.
Krucuk ... krucuk ... krucuk
...!
Ayu langsung memegangi perutnya
yang keroncongan. “Huft! Terlalu asyik kencan sama buku. Sampai lupa kalau
belum makan. Enaknya makan apa, ya?” gumamnya. Ia segera menarik tas ranselnya,
mengenakannya dan melangkah keluar dari gedung perpustakaan tersebut.
Nanda buru-buru bangkit dari
tempat duduk dan mengejar langkah Ayu.
Ayu menyadari kalau ada pria
yang sedang menguntitnya setelah ia sampai beberapa meter dari flat yang ia
tinggali. Ia mempercepat langkahnya dan pria di belakangnya juga ikut
mempercepat langkahnya.
Ayu segera mengeluarkan parfume
spray dari dalam tas ranselnya. Setiap hari, ia tidak pernah lupa mengisi botol
parfume itu dengan cairan cabai dan lada untuk melindungi diri dari orang-orang
nakal di luar sana.
Ayu semakin mempercepat
langkahnya ketika pria yang ada di belakangnya semakin dekat ikut masuk ke
dalam gerbang rumah yang ia tinggali. Ayu menghentikan langkahnya dan berbalik.
Ia langsung menyemprotkan cairan lada itu ke arah pria yang mengikutinya.
“AYU ...! INI APAAN!?” seru
Nanda sambil menutup kedua matanya yang terkena semprotan Ayu.
“Ka-kamu ...!?” Ayu tertegun
melihat wajah Nanda yang terpejam di hadapannya. Tubuhnya bergetar dan
perasaannya tak karuan saat melihat pria itu berdiri di sana. “Nan-Nanda ...!?”
“Iya, aku Nanda!” sahut Nanda
sambil mengucek kedua matanya yang terasa sangat perih, pedas, pedih dan tak
karuan. “Aku nggak bisa lihat apa-apa. Kamu semprotin apa ke mataku?”
“Sorry ...! Sorry ...!” Ayu
langsung merengkuh tubuh Nanda. “Aku bantu kamu bersihkan. Ikut aku!” pintanya
sambil menarik lengan Nanda. Ia segera naik ke kamarnya yang berada di lantai
empat dan membawa Nanda masuk ke sana.
“Duduk di sini!” pinta Ayu
sambil mendudukkan Nanda di sofa ruangannya. Ia segera melepas ransel dan
mengambil air putih dari dapurnya. Dengan cepat, ia menghampiri Nanda kembali.
Nanda menahan senyum sambil
meringis menutup wajahnya. Untungnya, ia sigap hingga cairan yang disemprotkan
Ayu itu tidak benar-benar mengenai matanya. Hanya saja, masih terasa pedas di
bagian kulit sekitar matanya.
“Baring dulu ya, Nan!” pinta
Ayu sambil membantu Nanda untuk berbaring di sofa tersebut. Ia membuka salah
satu mata Nanda dan meneteskan air bersih ke mata pria itu. “Kenapa kamu bisa
ada di sini?”
Nanda memicingkan mata menatap
wajah Ayu yang sedang meniup perlahan matanya. “Aku ...”
Ayu membuka mata Nanda satu
lagi dan meneteskan air bersih ke sana. Ia harap, ini bisa mengurangi rasa
sakit di mata pria itu. “Coba buka matanya! Bisa lihat?”
Nanda membuka kedua matanya
perlahan dan menggeleng.
“Sebentar. Aku carikan obat
mata,” tutur Ayu sambil bangkit dari lantai. “Atau kita ke rumah sakit,
sekarang?”
Nanda menyambar pergelangan
tangan Ayu agar wanita itu tak beranjak dari sisinya. “Obat mata aja!”
Ayu mengangguk. Ia segera masuk
ke kamar. Mencari obat mata yang pernah ia gunakan beberapa hari lalu. Setelah
mendapatkannya, ia langsung menghampiri Nanda dan meneteskan obat mata itu
perlahan ke mata Nanda.
Nanda terus menatap wajah Ayu
yang sedang meniup lembut matanya. Bibir wanita itu benar-benar menggoda.
Membuat hasratnya bangkit dan ingin melumat bibir merah jambu yang terpampang
nyata di hadapannya itu.
Tanpa sadar, telapak tangan
Nanda meraih tengkuk Ayu dan mendekatkan bibirnya ke bibir wanita itu.
“NANDA ...!?” seru Ayu sambil
mendorong tubuh Nanda saat ia menyadari kalau pria itu ingin menciumnya. “Kamu
pura-pura nggak lihat!? Mau aku semprot lagi, hah!?”
“Eits, jangan! Ampun ...! Ampun
...!” pinta Nanda sambil bangkit dari sofa dan menatap wajah Ayu.
“Kalau kamu baik-baik aja,
keluar dari rumahku!” seru Ayu kesal.
“Ay, aku nggak punya tempat
tinggal. Aku baru aja sampai di kota ini dan nggak tahu harus tinggal di mana.
Aku boleh tinggal di sini? Malam ini aja!” pinta Nanda sambil memasang wajah
paling melas yang ia miliki.
“Kamu ke sini pasti perjalanan
bisnis ‘kan? Banyak hotel di kota ini. Check-in aja! Apa susahnya?” sahut Ayu.
Nanda meringis sambil menggaruk
kepalanya yang tidak gatal. Bicara dengan wanita cerdas, memang sangat sulit.
Ia tidak tahu lagi alasan yang tepat agar Ayu mengizinkannya tetap tinggal di
sana.
“Aku ditinggal sama asistenku.
Aku nggak bawa handphone, nggak bawa dompet. Cuma bawa diri aja. Aku nyasar ke
sini dan kebetulan ketemu kamu.”
“Nggak usah berkilah! Kamu udah
lama ada di perpustakaan dan ngikuti aku diam-diam ‘kan?” sahut Ayu sambil
mendelik ke arah Nanda.
Nanda menghela napas dan
bersandar lemas di sofa. “Kamu nggak kasihan sama aku? Mataku nggak bisa lihat
jelas karena kamu semprot pakai cabai? Masih pedes ini, Ay,” ucapnya sambil
menunjuk wajahnya sendiri.
Ayu menghela napas saat melihat
kulit di sekitar mata Nanda memang memerah. Tapi ia enggan memelihara pria itu
di dalam rumahnya dan ingin membuatnya segera pergi dari sana.
Nanda melipat kedua tangan di
dada sambil memejamkan mata.
“Nanda, pergi!” pinta Ayu
sambil menarik lengan Nanda agar bangkit dari sofa.
Nanda langsung menguatkan
lengannya dan menarik tubuh Ayu hingga wanita itu terjatuh tepat di atas
dadanya.
Ayu melebarkan kelopak matanya
ketika bibirnya tepat menyentuh hidung Nanda yang bangir. “Nan, lepasin!”
Nanda malah mengunci tubuh Ayu
dan menatap wajah wanita itu. “Tadi kamu khawatir banget sama aku. Sekarang,
kamu malah ngusir aku pergi? Apa kamu memang begitu tidak bertanggung jawab?”
“Bodo amat!? Lepasin!” sahut
Ayu sambil berusaha melepaskan lengan Nanda yang melingkar di pinggangnya.
“Aku nggak akan lepasin kamu
lagi!” sahut Nanda sambil menatap wajah Ayu.
“Jangan ngimpi! Aku udah pacar
di sini. Kalau kamu macam-macam, aku bakal bikin kamu babak belur lagi. Mau?”
sahut Ayu kesal.
Nanda langsung melonggarkan
kuncian tangannya begitu mendengar ucapan Ayu.
Ayu langsung bangkit dari atas
tubuh Nanda. “Keluar dari sini! Kalau nggak, aku yang akan keluar!”
“Iya, iya. Aku keluar.” Nanda
bangkit dari sofa dan enggan melangkah keluar dari flat mungil itu. Otaknya
berputar cepat, mencari cara agar Ayu mau mengizinkannya tetap di sana.
“Ayu ...!” panggil Nanda sambil
tersenyum manis.
Ayu membuang pandangannya. Ia
enggan menatap wajah pria itu. Tidak tahu apa yang membawa pria itu datang ke
kota ini. Sudah pergi begitu jauh, kenapa takdir tetap membuatnya bertemu
dengan pria ini.
“Ay, kamu laper ‘kan? Aku akan
masak buat kamu. Sebagai imbalannya, aku boleh tinggal di sini?” tanya Nanda.
“Kalau niat bantu, nggak usah
minta imbalan!” sahut Ayu kesal. Ia segera mendorong pria itu agar keluar dari
dalam rumahnya.
“Iya, iya. Aku nggak akan minta
imbalan,” sahut Nanda dengan cepat sambil menahan pintu rumah itu agar tidak
tertutup rapat. “Aku akan masakin buat kamu. Setelah itu, aku langsung pergi.
Gimana?”
Ayu terdiam mendengar ucapan
Nanda. Ia enggan bersama dengan pria ini. Tapi perutnya yang sudah sangat lapar
dan tubuhnya yang sudah lelah, membuatnya menginginkan ada seseorang yang
menyuguhkan makanan untuknya.
“Gimana?” tanya Nanda lagi
dengan wajah sumringah saat menyadari kalau kekuatan tangan Ayu mulai
melonggar. Ia tersenyum dan mendorong pintu itu perlahan agar tubuhnya bisa
masuk kembali ke dalam rumah tersebut.
“Cuma masak, ya! Setelahnya,
kamu harus pergi! Aku mau mandi,” pinta Ayu sambil melangkah masuk ke dalam
kamarnya.
“Siap!” Nanda mengangguk. Ia
tersenyum sambil mengepalkan tangannya. “Yes!” serunya dalam hati.
((Bersambung...))
Yuk, dukung Nanda yang savage
bersatu lagi dengan Ayu!
Karen cinta ... selayaknya
membuat diri kita menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment