Nanda tersenyum lega saat ia
sudah menginjakkan kakinya di Heathrow Airport, kota London. Ia langsung
memesan taksi menuju Tennis Court Road yang berjarak sekitar 69,5 miles dari
Heathrow Airport.
Sepanjang perjalanan, ia sudah
mendapatkan informasi bahwa Roro Ayu tinggal di sekitar Tennis Court Road yang
hanya berjarak sekitar lima menit ke University of Cambridge Judge Business
School. Ia meminta bantuan dari salah satu teman lama yang tinggal di kota
tersebut untuk mendapatkan tempat tinggal yang dekat dengan Roro Ayu, ia bahkan
rela membayar mahal untuk mengambil alih tempat tinggal orang lain.
“Excuse, Me ...! I’m Mr.
Perdanakusuma,” sapa Nanda begitu ia sampai di salah satu private Hall of Residence
yang ada di sana. Ia sudah memesan satu flat untuk ia tinggal, tepat di sebelah
studio flat milik Roro Ayu.
“Oh. From Indonesia?” balas petugas
yang berjaga.
Nanda mengangguk.
Petugas itu segera mengambil
kunci dari dalam laci dan bangkit dari tempat duduknya. “Ayo, ikut saya!”
“You can speak Bahasa?” tanya
Nanda.
Pria itu mengangguk. “Anda
ingin tinggal di sebelah Miss Roro. Dia tidak hanya bersekolah di kota ini.
Tapi dia juga mengajar Bahasa Indonesia dengan baik di sini. Kami semua senang
berbicara Bahasa dengannya,” jawabnya dengan aksen British yang kental.
Nanda tersenyum sambil
mengingat wajah Roro Ayu. Ia sangat merindukan ketenangan dan kelembutan wanita
itu. Apa yang ia lakukan tiga tahun lalu adalah kesalahan yang harus ia tebus
dan membuatnya benar-benar memperjuangkan wanita yang layak menjadi pendamping
hidupnya di masa depan.
“It’s your flat,” ucap pria itu
setelah ia sampai ke pintu ruangan yang ia tuju. Ia segera memberikan kunci
kamar tersebut ke tangan Nanda. “Semoga Anda senang tinggal di sini!”
“Terima kasih ...!” ucap Nanda
sambil tersenyum manis.
Pria itu mengangguk dan segera
pergi meninggalkan Nanda.
Nanda menghela napas sambil
menatap nomor yang ada di atas pintu. Ia beringsut ke pintu sebelahnya dan
membaca nomor pintu. “Roro beneran tinggal di sini atau nggak, ya?” gumamnya.
Nanda segera kembali ke pintu
kamarnya. Ia memasukkan kunci dan membuka pintu tersebut. Ruangan itu tidak
begitu besar, tapi cukup nyaman untuk tinggal seorang diri.
“Gimana caranya aku bisa temui
Ayu, ya?” gumam Nanda sambil mondar-mandir di dalam ruangan tersebut. Ia
menjatuhkan tubuhnya di sofa dan memainkan ponselnya.
Tanpa ia sadari, ia menekan
nomor ponsel Ayu dan langsung terhubung.
“Halo ...!”
Nanda buru-buru mematikan
sambungan teleponnya begitu ia mendengar suara Ayu di balik sana. “Dia nggak
ganti nomor telepon?” gumamnya tersentak. Sementara, ia sudah mengganti nomor
ponselnya berkali-kali.
Nanda mengelus dada dan
bernapas lega saat ia menyadari kalau nomor ponselnya tidak akan dikenali oleh
Ayu.
Di tempat lain ...
Roro Ayu mengerutkan wajah
ketika ia melihat panggilan telepon dari nomor yang tidak ia kenal dan
menggunakan kode negara Indonesia.
“Siapa, ya?” gumamnya sambil
mengusap layar ponsel, menjawab panggilan telepon tersebut.
“Halo ...!”
Tut ... tut ... tut ...!
“Ngeselin banget call spam
kayak gini!” gerutu Ayu sambil menggeletakkan ponselnya ke atas meja. “Bodohnya
aku juga, sih. Kenapa aku angkat aja telepon dari nomor nggak dikenal? Biasanya
juga aku cuekin.”
Ayu kembali fokus dengan laptop
dan buku-buku di hadapannya.
“Roro Ayu, I wanna go home. You
wanna stay here?” tanya salah seorang wanita yang selalu bersama Ayu di kampus
tersebut.
Ayu mengangguk sambil
tersenyum. “Be carefull!”
Wanita berdarah Eropa itu
tersenyum sambil menggenggam salah satu pundak Ayu. “You’e a good hooker in the
world. Everyday, always dating with books. No bored?”
“No,” jawab Ayu sambil
menggelengkan kepala. “I love this books. It’s make me unhurt and doing better
in my future,” ucapnya sambil tersenyum manis.
Wanita itu mengangguk-angguk
sambil tersenyum. “I trust your brain. But, don’t forget to love someone! You
won’t be alone forever, right?”
Ayu meringis ke arah wanita
berambut blonde tersebut. “Give me a reason to love someone!”
“Never be alone,” jawab wanita
itu.
“Hahaha. I never be alone. I
have family and many friends like you,” jawab Ayu sambil tertawa kecil.
Wanita blonde itu
mengangguk-anggukkan kepala. “Yeah. You’re right. But, your parents wouldn’t
live forever. Your friends aren’t always by your side,” ucapnya sambil
menepukkan telapak tangannya dan melangkah pergi meninggalkan Ayu.
Ayu tersenyum sambil menahan
perih di matanya. Sudah tiga tahun berlalu, ia masih tak bisa menghadapi
takdirnya sendiri dan memilih berlari ke tempat yang jauh. Meski ia sudah
bekerja keras meningkatkan dirinya, ia tetap merasa tidak layak di sisi Sonny.
Juga tidak memiliki keberanian untuk kembali pada Nanda. Terlebih mencari cinta
yang baru untuknya. Ia terlalu takut dan terlalu melindungi dirinya sendiri.
“Aku tidak siap disakiti lagi,”
gumam Ayu lirih sambil merogoh rantai kalung yang ia sembunyikan di balik
kaosnya. Ia menatap cincin pernikahannya dengan Nanda. Meski tidak pernah ada
cinta di antara mereka, tapi mereka pernah memiliki hubungan yang begitu dekat.
Mereka pernah tidur bersama, makan dalam satu meja, menggunakan kamar mandi
yang sama dan semua aktivitas kesehariannya tak pernah lepas dari pria ini.
Dalam waktu yang begitu
singkat, hubungannya dengan Nanda berakhir dengan cara yang begitu menyakitkan.
Meski sakit, ia tidak pernah bisa lupa setiap adegan yang ia lakukan saat hidup
bersama pria itu. Kisah yang hanya terjalin dalam hitungan bulan, begitu sulit
untuk ia lupakan dalam tiga tahun terakhir.
“Nanda is a bad man, bad place
and bad future,” gumam Ayu sambil menatap cincin yang menjadi liontin di
kalungnya.
Ia buru-buru memasukkan kalung
itu kembali ke kaosnya dan mengalihkan perhatiannya kembali fokus dengan
bahan-bahan tulisannya. Ia memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan itu
hingga larut malam. Tidak ada hal lain yang bisa mengusir kesedihan dalam
hatinya kecuali buku. Tak peduli dengan orang lain yang menganggapnya sebagai
kutu buku. Ia malah bahagia karena baginya ... orang-orang yang mencintai buku
adalah orang-orang kelas atas dan ekslusif. Membuatnya begitu bahagia bisa
membaca banyak buku, berbagi ilmu dan cerita lewat buku-buku yang ia tulis.
***
Nanda mondar-mandir di dekat
pintu pagar gedung yang ia sewa. Sesekali ia melirik arloji di tangannya. Lima
menit lagi, tepat pukul 24:00 waktu setempat dan ia belum melihat sosok Roro
Ayu kembali ke flat tempat tinggalnya.
“Ini Ayu kuliah apaan sih
sampai tengah malam gini belum pulang? Beneran kuliah atau jalan sama cowok
lain?” gumam Nanda makin gelisah.
“Mr. Perdana ... are you okay?”
sapa penjaga gedung tersebut sambil menghampiri Nanda.
Nanda langsung memutar
tubuhnya. “Eh!? I’m OK. Mmh ... I have any question about Roro Ayu.”
“Yeah. Ada apa?”
“Apakah dia sering pulang
tengah malam?” tanya Nanda.
“Oh. Kamu sedang mengkhawatirkan
dia?”
Nanda langsung menganggukkan
kepalanya.
“Dia terbiasa pulang tengah
malam. Terkadang sampai pagi hari. Jika kamu tidak sabar menemui dia, kamu bisa
pergi ke perpustakaan.”
“Perpustakaan?”
Pria itu mengangguk. “Kamu
datang sangat jauh dari Indonesia untuk mencari Miss Roro. Hubungan kalian
pasti tidak biasa.”
“Bisa tunjukkan di mana
perpustakaannya?” pinta Nanda.
Pria itu mengangguk. Ia segera
menunjuk sebuah gedung yang bisa terlihat dari sana dan memberikan petunjuk
untuk pergi ke sana.
Nanda tersenyum lega. Ia masuk
ke dalam kamarnya untuk mengambil sesuatu dan bergegas pergi mencari keberadaan
Ayu ke perpustakaan. Ia harap, Ayu bisa menerima kembali dan membawa wanita itu
pulang bersamanya. Ia terus berlari-lari kecil sembari mengumpulkan banyak
kekuatan untuk berhadapan langsung dengan wanita yang telah ia hancurkan
hidupnya.
Nanda melangkah perlahan
memasuki area perpustakaan yang sepi. Di salah satu sudut, lampu ruangan
menyala paling terang dan seorang wanita sedang asyik bercengkerama dengan
laptop dan buku-buku di depannya.
Nanda menarik napas
berkali-kali sembari memegang buku di tangannya. Ia memberanikan diri melangkah
perlahan mendekati wanita yang sedang sendirian di sana. Di sudut lain,
terlihat beberapa orang masih ada di perpustakaan itu. Mahasiswa Cambridge
memang begitu bekerja keras untuk menjadi yang terbaik. Tidak heran jika
universitasnya sangat terkenal dan menjadi masuk ke daftar Top 10 Universitas
Terbaik Dunia.
“Permisi ...! Boleh minta tanda
tangan?” sapa Nanda sambil menyodorkan buku karya Roro Ayu yang ia dapatkan
dari Sonny.
Roro Ayu mengangguk dan menarik
buku tersebut. Ia langsung membubuhkan tanda tangannya di halaman pertama buku
itu tanpa melihat siapa orang yang memintanya. Kemudian, ia menyodorkan kembali
buku itu dan fokus menatap laptopnya lagi.
Nanda menaikkan kedua alis
sambil menarik buku tersebut. Ia menyandarkan tubuhnya di bibir meja yang ada
di sebelah Ayu. Tak tahu apa yang harus ia katakan, ia hanya menikmati wajah
Ayu yang nampak begitu cantik di balik kacamata bulatnya. Rambutnya yang diikat
asal dan pakaiannya yang sederhana, terlihat sangat menarik di matanya.
Dulu, ia pikir seleranya yang
turun drastis karena menganggap Roro Ayu adalah wanita yang cupu. Tapi saat
kedewasaan dan kualitas hidupnya meningkat, ia akhirnya mengerti bahwa wanita
yang memesona bukanlah mereka yang mengenakan pakaian seksi setiap hari. Tapi
mereka yang mengenakan pakaian sederhana bahkan tertutup rapat dan tetap
terlihat sangat seksi. Membuatnya enggan mengalihkan pandangannya pada dunia
lain selain yang sedang ia nikmati saat ini.
((Bersambung...))
Hmm ... Roro Ayu sudah lupa
sama suara Nanda? Atau dia nggak sadar sama kehadiran Nanda karena terlalu
asyik sama buku-buku dan tugas kuliahnya?
Nantikan cerita selanjutnya,
ya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment