Tiga tahun kemudian ...
“Pak Nanda, ini berkas yang
harus bapak tanda tangani ...!” ucap seorang sekretaris sambil meletakkan
beberapa map ke atas meja kerja Nanda.
Nanda mengangguk. “Hari ini
jadwal saya apa aja?”
“Jam sembilan pagi ini meeting
dengan investor, makan siang bersama klien dari Jakarta, setelah makan siang
kunjungan ke lokasi proyek,” jawab sekretaris tersebut.
Nanda mengangguk. “Kamu boleh
keluar!”
Sekretaris itu mengangguk dan
segera keluar dari ruang kerja Nanda.
Nanda tersenyum kecil. Ia
meraih bingkai foto yang terpajang di meja kerjanya. Potret seorang wanita yang
berhasil membolak-balikkan kehidupannya, kemudian berlalu begitu jauh
meninggalkannya.
“Ayu, apa sekarang aku sudah
layak untuk mendapatkanmu? Aku sudah menjalani hari-hariku dipenjara selama
setahun. Aku sudah merasakan sakitnya perusahaan keluargaku jatuh hingga aku
bisa bangkit lagi. Terima kasih ...! Kamu sudah menghukumku dengan cara yang
begitu indah,” ucap Nanda sambil menatap potret Ayu.
“Permisi, Pak ...! Lima menit lagi,
meeting dimulai,” ucap sekretaris Nanda sambil melangkah masuk ke dalam ruang
kerja pria itu.
Nanda mengangguk. Ia bangkit
dari kursi dan meletakkan kembali bingkai foto Roro Ayu yang selalu menemaninya
setiap hari di meja kerja itu.
Nanda melangkahkan kakinya
perlahan menuju ke ruang meeting.
“Selamat pagi, Pak Nanda ...!” sapa
semua orang yang sudah ada di dalam ruangan tersebut.
“Pagi ...!” balas Nanda sambil
tersenyum manis dan duduk di kursi kosong yang telah disediakan untuknya. Ia
langsung membuka dokumen yang ada di tangannya dan segera memimpin rapat.
“Dalam dua tahun terakhir ini, Amora
Internasional berhasil bangkit dari keterpurukan. Terima kasih untuk orang-orang
yang begitu hebat yang ada di belakang saya hingga bisa membawa perusahaan ini
berkembang lebih baik lagi. Terima kasih untuk para tim yang sudah bekerja
keras, terima kasih juga kepada para investor yang telah mempercayakan
investasinya di perusahaan kami. Semoga, Amora Internasional bisa berkembang
menjadi perusahaan yang lebih baik lagi dan melebarkan sayap bisnis ke
sektor-sektor ekonomi yang lebih luas lagi,” tutur Nanda setelah ia selesai
mempresentasikan kinerja perusahaan selama dua tahun terakhir.
Setelah menyelesaikan meeting
dan makan siangnya. Nanda segera berpindah menuju ke pembangunan proyek rumah
sakit khusus ibu dan anak. Ia memeriksa progress pembangunan yang sudah
mencapai delapan puluh persen.
Nanda terus melangkahkan
kakinya perlahan sambil memperhatikan bangunan yang ada di sana dan
menyesuaikan dengan sketsa biru yang ada di tangannya.
“Nanda ...!”
Panggilan seseorang di
belakangnya, membuat Nanda memutar tubuhnya. Suara itu tak asing lagi di
telinganya dan benar saja kalau pria yang ada di sana adalah Sonny, sahabatnya
sejak kecil yang tidak pernah lagi ia temui sejak tiga tahun belakangan ini.
Sonny melangkahkan kakinya
perlahan menghampiri Nanda. Ia mengulurkan sebuah kartu ke hadapan pria itu.
“Kebetulan kita ketemu di tempat ini. Tadinya, aku ingin mengunjungimu untuk
memberikan ini.”
Nanda tersenyum menatap kartu
undangan yang ada di tangannya. Ia menatap nama Sonny dan nama seorang wanita
yang tidak ia kenal. “Kamu mau nikah? Selamat, ya!”
Sonny mengangguk sambil
tersenyum. “Makasih, Nan! Aku minta maaf karena pernah melukaimu tiga tahun
lalu.”
Nanda tersenyum menatap wajah Sonny. “Aku yang seharusnya
minta maaf karena sudah merebut wanitamu dengan cara biadab.”
Sonny tersenyum menatap wajah Nanda. “Dia ditakdirkan bukan
untukku, Nan. Saat dia tak lagi bersamamu, dia juga tidak kembali ke sisiku. Aku
sudah ikhlas melepaskannya.”
Nanda balas tersenyum. Mereka
yang dulu begitu akrab dan sedekat nadi, kini terasa sangat canggung.
Sonny tersenyum. Ia
mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas laptopnya. “Ini jurnal bisnis dari
Cambridge University yang terbit tahun ini. Seseorang menuliskan profil
tentangmu. Kamu masih ada di hati dia,” ucapnya.
Nanda terdiam menatap buku yang
diulurkan Sonny ke arahnya. Ia tidak mengerti maksud pria itu dan tidak begitu
tertarik membaca buku yang begitu tebal. Ia tidak begitu suka membaca. Melihat
halamannya yang tebal, ia sudah enggan menyentuhnya.
Sonny menarik lengan Nanda dan
meletakkan buku itu di telapak tangan Nanda. “Look at the writer!” ucapnya. Ia
tersenyum manis dan menepuk pundak Nanda. “Jangan lupa datang ke pernikahanku!
Aku ingin kamu datang membawa dia kembali di sisimu.” Ia berbalik dan melangkah
pergi meninggalkan Nanda.
Nanda terdiam dan menatap buku
berwarna biru dengan tulisan warna putih. “4R Prameswari?” Ia melebarkan
kelopak matanya. Kemudian membuka halaman-halaman buku itu dengan cepat.
Nanda duduk di birai yang ada
di tempat tersebut. Ia membaca buku itu perlahan dan tidak menyangka kalau Roro
Ayu memasukkan profil tentang dirinya yang membawa Amora Internasional bangkit
dari keterpurukan hanya dalam dua tahun.
“Ay, kamu diam-diam masih
memperhatikanku?” tanya Nanda sambil memeluk buku yang ada di tangannya. Ia
bangkit dari duduknya dan menghampiri asisten pribadinya.
“Mas, carikan tiket pesawat menuju
ke London secepatnya!” perintah Nanda sambil melangkahkan kakinya.
“London?”
Nanda mengangguk sambil
tersenyum manis. Ia melangkahkan kakinya menuju mobil dan masuk ke dalamnya.
Asisten pribadi Nanda langsung
mengikuti langkah pria itu, ia masuk ke dalam mobil. Duduk di belakang kemudi
dan segera menyalakan mesin mobil tersebut. Pria muda itu melirik wajah Nanda
yang terus tersenyum sambil memeluk buku di tangannya. Yang ia tahu, Nanda
tidak begitu suka membaca buku. Juga tidak pernah tersenyum tanpa alasan selama
dua tahun terakhir ini. Senyuman Nanda hanya tersungging di depan investor dan
klien, itu pun tak seceria ini.
“Pak, Bapak yakin akan pergi ke
London?” tanya asisten pribadi itu. “Jadwal kunjungan dan pekerjaan bapak masih
padat.”
Nanda menoleh ke arah asisten
pribadinya. “Ada kamu. Buat apa aku masih harus terjun ke lapangan?”
Asisten pribadi itu ternganga.
Kata yang ingin ia ucapkan tercekat di kerongkongannya. Memang seharusnya dia
bisa handle semua pekerjaan bosnya itu meski Nanda selalu turun tangan seorang
diri.
“Mau berapa lama di London?
Supaya saya bisa aturkan pekerjaan Bapak,” tanya asisten itu lagi.
“Mmh ... satu minggu,” jawab Nanda sambil tersenyum. Ia
rasa, waktu itu cukup untuk membuat Roro Ayu kembali ke pelukannya. Ia pikir,
selama ini wanita itu kembali pada pria yang begitu dicintai sejak duduk di
bangku SMA. Ia tidak menyangka jika Sonny malah menikahi wanita lain. Mungkin,
Roro Ayu memang ditakdirkan untuknya meski cara yang ditunjukkan Tuhan begitu
menyakitkan.
Setelah selesai mempersiapkan
semuanya, Nanda terbang menuju kota London dengan harapan ... bisa membawa Roro
Ayu kembali ke negara mereka. Kembali berada di sisinya dan menjalani semua hal
sulit bersama-sama. Ia tahu, seluruh dunia akan menentangnya. Tapi ia juga tahu
apa yang sedang dia inginkan di dunia ini. Meski wanita itu telah membuatnya
mendekam dalam penjara selama satu tahun, membuat perusahaan keluarganya
terpuruk, hubungan keluarga mereka dan persahabatannya hancur. Tapi ia tidak
pernah bisa membenci Roro Ayu.
Ia pernah mengatakan benci pada
wanita itu. Ia pernah ingin membalas perlakuan Ayu yang begitu kejam menghukum
dirinya. Tapi semua itu tertepis oleh rasa rindu yang selalu memeluk hangat
setiap malam-malamnya. Kehilangan dan penyesalan, membuatnya mengetahui hal
paling berharga dalam hidupnya. Sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan, harus
ia perjuangkan. Dan hari ini ... kota London akan menjadi saksi perjuangan
cintanya terhadap wanita yang pernah ia hancurkan, tapi malah terlahir kembali
menjadi lebih kuat.
“Ay, back to me ...!” bisik
Nanda sambil menoleh ke luar jendela pesawat yang membawa tubuhnya menuju ke
tempat yang ingin tuju. Ia telah berusaha keras memantaskan dirinya untuk
mendapatkan wanita yang derajatnya begitu tinggi. Meski sulit digapai, ia tetap
ingin berjuang membawa Ayu kembali.
“I am savage and I changed.”
((Bersambung...))
Terima kasih sudah jadi sahabat
setia bercerita!
Mohon maaf kalau kemarin nggak
sempat update, aku sibuk ngurus papa di RS dan akunya ikut sakit kepala karena
kurang istirahat. Tetap setia nunggu karya aku ‘kan? Hehehe ...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment