Tiga bulan kemudian ...
Bunda Rindu dan suaminya
melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa menyusuri koridor rumah sakit St.
Thomas Hospital yang ada di Westminster Bridge Road, kota London. Mereka
langsung pergi ke rumah saskit tersebut saat mendapat kabar kalau tubuh Roro
Ayu memberikan respon positif dan kemungkinan akan segera bangun dari komanya.
“Dokter, gimana keadaan puteri
kami?” tanya Ayah Edi dalam bahasa Inggris.
“Puteri kalian memberikan
respon yang baik akhir-akhir ini. Kami sudah melakukan berapa kali uji respon
sarafnya. Perkiraan kami, hari ini dia bisa bangun jika tidak ada masalah,”
jawab dokter tersebut.
Bunda Rindu tersenyum lega
mendengar kondisi kesehatan Roro Ayu yang terus membaik. Ia tidak menyesal
membawa puterinya itu ke luar negeri meski harus menghabiskan uang yang tidak
sedikit.
Bunda Rindu dan Ayah Edi
langsung menghampiri tubuh puterinya yang masih terbaring di ranjang rumah
sakit tersebut. Ia tersenyum lega ketika perawat tetap menjaga puterinya
terlihat cantik dan baik.
“Roro, bunda sama ayah datang.
Kamu bangun, ya! Kami kangen sama kamu. Kalau Roro bangun, bunda akan penuhi
semua permintaan Roro, apa pun itu. Maafkan kami yang sudah memberikanmu pada
orang yang salah. Bunda dan Ayah janji, tidak akan membiarkanmu menderita
lagi,” bisik Bunda Rindu di telinga Ayu.
Ayu menggerakkan jemari
tangannya perlahan. Ia bisa mendengar bisikan dari bundanya itu dengan jelas
dan berusaha keras membuka matanya. “Bunda ...!” panggilnya lirih.
Bunda Rindu melebarkan kelopak
mata dan menatap wajah Ayu yang sudah membuka matanya. “Bunda di sini ...! Ayu
sudah bangun?” tanyanya sembari menitikan air mata. Ia langsung mengusap lembut
kening Ayu, membelai rambutnya dengan hangat dan menciumi wajah puteri
kesayangannya itu.
“Aku tidur berapa lama? Anakku
mana, Bunda?” tanya Ayu lirih sambil mengusap perutnya yang sudah datar.
Bunda Rindu tersenyum sambil
memeluk lengan Ayu. “Ayu jangan sedih, ya! Anak Ayu sudah bahagia sama Tuhan.”
“Maksud Bunda?” Ayu menatap
nanar ke arah Bunda Rindu. “Dia nggak selamat?”
Bunda Rindu mengangguk. Ia
berusaha untuk tetap tersenyum meski perasaannya sangat sakit. “Nggak usah
sedih, ya! Dia sudah jadi anak yang baik selama bersamamu. Di atas sana, dia
sedang berusaha membuatmu hidup dengan baik dan kembali ke sisi kami semua.
Sudah tiga bulan Roro koma. Sekarang, kita di London.”
“London?” tanya Ayu lirih
sambil menoleh ke luar jendela. Kemudian, mengalihkan pandangannya kembali pada
Bunda Rindu dan Ayah Edi yang berdiri di belakangnya. “Nanda mana?”
Bunda Rindu dan Ayah Edi saling
pandang. Mereka tidak menyangka kalau Ayu masih mempertanyakan keberadaan Nanda
saat baru saja terbangun dari komanya.
“Nanda lagi keluar sebentar.
Roro istirahat dulu, ya!” pinta Bunda Rindu saat tim dokter mulai menghampiri
ranjang Ayu untuk memeriksa kondisi kesehatannya.
Ayu mengangguk kecil. Ia
merasakan seluruh tubuhnya sangat sakit dan sulit untuk ia gerakkan. Ia hanya
bisa menatap tubuh Bunda Rindu dan ayahnya yang sedang duduk di sofa yang tidak
jauh dari ranjangnya. Menunggu dokter memeriksa kondisi kesehatannya.
Bunda Rindu dan Ayah Edi terus
menjaga Roro Ayu hingga puteri kesayangannya itu benar-benar sehat dan bisa
keluar dari rumah sakit.
“Bunda ...!” panggil Ayu saat
ia sudah berdiri di depan halaman rumah sakit St. Thomas tersebut. Ia
menggenggam paspor dan visa di tangannya.
“Ada apa?” tanya Bunda Rindu
sambil menghentikan gerakan tangannya yang sedang membukakan pintu mobil untuk
puterinya.
“Bolehkah aku melanjutkan S2 di
kota ini? Aku belum mau kembali ke Indonesia,” ucapnya lirih sembari menahan
rasa sesak di dadanya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini.
Kehilangan seorang anak dan suami, membuatnya tidak menginginkan apa pun. Ia
harap, dengan menempuh pendidikan lagi, bisa mengalihkan kesedihannya dan
membuat masa depannya lebih baik lagi. Ia ingin menebus kegagalan yang telah
membuat kedua orang tua kecewa.
Bunda Rindu langsung tersenyum
mendengar permintaan puterinya. Ia menoleh ke arah Ayah Edi untuk meminta
persetujuan pria itu.
Ayah Edi mengangguk sambil
tersenyum. “Kamu mau lanjut di universitas mana? Ayah akan bantu mengurusnya.”
“Cambridge,” jawab Ayu tanpa
berpikir lama.
Ayah Edi menganggukkan kepala.
“Ayah akan bantu mengurus tempat tinggal dan sekolahmu. Untuk sementara, kamu
tinggal di hotel tempat kami menginap. Gimana?”
Ayu mengangguk. Ia segera masuk
ke mobil dan menuju hotel tempat kedua orang tuanya menginap selama menjaganya
di kota tersebut. Ia tahu, titik terapuh dalam hidup manusia adalah ketika ia
berlari dan tidak berani menghadapi takdir yang sesungguhnya. Dan dia ...
sedang berada di titik itu.
Ayu menyalakan ponselnya yang baru saja disodorkan
oleh ayahnya. Ia membuka semua aplikasi pesan yang ada di sana. Tidak ada satu
pesan pun dari Nanda. Mungkin, pria itu memang tidak pernah mempedulikan
bagaimana keadaannya. Tidak pernah mencarinya meski ia menghilang dalam waktu
lama.
Pesan yang masuk secara
beruntun ke dalam ponselnya, malah penuh dengan pesan perhatian dari Sonny.
Sonny tahu, Ayu tidak akan pernah mengganti nomor ponselnya meski ponsel itu
hilang. Membuat pria itu tidak berhenti mengirimkan pesan setiap harinya.
Membaca semua pesan dari Sonny,
seharusnya ia sangat bahagia. Terlebih, kedua orang tuanya sudah mendapatkan
surat pembatalan pernikahannya dengan Nanda. Tapi kali ini, pesan dari Sonny
terasa hampa di hatinya. Ia tidak berniat membalas pesan tersebut dan memilih
untuk meninggalkan semua masa lalunya bersama Sonny. Ia pikir, menjalani
kehidupan masing-masing adalah cara paling baik agar tidak saling menyakiti.
Setelah kedua orang tuanya
kembali ke Indonesia. Ayu memilih menjalani hari-harinya di kota London. Tidak
hanya mengambil pendidikan di Cambridge, ia juga mengambil pekerjaan paruh
waktu. Bekerja bukan karena kekurangan uang, tapi ia bekerja untuk menambah
kesibukannya hingga ia lupa pada semua masa lalu yang begitu menyakitkan. Sibuk
meningkatkan diri adalah cara terbaik untuk penyembuhan.
Setiap hari libur, Ayu selalu
pergi ke perpustakaan kota. Tidak hanya membaca buku, ia juga menyempatkan diri
untuk belajar menulis jurnal tentang bisnis. Setelah mendapatkan gelar sebagai
lulusan terbaik di Melbourne University, ia juga ingin mendapatkan prestari yang
baik di Cambridge. Andai ia tidak bisa lulus dengan nilai yang baik, ia masih
bisa meninggalkan jurnal-jurnal ini untuk masa depan.
Jika nasib percintaannya tidak
berakhir dengan baik, maka nasib pendidikan dan finansialnya harus berakhir
baik. Setidaknya, ia masih memiliki satu alasan untuk tetap bertahan hidup dan
membahagiakan orang-orang yang ia cintai.
Roro Ayu tersenyum sambil
menatap satu eksemplar buku yang sudah berhasil diterbitkan oleh penerbit
universitas tersebut. Tahun pertamanya di Cambridge University, ditutup dengan
terbitnya jurnal bisnis yang ia susun selama satu tahun dan dijadikan sebagai
referensi pendidikan untuk generasi selanjutnya. Nama Raden Roro Ayu Rizky
Prameswari menjadi satu-satunya nama asli Indonesia yang mengukir sejarah International
Woman Business Journal di seluruh dunia.
((Bersambung...))
Gimana dengan nasib Nanda?
Lihat di part selanjutnya, ya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment