Nanda mondar-mandir di depan
pintu ruang operasi. Karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan,
dokter terpaksa harus mengambil tindakan operasi untuk menyelamatkan ibu dan
bayinya.
Di kursi tunggu yang ada di
sebelahnya, kedua orang tua dan mertuanya juga ikut menunggu dengan cemas.
“Nan, kenapa kamu tidak pernah
memperlakukan Ayu dengan baik? Padahal, dia sudah berusaha menjadi istri yang
baik buat kamu. Kenapa kamu nyakitin Ayu terus sampai kayak gini? Berapa kali
kamu hutang nyawa ke dia? Nggak punya hati!” ucap Sonny sambil menunjuk dada
Nanda.
“Aku tahu aku salah, Son. Semua
orang sudah menghakimi aku. Tuhan juga sedang menghakimiku. Cukup, Son!” pinta
Nanda lirih sambil menatap pilu ke arah Sonny.
Sonny menatap manik mata Nanda.
Bayangan persahabatan mereka selama dua puluh lima tahun, terlintas di pelupuk
mata dan membuat perasaannya sangat terluka. Satu-satunya teman yang tumbuh
bersamanya sejak kecil, menjalani banyak hal bersama seperti saudara kandung,
malah merenggut semua hal yang sangat ia cintai. Perasaannya berkecamuk. Ia
tidak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan ini. Ia ingin marah, tapi juga
tidak tahan melihat sahabatnya sendiri terluka. Ia benar-benar tidak menyangka
jika hari ini akan dihadapkan pada pilihan yang begitu sulit.
Andai Nanda bisa membahagiakan
wanita yang paling ia cintai dalam hidupnya, mungkin ia lebih mudah menerima
kenyataan kalau Roro Ayu bukanlah miliknya lagi. Tapi melihat sahabatnya itu
memperlakukan Roro Ayu begitu buruk, membuatnya tidak tahan dan tidak rela
melepaskan wanita yang paling ia cintai untuk sahabatnya itu.
“Roro Ayu sedang berjuang di
dalam sana. Bisakah kalian berdamai dan mendoakan keselamatan dia? Kalau ada
waktu untuk berdebat, tentunya kalian punya waktu untuk mendoakan dia,” tutur Andre sambil menarik lengan Sonny
perlahan dan membawa pria muda itu duduk bersamanya.
Sonny terdiam. Ia terus
mengawasi Nanda dari sudut matanya. Ia benar-benar tidak bisa bersikap bijak
dalam keadaan seperti ini.
“Dokter, gimana keadaan puteri
dan cucu saya?” Edi langsung menghampiri pintu ruang operasi yang baru saja
terbuka.
“Gimana keadaan istri dan anak
saya, Dokter?” Nanda tak mau kalah menghampiri dokter yang ada di sana.
Edi menyeringai kesal ke arah
Nanda yang berdiri di sampingnya.
Dokter yang ada di sana,
menghela napas sambil melepas masker yang ia kenakan. “Kami sudah berusaha
keras. Tuhan belum mengizinkan dia melihat dunia,” ucapnya lirih.
DEG!
Ucapan dokter itu bagaikan
petir ribuan voltase yang sedang menghujam jantung Nanda. Membuatnya berhenti
berdetak selama beberapa detik. Membuat pikirannya tiba-tiba kosong hingga
telinganya tak mampu mendengar teriakan histeris dari keluarga besarnya.
“Cucu kami nggak bisa
diselamatkan, Dok?” tanya Nia sambil menitikan air mata. Ia langsung terisak di
pelukan Andre. Mereka tidak menyangka jika impiannya melihat cucu pertama
mereka, sirna begitu saja.
Dokter itu menggeleng. “Dia
tidak bisa bertahan dan ...” Ia mengedarkan pandangannya menatap semua orang
yang terlihat sangat terpukul karena kehilangan keluarga yang dicintai. Namun,
sebagai seorang dokter, ia harus menyampaikan berita tentang pasiennya, dalam
keadaan apa pun itu.
“Ada apa, Dokter? Puteri saya
baik-baik aja ‘kan?” tanya Bunda Rindu yang menyadari wajah dokter itu terlihat
tak biasa.
“Sel darah merahnya pecah dan trombositnya
sangat rendah. Pembuluh darah ke otaknya mengalami masalah yang menyebabkan
kelumpuhan. Saat ini ... dia koma,” jawab dokter tersebut.
“APA!?”
Semua orang terkejut mendengar
penuturan dokter tersebut. Begitu juga dengan Nanda. Pukulan-pukulan ini
bertubi-tubi menghujam dirinya dan membuat ia tidak sanggup berkata-kata.
“Semua ini gara-gara kamu, Nan
...!” seru Sonny sambil berlari ke arah
Nanda dan bersiap menghujani pukulan ke arah pria itu.
“Son, sabar! Ini rumah sakit!”
seru Andre sambil menghalau tubuh Sonny agar tidak memukuli puteranya lagi.
Sonny menatap wajah Nanda
dengan rahang mengeras. Kedua tangannya mengepal erat dan urat-urat di wajahnya
terlihat jelas.
“Kalau kamu mau marah, pukul
Oom saja! Jangan pukul Nanda lagi!” seru Andre sambil menatap wajah Sonny.
Sonny langsung melonggarkan
kepalan tangannya.
“Oom Andre yang salah karena
tidak bisa mendidik Nanda dengan baik. Pukul Oom saja!” pinta Andre sambil
menarik lengan Sonny agar memukulnya.
“Ndre, aku tidak akan mengotori
tanganku untuk menghukum kalian. Kalian sudah menyerang mental puteriku dan
menghancurkannya masa depannya. Apa yang terjadi pada puteriku, keluarga
Perdanakusuma harus mempertanggungjawabkannya. Aku tidak peduli pada
orang-orang besar yang melindungi keluarga kalian. Demi puteriku, aku akan
mencari keadilan untuk dia!” tegas Edi sambil menatap Andre penuh kebencian.
Andre terdiam sambil
menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa melawan jika Edi sudah bicara. Bukan
karena takut, tapi karena ia merasa ikut bertanggung jawab atas kelakuan
puteranya. Apa yang dilakukan seorang anak, orang tua akan ikut menanggungnya.
Ia tidak akan berlari karena ia terlalu memanjakan Nanda hingga puteranya itu
tidak pernah mengerti arti tanggung jawab pada keluarganya. Kesalahan Nanda
adalah kesalahannya mendidik seorang anak.
Bunda Rindu terus menitikan air
mata saat mengetahui keadaan puterinya. Di saat bersamaan, Bunda Yuna dan
Yeriko juga datang menghampiri keluarga tersebut. Mereka terkejut mendengar hal
buruk yang terjadi pada Roro Ayu dan bayinya.
“Nan, anak Bunda salah apa sama
Nanda? Kenapa Nanda tidak mau memperlakukan dia dengan baik. Kalau dia salah,
kamu bilang ke bunda supaya bunda yang menegur dia dan memperbaiki dirinya.
Kenapa kamu lakuin ini ke Ayu. Dia puteriku satu-satunya, Nan. Kenapa harus
Ayu? Dia anak baik. Tidak bisakah kamu bersikap baik dan mencintai puteri
Bunda? Kekurangan dia, katakan ke Bunda saja!” pinta Bunda Rindu sambil menatap
wajah Nanda yang masih mematung di hadapannya.
“Nan ...!” panggil Bunda Rindu
sambil menggoyang-goyangkan tubuh Nanda. Ia langsung merosot ke lantai dan berlutut di bawah kaki Nanda.
“Maafin Ayu kalau dia tidak menjadi istri yang patuh dan berbakti padamu!
Maafin Ayu kalau dia punya banyak kesalahan selama menjadi istrimu. Kalau kamu
tidak mencintai Ayu, tolong jangan sakiti dia!” pintanya sambil berlinang air
mata.
“Dik, kamu nggak pantas
berlutut di depan pria bajingan ini!” ucap Edi sambil merengkuh pundak Bunda
Rindu dan menarik tubuhnya untuk bangkit dari lantai.
“Mas, Roro gimana? Dia dosa apa
sampai harus menanggung beban seperti ini? Kenapa nggak aku aja yang gantiin
dia, Mas?” seru Bunda Rindu sambil menangis histeris dalam pelukan suaminya.
Yuna menutup mulutnya yang
menganga lebar. Ia ikut menitikan air mata melihat Bunda Rindu yang sangat
terluka melihat keadaan puterinya. Sebagai seorang ibu, ia bisa merasakan
perasaan yang begitu sakit ketika puterinya dipermainkan seperti ini oleh
seorang pria. Roro Ayu yang terlihat baik-baik saja di luar, tidak tahu
bagaimana keadaan mental yang sesungguhnya. Suami adalah tempat paling dekat
dan harusnya bisa menjadi sandaran, tapi Nanda justru menjadi tekanan bagi Roro
Ayu tanpa diketahui oleh semua orang.
Di dinding koridor, Nanda
menyandarkan punggungnya. Tubuhnya merosot perlahan dan pikirannya terus hampa.
Ia benar-benar tidak menyangka jika perkelahian beberapa jam lalu menyebabkan
istri dan anaknya terluka seperti ini.
“Nan, kamu laki-laki. Harus
kuat!” pinta Yeriko sambil mengulurkan tangannya ke hadapan pria muda itu agar
segera bangkit dari sana. “Kamu harus bangkit! Antarkan anakmu ke
peristirahatan terakhirnya! Rawat istrimu dengan baik sampai dia bangun dari
komanya. Roro Ayu akan kuat jika kamu juga bisa dengan gigih menjaganya.”
Nanda menengadahkan kepalanya
menatap wajah Yeriko. Ia menarik napas dalam-dalam sambil mengusap air matanya dan menyambut uluran tangan Yeriko. Ia
mengumpulkan kekuatan untuk bangkit dari lantai.
“Dia tidak perlu mengurus anak
dan cucuku! Aku masih bisa melakukannya!” tegas Edi dengan nada penuh emosi.
Yeriko langsung memutar
kepalanya menatap wajah Edi. “Anak itu darah daging Nanda dan dia punya hak
penuh atas anaknya. Bijaklah menjadi orang tua! Anak kalian sama-sama tertekan
karena kalian tidak pernah peduli dengan hubungan mereka!” Suara bariton pria
itu menguasai lorong koridor meski terdengar tidak begitu keras.
Edi terdiam sambil menatap
tajam mata Yeriko. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi di masa depan.
Tidak lagi peduli dengan bisnis yang ia bangun bertahun-tahun. Tak peduli
dengan Yeriko yang memiliki kekuatan besar untuk melindungi keluarga Nanda. Ia
hanya ingin keadilan untuk puterinya yang telah dirampas dengan paksa
kesuciannya, mental dan masa depannya.
((Bersambung...))
Semua orang tua sudah merasa
benar dalam mendidik anak dengan caranya masing-masing. Tapi terkadang,
kesalahan tetaplah hinggap dan membuat kita merasa gagal menjadi orang tua.
Semoga kita bisa menjadi orang
tua yang bisa membuat anak-anak mengerti akan tanggung jawab dan cara mencintai
keluarga.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment