Ayu menarik lengan Nanda dan
membawa pria itu masuk ke dalam kamarnya. “Nan, kamu ini kenapa? Datang ke sini
langsung marah-marah. Kamu nggak lihat ada Sonny, ada orang tuaku? Bisa sopan
dikit?”
Nanda terdiam sambil menahan
kesal di dadanya. Ia sudah tidak memikirkan hal lain lagi saat melihat istrinya
itu sedang asyik bercanda dengan mantan kekasihnya. Meski ia tidak mencintai
Ayu, tapi ia tetap tidak rela membiarkan istrinya bermesraan dengan pria lain.
“Kamu pergi dari rumah dan
mesra-mesraan sama cowok lain. Sadar nggak kalau kamu sudah bersuami?” sahut
Nanda kesal.
“Kamu juga sadar atau nggak
kalau sudah beristri?” sahut Ayu tak mau kalah.
“Sadar, Ay.”
“YA BERUBAH, DONG!” seru Ayu.
“Gimana aku mau berubah kalau
kamu kayak gini! Bukannya berbakti, malah main gila sama cowok lain saat
suamimu sakit!” sahut Nanda tak mau kalah.
“Kamu yang mulai duluan, Nan.
Ingat, ya! Istri itu akan memperlakukan suami sebagaimana dia diperlakukan. Aku
pernah nggak baik sama kamu? Pernah nggak melayani apa yang kamu butuhkan?
Pernah bohongi kamu? Aku ketemu sama Sonny di tempat umum dan nggak berdua
doang. Apa yang bisa kami lakuin di tempat seperti itu? Sedangkan kamu, kamu
nemuin Lita di hotel tengah malam, berduaan doang, mesra-mesraan. Kamu pernah
pikirin perasaanku, hah!?” seru Ayu sambil mendorong dada Nanda hingga tubuh
pria itu menghantam pintu kamarnya.
Nanda terdiam sambil menatap
wajah Ayu dengan perasaan tak karuan. Ia dan Ayu memang sering berdebat, tapi
baru kali ini ia mendengar Ayu bicara dengan nada yang lebih tinggi darinya.
Bahkan menatap ke arahnya dengan tatapan penuh kebencian.
“Apa yang terjadi sama kamu
saat ini, harusnya bisa bikin kamu sadar. Tapi kamu nggak pernah menyadari
kesalahanmu, Nan. Nggak malu sama penampilan kamu sekarang? Udah pake baju
koko, pake sarung kayak gini ... Tuhan lagi tegur kamu dan kamu masih belum
sadar juga. Ingat, karma itu nggak pernah salah tempat! Kamu yang udah hancurin
seluruh hidupku dan aku lebih bahagia lihat kamu mati!” seru Ayu sambil
berlinang air mata.
Nanda terdiam sambil menatap
wajah Ayu. Ia benar-benar sulit mengakui kesalahannya. Meski hatinya ingin
sekali meminta maaf, tapi pikirannya tetap saja kacau setiap kali berhadapan
dengan wanita ini.
“Aargh ...!” Ayu langsung
berpegangan ke dinding, tangan satunya memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa
sangat nyeri.
“Ay, kamu kenapa?” tanya Nanda
sambil merengkuh tubuh Ayu.
“Nggak usah pedulikan aku!”
sahut Ayu sambil menepis tangan Nanda dan berjalan merayap ke arah pintu
kamarnya. Ia langsung membuka pintu tersebut.
“SON, SONNY ...! AYAH ...!
BUNDA ...!” seru Ayu sambil menahan napas dan rasa sakit di perutnya.
Sonny yang duduk di sofa ruang
tamu, buru-buru berlari menaiki anak tangga saat mendengar teriakan Ayu.
“Mas, itu si Roro kenapa?”
tanya Bunda Rindu yang sedang di dapur bersama suaminya.
“Nggak tahu. Lagi sama Nanda di
kamarnya.”
“Berantem?”
Edi menghela napas. “Aku
kasihan sama puteri kita kalau setiap hari tidak bahagia dengan suaminya. Lebih
baik mereka bercerai saja. Aku tidak akan menuntut Nanda dan keluarganya asal
Ayu bisa hidup bahagia. Sonny juga masih mau menerima puteri kita. Dia jauh
lebih baik dari anaknya Andre yang brengsek itu.”
“Nggak boleh bicara seperti
itu, Mas. Roro menyayangi Nanda. Kalau tidak, dia tidak mungkin memilih
bertahan. Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik untuk Roro. Aku rasa,
Roro Ayu sudah mulai menyukai Nanda. Walau bagaimana pun, Nanda adalah ayah
dari bayi yang dikandung Roro. Mereka jelas punya ikatan, Mas,” ucap Bunda
Rindu sambil tersenyum menatap kue ulang tahun yang ia siapkan untuk puterinya
dan melangkah keluar dari dapur bersama suaminya itu.
“Ay, kamu kenapa!?” Sonnya
langsung menghampiri Ayu yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
“Tolong aku, Son! Perutku sakit
banget.”
“Kita ke rumah sakit!” ajak
Sonny sambil merangkul tubuh Ayu dan memapahnya.
“Biar aku yang bawa Ayu!” pinta
Nanda sambil menepis tangan Sonny dari tubuh Ayu.
“Nan, kamu jauh-jauh dari aku!”
pinta Ayu sambil mendorong tubuh Nanda.
Sonny tersenyum miring ke arah
Nanda. “Ayu nggak mau sama kamu. Biar aku yang urus dia!” pintanya sambil
merangkul tubuh Ayu kembali dan memapahnya menuruni anak tangga.
“Son, Ayu kenapa!?” seru Bunda
Rindu saat melihat Ayu berjalan sambil menahan sakit.
“Perut aku tiba-tiba sakit,
Ma,” jawab Ayu lirih.
“Ini ...!? Ini baru tujuh
bulan. Belum waktunya lahiran,” ucap Bunda Rindu. Ia segera memberikan kue
ulang tahun ke tangan Edi dan menghampiri puterinya.
“Nggak tahu, Bunda. Sakit
banget!” jawab Ayu sambil menitikan air mata.
“Nan, kamu gendong Ayu, deh!
Biar cepet!” pinta Bunda Rindu.
“Nggak boleh! Nanda nggak boleh
gendong Ayu! Sonny aja!” sahut Ayah Edi.
“Mas, Nanda itu suaminya Ayu!
Kalau Sonny bukan!” sahut Bunda Rindu.
“Aku lagi kesakitan. Kalian
sempat-sempatnya berdebat?” tanya Ayu sambil menahan nyeri di perutnya.
Nanda langsung menarik tubuh
Sonny agar menjauh dari istrinya. Ia merangkul pundak wanita itu dan
menggendongnya. Ia mempercepat langkahnya dan membawa tubuh Ayu masuk ke dalam
mobil miliknya.
“Nan, aku mau pergi sama Sonny
atau ayah aja,” pinta Ayu lirih sambil menahan rasa nyeri yang semakin
menyiksa.
“Kamu udah kesakitan gini,
masih sempat ngajak aku berdebat?” sahut Nanda. Ia segera menutup pintu mobil
dan bergegas membawa Ayu ke rumah sakit terdekat.
Beberapa menit kemudian, Ayu
sudah sampai di IGD rumah sakit. Ia terus merintih kesakitan sambil memanggil
nama bundanya.
“Dokter, istri saya kenapa?”
tanya Nanda sambil menatap dokter yang sedang memeriksa kondisi istrinya.
“Kami periksa dulu, ya!
Dampingi istrinya, Mas! Kasih minum teh hangat!” jawab dokter yang ada di sana.
Nanda mengangguk. Ia ingin
beranjak dari sisi Ayu, tapi wanita itu mencengkeram kuat lengannya dan
membuatnya tidak bisa pergi dari sana.
“Bunda ...! Bunda ...!” Ayu
terus memanggil nama bundanya sambil menahan sakit di perutnya.
“Bunda masih di jalan. Sebentar
lagi pasti sampai.” Nanda berbisik di telinga Ayu.
Ayu menitikan air mata sambil
menatap wajah Nanda. “Sakit, Nan.”
“Dok, tolong istri saya, dong!”
seru Nanda. Pikirannya semakin tak karuan saat wajah Ayu semakin pucat.
“Sus, udah pembukaan?” tanya
dokter yang ada di sana.
“Baru pembukaan satu, Dokter.”
“Dok, istriku mau melahirkan?”
tanya Nanda sambil menatap dokter yang ada di sana. “Kandungannya baru tujuh
bulan, Dok.”
“Kita tunggu dulu sampai
pembukaan berikutnya, ya!” jawab dokter itu sambil tersenyum.
“Dok, istriku ini udah
kesakitan! Masa masih disuruh nunggu? Kalian bisa jadi dokter atau nggak,
sih!?” sentak Nanda kesal. “Lihat! Istriku udah lemes kayak ini!”
“Kami sudah biasa menangani ibu
melahirkan. Kontraksi seperti ini sudah biasa,” jawab dokter itu. Ia menoleh ke
arah salah satu perawat yang ada di sana. “Pasang jarum infus untuk jaga-jaga!”
perintahnya.
“Baik, Dokter!”
“Detak jantung ibunya melemah,
Dokter!” seru perawat yang lainnya.
Dokter dan beberapa perawat
yang ada di sana sigap mengambil tindakan untuk menstabilkan kondisi kesehatan
Ayu.
“Ayu ...! Kamu bakal baik-baik
aja ‘kan? Kamu kuat, Yu. Harus kuat! Demi anak kita. Aku sayang sama kalian,”
bisik Nanda dengan mata berkaca-kaca. Ia meletakkan dahinya ke kening Ayu. “Aku
sayang kalian. Aku butuh kalian,” bisiknya lagi.
Ayu tersenyum menatap wajah
Nanda yang menempel di wajahnya. Ia berusaha menyentuh pipi pria itu. Tapi rasa
kantuk yang menyerangnya semakin menjadi-jadi dan membuat lengannya jatuh
terkulai begitu saja seiring dengan matanya yang terpejam sempurna.
“AYU ...!”
“AY ...!”
“AYU BANGUN!”
“DOKTER ...!”
((Bersambung...))
Terima kasih sudah jadi sahabat
setia bercerita!
Dukung terus supaya author
makin semangat berkarya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment