“Ndre, minggu depan acara ulang
tahun kami. Mau bikin syukuran kecil-kecilan. Kalian semua datang, ya!” pinta
Yuna sambil menatap wajah Andre dan Nia.
Nia mengangguk sambil tersenyum
manis. “Pasti, dong. Kalian berdua enak banget, ya? Hari ulang tahunnya sama.
Jadi, bisa rayakan bareng.”
Yuna tersenyum, ia menoleh
sejenak ke arah suaminya. “Kalian bisa datang ‘kan?”
Nia mengangguk. “Kebetulan,
kami juga nggak terlalu sibuk.”
“Nanda juga datang, ya! Bawa
istri kamu supaya kami bisa kenal. Tante dengar, dia salah satu lulusan terbaik
di Melbourne. Tante juga lulusan dari sana. Bukan lulusan terbaik seperti dia.
Hanya mahasiswa biasa. Tante penasaran sama dia. Pengen kenal.”
Nanda mengangguk sambil
tersenyum lebar. “Baik, Tante. Saya pasti bawa dia untuk berkenalan dengan
Tante Yuna.”
Yuna tersenyum bangga menatap
wajah Nanda. Meski cara yang dilakukan pria muda ini melanggar norma, tapi
tetap saja bisa dianggap beruntung karena mendapatkan wanita yang memiliki
prestasi baik. Ia harap, bisa mengenal Roro Ayu dan sifatnya berbanding lurus
dengan prestasi yang dimilikinya.
“Mmh, saya pamit dulu, Tante,
Oom ...! Masih ada pekerjaan lain yang harus saya urus,” pamit Nanda.
Yuna dan Yeriko mengangguk.
“Silakan lanjutkan kesibukanmu!
Goodluck, ya!” ucap Yuna sambil tersenyum manis.
Nanda mengangguk. Ia segera
berpamitan dengan sipan dan melangkah keluar dari ruang kerja papanya. It’s
first time, ia merasa bangga memiliki Roro Ayu dalam hidupnya. Ia pikir, tidak
akan pernah bisa memiliki wanita sebaik Ayu. Sebab, semua wanita baik hanya
diciptakan untuk pria yang baik dan dia ... tidak memiliki kebaikan apa pun
dalam dirinya.
“Siang, Mas Nanda ...!” sapa
salah seorang karyawan yang berpapasan dengan Nanda.
“Siang ...!” balas Nanda sambil
tersenyum manis seperti biasanya. Hampir semua orang di perusahaan papanya,
selalu menyapanya dengan ramah. Begitu juga dengan Nanda, selalu membalasnya
dengan sikap ramah pula.
Nanda melangkahkan kakinya
perlahan menuju ke parkiran mobil. Matanya tiba-tiba tertuju pada pria tua yang
sedang merapikan tanaman di taman kantor perusahaan papanya itu. Ia
mengurungkan niatnya masuk ke mobil dan melangkah menghampiri pria tua itu.
“Siang, Pak ...!”
“Ya, Mas.” Pria tua itu
langsung menghentikan pekerjaannya. Ia buru-buru meletakkan gunting rumput yang
ia pegang dan menghampiri Nanda. “Ada apa, Mas?”
“Ini sudah jam makan siang.
Bapak nggak istirahat?”
“Oh. Iya, Mas. Sebentar lagi.
Kerjaannya nanggung,” jawab pria tua itu.
“Bapak sudah tua. Lain kali
kalau bersihkan luar gedung, pagi atau sore saja! Jangan saat terik seperti
ini!” pinta Nanda.
“Baik, Mas Nanda!” ucap pria
tua itu sambil menganggukkan kepalanya.
Nanda tersenyum. Ia
mengeluarkan beberapa lembar uang merah dari dompetnya dan memberikannya pada
pria tua itu.
“Apa ini, Mas?” tanya pria tua
itu begitu Nanda mengulurkan lembaran uang ke hadapannya.
“Buat beli es teh!” perintah
Nanda sambil menarik telapak tangan pria itu dan memasukkan lembaran-lembaran
uang itu ke dalam telapak tangannya. Kemudian pergi begitu saja.
“Makasih, Mas!” seru pria tua
itu sambil menatap Nanda yang bergerak perlahan
menuju ke mobilnya. Ini bukan pertama kalinya Nanda memberinya uang, sudah
beberapa kali dan bos muda itu selalu menyarankan untuk melakukan pekerjaan
yang lebih ringan karena usianya yang memang sudah memasuki usia pensiun.
Di ruangan kerjanya, Andre
hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Nanda yang terlihat begitu santai
dan banyak berdiam diri saat mereka semua membicarakan bisnis.
“Tidak terasa, kita usdah
ngobrol sampai jam makan siang. Gimana kalau kalian makan siang bersama kami
saja?” tanya Andre sambil tersenyum menatap Yuna.
Yuna tersenyum sambil
menggenggam punggung tangan Yeriko. “Terima kasih, Ndre. Tapi kami tidak bisa
karena sudah ada janji makan siang dengan anak kami. Si Okky bisa ngomel sampai
besok kalau tiba-tiba kami membatalkan jadwal makan siang kami dengan dia.”
“Oh. I see.” Andre
manggut-manggut. “Kalian semua sangat sibuk. Waktu makan siang bersama keluarga
jadi hal yang paling berharga untuk kalian. Kalau gitu, kami tidak akan
mengganggu.”
Yeriko mengangguk dan bangkit
dari tempat duduknya. “Kami pulang dulu, Ndre! Jangan lupa tanda tangani
perpanjangan kontrak perusahaan kita!”
“Gampang,” sahut Andre santai
sambil ikut bangkit dari sofa untuk mengantarkan kepergian Yuna dan Yeriko.
“Kami pulang dulu, ya!” pamit
Yuna sambil menyalami pipi Nia.
Nia mengangguk sambil
tersenyum. “Makasih ya, sudah menyempatkan waktu berkunjung ke sini!”
“Iya. Kamu juga sering-sering
berkunjung ke tempat kami, ya!” sahut Yuna sambil tersenyum manis.
“Kalian sibuk terus, Yun. Susah
ditemui,” ucap Andre sambil menatap wajah Yuna.
Yuna tertawa kecil. “Kamu bisa
aja. Kalau kami di kota ini, kalian bisa telepon asisten kami untuk atur
waktu.” Ia merangkul Andre dan berniat menyalami kedua pipi pria itu.
Yeriko buru-buru menarik lengan
Yuna agar tidak mendekati Andre.
Yuna langsung menoleh ke arah
Yeriko dan tertawa kecil. “Sudah tua begini, masih aja cemburuan!”
Andre dan Nia tertawa kecil
melihat sikap Yeriko yang tidak pernah berubah sejak mereka masih muda.
“Kalau aku cium Nia, kamu nggak
keberatan?” tanya Yeriko sambil menatap wajah Yuna.
Yuna menggeleng. “Kalau ciumnya
di depan aku dan Andre, kami nggak keberatan. Kalau sembunyi-sembunyi di
belakang kami, barulah perlu dipertanyakan.”
“Kamu ini ... bisa aja jawabnya
kalau dikasih tahu suami,” sahut Yeriko kesal.
Nia dan Andre tertawa kecil.
“Kalian ini sampai tua nggak pernah berubah ya?”
“Apa yang mau berubah?” tanya
Yuna balik. “Dia cemburuannya nggak hilang-hilang juga. Padahal aku sudah nenek-nenek
gini. Andre aja udah nggak naksir sama aku. Iya ‘kan, Ndre?”
Andre tertawa kecil sambil
merangkul tubuh istrinya. “Mengagumimu nggak
akan ada habisnya, Yun. Tapi niat memilikimu udah nggak ada. Kamu buat
Yeriko ajalah! Istriku juga nggak kalah cantik, kok.”
“Begitu memang kalau suka sama
cantiknya doang. Kalau udah nenek-nenek, udah nggak minat lagi,” ucap Yuna
sambil tertawa kecil.
“Hahaha.” Andre dan Yeriko
tergelak mendengar ucapan Yuna.
“Ndre, kami pulang dulu!
Istriku kalau udah ngobrol, nggak ada selesainya. Jangan terlalu banyak
meladeni dia! Anakku bisa mecat aku jadi ayahnya kalau kami telat,” pamit
Yeriko lagi.
“Hahaha. Salam untuk putermu,
Yer!” ucap Andre sambil menepuk pundak Yeriko dan mengantarkannya keluar dari
perusahaannya.
Nia tersenyum lebar sambil
merangkul lengan Andre saat Yuna dan Yeriko sudah menghilang bersama mobil yang
membawa mereka. “Mas, gimana kalau kita ajak Roro Ayu makan siang bareng kita
juga, ya?”
“Mendadak seperti ini, apa dia
siap? Ini sudah jam makan siang,” jawab Andre.
“Iya juga, ya? Kita aja yang ke
rumah mereka dan makan siang di sana. Gimana?”
“Apa tidak merepotkan Roro
kalau kita datang tiba-tiba? Dia lagi hamil muda. Jangan buat dia kelelahan!”
“Gampang. Kita beli makanan
dari luar aja dan makan di sana,” ucap Nia sambil tersenyum manis.
“Bolehlah kalau begitu. Kita
juga bisa lihat bagaimana anak kita itu berumah tangga. Sudah lama tidak main
ke sana. Kalau anak Roro sudah lahir, kita bisa main sama cucu setiap hari.”
Nia mengangguk. “Gimana
perusahaan kalau kita main sama cucu terus?”
“Ada Nanda dan Roro,” jawab
Andre.
Nia tersenyum dan melangkah
menuju mobil bersama Andre. “Kalau ada Roro Ayu, aku merasa lebih tenang
menyerahkan perusahaan ke anak kita. Kalau cuma Nanda yang urus, aku masih
belum percaya sepenuhnya sama dia.”
Andre mengangguk. “Untungnya
Nanda dapet istri yang bener. Setidaknya, bisa membantu kita untuk
mengembangkan bisnis. Kalau sampai dia menikahi wanita model itu, mending
perusahaan kita jual dan uangnya kasih ke panti asuhan saja.”
Nia tertawa kecil sambil
menyandarkan kepalanya ke pundak Andre. Ia sangat beruntung karena Tuhan
menjawab doa-doa dia selama ini yang menginginkan Nanda memiliki pasangan yang
baik dalam hidupnya. Memiliki istri yang bisa menjadikan puteranya menjadi pria
yang bertanggung jawab dan menyayangi keluarga. Asalkan istrinya baik, masa
depan anak-cucunya akan baik pula. Semua ibu, menginginkan anaknya mendapatkan
hal terbaik di dunia ini dan yang paling utama adalah pasangan yang baik untuk
menjalani sisa-sisa hidup mereka.
“Terima kasih, Tuhan ...! Sudah
memberikan menantu yang baik untuk kami. Semoga, Roro Ayu bisa menjadi istri
yang baik untuk Nanda, bisa menjadi ibu yang baik untuk cucu-cucu kami,” ucap
Nia dalam hati. Ia merasa sangat bahagia setiap kali ingin bertemu dengan Roro
dan calon cucu yang ada di dalam perut wanita itu.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah jadi sahabat
setia bercerita!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment