Nanda buru-buru melangkah
keluar dari ruang kerjanya ketika ia baru saja selesai menerima panggilan
telepon dari Arlita yang memintanya untuk mencarikan tempat tinggal baru karena
ibunya mengambil paksa apartemen yang digunakan oleh wanita itu.
“Mau ke mana?” Ayu menghadang
langkah Nanda yang baru saja sampai di pintu utama perusahaan tersebut. Ia
tersenyum sambil memegang rantang makanan di tangannya.
“A-ayu? Ngapain kamu ke sini?”
Nanda gelagapan saat melihat Ayu tiba-tiba datang ke perusahaannya.
“Mau antar makan siang untuk
kamu,” jawab Ayu sambil mengangkat rantang yang ada di tangannya. Tentunya
dengan senyuman manis yang terukir indah di bibirnya.
Nanda terdiam sambil memeriksa
layar ponselnya saat notifikasi pesan dari Arlita masuk ke sana.
“Sudah ada janji sama orang
lain?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda.
“Eh!?” Nanda menggaruk
tengkuknya yang tidak gatal.
Ayu menghela napas. “Ada janji
makan siang sama siapa?”
“Sama klien,” jawab Nanda.
“Klien yang kamu kasih
apartemen gratis untuk tinggal di sana?” tanya Ayu. Ia langsung melangkah santai
menuju meja resepsionis yang ada di sana.
Nanda mengernyitkan dahi sambil
menatap tubuh Ayu. Ia mengikuti langkah istrinya itu perlahan, tidak tahu apa
yang sedang direncanakan wanita itu. Kehadiran Roro Ayu dalam hidupnya,
benar-benar mengacaukan hidupnya.
“Permisi, Mbak ...!” sapa Ayu
sambil tersenyum manis ke arah petugas resepsionis yang ada di sana. “Saya
boleh minta copy schedule bos kalian?”
Petugas resepsionis itu
melongo, ia melirik ke arah Nanda yang berdiri tak jauh di belakang Ayu.
“Saya istrinya Pak Nanda. Apa
nggak boleh tahu schedule dia?” tanya Ayu sambil menatap wajah resepsionis itu.
“Ay, kamu ngapain sih mau tahu
jadwalku segala? Kamu cukup istirahat di rumah, nggak perlu urusin perusahaan kayak
gini,” pinta Nanda sambil memutar tubuh Ayu agar menatap ke arahnya.
“Aku bukan lagi ngurus
perusahaan. Tapi aku lagi ngurus suamiku. Bukannya istri yang baik harus
mengurus semua keperluan suami dengan baik juga? Aku harus tahu jadwalmu supaya
aku nggak telat nyiapin semua kebutuhanmu,” jawab Ayu sambil tersenyum.
Ayu menyodorkan ponselnya ke
arah resepsionis itu. “Ini alamat email saya. Kirimkan schedule suami saya
secara berkala!”
“Ay, nggak perlu kayak gini
banget ‘kan? Kamu itu makin lama makin nyebelin. Aku sudah ajak kamu berdamai
dan baik-baik. Nggak usah kayak anak kecil gini, deh!” pinta Nanda lirih.
Ayu tersenyum sinis. “Ada anak
kecil yang bisa minta schedule bos ke perusahaan?”
Nanda menghela napas. Ia
merangkul tubuh Ayu dan membawanya pergi dari sana. “Kamu bawa makanan untuk
aku ‘kan? Kita makan siang bareng, ya!” pintanya. Ia membawa Ayu masuk ke dalam
lift dan naik ke ruang kerjanya yang ada di lantai empat.
KLEK!
Nanda langsung mengunci pintu
ruangannya begitu ia dan Ayu sudah masuk ke sana. “Ay, mau kamu apa sih?”
Ayu meletakkan rantang ke atas
meja dan membukanya satu per satu.
“Ayu ...! Aku lagi ngomong sama
kamu.”
“Mau makan siang ‘kan?” tanya
Ayu sambil tersenyum manis.
Nanda menghela napas dan duduk
di sofa, tepat di sebelah Ayu. “Aku tahu kamu istriku, Yu. Tapi menyelidiki aku
seperti ini, apa pantas? Apa yang ada di dalam pikiranmu sampai minta schedule
aku segala?”
“Aku sudah jawab pertanyaan
itu. Nggak ada pertanyaan lain?” tanya Ayu balik.
Nanda gelagapan sambil mengusap
wajahnya dengan perasaan tak karuan.
“Kenapa? Kamu menyesal punya
istri sepertiku?” tanya Ayu sambil menyodorkan sepasang sendok dan garpu ke
hadapan Nanda. “Makanlah! Setelah selesai makan, baru kita bicara.”
Nanda menghela napas. Ia menatap
makanan yang sudah disiapkan Ayu untuknya. Udang goreng, perkedel kentang, sup
jamur dan potongan ayam goreng, sudah terhidang di hadapannya. Ia menusuk satu
buah perkedel dan menggigitnya perlahan. Manik matanya, terus mengawasi Ayu
yang bergerak perlahan menyusuri ruang kerjanya.
Aku memperhatikan setiap detail
ruang kerja Nanda. Ini pertama kalinya ia masuk ke dalam ruang kerja suaminya
itu setelah mereka menikah. Sepertinya, ia terlalu lama terlarut dalam
kesedihan. Tidak bisa menerima apa yang sekarang ia miliki dan baru menyadari
kalau suaminya punya kedudukan yang begitu bagus, kedudukan yang diinginkan
semua wanita di dunia. Terutama wanita yang tidak bisa hidup mandiri dan
menggantungkan hidup mereka pada pria berduit.
“Ruang kerjamu lumayan juga,”
puji Ayu sambil duduk di kursi kerja Nanda. “Sepertinya, sudah lama aku nggak
duduk di kursi seperti ini,” lanjutnya sambil menyandarkan punggungnya ke
kursi.
Nanda tak menyahut. Hanya
mengawasi Ayu dengan matanya sambil menikmati makanan yang ada di hadapannya
satu per satu.
Ayu tersenyum sambil menekan
tombol power yang ada di laptop Nanda. “Aku boleh akses laptop ini?”
“Mau ngapain, Ay?” tanya Nanda
sambil memperhatikan Ayu lewat sofa yang tak jauh dari meja kerjanya.
“Mau lihat-lihat aja. Setahu
aku, istri sah boleh dapet akses ke perusahaan suami kalau dia yang punya
perusahaan itu. Mmh, kepemilikan perusahaan ini udah punya kamu atau punya Oom
Andre?” tanya Ayu balik sambil menatap layar laptop Nanda yang sudah menyala
dan ia harus memasukkan pasword untuk mendapat akses semua aktivitas di laptop
suaminya itu.
“Masih punya papa,” jawab
Nanda.
“Oh.” Ayu manggut-manggut.
“Kalau gitu, aku minta akses sama Oom Andre aja. Lebih mudah daripada minta
sama kamu.”
“Jangan dikit-dikit bawa papa,
dong!” pinta Nanda sambil menatap wajah Ayu.
“Nggak. Aku nggak akan bawa Oom
Andre kalau kamu bisa kelarin urusan kita tanpa membuatku menyerang orang
tuamu,” sahut Ayu sambil tersenyum manis.
Nanda menghela napas. “Kamu mau
apa?”
“Pasword laptop kamu,” jawab
Ayu sambil tersenyum manis.
“Ultahku,” jawab Nanda.
Ayu manggut-manggut. “Basicly
banget,” celetuknya sambil memasukkan pasword ke laptop Nanda dan langsung
membuka akses perusahaan tersebut.
Nanda menghela napas. Ia
meletakkan makanan yang ada di tangannya dan bangkit dari sofa.
“Habisin makannya! Jangan
menyinggungku karena aku bisa membuatmu kahilangan semua yang kamu miliki dalam
sekejap,” pinta Ayu.
Nanda kembali menjatuhkan
pantatnya ke sofa dan menyuapkan makanan ke mulutnya dengan cepat sambil
menahan kesal di dalam dadanya. Memiliki istri yang terlalu cerdas, memang
sangat berbahaya. Harusnya, ia tidak menikahi wanita seperti ini karena akan
membuatnya tidak bisa berkutik ketika seorang istri ikut campur dalam urusan
bisnis.
“Selain Arlita, siapa lagi perempuan
yang kamu hidupi di luar sana?” tanya Ayu sambil melirik Nanda.
“Bukan urusan kamu,” sahut
Nanda.
“Sekarang sudah jadi urusanku.
Semua yang ada di hidupmu akan berhubungan dengan masa depan anak kita. Satu
hal yang harus aku lakukan adalah menyelamatkan masa depan anakku. Waktumu untuk
bersenang-senang sudah habis sejak malam itu. Semua yang kamu miliki sebagai
bapak, akan diwariskan ke anakmu ini ‘kan?”
Nanda mengangguk.
“Termasuk wanita-wanita milikmu
itu?”
“Maksudmu?” Nanda langsung
menatap Ayu yang sedang memainkan laptopnya.
“Kalau kamu masih pelihara
wanita-wanita di luar sana, warisin juga ke anakmu!” jawab Ayu.
Nanda terdiam mendengar ucapan
Ayu. Ia mulai memikirkan ucapan istrinya itu. Ya, memiliki banyak wanita di
luar sana adalah kebanggaannya di usia muda. But, ada saatnya ia harus
mengakhiri semua itu. Hanya saja, ia tidak memiliki alasan yang tepat untuk
meninggalkan kesenangan-kesenangan itu.
“You wanna be a dad. Aku tidak
bisa menolak takdir kalau anak yang kulahirkan adalah keturunan darimu. Aku
wanita baik-baik, terlahir di keluarga yang baik, dididik dengan baik untuk
menjadi teladan yang baik juga untuk keturunan kamu. Kamu bukan hanya seorang
suami. Kamu adalah seorang ayah dan juga leader untuk keluarga kita. Apa kamu
berencana memberikan sepuluh Mom untuk anak kita?” tanya Ayu sambil menatap
layar laptopnya.
Nanda menghela napas sambil
menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Aku sudah bisa menyingkirkan
Arlita yang terus menggerogoti hartamu. Bersihkan perempuan-perempuan kecilmu
yang lain sebelum aku yang bertindak!” pinta Ayu.
“Kamu ...!? Diam-diam kamu
berbahaya, ya? Aku nggak nyangka kamu setega ini.”
“It’s your fault!” sahut Ayu.
“Kamu menghancurkan semua impianku dan kamu harus membayar semuanya!” tegasnya.
Nanda terdiam sambil memijat
keningnya yang berdenyut. Apa pun yang keluar dari mulutnya, semua akan menjadi
kesalahan di hadapan Ayu. Berdebat dengan dia, tidak akan pernah ada habisnya.
Tidak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk membuat Ayu tunduk terhadapnya dan berhenti
menyelidiki semua hal yang ia lakukan.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah menghargai
semua karya author!
Semoga, author bisa menjadi
sahabat setia bercerita dan memberikan hiburan yang baik untuk pembaca.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment