Arlita bergelayut manja di
lengan Nanda saat pria itu mengantarkannya pulang ke apartemennya. Tak peduli pria
itu sudah menikah dengan wanita lain. Asalkan kebutuhannya masih dipenuhi, ia
tidak akan melepaskan Nanda dengan mudah begitu saja.
“Nan, thank’s ya udah belanjain
aku hari ini!” Arlita tersenyum manis dan mengecup pipi Nanda. “Gimana kalau
malam ini kamu nginap di apartemen aja? Aku kangen sama kamu.”
“Nggak bisa kalau nginap, Lit. Ada
istriku di rumah. Kalo dia laporin aku ke papa dan mama, bisa habis hidupku.”
“Dia jahat banget, sih?”
“Dia nggak jahat, Lit.”
“Jahat. Dia udah rebut kamu
dari aku.”
“Bukan dia yang rebut. Aku yang
udah bikin dia hamil. Aku harus bertanggung jawab, Lit,” sahut Nanda.
“Kamu hamilin aku juga! Biar
kita bisa nikah juga, Nan.”
“Kamu mau jadi istri kedua?”
tanya Nanda.
Arlita menggeleng. “Aku mau
jadi satu-satunya buat kamu, Nan. Kapan kamu bercerai sama Ayu? Kayaknya,
akhir-akhir ini waktu jadi terasa lambat banget.”
“Aku harus dapatkan hak asuh anakku
saat aku ceraikan Ayu. Kamu jangan banyak tingkah, ya!” pinta Nanda. Ia
menyubit gemas hidung Arlita sambil tersenyum manis.
Arlita mengangguk sambil tersenyum
manis. “Aku pasti support kamu dan akan menerima anak itu seperti anakku
sendiri saat kita menikah nanti.”
Mereka melangkah keluar dari
lift dan langsung menuju nomor apartemen milik Nanda yang selama ini ditinggali
oleh Arlita.
Belum sampai ke pintu
apartemen, langkah mereka terhenti ketika melihat sosok wanita paruh baya
berdiri di sana.
Nanda buru-buru menepis tangan
Arlita dari tubuhnya dan berdiri tegang di sana.
“Ta-tante Nia?” Bibir Arlita bergetar
saat melihat wanita itu sudah berdiri di depan pintu apartemennya.
“Kamu beneran masih tinggal di
apartemen ini?” tanya Nia. “Kalian sudah putus ‘kan?”
Arlita langsung menoleh ke arah
Nanda.
“Kamu belum putusin Lita?” tanya
Nia.
“Ayu juga lagi jalan sama
Sonny, Ma,” jawab Nanda.
“Pertanyaan Mama bukan itu.”
“Ma, aku sama Ayu menikah bukan
karena kami saling mencintai,” tutur Nanda.
PLAK!
Telapak tangan Nia mendarat
keras di pipi Nanda.
Arlita terdiam melihat Nia
tiba-tiba menampar wajah Nanda. Ia benar-benat tidak tahu harus berbuat apa.
“Kalau belum nikah, kamu boleh
berhubungan sama perempuan mana aja. Tapi kamu sudah menikah. Harusnya kamu
menghargai pernikahan kamu. Kamu malah pelihara perempuan yang bisanya Cuma
morotin duitmu ini, hah!?” seru Nia penuh emosi.
Nanda terdiam sambil memegangi
pipinya yang memanas.
“Belanjaan ini semua, Nanda
yang bayarin ‘kan?” tanya Nia sambil menatap wajah Arlita.
Arlita mengangguk kecil sambil.
“Iya, Tante.”
“Kunci apartemen ini mana?”
tanya Nia sambil menengadahkan telapak tangannya.
“Ma, nggak harus kayak gini
‘kan?” tanya Nanda sambil menatap wajah mamanya.
“Dia bisa pakai apartemen ini
karena mama memang ingin membantu dia. Bukan memberikannya begitu saja. Apalagi
lihat kelakuannya kayak gini. Mama jadi nggak respect. Bisa-bisanya masih
morotin kamu. Pasahal dia tahu kalau kamu sudah beristri,” tutur Nia.
“Tante, aku tinggal di mana?”
tanya Arlita dengan mata berkaca-kaca.
Nia menghela napas. “Tante
kasih kamu waktu selama satu minggu untuk cari tempat tinggal. Semua yang
dimiliki Nanda, bukan milikmu!”
“Ma, kasihan Lita. Biarkan dia
tinggal di sini. Apartemen ini juga nggak dipakai. Aku udah kasih rumah besar
untuk Ayu. Dia nggak mempermasalahkan itu semua. Dia juga jalan sama Sonny, apa
salahnya aku jalan sama Lita. Kami pasangan yang sesungguhnya.”
“Ayu jalan sama Sonny bukan
untuk mesra-mesraan kayak kalian. Nggak tahu aturan! Kalau kamu masih seperti
ini, jangan harap bisa punya jabatan di perusahaan. Lebih baik kami pelihara
anak orang lain daripada anak sendiri yang tidak tahu diri!” sahut Nia.
Nanda gelagapan mendengar
ucapan mamanya.
“Mama kasih kamu waktu satu
minggu untuk selesaikan perempuan ini. Kamu tahu tuntutan dari keluarga Roro
nggak main-main supaya kamu nggak dipenjara karena perbuatanmu itu. Papamu
sudah menandatangi perjanjian sebelum kamu menikahi Roro Ayu. Kalau sampai Roro
Ayu dan kamu bercerai, semua harta keluarga kita jadi taruhannya. Pikirkan itu,
Nan! Apa susahnya memperlakukan dia sebagai istri dengan baik? Kamu tinggalkan
perempuan ini atau jadi gembel? Pilihlah!” tegas Nia sambil melangkah pergi
meninggalkan Nanda dan Arlita.
“Ma ...!” Nanda berusaha
mengejar langkah mamanya, tapi Arlita menahannya.
“Nan, aku gimana?” tanya Arlita
sambil menggigit bibir bawahnya.
“Lepasin, Lit! Aku selesaikan
urusanku dengan Mama dulu. Kamu jangan ganggu aku dulu! Oke?”
Arlita terdiam dan melepaskan
lengan Nanda perlahan. Ia menatap punggung Nanda yang menghilang di balik pintu
lift yang ada di apartemen tersebut. Ia sudah terbiasa mendapatkan semua
fasilitas dari Nanda tanpa harus bekerja. Jika semuanya diambil, dia tidak akan
bisa hidup enak lagi. Gajinya sebagai SPG, tidak akan bisa mencukupi gaya
hidupnya yang mewah karena fasilitas dari sang pacar.
“Sialan kamu, Yu! Kalau bukan
karena ulahmu, aku nggak akan kehilangan Nanda. Aku nggak akan biarkan kamu
ambil semua yang seharusnya jadi milikku!” ucap Arlita kesal sambil
mengentakkan kakinya.
Sementara itu, Nia terus
melangkah keluar dari apartemen itu dan masuk ke dalam mobil. Ia segera menuju
ke Jamoo Restaurant karena sudah ada janji untuk bertemu dengan seseorang di
sana. Perasaannya sangat tak karuan melihat puteranya bermain api dan membuat
perusahaan keluarga mereka nyaris jatuh ke tangan keluarga bangsawan yang telah
direnggut harga dirinya oleh sang anak.
Beberapa menit kemudian, Nia
sudah masuk ke dalam Jaamo Restaurant dan menghampiri seseorang yang sudah
menunggunya di sana.
“Hai ...!” sapa Nia sambil
menghampiri wanita paruh baya yang sedang sibuk dengan tabletnya.
“Hei ...!” balas wanita paruh
baya itu sambil bangkit dari sofa dan menyambut kedatangan Nia dengan hangat.
“Gimana kabarmu, Yun? Aku
dengar, kamu tinggal di Amrik, ya?” tanya Nia.
“Nggak. Cuma temenin suami
berobat di sana. Yah, bolak-balik Washington-Indonesia,” jawab Yuna sambil
menatap wajah Nia.
Nia tersenyum manis dan duduk
di sofa yang ada di sana. “Yeriko sudah sembuh?”
“Baru aja menyelesaikan
pemasangan jantung mekanisnya. Suami yang punya penyakit jantung, aku yang
jantungan terus setiap kali dia operasi. Takut nggak bangun lagi. Andre apa
kabar?”
“Baik,” jawab Nia sambil
tersenyum. “Kamu udah pesen makanan?”
“Belum. Masih nunggu kamu.”
Nia dan Yuna langsung memesan
beberapa makanan untuk mereka.
“Aku denger anakmu sudah nikah.
Kenapa nggak undang aku?” tanya Yuna.
“Nikah dadakan, Yun. Nggak
sempat undang orang banyak. Acara keluarga aja,” jawab Nia.
“Aku juga dulu nikah dadakan,
hahaha. Setelah itu, kayaknya banyak yang nikah dadakan. Anakku juga ikut
begitu, hahaha. Sumpah, takdir hidup selalu bikin ngakak,” tutur Yuna sambil
terus tertawa.
Nia ikut tertawa mendengar
ucapan Yuna. “Iya, sih. Sekarang emang udah trend nikah dadakan kayak gitu.
Nggak nyangka kalau anakku sastu-satunya juga bakal begitu.”
“Bukannya mau tunangan? Kenapa
tiba-tiba nikah tanpa persiapan?” tanya Yuna penasaran.
“Dia nikah bukan sama calon
tunangannya,” jawab Nia berbisik.
“Oh ya? Kok, bisa?” tanya Yuna
lagi.
“Dia hamilin perempuan lain,”
jawab Nia berbisik.
“HAHAHA.” Yuna tergelak
mendengar ucapan Nia. “Sekarang udah biasa ‘kan? Mana ada anak muda zaman
sekarang yang masih virgin?”
“Itu perempuan masih virgin,
Yun. Dan polos banget, gitu. Dia nggak ngerti ada pil KB, alat kontrasepsi dan
sejenisnya biar dia nggak hamil? Heran, deh. Masih ada aja cewek sepolos itu.
Mana anakku itu burungnya nggak bisa diatur. Bikin malu keluarga aja,” jawab
Nia sambil menatap serius ke arah Yuna.
“Hahaha.” Yuna tergelak
mendengar cerita dari Nia.
“Lebih parahnya lagi, yang dia
hamilin itu cucunya keluarga bangsawan, Yun. Masih cucunya Sri Susuhunan
Pakubuwana. Aku mau gila sama anakku itu, Yun. Dari dulu, nakalnya minta ampun.
Dosa apa aku sampe melahirkan anak begitu,” tutur Nia sambil memukul-mukul meja
dan kepalanya bergantian.
“Hahaha. Andre untung dong dapet mantu cucunya Sultan?
Tapi mereka yang sial dapet anak kalian. Hahaha.” Yuna semakin tergelak.
“Iih ... kamu ini emang nggak
berubah, ya? Paling demen lihat temen susah!?” dengus Nia.
“Jarang-jarang aku lihat temen
susah, Nia. Eh, Andre mana? Nggak ke sini? Aku nggak lama loh di kota ini. Dia
nggak nyempetin waktu buat temui aku?” tanya Yuna sambil menahan tawa.
“Sibuk di kantor katanya,”
jawab Nia.
“Huh, gaya banget! Dulu aja
ngejar-ngejar aku terus sampai mantan tunangannya dia itu bunuh anakku.
Sekarang, sok cuek! Kalian nggak ingat jasaku yang udah comblangin kalian,
hah!? Aku dilupain gitu aja.”
“Jangan ngomong gitu, dong! Ini
aku ajak kamu ketemuan karena masih ingat sama jasa kamu,” tutur Nia sambil
menyentuh lengan Yuna.
Yuna tertawa kecil.
“Yun, kasih aku saran dong
gimana caranya nyingkirkan cewek yang ganggu rumah tangga anakku? Roro Ayu yang
keturunan bangsawan itu bener-bener berbahaya, Yun. Aku sampe pusing
ngurusinnya. Andre sampe lepas tangan gitu loh sama rumah tangga anak kami.
Kalau sampai keluarga Roro Ayu tahu anakku itu masih punya pacar, bisa habis
harta keluargaku, Yun.”
“Kok, bisa?”
Nia langsung menceritakan semua
surat perjanjian antara keluarga Sri Susuhunan Keraton Surakarta dan
keluarganya karena perbuatan Nanda yang melanggar norma. Pasal yang membuatnya
sangat berat adalah pasal tentang larangan perpisahan di pernikahan mereka.
Jika salah satunya melakukan gugatan cerai, maka seluruh harta keluarga
Perdanakusuma akan dihibahkan ke keluarga Keraton Surakarta. Hubungan Nanda dan
Roro yang tidak harmonis, membuatnya sangat khawatir.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah jadi sahabat
setia bercerita!
Dukung terus biar author makin
semangat nulisnya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi