BAB 9 – MEMBANGUN HUBUNGAN
“Ro,
kenapa kamu nggak ngomong ke aku kalau kamu pergi ngisi pentas di acara ulang
tahun kota?” tanya Nanda begitu ia sudah masuk ke dalam rumah bersama Ayu.
“Kamu
juga nggak bilang kalau bawa Arlita ke pesta itu,” sahut Ayu sambil melangkah
santai menaiki anak tangga rumahnya.
“Nggak
usah mengalihkan pembicaraan, Ay! Aku lagi bicarain kamu!” Nanda mengejar
langkah Ayu sambil menahan kesal.
“Bukan
kamu, tapi kita!” sahut Ayu.
Nanda
menghela napas kesal. “Aku udah rela ninggalin Arlita dan nungguin kamu sampai
selesai nari. Kamu malah kayak gini? Dengerin aku, Ay!”
“Aku
denger, Nan. Kamu juga harusnya bisa dengerin aku. Aku ini perempuan, Nan.
Istri sah kamu. Meski kita menikah tanpa cinta, tolong hargai pernikahan ini!
Aku capek ya setiap hari lihat kamu jalan sama Arlita. Giliran aku deket sama
cowok lain, kamu misuh-misuh nggak jelas kayak gini,” sahut Ayu sambil masuk ke
dalam kamarnya.
“Aku
ini laki-laki, Ay. Mau deket sama perempuan mana pun, nggak akan jadi masalah.
Tapi kamu ... kamu ini perempuan. Pakai pakaian seksi dan nari mesra sama
laki-laki di depan umum, nggak malu?” tanya Nanda sambil menatap tubuh Ay yang
sedang duduk di depan meja rias.
Ayu
menarik napas dalam-dalam. “Kamu sendiri, nggak malu jalan sama cewek lain
sementara kamu sudah beristri?”
“Nggak
usah mengalihkan pembicaraan, Ay! Aku tanya ke kamu!” sahut Nanda kesal. “Aku
heran, kenapa aku bisa punya istri pembangkang kayak kamu! Apa yang aku lakuin
di luar sana, nggak seharusnya kamu cari tahu. Cukup berdiam diri di rumah dan
jadi istri yang berbakti! Nggak perlu keluyuran di luar sana apalagi tampil di
depan umum cuma pake kemben dan jarik doang!”
“Nggak
usah kuno, Nan! Apa sih bedanya sama Arlita yang pakai bikini di pantai atau di
kolam renang? Lebih seksi dari aku. Kamu pernah marahin dia karena pakaiannya
yang terlalu seksi itu? Kamu malah suka ‘kan?” tanya Ayu sambil menatap serius
ke arah Nanda.
“Kamu
...!?” Nanda gelagapan mendengar ucapan dari Ayu.
“Nan,
aku capek berantem sama kamu setiap hari. Kalau kamu nggak suka sama pernikahan
ini dan ingin menikahi Arlita, kamu ceraikan aku aja!” pinta Ayu sambil
membersihkan sisa make-up di wajahnya.
“Kamu
minta kayak gitu supaya kamu bisa deket sama laki-laki itu?” tanya Nanda.
“Laki-laki
mana? Nggak usah ngada-ngada, Nan! Dari awal yang salah itu kamu! Kenapa kamu
buat seolah-olah aku adalah kesalahan utama dalam hubungan pernikahan yang
tidak pernah bahagia ini!” sahut Ayu kesal. Ia bangkit dari kursi sambil
menyambar tas tangannya dan melangkah pergi.
“Kamu
mau pergi ke mana lagi?”
“Mau
pulang ke rumah orang tuaku! Aku nggak betah berlama-lama tinggal di rumah
kayak neraka ini!” sahut Ayu ketus.
Nanda
buru-buru berlari ke arah pintu dan menghadang Ayu agar tidak keluar dari kamar
tersebut. “Jangan bikin masalah baru, Ay! Papa Andre bisa marah sama aku kalau
kamu pergi dari sini.”
“Bodo
amat! Mau Papa Andre, Papa Sule atau Papa apa pun itu, aku udah nggak peduli.
Kamu bisa balik sama Arlita meski kita sudah menikah. Kenapa aku nggak bisa
memutuskan hidupku sendiri dan balik ke Sonny? Jelas-jelas dia jauh lebih baik
dari kamu!”
Nanda
menatap wajah Ay sambil mengepalkan tangannya erat-erat. Emosinya selalu tak
terkendali setiap kali berhadapan dengan wanita ini. Ia sendiri, tidak tahu apa
yang terjadi dengan hatinya hingga membuat pikirannya menjadi sekacau ini.
“Nan,
aku udah merelakan semuanya demi menerimamu menjadi suamiku. Kamu tahu, sejak
dulu aku cinta sama Sonny. He is my future, Nan! Dan kamu yang menghancurkan
semuanya!” Ayu menurunkan nada bicaranya dengan mata berkaca-kaca.
“Aku
nggak tahu aku salah apa di masa lalu sampai Tuhan tega menghukumku seperti
ini,” ucap Ayu sambil menitikan air mata. “Satu hal yang paling aku sesali
dalam hidupku saat ini adalah mengenalmu, Nan. Kamu adalah satu-satunya pria
yang tidak pernah menghargai keberadaanku. Bahkan kamu akan tetap melihatku
hanya sebagai sampah meski aku memberikan
nyawaku sekalipun untuk kamu.”
DEG!
Nanda
terdiam sambil menatap mata Ayu yang terus meneteskan air mata. Saat masih SMA,
Ayu memang hampir mati karena menolongnya. Bahkan wanita ini sering terluka
karena menjadi target utama musuh-musuh Nanda saat itu. Karena tidak ingin
melukai wanita ini, ia memilih untuk membencinya dan menjauhkan Ayu dari
kehidupannya yang keras di luar sana. Menjadi ketua genk yang kerap tawuran
saat masih sekolah, ia selalu saja mendapatkan banyak kesulitan. Dan sialnya,
Ayu selalu datang tiba-tiba di tengah konflik dan ikut menjadi korban.
“Nan,
aku sudah berusaha menjadi istri yang baik meski aku tidak mencintaimu. Demi
orang tua, aku berusaha untuk berbakti dan berharap kita bisa menjalani rumah
tangga yang bahagia. Sudah hampir tiga bulan, kenyataannya kita malah selalu
perang dingin atau perang mulut. Aku sudah lelah seperti ini terus, Nan. Kalau
memang kamu tidak menginginkan anak ini, aku bisa merawatnya sendiri. Saat ini
aku tidak menginginkan apa pun selain kedamaian.”
Nanda
menghela napas sambil menundukkan kepalanya. “I’m sorry, Ay ...! Aku akan
berusaha menjadi pria yang bertanggung jawab terhadapmu. Dia anakku dan dia
harus bersamaku!”
“Kamu
nggak pernah menginginkan anak ini, Nan. Begitu juga denganku. Impianku adalah
menikah dan punya anak dari Sonny. Bukan dari pria bajingan sepertimu. Apa yang
harus kuceritakan pada anak ini di masa depan? Haruskah aku bilang sama dia
kalau ayahnya tidak pernah menginginkan kehadiran dia dan selalu pergi bersama
wanita lain untuk menyenangkan diri sendiri?” tanya Ayu lirih sambil berlinang
air mata.
Nanda
menggelengkan kepalanya. “Nggak, Ay! Kamu nggak boleh lakukan itu! Dia anakku
dan aku akan bertanggung jawab.”
“Dengan
cara apa? Menikahiku saja tidak cukup, Nan.”
“Aku
akan menafkahi kalian berdua.”
“Yang
aku permasalahkan bukan soal finansial. Aku bukan wanita yang hidupnya
bergantung sama pria seperti pacarmu itu. Meski tidak menikah denganmu, aku
masih bisa menghidupi keluargaku sendiri. Aku juga bukan wanita yang tidak
punya prestasi. Asal aku bilang ke Sonny kalau aku tidak bahagia hidup
denganmu, maka dia akan senang hati menerimaku kembali,” tutur Ayu lirih.
“STOP,
AY ...!” seru Nanda sambil mencambak rambutnya sendiri.
Ayu
menyeringai kecil menatap Nanda yang semakin kacau dan tidak bisa ia mengerti
keinginannya.
“Jangan
sebut Sonny atau siapa pun yang statusnya selalu jauh lebih baik di matamu!”
pinta Nanda. “Aku nggak tahu kenapa Tuhan ngasih wanita baik-baik untuk pria
bajingan sepertiku. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan.” Ia berbalik dan
menyandarkan keningnya di pintu. Ia terus memukul-mukulkan kening ke daun pintu
beberapa kali.
“Yang
harus kamu lakukan saat ini adalah bersyukur, Nan! Hargai pernikahan ini dan
aku akan menghargaimu sebagai suamiku. Bagaimana kamu memperlakukanku, begitu
juga aku akan memperlakukanmu,” tutur Ayu sambil mengusap sisa air matanya dan
menatap punggung Nanda.
Nanda
langsung membalikkan tubuhnya menatap Ayu. Ia melangkah perlahan mendekati
wanita itu. Mengikis jarak di antara mereka yang selama ini saling menyakiti
tanpa mereka sadari.
“Ay,
aku sudah salah?” tanya Nanda sambil menyentuh lembut pipi Ayu.
Ayu
menarik sisa cairan hidungnya sambil menahan perih di matanya. Ia sendiri tidak
tahu jelas apa yang sebenarnya dia inginkan. Ia hanya ingin ... bisa menjalani
rumah tangganya dengan baik dan melepaskan masa lalunya. Sebab takdir telah
menentukan bahwa hidupnya akan seperti ini. Ia tidak bisa meminta untuk
kembali, hanya bisa menikmati.
Nanda
mendekatkan bibirnya perlahan ke bibir Ayu. Entah mengapa hatinya sangat
menginginkannya. Rasa vanila yang manis di bibir Ayu, membuatnya tidak bisa
menahan diri untuk menikmatinya dan terus mengulum bibir itu tanpa meminta
persetujuan dari Ayu.
Ayu
menelan salivanya dengan susah payah ketika Nanda mengulum lembut bibirnya. Ia
tidak bisa menolak perlakuan lembut dari Nanda dan mulai menikmati ciuman dari
pria itu. Bahkan, ia malah membalasnya dan membuat Nanda menginginkan hal yang
lebih dari sekedar berciuman. Ini pertama kalinya ia sangat menikmati setiap
sentuhan yang dihadirkan Nanda di seluruh tubuhnya. Setelah tiga bulan menikah,
ini pertama kalinya ia bisa melayani suaminya di ranjang dengan perasaan ikhlas
dan bahagia.
...
Keesokan
harinya, Ayu menyiapkan sarapan pagi seperti biasa. Dan ini pertama kalinya
Nanda mau duduk di meja makan setelah mereka tinggal bersama. Biasanya, Nanda
pergi begitu saja tanpa mau melihat meja makan, apalagi menyentuh makanan yang
sudah ia siapkan.
“Nan,
aku nggak pernah tahu apa makanan kesukaanmu. Aku cuma bisa siapin ini untukmu
pagi ini. Kamu bisa bilang ke aku, apa yang ingin kamu makan dan aku akan
menyiapkannya untukmu,” tutur Ayu sambil tersenyum menatap Nanda.
Nanda
tersenyum menatap nasi goreng yang ada di hadapannya. “Nevermind. Aku juga
biasa sarapan seperti ini waktu masih kecil.” Ia langsung menyendok nasi goreng
tersebut dan memasukkan ke dalam mulutnya.
“Gimana?
Enak?” tanya Ayu hati-hati.
Nanda
mengangguk kecil dan menahan rasa pedas di mulutnya yang semakin menyiksa. Ia
akhirnya mengeluarkan napas dengan kasar dari dalam mulut begitu ia berhasil
menelan nasi goreng buatan Ayu. Ia buru-buru mengambil air putih di hadapannya
dan menenggak habis dalam sekejap.
“Nan,
kamu nggak suka pedas?” tanya Ayu khawatir sambil menyodorkan gelas air minum
miliknya.
“Suka.
Tapi nggak sepedas ini, Ay,” jawab Nanda sambil mengusap mulutnya dengan tisu.
“Emangnya
pedes banget, ya?” tanya Ayu sambil mencicipi nasi goreng buatannya sendiri dan
ia merasa kalau tidak pedas sama sekali.
“Pedes
banget, Ay! Kamu ini makan makanan terlalu pedas seperti ini. Apa maksudnya?
Nggak sayang sama bayi yang ada di perutmu?” Nanda menatap wajah Ayu sambil
mengipas mulut menggunakan telapak tangannya. Meski sudah minum dua gelas air,
rasa pedas di mulutnya tak kunjung hilang.
“Aku
ngerasa ini nggak pedas, Nan. Kalau kamu nggak tahan, aku akan buatkan makanan
baru untukmu. Sorry banget! Aku pikir, kamu suka pedas.” Ayu bangkit dari
kursinya.
Nanda
menyambar pergelangan tangan Ayu. Membuat Ayu mengurungkan niatnya untuk
bangkit dan membuat wajahnya dan wajah Nanda saling bertemu.
“Nan,
kamu ...!?”Ayu menatap mata Nanda yang hanya berjarak sekitar lima sentimeter
dari matanya dan membuat wajah mereka saling menempel.
“Nggak
perlu siapin makanan baru untukku! Ini saja,” pinta Nanda sambil mengulum
lembut bibir Ayu dan menghisapnya semakin dalam.
Ayu
langsung membalas ciuman dari Nanda. Seluruh tubuhnya tiba-tiba menegang,
dadanya mengencang dan bagian inti tubuhnya minta diperlakukan lebih. Pagi-pagi
seperti ini, Nanda sudah berhasil membangkitkan gairahnya. Parahnya lagi, ia
menjadi mudah terpancing hasratnya dan tidak bisa menahan diri. Mungkinkah
hormon kehamilan memengaruhi perasaannya seperti yang sering ia baca di
artikel-artikel tentang dunia kehamilan.
Nanda
tersenyum saat mendapati tubuh Ayu menggeliat karena sentuhan darinya. Ia
langsung menaikkan Ayu ke pangkuannya, menghadap ke arahnya dan semakin
bersemangat menghisap bibir dan leher istrinya itu. Kedua tangannya bergerak
liar di belakang pinggang Ayu dan meremas dua gundukan empuk di bawahnya.
“Mmh
... Nan, aku ... mmh ...” Ayu menggigit bibir bawahnya. Menahan desahan ketika
bibir Nanda mulai bermain di dadanya. Jemari tangannya mencengkeram erat
punggung Nanda, menahan hasrat yang sudah memuncak di kepalanya.
Nanda
semakin tersenyum puas tubuh Ayu semakin gemetar. “Nggak perlu ditahan. Kita
sudah sah dan bebas melakukannya kapan saja,” bisiknya di telinga Ayu.
Ayu
tersenyum kecil sambil menyembunyikan wajahnya yang menghangat. Jika Nanda
terus seperti ini, ia pasti menginginkannya diperlakukan lebih.
Nanda
menggoyangkan tubuhnya. Menekan tubuh Ayu ke atas senjata andalannya yang kini
sudah berada dalam siap tempur. “Aku sudah on. Do something for me!” pintanya.
“Nan,
aku nggak berpengalaman soal begini. Aku ...” Ay menatap bagian bawah tubuh
Nanda sambil meremas jemari tangannya sendiri. Ia tidak tahu, apa yang harus ia
lakukan terlebih dahulu.
Nanda
tersenyum. Ia menarik salah satu tangan Ay dan memasukkan ke dalam celananya.
“Pegang ini! Tarik keluar perlahan dan masukkan ke itumu!” pintanya.
Ayu
melebarkan kelopak matanya. Ia mengerjapkan mata dan berusaha mengembalikan
kesadaran dari sikap liar yang tiba-tiba saja muncul tanpa ia sadari.
“Nggak
usah malu-malu! Ini bagian dari kebutuhan dan rutinitas kita,” pinta Nanda
lagi.
“Mmh
... kamu mau pergi ke kantor ‘kan?”
“Kantor
gampang untuk diurus. Selesaikan dulu urusan ini! Pusing kalau sudah on gini
dan nggak diservis dengan baik,” sahut Nanda.
“Beneran
pusing?”
“Iya.
Pusing atas bawah, Ay! Do it!” pintanya.
“Ini
... langsung masukin aja?” tanya Ayu polos.
Nanda
tertawa kecil. “Kamu memang belum cocok jadi istri yang baik! Harus lebih
banyak belajar lagi!” Ia menggeser piring dan gelas yang ada di hadapannya dan
mendudukkan Ayu ke atas meja. Dengan cepat, tangannya menaikkan daster yang
dikenakan istrinya itu dan melepaskan CD yang dikenakannya. Ia juga segera
menurunkan celana yang ia kenakan dan memainkan inti tubuhnya terlebih dahulu
ke pintu masuk inti tubuh Ayu sebelum ia benar-benar menyatukan diri dengan
wanita itu. Ia mengajari Ayu perlahan untuk mendapatkan kesenangannya dan
menikmati pagi yang hangat di atas meja makan.
“Aach
...! Thank’s, Ay ...!” ucap Nanda saat ia berhasil melakukan pelepasan dengan
sempurna di dalam inti tubuh Ayu. Ia merasa, paginya kali ini benar-benar luar
biasa karena Ayu bisa dengan cepat mempelajari setiap gerakan yang ia ajarkan
dan membuat ia sangat puas.
Ayu
mengangguk. Ia meraih CD yang tergeletak di lantai dan buru-buru berlari ke
kamar mandi. “Aku bersihkan tubuhku dulu!”
“Bersihkan
dengan baik sampai harum! Nanti malam, aku akan ajari kamu gaya baru yang nggak
kalah nikmat. Aku akan pulang kerja lebih cepat. Oke?” seru Nanda sambil
membersihkan alat vitalnya menggunakan tisu dan mengenakan kembali celana
miliknya karena ia harus secepatnya pergi ke perusahaan.
“He-em.
Nanti malam aku ada janji sama temen-temen sanggar untuk perpisahan. Kamu bisa
temani aku ke sana?” tanya Ayu.
Nanda
mengangguk sambil tersenyum manis. “Aku akan temani kamu. Aku buru-buru harus
ke kantor. Besok pagi, buatkan aku nasi goreng lagi! Tapi jangan sepedas ini
karena bisa bikin aku minta menu yang lebih enak dari makanan. Apalagi, adik
kecilku ini semakin nakal setiap kali bertemu denganmu.”
Ayu
tertawa kecil sambil menatap bagian bawah tubuh Nanda. Ia mempercepat
langkahnya menaiki anak tangga untuk membersihkan diri.
Nanda
tersenyum puas dan segera melenggang santai keluar dari rumahnya. Ia merasa,
hidupnya lebih baik seperti ini. Bisa bersenang-senang dengan istrinya kapan
saja ia mau tanpa khawatir dengan apa pun. Meski Arlita pandai menemaninya
bersenang-senang di luar sana, tapi ia sama sekali tidak memiliki keinginan
untuk melakukan hal lebih terhadap wanita itu. Hanya ingin membawanya pergi ke
tempat-tempat mewah untuk menutupi rasa gengsinya sendiri. Ia tidak mungkin
pergi ke perjamuan atau klub malam tanpa wanita cantik di sisinya. Baginya, Ayu
masih terlalu cupu dan kuno untuk ia ajak keluar. Lebih nyaman jika istrinya
itu disimpan di rumah dan hanya menjadi miliknya seorang.
...
Sesuai
dengan janjinya, Ayu akhirnya mengajak Nanda untuk pergi ke perjamuan
perpisahan yang dilaksanakan di sanggar tempat Ayu selama ini berlatih
kesenian.
“Roro
Ayu ..! How are you?” seru Nadine sambil berlari ke arah Ayu dan memeluk tubuh
wanita itu.
“Nadine?
Kamu lagi di Surabaya? Bukannya kamu tugas di Semarang, ya?” tanya Ayu sambil
menatap wajah Nadine.
“Iya.
Aku dengar kamu mau melakukan perpisahan
karena sudah menikah dan suamimu tidak mengizinkan kamu menari lagi, ya?
Sayang banget, sih? Harusnya tetep nari, dong! Ntar siapa yang jadi partner
Tari Merak kalau kamu nggak ada?” cerocos Nadine.
“Iih
... gaya banget! Padahal kamu juga udah jarang nari sejak jadi dokter.”
“Hahaha.
Pasienku banyak! Sulit bagi waktu. Eh, duduk, yuk!” ajak Nadine.
Ayu
mengangguk. Ia merangkul lengan Nanda dan membawa suaminya itu bergabung dengan
teman-teman sanggar latihannya.
“Selamat
malam semuanya ...!” sapa Ayu sambil tersenyum manis. “Kenalin, ini suamiku. Namanya Mas N anda.”
“Salam
kenal semua!” sapa Nanda sambil tersenyum manis.
Semua
orang saling pandang.
“Mbak
Roro beneran sudah menikah?” tanya salah seorang remaja yang ada di sana.
Ayu
mengangguk sambil tersenyum.
“Yu,
bukannya kamu tunangan sama Dokter Sonny?” bisik Nadine. “Kenapa kamu malah nikah sama cowok lain?”
“Ceritanya
panjang, Nad. Ntar aku ceritain ke kamu kalau kamu ada waktu untuk mendengarkan
ceritaku, Dokter Nadine yang super sibuk,” jawab Ayu berbisik.
Nadine
tertawa kecil. “Oke. Aku akan luangkan waktuku untuk mendengarkan ceritamu,”
balasnya berbisik.
“Hari
ini Mbak Roro Ayu datang ke sini dan mengajak makan malam karena ingin
merayakan hari perpisahan untuk kita semua. Setelah hari ini, Mbak Roro Ayu
tidak akan bergabung dengan sanggar kita karena beliau sudah berkeluarga dan
akan segera punya anak. Kesibukan baru beliau, tidak bisa membuatnya terus
berpartisipasi di sanggar ini. Mohon kalian bisa mengerti dan mendoakan Mbak
Roro Ayu supaya sehat wal afiat. Menjadi keluarga yang bahagia, harmonis dan
langgeng sampai kakek-nenek.” Enggar mengambil alih pembicaraan.
“Yah,
makan malam ini untuk perpisahan dengan Mbak Roro Ayu? Kalau tahu seperti ini,
aku tidak akan datang,” celetuk salah seorang remaja yang ada di sana.
Ayu
tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. “Kalau kalian rindu, rumah kami akan
selalu terbuka untuk kalian!”
“Kenapa
harus berhenti di sanggar, sih? Suaminya jahat banget?” celetuk remaja yang
lain lagi.
Nanda
langsung menoleh ke arah remaja tadi. Ia merasa tidak enak karena semua orang
tidak menginginkan Ayu berhenti. Namun, kehamilan istrinya itu memang membatasi
gerak-gerik Ayu dan ia tidak ingin terjadi hal buruk karena istrinya terlalu
banyak bergerak.
“Mbak
Roro Ayu lagi hamil muda. Nggak bisa leluasa untuk bergerak. Mohon pengertian
kalian!” ucap Nanda sambil menunduk sopan.
“Kalau
nggak bisa menari, bisa melatih kami ‘kan?” sahut seorang remaja lain.
“Iya,
bener. Kalau nggak ada Mbak Roro Ayu, kami gimana? Nggak seru!” ucap salah
seorang remaja sambil bangkit dari lantai dan melangkah pergi begitu saja.
Enggar
langsung menatap remaja yang telah lancang beranjak dari sana. “Prima kembali!”
perintahnya.
Remaja
yang dipanggil Prima itu tidak menghiraukan teriakan Enggar dan pergi begitu
saja dari aula gedung tempat mereka biasa berlatih kesenian.
Semua
yang ada di sana mulai pergi satu persatu menyusul Prima. Mereka memilih untuk
berkumpul di luar gedung. Membiarkan makanan yang sudah terhidang di sana
begitu saja. Tidak bersemangat untuk menyentuhnya karena mereka akan kehilangan
penari sekaligus pelatih mereka mulai hari ini.
“Biar
aku urus mereka dulu!” ucap Enggar sambil bangkit dan menyusul semua
putera-puteri didiknya.
Ayu
mengangguk.
“Aku
ikuti mas pelatih itu. Biar aku bantu memberi pengertian pada mereka!” bisik
Nanda di telinga Ayu dan ikut keluar dari sana.
Ayu
mengangguk sambil tersenyum. Ia menundukkan kepala sambil meremas jemari
tangannya. Hanya tersisa ia dan Nadine di ruangan tersebut.
“Eh,
suami kamu lumayan juga. Lebih ganteng dari Dokter Sonny. Dapet di mana?”
“Dia
sahabat baiknya Sonny,” jawab Ayu lirih sambil memejamkan matanya.
“WHAT!?”
Mata Nadine terbelalak mendengar ucapan Ayu.
“Semua
karena kecelakaan, Nad. Aku mengandung anak dari Nanda dan terpaksa harus
menikah sama dia.”
“Terus,
Dokter Sonny gimana? Pantesan akhir-akhir ini aku sering lihat dia murung, Ay.
Hubungan kalian separah ini? Aku nggak peka banget sampai nggak tahu
permasalahan Dokter Sonny. Dia terlihat ceria aja ngurus pasien anak-anaknya,”
tutur Nadine.
Ayu
menghela napas. “Dia bukan orang yang suka menunjukkan kesulitannya. Aku sudah
melukai dia dan nggak berani menghubungi dia sama sekali. Apa dia baik-baik
aja, Nad?”
“Kelihatannya
baik-baik saja secara fisik. Nggak tahu kalau hatinya,” jawab Nadine.
Ayu
mengerutkan wajahnya. “Nad, kalau ada kesempatan. Fotoin dia dan kirimin ke
aku, dong! Tapi jangan sampai dia tahu, ya!”
Nadine
menatap Ayu selama beberapa saat. “Kamu nggak bahagia sama pernikahan kamu,
Ay?”
Ayu
menghela napas. “Wanita mana yang bisa bahagia kalau menikah dengan pria yang
tidak mencintai dia? Tapi ... aku sedang berusaha memupuk hubungan kami agar
bisa bahagia. Aku sudah menikah, tidak bisa semudah berpacaran yang tinggal
bilang putus saat merasa tidak nyaman.”
“Yang
sabar, ya! Semoga suami kamu adalah pria yang terbaik untukmu, Ay. Semua orang
ingin menikah sekali saja dalam hidupnya dan aku harap, pria itu bisa
membahagiakanmu setiap hari,” ucap Nadine.
Ayu
mengangguk sambil tersenyum. “Kamu sendiri gimana? Hubunganmu dengan Enrocky
ada perkembangan?”
“Masih
gitu-gitu aja,” jawab Nadine sambil terkekeh geli. “Kemarin dia nembak aku, aku
tolak lagi, hihihi.”
“Aneh
banget, sih!? Kalau dia nembak kamu tolak. Giliran dia digosipin deket sama
cewek lain, kamunya uring-uringan. Kamu cinta atau nggak sama dia? Ada pria
yang begitu hebat bertahan mencintaimu, jangan disia-siakan!” pinta Ayu sambil
menatap wajah Nadine.
“Tenang
aja! Dia nggak akan berpaling dan macem-macem. Aku tinggal bilang ke papaku
supaya dia bikin perhitungan sama keluarga Hadikusuma karena anaknya berani
main-main sama aku. Lagian, cowok playboy kayak dia itu harus dikasih
pelajaran. Harus buktikan kalau dia cinta sama aku, baru aku terima. Ogah kalau
dipermainkan ke depannya,” tutur Nadine sambil tersenyum lebar.
Ayu tertawa
kecil. “Apa pun itu, aku akan bantu doa supaya kamu dan dia bisa bersatu.”
“Aamiin
...!” seru Nadine antusias. Ia dan Roro Ayu bercerita banyak hal tentang
hubungan asmara mereka akhir-akhir ini.
((Bersambung...))
DAFTAR BACAAN :
Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan
Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak
Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu
______________________
Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.
©Copyright www.rinmuna.com
0 komentar:
Post a Comment