BAB 8 – MULAI CEMBURU
Hari
ini adalah hari ulang tahun kota. Nanda sebagai pengusaha muda mendapat
undangan kehormatan untuk duduk di kursi VIP. Namun, ada hal yang aneh dan
berbeda. Dia bukan menggandeng Ayu sebagai partner, tapi Arlita yang terlihat
sangat cantik dan memesona dengan gaun malam dan pehiasan yang mahal. Tentunya,
semua itu disiapkan oleh Nanda, kekasihnya.
“Nan,
makasih ya! Kamu masih ajak aku ke perjamuan ini. Aku bahagia banget!” ucap
Arlita sambil menyandarkan kelapanya di pundak Nanda.
Nanda
tersenyum menanggapi ucapan Arlita. Baginya, lebih bahagia membawa Arlita
daripada harus pergi bersama istrinya. Sebab, rumah tangga mereka tidak pernah
harmonis dan ia enggan berdebat dengan istrinya. Toh, Ayu juga tidak akan tahu
kalau Nanda pergi ke perjamuan walikota bersama kekasihnya. Andai tahu,
istrinya itu tidak akan berani berbuat apa-apa.
“Baiklah
... saatnya kita memasuki acara ramah-tamah. Para undangan diperkenankan untuk
menikmati hidangan yang telah disediakan. Kami akan mempersembahkan sebuah
tarian romantis yang sangat terkenal di negeri ini. Tarian Rama-Shinta yang
akan dibawakan oleh saudara Enggar Prakasa Dierjaningrat dari keraton
kesultanan Jogjakarta dan Raden Roro Ayu Rizky Prameswari dari keraton
kesultanan Surakarta. Pasangan yang sangat serasi untuk menghibur semua
masyarakat yang ada di sini. Selamat menikmati ...!” seru Master of Ceremony
yang membawakan acara tersebut.
Nanda
langsung bangkit dari kursi begitu ia mendengar nama lengkap istrinya disebut
oleh MC. Matanya langsung tertuju ke atas panggung. Dan benar saja, Roro Ayu
muncul dari belakang panggung bersama seorang pria dengan pakaian dan riasan
khas Rama-Shinta.
“Nan,
Ayu lagi hamil muda ‘kan? Dia masih nari-nari gitu? Bukannya kamu bilang, dia
nggak pernah keluar rumah? Kenapa bisa ngisi acara di sini?” tanya Arlita yang
ikut berdiri di samping Nanda.
“Diam!”
sahut Nanda sambil terus memperhatikan tubuh Ayu yang begitu molek menari di
atas panggung bersama dengan seorang pria. Hatinya tiba-tiba memanas saat
keduanya terlihat sangat mesra. Terlebih, pria duetnya itu bertelanjang dada.
Selain tampan dan memukau, pria itu juga keturunan bangsawan, sama seperti
istrinya.
“Pasangan
dari keluarga bangsawan ini memang mengagumkan. Kalau mereka benar-benar
menikah, akan menghasilkan bibit keturunan yang bagus,” celetuk seorang pria
paruh baya yang duduk tak jauh dari
Nanda.
Nanda
langsung menyeringai dan melangkah pergi dari tempat tersebut. Ia sangat kesal
karena Ayu diam-diam masih melakukan tari-tarian tradisional di belakangnya dan
keluar dari rumah tanpa izin darinya.
“Nan,
mau ke mana?” tanya Arlita. Ia langsung mengejar langkah Nanda.
Nanda
terus melangkahkan kakinya menuju ke backstage.
“Maaf,
Mas ...! Selain tim kami, tidak ada yang boleh masuk ke dalam backstage.”
Seorang pria bertubuh tegap langsung menghadang langkah Nanda.
“Aku
mau ketemu istriku!” seru Nanda kesal.
“Istri?
Siapa?” tanya pria itu lagi.
“Roro
Ayu. Yang lagi nari di panggung itu,” jawab Nanda.
“Mbak
Roro sudah menikah?” tanya pria itu pada tim lainnya.
Orang
yang ditanya langsung menggelengkan kepala.
“Ini
ada orang yang ngaku-ngaku jadi suaminya,” tutur pria itu lagi.
Seorang
wanita langsung ikut menghampiri Nanda dan memperhatikan pria itu dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki. “Setahu aku Mbak Roro belum menikah. Lagipula,
tunangan dia ‘kan Dokter Sonny. Bukan orang ini.”
Nanda
gelagapan mendengar ucapan wanita itu. Pernikahan ia dan Roro Ayu memang dibuat
tertutup dan hanya dihadiri oleh keluarga saja. Tidak banyak yang mengetahui
tentang pernikahan mereka. Terlebih, teman-teman Roro Ayu yang tidak banyak ia
kenal.
Pri
yang ada di hadapan Nanda langsung tersenyum sinis. “Ada aja orang ngaku-ngaku
jadi suaminya. Ckckck. Silakan pergi dari sini, Mas!”
“Heh,
aku ini memang suaminya Ayu. Panggil dia ke sini kalau nggak percaya!” seru
Nanda saat suara alunan musik di panggung sudah hilang dan tarian yang
ditarikan istrinya itu sudah usai.
“Nggak
usah bikin kekacauan di sini! Kalau masih ngotot, kami akan laporkan Anda ke
pihak keamanan!” ancam pria yang ada di hadapan Nanda.
Nanda
melebarkan kelopak matanya saat manik mata itu menangkap bayangan tubuh Ayu
bersama Enggar yang baru saja turun dari panggung dan terlihat berbincang
intim. “RORO AYU ...!” teriaknya.
Ayu
menoleh sejenak ke arah Nanda dan Arlita yang juga ada di belakang pria itu,
kemudian mengalihkan pandangannya kembali dan berbincang dengan Enggar.
“Mbak
Roro, ada cowok di luar yang ngaku-ngaku sebagai suami Mbak Roro. Beneran
suaminya?” tanya salah seorang wanita yang mengenakan baju khas tim panitia
sambil menghampiri Ayu.
Ayu
menggeleng. “Aku nggak kenal. Mungkin cuma penggemar yang pura-pura.”
“Baiklah.
Biar saya urus!”
Ayu
mengangguk. “Makasih ...!” Ia langsung melangkah pergi ke meja rias. “Mbak,
tarian selanjutnya Cendrawasih, ya?” tanya Ayu pada tim make-up dan wardrobe.
“Iya,
Mbak Roro. Masih bisa istirahat, kok. Masih diselingi dua tarian lagi.”
“Oh.
Oke.” Ayu langsung duduk di kursi yang kosong dan beristirahat di sana bersama
Enggar.
Di
luar pintu, Nanda masih saja berusaha meminta panitia untuk mempertemukan ia
dan istrinya.
“Maaf,
Mas ...! Kata Mbak Roro, dia tidak kenal dengan sampeyan? Silakan pergi dari
sini!” tutur seorang tim panitia sambil menatap Nanda.
“Nggak
kenal?” Nanda melebarkan kelopak matanya. Amarah di dadanya semakin menjadi-jadi
begitu mendengar kalau Roro tidak mengakui keberadaan dirinya.
“Nan,
sudahlah. Nggak perlu kayak gini! Dia juga sengaja tidak mau mengakui dirimu.
Lebih baik, kita nikmati saja pesta ini,” pinta Arlita sambil merangkul lengan
Nanda.
Nanda
langsung menepiskan tangan Arlita dan mendorong pria yang menghalanginya.
“Mas,
jangan masuk ...!” teriak pria itu dan semua orang langsung tertuju pada Nanda
yang sedang berjalan cepat menghampiri Ayu.
“Ayu
...!” Nanda langsung menarik pergelangan tangan Ayu dan menyeret wanita itu
keluar dari sana.
Ayu
melebarkan kelopak matanya. Ia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan
Nanda. “Kamu siapa?”
“Kamu
nggak mau ngakui aku sebagai suamimu, hah!?” seru Nanda sambil menatap wajah
Ayu.
“Memangnya
kamu mau mengakui aku sebagai istrimu?” sahut Ayu tak mau kalah.
Nanda
menyeringai kesal dan kembali menyeret tangan Ayu dengan kasar.
“Mas,
jangan memperlakukan wanita dengan kasar seperti ini!” Enggar langsung
menghadang tubuh Nanda.
“Kamu
siapa? Ini urusan rumah tangga kami! Orang luar nggak usah ikut campur!” seru
Nanda kesal.
“Yang
kami tahu, Roro Ayu belum menikah,” tutur Enggar santai sambil menatap Nanda.
Nanda
langsung menatap wajah Ayu. “Bilang jujur ke mereka! Aku siapa kamu!?”
sentaknya.
Ayu
menarik napas perlahan sambil memejamkan mata melihat sikap Nanda yang selalu
saja berapi-api dalam menghadapi sesuatu. Ia benar-benar tidak menyangka jika
akan mendapatkans seorang suami yang kasar seperti ini.
“Kami
semua tahu siapa tunangannya Ayu. Ayu nggak mungkin punya suami yang bad
attitude kayak gini!” ucap Enggar sambil menatap Nanda.
“Dia
memang suamiku, Mas!” ucap Ayu lirih.
Enggar
menaikkan kedua alisnya. “Beneran suamimu?”
Ayu
mengangguk kecil sambil menggigit bibir bawahnya.
“Kapan
kamu nikah, Yu?” tanya Enggar lagi.
“Nggak
penting kapan kami nikah! Karena aku suaminya, aku berhak bawa istriku pulang!”
sahut Nanda sambil menarik lengan Ayu dan membawanya keluar dari backstage
tersebut.
Semua
mata langsung tertuju pada Nanda yang mengenakan setelan jas rapi berwarna biru
metalic dan Roro Ayu yang terlihat kontras dengan pakaian tradisional ala tokoh
Shinta dalam pewayangan Ramayana.
Nanda
langsung meminta Ayu masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Arlita begitu saja.
“Nan,
aku masih ada satu tarian lagi. Kamu mau bawa aku pergi dari sini?” tanya Ayu.
Nanda
menghela napas sambil menyalakan mesin mobilnya. “Kamu pergi nari nggak izin
sama suami? Nggak menghargai keberadaanku, Ay?”
“Aku
sudah bilang. Kamu yang gak pernah menghiraukan ucapanku karena sibuk sama
selingkuhan kamu terus,” sahut Ayu dingin.
“Arlita
itu bukan selingkuhan!” sahut Nanda.
“Apa
namanya kalau bukan selingkuhan? Kamu sudah beristri dan pacaran sama dia
juga?”
“Kamu
juga pacaran sama Sonny. Why?” sahut Nanda.
“Aku
sudah putus sama Sonny sejak aku nikah sama kamu. Tapi kamu ...? Setiap hari,
kamu masih aja jalan Arlita. Makan malam, clubing, sarapan bareng dia, makan
siang bareng dia. Bahkan kamu bawa dia ke setiap acara perjamuan? Yang istrimu
itu aku atau dia?” Sahut Ayu kesal.
Nanda
menarik napas dalam-dalam sambil menahan emosinya. “Kamu tahu, aku nggak pernah
cinta sama kamu dan nggak pernah menginginkan pernikahan ini terjadi!”
“Sama.
Aku juga! Aku nggak pernah menginginkan pernikahan ini. Punya suami brengsek
kayak kamu, malapetaka buat aku!” seru Ayu sambil berusaha membuka pintu mobil
dan keluar dari sana.
“Berani
keluar?” seru Nanda.
Ayu
menghela napas dan menghentikan gerakan tangannya. “Nan, mau kamu apa?” tanya
Ayu menurunkan nada suaranya.
Nanda
menghela napas sambil menatap dada Ayu yang terekspose di hadapannya karena
kostum tari yang dikenakan memang hanya kemben dan jarik saja. “Kamu pakai baju
kayak gini, buat narik laki-laki lain lagi?”
“Nggak
usah mengalihkan perhatian, Nan! Aku udah biasa menari tradisional sejak aku
masih kecil. Pakai pakaian begini juga udah biasa. Apa yang salah?”
“Kamu
nggak sadar kalau dada kamu ini ...” Nanda menarik ujung kemben Ayu dan melihat
pahanya yang terbuka. “Kamu ini terlalu seksi untuk tampil di atas panggung!”
“Bukannya
kamu suka cewek yang seksi? Arlita selalu berpakaian seksi setiap hari dan kamu
suka menikmatinya. Iya ‘kan?”
“Nggak
usah bawa-bawa Arlita!” sahut Nanda kesal. “Aku lagi ngomongin kamu, Ay!” Ia
menahan pening di kepalanya saat bagian inti tubuhnya tiba-tiba berkedut.
Melihat tubuh Ayu terekspose di depannya, ia benar-benar tidak bisa menahan
diri.
“Tiga
bulan ini aku diam bukan berarti aku nggak ngerasa sakit, Nan. Meski aku nggak
cinta sama kamu. Kamu tetep suamiku dan kamu nggak pernah menghargai
keberadaanku sebagai istri. Aku sudah coba jadi istri yang baik buat kamu dan
kamu nggak pernah lihat itu. Kalau kamu nggak cinta sama aku, kamu nggak perlu
marah-marah. Kita bisa hidup masing-masing dan tidak perlu saling mengatur. Kamu
juga nggak perlu cemburu kayak gini karena di antara kita nggak pernah saling
mencintai!” tutur Ayu sambil mendorong pintu mobil dan keluar dari sana.
“Cemburu?”
Nanda mengernyitkan dahi sambil menatap tubuh Ayu yang bergerak pergi
meninggalkan mobilnya. Ia menghela napas dan menyandarkan kepalanya ke kursi. “Apa
iya aku cemburu?”
Ayu
langsung melangkah kembali menuju ke backstage dan masuk ke ruang rias.
“Yu,
kamu balik? Suamimu marah?” tanya Enggar saat melihat Ayu kembali ke sana.
“Biarkan
saja! Dia terlalu kekanak-kanakkan,” jawab Ayu sambil melepas aksesoris yang
melekat di tubuhnya satu per satu.
“Gimana
ceritanya kamu nikah sama orang itu? Bukannya kamu tunangan sama Sonny?”
“Ceritanya
panjang, Mas. Nggak enak cerita di sini.”
“Setelah
selesaikan tarian terakhirmu, kita bicara di atas sana!” ajak Enggar sambil
menunjuk rooftop yang berada di gedung pemerintahan di atas sana.
Ayu
mengangguk. Ia segera mempersiapkan dirinya untuk menarikan tarian selanjutnya.
Setiap tahunnya, ia selalu menyumbang tarian untuk ulang tahun kota dan ulang
tahun negara dan ia harus bertanggung jawab. Baginya, menari tradisional adalah
bagian dari hobby untuk melepas penat setelah seharian bekerja. Terlebih
setelah ia resign, ia tidak punya kegiatan dan terus-menerus di dalam rumah
seorang diri terasa sangat membosankan.
***
“Minumlah
...!” Enggar menyodorkan satu cup capucino hangat ke hadapan Ayu. Saat ini,
mereka sudah berdiri di rooftop gedung yang mengarah ke panggung. Waktu sudah
menunjukkan jam sebelas malam dan suasana kota itu masih sangat ramai karena
panggung hiburan masih menyuguhkan beragam kesenian.
“Makasih,
Mas ...!” Ayu meraih cup tersebut dan memeluk dengan kedua telapak tangannya.
Melawan dingin malam yang masih menembus kulit meski ia sudah mengenakan
sweeter.
“Berceritalah!
Aku akan mendengarkanmu,” pinta Enggar.
Ayu
menghela napas. “Aku memang menikah diam-diam, Mas. Semua teman-teman tahu
kalau aku bertunangan dengan Dokter Sonny. Pasti akan menjadi pertanyaan besar
kenapa aku menikah dengan pria lain. Aku juga tidak menginginkan ini terjadi.”
Enggar
manggut-manggut seolah mengerti perasaan Ayu. “Banyak orang yang mengalami
kasus seperti ini. Mungkin, kamu dan Sonny tidak ditakdirkan berjodoh.”
Ayu
tersenyum kecut. “Aku masih sangat mencintai dia, Mas. Bagiku, Sonny adalah
pria impian. Aku menyukai dia sejak pertama masuk SMA. Hingga kami bertunangan,
Sonny tetaplah sosok pria baik, penyayang dan bertanggung jawab. Aku tidak tahu
telah melakukan dosa apa hingga takdir mempermainkan aku seperti ini.”
“Aku
sudah berusaha menjadi wanita yang baik agar aku bisa ditakdirkan menjadi jodoh
pria yang baik pula. Tapi aku malah dapet suami yang nggak pernah sayang sama
aku, cuek dan selalu memperlakukan aku dengan kasar. Dia juga lebih mencintai
wanita lain daripada aku. Wanita mana yang tahan diperlakukan seperti ini
setiap hari?” tutur Ayu sambil mengusap air matanya yang jatuh tanpa ia sadari.
“Ayu
... jangan bersedih seperti ini! Semua hal sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Kalau
memang dia jodohmu, kamu harus sabar. Mungkin, inilah ujian hidup yang harus
kamu terima,” tutur Enggar sambil menyentuh lembut pundak Ayu.
Ayu
mengangguk sambil mengusap sisa air matanya. “Aku juga nggak mau terlarut dalam
kesedihan, Mas. Aku lagi hamil muda. Kata dokter, ibu hamil nggak boleh
setress. Awalnya sangat sakit. Sekarang, sudah terbiasa.”
Enggar
tersenyum menatap wajah Ayu. “Aku kenal kamu sudah lama. Aku yakin kalau kamu
pasti kuat menghadapi ujian seberat apa pun. Setiap orang punya ujian hidup
yang berbeda. Terkadang terlihat mengagumkan di depan semua orang, tapi
seseungguhnya di dalam sedang terluka. Aku benar-benar tidak tahu kalau kamu
seperti ini.”
Ayu
tersenyum menatap Enggar. “Nggak papa, Mas. Lama-lama akan terbiasa.”
Enggar
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Gimana kabar Bunda Rindu? Sudah lama aku tidak
bertemu dengan beliau.”
“Baik.”
“Hari
ini dia nggak datang ke sini?” tanya Enggar lagi.
“Sepertinya
datang. Tapi aku tidak tahu dia ada di mana.”
“Nggak
telepon? Siapa tahu, perasaan kamu bisa lebih baik kalau ketemu beliau?”
Ayu
menggeleng. “Aku nggak mau rumah tanggaku jadi beban pikiran buat bunda. Aku
mau dia melihat semuanya baik-baik saja dan kami hidup bahagia. Aku nggak
pernah bermimpi punya suami pengusaha. Dunia mereka terlalu liar untukku dan
hatiku nggak siap menahan semua godaan dari luar.”
“Jodoh
nggak bisa dipilih. Semua wanita di luar sana malah menyukai pengusaha yang
banyak uang. Kamu bisa mendapatkannya dengan mudah. Harusnya kamu bersyukur!”
ucap Enggar sambil tersenyum manis.
Ayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku akan berusaha untuk bersyukur dan
menerima semuanya.”
“Gitu,
dong! Kalau dia melukaimu, kamu bilang ke Mas, ya! Mas pasti akan membantu
menjaga dan melindungimu. Kamu lagi hamil, sebaiknya kita pulang saja! Aku akan
mengantarkanmu. Udara malam tidak begitu baik untukmu,” tutur Enggar.
Ayu
mengangguk. “Mmh ... Mas, mungkin dua bulan lagi ... perutku akan terlihat
membesar. Aku tidak akan bisa menari setelah ini. Sepertinya, ini adalah hari
terakhir aku menari. Setelah melahirkan, aku tidak akan punya waktu lagi.
Bisakah kita bikin acara makan-makan untuk perpisahan?”
Enggar
mengangguk. “Bisa. Aku akan undang semua anak di sanggar. Mau makan di mana?”
tanyanya.
“Mas
Enggar saja yang pilih tempatnya. Kira-kira, anak-anak sukanya makan di mana?”
Enggar
mengangguk. “Nanti aku bicarakan dengan mereka. Kalau anakmu sudah besar, apa
kamu masih mau kembali ke dunia seni?”
“Belum
tahu, Mas,” jawab Ayu lirih. “Suamiku tidak seperti Sonny yang membebaskan aku
untuk bergerak. Kalau dia mengizinkan, mungkin aku akan kembali.”
Enggar
mengangguk tanda mengerti. “Aku mengerti posisimu. Aku pasti akan merindukan
saat-saat menari bersamamu. Sudah bertahun-tahun, kamu tiba-tiba berhenti
berkesenian. Dunia kami akan merindukanmu.”
Ayu
tersenyum kecil. Ia melangkahkan kakinya perlahan turun dari gedung tersebut
dan menuju ke parkiran. Matanya langsung menangkap mobil Nanda yang masih
terparkir di sana.
“Mas,
sepertinya suamiku masih nunggu aku pulang. Aku pulang bareng dia aja.”
“Yang
mana?” tanya Enggar.
Ayu
langsung menunjuk mobil Nanda dengan isyarat kepalanya. “Aku nggak mau menambah
kemarahan dia karena Mas Enggar mengantarku.”
Enggar
mengangguk tanda mengerti. “Baiklah. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk
menghubungiku!”
“Baik,
Mas. Terima kasih ...!” Ayu tersenyum manis dan melangkah menghampiri mobil Nanda.
Ia mengintip ke dalam kaca jendela, melihat Nanda sedang terlelap di dalam
sana.
Tok
... tok ... tok ..!
Ayu
mengetuk pintu mobil Nanda beberapa kali hingga pria itu terbangun.
Nanda
langsung mengerjapkan matanya begitu mendengar pintu mobilnya diketuk. Ia
menoleh ke luar jendela mobilnya dan menangkap bayangan wajah Ayu di sana.
Ia
melirik jam di mobilnya sejenak dan membuka kaca jendelanya. “Udah selesai?”
“Kamu
masih nungguin aku? Arlita mana?” tanya Ayu balik.
“Nggak
tahu,” jawab Nanda ketus. “Masuklah!”
Ayu
tersenyum kecil dan langsung masuk ke dalam mobil Nanda. Ia tidak menyangka
jika suaminya itu mau menunggunya hingga larut malam dan membuang pacarnya
entah ke mana.
“Nan,
kalau kamu ngantuk, biar aku yang bawa mobil!” pinta Ayu.
Nanda
menggelengkan kepala. Ia bergegas menekan start engine dan menjalankan mobilnya
perlahan keluar dari padatnya keramaian ulang tahun kota.
“Ay,
kenapa kamu diam-diam pergi ke tempat ini? Kamu masih nari terus?” tanya Nanda
lirih.
“Aku
sudah bergabung dengan sanggar tari sejak usia lima tahun. Kamu sendiri yang
bilang kalau tidak akan mengganggu rutinitasku meski kita sudah menikah. Aku
sudah menuruti keinginanmu untuk berhenti bekerja. Apa aku harus berhenti juga
dari sanggar?” jawab Ayu sambil bertanya.
Nanda
melirik ke arah Ayu yang sudah mengenakan pakaian sopan seperti biasa. Ia lebih
nyaman melihat ayu seperti itu. Melihat istrinya berpakaian seksi, membuat
kepalanya pening dan membayangkan banyak hal tidak senonoh yang bisa menimpa
istrinya itu.
“Cuma
itu hiburanku satu-satunya saat ini, Nan. Aku menghabiskan waktu sendirian di
rumah dan itu membosankan. Setelah perutku membesar dan melahirkan, aku tidak
akan bisa melakukan hal seperti ini lagi. Ini terakhir kalinya aku menari di
atas panggung,” ucap Ay lirih sambil menundukkan kepalanya.
Nanda
melirik ke arah Ayu sejenak. “Sorry ...! Aku nggak bermaksud mengekang kamu,
Ay. Aku cuma ...”
Ayu
menggigit bibir bawahnya. Ia sendiri yang memutuskan untuk berhenti dari dunia
seni karena kehamilannya yang akan semakin membesar.
Nanda
menghela napas sambil menatap Ayu. “Sudah makan?”
Ayu
menggeleng.
“Kita
makan dulu sebelum pulang,” pinta Nanda. Ia langsung menghentikan mobilnya di
depan halaman restoran dua puluh empat jam.
Ayu
tersenyum saat Nanda menggandengnya masuk ke dalam restoran tersebut. Setelah
tiga bulan menikah, ini pertama kalinya Nanda mengajaknya makan bersama. Meski
berada di waktu yang tidak tepat, ia merasa bahagia karena diperhatikan oleh
suaminya itu.
“Makan
yang banyak supaya bayi kita sehat!” pinta Nanda saat makanan yang mereka pesan
sudah terhidang di atas meja.
Ayu
mengangguk sambil tersenyum manis. “Makasih, Nan ...!”
“Nggak
usah berterima kasih! Aku melakukannya demi anakku yang ada di perutmu."
Ayu
mengangguk tanda mengerti. Ia tahu, Nanda tidak akan pernah tulus bersikap di
hadapannya. Meski ia tidak ada cinta dalam hubungan mereka, ia tetap
menginginkan diperlakukan sebagai seorang istri. Sebab, pernikahan mereka
adalah pernikahan sungguhan dan sah secara hukum. Mereka juga tidak mungkin
mengakhiri hubungan tanpa cinta ini dengan mudah karena keluarga mereka
sama-sama berharapn hubungan keluarga kecil ini bisa harmonis.
((Bersambung...))
Terima
kasih sudah jadi sahabat setia bercerita dan berkenan memberikan penghargaan untuk
author dengan membeli karya ini. Apa yang kalian lakukan, sangat berharga
untukku.
Much
Love,
@vellanine.tjahjadi
DAFTAR BACAAN :
Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan
Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak
Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu
______________________
Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.
©Copyright www.rinmuna.com
0 komentar:
Post a Comment