BAB 5
MENOLAK PERNIKAHAN
KONTRAK
“Ay,
aku mau bicara!” Nanda langsung menarik Ayu dan membawanya masuk ke dalam
mobil.
“Nggak
ada yang perlu dibicarakan di antara kita, Nan,” sahut Ayu dingin.
“Dia
... beneran anakku?” tanya Nanda sambil melirik perut Ayu.
Ayu
tak menyahut pertanyaan Nanda. “Dia tidak diinginkan sama ayahnya sendiri. Aku
anggap, ayahnya sudah mati.”
Nanda
menelan salivanya dengan susah payah. Bayangan Arlita yang akan bertunangan
dengannya, bergelayut di pelupuk mata.
Ayu
menghela napas, ia meraih gagang pintu dan bermaksud untuk keluar dari sana.
“Kita menikah saja.”
“Sejak
dulu, kedua orang tuaku tidak menyukaimu. Begitu pun aku. Aku tidak ingin
melakukan pernikahan karena terpaksa. Aku sudah memutuskan, akan membesarkan
anak ini meski tanpa ayah,” tutur Ayu lirih.
“Mamaku
tidak berhenti menangis dan jatuh sakit karena ancaman ayahmu. Bisakah kamu
punya hati sedikit, Ay? Kita menikah saja. Ini bukan hal sulit. Aku akan
berikan apa saja yang kamu mau.”
“Aku
nggak butuh apa pun dari kamu, Nan.”
“Ay,
kamu jangan memaksa aku untuk bersikap kasar!” pinta Nanda.
“Pukul
saja kalau itu bisa membuatmu puas,
Nan!” pinta Ayu sambil menyodorkan wajahnya ke arah Nanda.
“Kamu
...!?” Nanda menatap wajah Ayu sambil menahan amarah. Ia tidak menyangka jika
wanita itu sangat sulit untuk ia hadapi. Ia menarik napas dalam-dalam sambil
memejamkan matanya. “Kamu mau apa? Apa pun aku turuti.”
“Matiin
aku atau kamu yang mati!” pinta Ayu.
“Ay,
kamu ...!? Kamu udah gila, ya? Kamu cuma hamil, Yu. Kita menikah saja dan
semuanya selesai. Kenapa kamu buat semuanya jadi rumit? Kamu sengaja mau bikin
masalah sama aku?”
“Masalah
ini kamu yang buat, Nan. Kalau barangmu nggak nakal, aku nggak akan hamil!”
“Kamu
yang mengantarkan dirimu ke kamarku
malam itu. Kenapa kamu salahin aku?”
“Kamu
paksa aku dan anggap aku sebagai Arlita. Iya ‘kan? Kamu jangan menyalahkan aku,
Nan. Maksud aku baik. Aku cuma mau kasih hadiah ke kamu dan ...”
“Sudah,
sudah. Perempuan kerasa kepala kayak kamu, nggak akan ngerti maksudku!”
Ayu
mendengus kesal dan berusaha keluar dari
dalam mobil tersebut.
“Ay,
aku belum selesai ngomong!” Nanda menyambar pergelangan tangan Ayu.
“Nan,
aku udah capek sama semua ini. Aku nggak punya alasan untuk menikah sama kamu
meski bayi ini anakmu.”
“Mamaku
sakit, Ay. Apa kamu nggak punya hati?” tanya Nanda.
Ay
menghela napas. Ia sangat membenci Nanda, tapi wajah Tante Nia yang begitu lembut dan baik,
membuat hatinya bergejolak.
“Kita
menikah saja. Bagaimana kalau kita buat
perjanjian? Aku akan berikan semuanya untukmu,” pinta Nanda sambil menyodorkan
dokumen kontrak pernikahan.
Ay
tersenyum melihat dokumen kontrak yang diajukan oleh Nanda. Melihat judulnya
saja, ia merasa itu sebuah penghinaan baginya.
Nanda
bernapas lega saat Ay tersenyum menatap dokumen yang ada di tangannya. Ia
terlihat bersemangat dan menyodorkan pena ke hadapan Ayu. “Setuju?”
Ayu
tersenyum manis ke arah Nanda.
KREEEK
...!
Ia
langsung merobek dokumen tersebut dan melemparkan ke arah Nanda. Membuat pria itu, tertegun sejenak
sembari menahan amarahnya.
“Aku
nggak butuh pernikahan kontrak! Kamu hanya akan menjadikan aku janda di masa
depan!? Lebih baik, aku tidak pernah menikah denganmu seumur hidup! Masih ada
Sonny yang mencintai aku dan mau menggantikan posisimu sebagai ayah dari anak
ini! Jangan temui aku lagi untuk mengajukan pernikahan gila!” seru Ayu kesal
sambil membuka pintu mobil Nanda.
Nanda
menarik kasar lengan Ayu. Dengan cepat, ia menarik tengkuk Ay dan menyambar
bibir wanita itu dengan kasar.
“Mmh
... mmh ... mmh ...” Ayu berusaha memberontak. Namun, kedua tangan Nanda
memegang erat tubuhnya hingga tak mampu bergerak.
Nanda
terus menciumi bibir Ay dengan liar dan menurunkan ritmenya perlahan. Mengulum
lembut bibir wanita itu hingga membuat Ayu tak lagi bergerak untuk melawannya.
Bodohnya,
Ayu malah merasa nyaman dengan sentuhan bibir Nanda hingga membuatnya justru
membalas sentuhan itu tanpa sadar.
Nanda
tersenyum sinis sambil melepaskan ciumannya. “Malam itu kamu menikmatinya, Ay.
Apa kamu lupa? Kita melakukannya bersama-sama. Jangan hanya menyalahkan aku
saja,” bisiknya.
Ay
melirik kesal ke arah Nanda sambil mengatur napasnya yang tak teratur.
“Kita
menikah saja, oke? Aku akan
memperlakukan kamu dengan baik. Soal cinta, kita bisa melakukannya perlahan.
Bagaimana?” tanya Nanda lembur sambil merapikan anak rambut Ayu yang
berantakan.
Ayu
tak menyahut. Ia segera keluar dari dalam mobil tersebut dan meninggalkan Nanda
begitu saja.
Nanda
tersenyum lega. Ia menjalankan mobilnya meninggalkan tempat tersebut untuk
mempersiapkan lamaran.
...
Setelah
melewati perdebatan panjang dan rentetan persyaratan yang rumit, keluarga Nanda dan Roro Ayu menggelar
sebuah prosesi pernikahan. Pernikahan yang hanya dipersiapkan dalam waktu satu
minggu, dipaksa untuk diadakan secara mewah, lengkap dengan prosesi adat yang
tidak bisa ditinggalkan oleh keluarga Roro
Ayu.
Ayu
melemparkan sunduk mentul dan aksesoris lainnya ke atas meja rias begitu
prosesi adat pernikahan selesai. Atas nama kemanusiaan, ia akhirnya menyetujui
pernikahannya dengan Nanda.
“Yu,
aku sudah memberikan pernikahan mewah dan mahar yang begitu banyak untukmu.
Kenapa wajahmu masih tak bersahabat. Aku tidak enak dengan keluarga besarku.
Mereka akan berpikir, kamu tidak bahagia menikah denganku,” tutur Nanda sambil
menghampiri Ayu.
“Aku
memang tidak bahagia.”
“Tidak
bisakah bersandiwara sebentar saja, Yu? Aku sudah memenuhi semua syarat dari
keluargamu, juga syarat darimu. Apa masih tidak bisa membuatmu bahagia?” tanya
Nanda. Ia nyaris kehilangan kesabaran menghadapi Ayu yang tidak mau menurut dengannya
meski saat ini status mereka sudah sah menjadi suami-istri.
“Aku
tidak bisa berpura-pura bahagia. Biar saja seluruh dunia tahu kalau aku tidak
bahagia menjadi istrimu,” sahut Ayu ketus.
“Kamu
...!?” Nanda menyambar leher Ayu dan menekannya. “Jangan buat kesabaranku
habis, Yu. Aku bisa saja mencelakaimu dengan mudah,” ucapnya sembari menekan leher
Ayu.
“Bunuh
aku saja, Nan! Itu jauh lebih baik,” tutur Ayu sambil menatap tajam ke arah
Nanda.
Nanda
menatap mata Ayu yang menyiratkan banyak luka. Ia langsung melepaskan
genggamannya dan melangkah pergi dari kamar pengantin tersebut.
Ayu
menghela napas sambil menahan air matanya untuk jatuh. Ia menoleh ke arah ponselnya
yang berbunyi.
“Selamat
untuk pernikahanmu hari ini. Maaf, aku tidak bisa datang untuk mengucapkan
selamat. Aku kirimkan hadiah pernikahan untuk kalian. Semoga kalian hidup
bahagia. Terima kasih, sudah menjadi bagian dari rencana masa depanku yang
begitu indah.”
“Hiks
... hiks ... hiks ...” Ayu langsung terisak begitu ia membaca pesan yang dikirimkan
Sonny untuknya. Ia benar-benar merasa
sangat bersalah. Sebab, ia tidak mampu menjaga kesucian cinta yang sudah mereka
jalin bertahun-tahun lamanya.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita dan selalu dukung karya-karya author!
MuchLove,
@vellanine.tjahjadi
DAFTAR BACAAN :
Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan
Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak
Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu
______________________
Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.
©Copyright www.rinmuna.com
0 komentar:
Post a Comment