Labels
Sunday, December 11, 2022
Friday, November 4, 2022
Stick Nanas Samboja | Cemilannya Kaum Rebahan
Bekerjalah dengan Tulus
Thursday, November 3, 2022
MAKAN DUIT TAMAN BACA!?
🐥 : Enak ya jadi Mbak Rina, makan duit dari Taman Baca?
🦧 : Duit Taman Baca gundulmu? Aku yang menghidupi Taman Baca. Bukan Taman Baca yang menghidupiku‼️
Coba buka taman baca juga!
Bisa nambah koleksi berapa buku setiap tahunnya tanpa minta-minta sumbangan? Bisa ngasih pelatihan gratis dan datangkan narasumber tanpa donatur?
Kerjasama sama Pertamina itu aku nggak digaji sepeserpun sama PHSS. Berasa aku ini karyawan mereka apa?
Aku diajak buat program juga nggak mudah. Harus nyiapin persentasi dan pertanggungjawaban juga.
Kalau nggak pernah terlibat dalam kegiatan sosial di taman baca, nggak usah ngomong aneh-aneh, deh!
Sekali-kali jadi relawan di sini ...
Supaya tahu gimana perjuangannya ngasih fasilitas gratis untuk warga.
Anak-anak belajar di sekolah, bayar.
Nggak ada yang ngatain gurunya makan duit sekolahan 'kan?
Belajar dan baca buku di Rumah Literasi, gratis.
Aku dikata-katain makan duit taman baca. Mulutnya amazing banget, ya?
Kalau aku foto-foto mereka, ya itu bentuk pertanggungjawaban untuk donatur yang udah bantu kasih fasilitas gratis.
Emang nggak rutin kegiatannya...
Karena aku juga butuh menghidupi diriku sendiri, menghidupi anak-anak, dan menghidupi taman baca juga supaya bisa survive.
Kalau mau mengkritik atau ngasih saran, sampaikan langsung ke aku! Jangan sampaikan ke orang lain!
Gunanya apa? Orang itu bisa bantu nambah koleksi buku atau fasilitas di taman baca?
Semua koleksi buku di taman baca aku dapetin dari hasil ngemis-ngemis sama temen-temen penulisku. Biar koleksi bacaan bisa update dan anak-anak yang pinjam buku nggak bosen sama buku yang itu-itu aja.
Nggak jarang aku sisihkan uang belanja atau uang jajan anakku buat bisa nambahin koleksi buku atau fasilitas yang lain.
Karena malu kalau mau minta-minta mulu. Sementara ongkir dari Pulau Jawa ke Kalimantan udah ratusan ribu karena buku itu berat.
Jadi, kalau kamu nggak bisa bantu memajukan taman baca yang dari awal aku perjuangkan seorang diri, nggak usah ngomong aneh-aneh!
Ngomongin aku di belakang, itu bukan solusi.
Kalau kamu iri ...
Buatlah yang lebih baik dari yang aku buat.
Bagiku ... proyek sosialku sudah cukup.
Karena rezekiku bukan dari taman baca.
Tapi rezekiku datang dari Allah karena aku memberi.
Buatku itu reward yang dikasih Allah atas kerja keras dan perjuanganku selama ini.
Seringkali aku bilang ke Allah ... aku ingin menyerah.
But, Allah selalu kasih aku hadiah dan bikin aku semangat lagi.
Dia berkata. "Tugasmu belum selesai. Aku yang akan menolongmu."
Jika bukan karena kekuatan dari Tuhan, aku sudah menyerah sejak dulu.
Aku bukan wanita yang kuat.
Aku bukan orang yang baik.
Aku bukan orang yang kaya.
Aku hanya ... dituntun Allah hingga sampai ke titik ini.
Semoga kamu mengerti dan bisa merasakan menjadi aku suatu hari nanti.
Thursday, October 20, 2022
Kunjungan Dewan Komisaris Pertamina Hulu Indonesia ke Rumah Literasi Kreatif
Sukses Dimulai Dari Hobby Membaca Buku
Sunday, October 16, 2022
Lesty Kejora Wanita yang Hebat
Friday, October 14, 2022
Extra Part 04 - I Lost You, Ustadz [Prekuel Assalamualaikum, Ya Habib]
Pagi-pagi sekali,
Anjani melangkahkan kaki menuju sungai yang tak jauh dari rumahnya. Biasanya,
teman-temannya akan berkumpul di sana. Bersantai sembari menikmati udara pagi
yang sejuk. Gemericik air yang mengalir di antara bebatuan, benar-benar membuat
suasana pagi di desa itu terasa sangat menenangkan.
Anjani langsung
berlari menghampiri Halimah yang sedang bercengkerama dengan teman-teman wanita
yang lainnya. “Halimah ...!”
“Anjani ...!”
Halimah langsung bangkit dari atas batu yang ia duduki. Ia merentangkan kedua
tangan sambil tersenyum lebar. Ia pun ikut berlari dan berpelukan dengan
Anjani. Sudah hampir satu minggu mereka tidak bertemu. Sebab, Anjani pergi ke
luar desa bersama kedua orang tuanya karena ada urusan keluarga.
“Anjani, aku kangen
sama kamu. Gimana liburannya di Malang? Asyik?” tanya Halimah sambil mendekap
erat tubuh Anjani dan berlompat kegirangan.
“Asyik, dong. Aku
bawain oleh-oleh buat kalian,” sahut Anjani sambil menunjukkan dua paper bag di
tangannya yang penuh dengan aneka cemilan khas kota Malang.
“Wah ...! Makasih,
Anjani!” seru Ibrahim sambil menyambar paper bag dari tangan Anjani.
“Uch, dasar tukang
makan!” celetuk salah satu gadis berkerudung cokelat yang ada di sana.
“Manusia hidup butuh
makan,” sahut Ibrahim santai sambil melenggang pergi. Ia langsung menghampiri
Agus dan Ihsan untuk menikmati cemilan bersama.
Anjani tersenyum
sambil mengulurkan satu paper bag lagi ke hadapan Halimah. “Ini buat kalian,
ya! Kue lapis legitnya khusus aku belikan buat Halimah karena dia paling suka
itu.”
Halimah tersenyum
lebar sambil meraih paper bag dari tangan Anjani. “Makasih banyak, sahabatku
tersayang!”
Anjani mengangguk
sambil tersenyum.
Halimah dan
teman-teman yang lain, langsung berkerumun untuk menikmati cemilan yang dibawa
oleh Anjani. Mereka semua terlihat bersemangat menikmati cemilan itu sambil
bercengkerama.
Anjani tersenyum
kecil. Ia tidak memilih untuk bergabung bersama dengan Halimah, tapi malah
menghampiri Ibrahim, Agus dan Ihsan yang duduknya cukup jauh dari geng gadis
yang ada di sana.
“Eh, Anjani ...?
Makasih banyak makanannya, ya! Enak-enak, loh. Lain kali bawakan makanan kayak
gini yang banyak!” ucap Agus begitu ia menyadari Anjani sudah berdiri di
dekatnya.
“Gampanglah kalau
cuma soal makanan. Aku bisa kasih makanan yang lebih banyak lagi buat kalian,
asal kalian mau bantu aku,” ucap Anjani sambil tersenyum menatap wajah
teman-temannya.
Ibrahim, Agus dan
Ihsan saling pandang bersamaan, kemudian menatap wajah Anjani. “Bantu apa?”
“Aku mau ajak kalian
dan Halimah liburan ke kota. Aku akan kasih tahu setelah sampai di sana.
Bagaimana?” sahut Anjani sambil tersenyum penuh arti.
“Wah! Serius? Kamu
mau ajak kami liburan? Kami nggak bayar ‘kan?”
Anjani menggeleng. “Nggak,
dong. Aku yang ajak. Jadi, semuanya aku tanggung. Kalian semua tinggal ikut
aja. Gimana? Liburan sekolah tinggal satu minggu lagi, loh.”
“Mau ... mau ... mau
...!” Tiga pria remaja itu terlihat sangat antusias dengan ajakan Anjani.
Anjani langsung
tersenyum penuh kemenangan. “Kalian siap-siap, ya! Nanti sore kita berangkat.”
“Siap, Bu Bos!”
sahut Ibrahim, Agus dan Ihsan bersamaan.
Anjani segera
melangkah meninggalkan tiga pria itu dan bergabung bersama dengan Halimah dan
lainnya.
Setelah menghabiskan
cemilan yang dibawa Anjani dan posisi matahari yang muncul dari ufuk timur
semakin meninggi, semuanya melangkah pulang dari tepi sungai untuk memulai
aktivitas keseharian mereka masing-masing.
“Halimah, liburan
kenaikan kelas ini kamu nggak ke mana-mana?” tanya Anjani.
Halimah menggeleng. “Aku
mau pergi ke mana. Nggak pernah pergi ke mana pun selain kampung sebelah. Bantu
Kak Annisa ngurus rumah dan kebun saja,” jawabnya lembut.
“Oh ya? Seminggu ini
kamu ada ke kampung sebelah? Ketemu Ustadz Zuhri, dong?” tanya Anjani menggoda.
Halimah menggeleng. “Ustadz
Zuhri lagi nggak ada. Katanya lagi pulang sebentar ke rumah orang tuanya.”
“Oh ya?” Anjani
langsung tersenyum penuh arti mendengar ucapan Halimah. Sahabatnya itu memang
tidak begitu mengetahui siapa Ustadz Zuhri yang sesungguhnya. Pria tampan itu
adalah anak dari seorang Kiai di sebuah pesantren di kota Malang. Dia tinggal
di desa untuk mengabdi kepada masyarakat, hanya untuk sementara waktu, tidak
untuk menetap.
Halimah
mengangguk-angguk tak bersemangat. Ia sangat menyukai Ustadz Zuhri dan
mengetahui jika pria itu berasal dari kota Malang. Hanya saja, ia tidak pernah
tahu pasti di mana pria itu tinggal dan dari keluarga seperti apa. Melihat ilmu
agamanya yang sangat baik di usia begitu muda, tentu saja Ustadz Zuhri bukanlah
pria yang terlahir di keluarga biasa.
“Oh ya? Kamu liburan
ke Malang ‘kan? Kalau nggak salah, Ustadz Zuhri juga berasal dari kota Malang.
Apa kamu ketemu beliau selama di sana?” tanya Halimah.
Anjani tertawa kecil
mendengar pertanyaan Halimah. Ia tahu, sahabatnya itu pasti akan menanyakan hal
ini dan ia sudah siap untuk menjawabnya. “Malang itu luas dan di sana ada
ribuan orang, Halimah. Kalau tidak janjian, mana mungkin bisa bertemu dengan
Ustadz Zuhri,” jawabnya. Ia tidak mungkin mengatakan pada Halimah jika
keluarganya dan keluarga Ustadz Zuhri baru saja bertemu di pesantren milik
orang tua Ustadz Zuhri.
“Iya juga, ya?” Halimah
manggut-manggut tanda mengerti.
“Aku mau ajak kamu
liburan ke kota. Dua hari aja. Gimana?” ucap Anjani sambil menatap serius ke
arah Halimah.
“Eh!? Aku mana punya
uang buat liburan, An. Apalagi ke kota,” jawab Halimah.
“Gampang. Aku yang
traktir semuanya.”
“Beneran!?”
Anjani mengangguk. “Beneran,
dong. Masa Anjani bohong, sih.”
“Mmh, aku izin ke
Kak Annisa dulu, deh. Semoga dia bolehkan aku pergi liburan ke kota.”
“Pasti boleh dong
kalau sama aku,” ucap Anjani. “Kita ke kota Malang. Siapa tahu bisa ketemu
Ustadz Zuhri di sana. Dia nggak ninggalin pesan apa pun untuk kamu?”
Halimah menggeleng. “Terakhir
hanya bilang kalau dia harus pulang ke rumah karena permintaan kedua orang
tuanya.”
“Oh.” Anjani
manggut-manggut. Ia merasa sangat senang karena Ustadz Zuhri saling manjaga
jarak meski mereka berdua saling menyukai. “Oh, ya. Bukankah Ustadz Zuhri
pernah bilang mau mengkhitbah-mu kalau sudah bisa nada tilawah dengan baik?”
Halimah mengangguk
sambil tersenyum.
“Kok, dia belum
datang ke rumahmu untuk melamar?” tanya Anjani lagi.
“Mmh ... aku sudah
bicara dengan Ustadz Zuhri dan beliau sepakat untuk mengkhitbahku setelah aku
lulus SMA. Aku harus selesaikan sekolahku dulu, An,” jawab Halimah sambil
tersenyum manis. Ia sangat menyukai Ustadz Zuhri dan berharap pria itu bisa
menikahinya setelah ia lulus dari sekolah. Ia ingin terus berada di sisi Ustadz
Zuhri, dalam keadaan apa pun itu.
“Masih lama, dong?
Kita baru naik ke kelas tiga. Masih satu tahun lagi?” tanya Anjani.
Halimah mengangguk. “Satu
tahun waktu yang sebentar. Pasti nggak bakal terasa kalau dinikmati, hehehe.”
“Iya juga, sih.”
Anjani tersenyum sambil merangkul lengan Halimah. “Semoga Ustadz Zuhri bisa
menikahi kamu secepatnya. Kamu jangan mengecewakan dia, Halimah. Ustadz Zuhri
pria baik-baik dan kamu harus menjaga kesucianmu. Kalau kamu ternodai sama pria
lain, Ustadz Zuhri pasti tidak mau melihatmu lagi.”
Halimah mengangguk. “Aku
tahu, Anjani. Aku pasti menjaga kesucianku dengan baik demi Ustadz Zuhri.”
“Cinta sama Ustadz
Zuhri karena Allah atau karena dia ganteng banget?” tanya Anjani.
“Pertama karena dia
pria yang pandai ibadah, kedua karena dia baik hati. Kalau wajah tampan, itu
bonus,” jawab Halimah.
Anjani langsung
mencebik ke arah Halimah. “Kamu secantik ini, mana mungkin mau menikah sama
pria yang biasa-biasa kayak Ibrahim atau Agus itu. Udah hitam, dekil, miskin
pula.”
“Hush! Anjani nggak
boleh bicara seperti itu!” sahut Halimah. “Agus dan Ibrahim baik, kok.”
“Kalau salah satu
dari mereka yang ngelamar kamu, kamu mau?” tanya Anjani.
“Kalau sudah jalan
jodoh dari Allah seperti itu, aku pasti menerimanya, Anjani.”
Anjani menghela
napas. “Kamu mah gitu. Mau sama semua cowok.”
“Astagfirullah ...
itu fitnah, Anjani.”
“Hehehe. Bercanda,”
sahut Anjani sambil cengengesan. “Hari ini kamu siap-siap, ya! Ntar sore kita
berangkat ke kota. OK?”
Halimah mengangguk. “Kamu
bantu aku izin sama Kak Annisa, ya!”
“Siap, Juragan!”
sahut Anjani sambil memberi hormat ke arah Halimah.
“Juragan apaan? Yang
asli juragan itu kamu. Aku cuma rakyat jelata dan buruh di kebun aja, An,” ucap
Halimah lembut sambil geleng-geleng kepala.
“Ucapan itu doa.
Amiinin, dong!” pinta Anjani.
“Aamiin Ya Rabb.”
Halimah menengadahkan kedua tangan sambil menatap langit luas di atasnya. Ia
dan Anjani segera pulang ke rumah untuk beraktivitas seperti biasa dan meminta
izin agar mereka bisa pergi berlibur ke kota bersama.
[[Bersambung ...]]
Baca cerita asli "Assalamualaikum, Ya Habib!" di aplikasi Fizzo, ya!
Teirma kasih sudah dukung author terus...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
Saturday, October 1, 2022
Extra Part 03 - I Lost You, Ustadz [Prekuel Assalamualaikum, Ya Habib]
BAB 3
OBSESI ANJANI
Anjani mondar-mandir di
dalam kamar berkali-kali sambil sesekali menggigit jemari kukunya. Kalimat
Ustadz Zuhri yang berniat untuk mengkhitbah Halimah, terus terngiang-ngiang di
telinganya.
“Kalau Ustadz Zuhri
beneran mau khotbah Halimah, itu artinya Halimah bakal jadi calon istrinya di
masa depan? Kok bisa Ustadz Zuhri mau lamar dia? Kita masih sekolah. Emang
Halimah mau nikah muda?” gumam Anjani.
“Halimah nggak mungkin
menolak Ustadz Zuhri. Apalagi dia udah mau tujuh belas tahun. Sudah boleh untuk
menikah. Apa Ustadz Zuhri bakal langsung menikahi Halimah atau menunggu dia
lulus sekolah dulu, ya?”
“Aargh ...! Nggak peduli
bakal nunggu atau langsung menikah. Intinya, kalau Ustadz Zuhri beneran
ngelamar Halimah, mereka bakal tetap jadi suami istri,” ucap Anjani.
“Nggak boleh! Ini nggak
boleh terjadi. Yang kenal sama Ustadz Zuhri itu aku duluan. Harusnya Ustadz
Zuhri sukanya sama aku! Kenapa malah sama Halimah. Kesel banget sama Halimah.
Caper banget di depan Ustadz Zuhri,” cerocos Anjani. Ia sibuk berdialog dengan
dirinya sendiri.
Anjani menatap wajahnya
di cermin. “Aku sama Halimah masih cantikan mana? Cantik aku ‘kan?” tanyanya
pada bayangannya sendiri. “Abi aku juga guru Agama dan Ummi guru ngaji.
Keluargaku juga keluarga yang agamanya baik. Kenapa Ustadz Zuhri malah pilih
Halimah yang nggak punya orang tua dan kakaknya juga nggak alim. Kak Annisa, ke
mana-mana nggak pernah pake hijab.”
“Anjani ... kamu nggak
boleh kalah dari Halimah. Kamu harus bisa dapetin Ustadz Zuhri sebelum dia
kembali ke kampungnya karena masa pengabdiannya selesai. Ayahnya Ustadz Zuhri
itu Kiai dan punya pesantren. Kalau aku menikah dengan dia, masa depanku akan
cerah,” ucapnya. Ia menegakkan tubuhnya dan tersenyum bangga pada dirinya
sendiri. Ia akan melakukan apa pun untuk membuat Ustadz Zuhri menjadi suaminya.
Anjani melangkahkan
kakinya keluar dari kamar. Ia langsung menghampiri ayahnya yang sedang
bersantai sambil menonton televisi. “Abi ...!” panggilnya manja.
“Ada apa?”
“Anjani boleh minta sesuatu?”
tanyanya sambil bergelayut manja di pundak ayahnya.
“Apa?”
“Anjani pengen menikah.”
“APA!? Kamu masih
sekolah, sudah pengen nikah?” tanya Ayah Anjani sambil memperhatikan wajah
puterinya. Matanya langsung berpindah ke bagian perut puterinya. “Kamu hamil?”
“Astagfirullah, Abi!
Kenapa Abi berprasangka seburuk itu? Anjani masih suci, Bi. Mana mungkin Anjani
hamil.”
“Terus, kenapa minta
nikah?”
“Sebentar lagi lulus
sekolah, Abi. Anjani pengen nikah aja. Soalnya, Anjani suka sama seseorang dan
ingin menghindari zina dengan menikah. Boleh ya, Bi!”
Ayah Anjani menghela
napas. “Kamu mau menikah dengan siapa? Anak-anak di kampung ini tidak ada yang
masa depannya bagus. Mereka Cuma lulusan SMA. Paling-paling kerja di kebun
setiap hari. Kamu mau punya suami begitu?”
Anjani menggeleng. “Nggak
mau, Abi. Makanya aku mau dinikahkan dengan Ustadz Zuhri. Dia masih muda,
tampan dan pandai agama.”
“Astagfirullah, Anjani!
Kamu ini jangan sembarangan bicara! Ustadz Zuhri yang di kampung sebelah itu?
Apa dia mau punya istri sepertimu? Dia hanya bertugas sementara saja di desa
itu. Tidak akan lama tinggal di sana.”
“Anjani akan ikut ke
manapun Ustadz Zuhri pergi jika Abi mau melamar kan Ustadz Zuhri jadi suamiku.”
“Astagfirullah ...!
Harusnya kamu yang dilamar. Bukan melamar, Anjani!”
“Buat Ustadz Zuhri
melamarku, Abi!”
“Gimana caranya? Kamu
ingin menurunkan martabat Abi di depan semua orang?”
“Abi kenal dengan orang
tua Ustadz Zuhri ‘kan?”
“Iya, kenal. Tapi tidak
begitu dekat.”
“Minta orang tuanya untuk
menjodohkan aku dan Ustadz Zuhri, Abi.”
Ayah Anjani terdiam
sambil berpikir selama beberapa saat.
“Abi ... Anjani cuma mau
menikah sama Ustadz Zuhri seumur hidup. Kalau tidak menikah dengan dia, Anjani
tidak akan menikah seumur hidup!” ancamnya sambil bangkit dari sofa saat ayahnya
tak kunjung memberikan keputusan. Ia langsung melangkah kasar menuju kamar.
“Kamu jangan marah-marah
dulu! Abi akan usahakan. Tapi tidak janji. Semoga Ustadz Zuhri juga bersedia
menikahimu.”
Anjani langsung tersenyum
lebar mendengar ucapan ayahnya. “Terima kasih, Abi ...!” Ia berlari ke arah
ayahnya dan memeluk tubuh pria itu sambil tersenyum ceria. Ia sudah mendapatkan
akses untuk membuat ikatan dengan Ustadz Zuhri. Ia hanya butuh usaha lagi untuk
membuat Ustadz Zuhri menyukainya. Ia harus bisa menggagalkan Ustadz Zuhri untuk
mengkhitbah Halimah agar ia menjadi pemilik satu-satunya pria tampan nan sholeh
tersebut.
[[Bersambung ...]]
Terima kasih buat kalian
yang udah mau nunggu cerita ini!
Cerita ini adalah Prequel
“Assalamualikum, Ya Habib!” yang ada di aplikasi Fizzo.
Jadi, kalau mau tahu
kenapa ada cerita ini, baca dulu novel sebelumnya, ya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
Friday, September 16, 2022
Bingungnya Jadi Janda
Extra Part 02 - I Lost You, Ustadz [Prekuel Assalamualaikum, Ya Habib]
“Assalamualaikum, Ustadz
...!” sapa Halimah dan teman-temannya saat mereka memasuki masjid yang menjadi
tempat ibadah sekaligus belajar kajian Al-Qur’an di desa tersebut.
“Wa’alaikumussalam ...!”
balas Ustadz Zuhri yang baru saja selesai menyapu masjid tersebut. “Sudah pada
datang?”
“Sudah, Ustadz.”
“Pasti pada capek ya jalan
kaki dari kampung sebelah. Ke belakang dulu kalau mau minum!” ajak Ustadz
Zuhri.
“Iya, Ustadz. Aku haus
banget. Boleh minta minum ke rumah Ustadz, kan?” Sahut Anjani.
“Boleh. Yuk!” ajak Ustadz
Zuhri. Ia segera melangkahkan kakinya menuju bangunan kecil tempat tinggalnya
yang ada di belakang masjid tersebut.
Halimah tersenyum kecil. Ia
memilih untuk melangkah masuk ke dalam masjid.
“Halimah, kamu nggak ikut
ke belakang? Istirahat dulu!” tanya Ustadz Zuhri saat menyadari Halimah tidak
mengikutinya.
Halimah menggeleng sambil
tersenyum. “Tidak usah, Ustadz. Halimah bawa air minum sendiri dari rumah.”
Ustadz Zuhri memperhatikan Halimah
selama beberapa detik, kemudian ia membalikkan tubuhnya. Mengajak Anjani, Agus,
Ibrahim dan Ihsan untuk beristirahat terlebih dahulu karena mereka baru saja
menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan.
“Waktu sholat Ashar masih
setengah jam lagi. Kalian beristirahatlah di sini dulu, ya! Kita mulai belajar ba’da
Ashar, seperti biasanya.”
“Siap Pak Ustadz!” sahut
Ibrahim dan yang lainnya bersamaan. Mereka langsung duduk di ruang tamu Ustadz Zuhri.
Menonton televisi sambil menikmati cemilan dan minuman yang tersedia di sana.
“Kalian sudah hafalan tajwid?”
tanya Ustadz Zuhri.
“Sudah, Ustadz.”
“Alhamdulillah. Tilawahnya
bagaimana?” tanya Ustadz Zuhri lagi.
Semua orang di sana terdiam
dan saling pandang.
“Hehehe. Kami belum ada
yang menguasai semuanya, Ustadz. Baru bisa nada rendah aja,” ucap Ihsan sambil meringis
ke arah Ustadz Zuhri.
“Wah, padahal ustadz sudah
siapkan hadiah untuk kalian kalau sudah menguasai semuanya minggu ini. Batal
deh hadiahnya,” ucap Ustadz Zuhri.
“Itu, Ustadz. Halimah ...! Halimah
sudah bisa tujuh tingkatan lagu Tilawah,” ucap Ibrahim.
“Oh ya? Yang bener?” tanya
Ustadz Zuhri penasaran.
“Iya, Ustadz. Dia semangat
banget belajar tilawah supaya bisa dapet hadiah dari Ustadz Zuhri,” ucap Agus.
Ustadz Zuhri tersenyum. “Baguslah
kalau begitu. Memangnya Halimah menginginkan hadiah apa dari saya?”
“Pengen di-khitbah sama
Ustadz Zuhri,” jawab Ibrahim.
Ihsan langsung membungkam
mulut Ibrahim. “Kamu jangan bocorin rahasia Halimah! Nanti dia marah sama kita,
gimana?”
Ibrahim menahan tawa sambil
menutup mulutnya sendiri. “Maaf, aku keceplosan.”
Ustadz Zuhri tersenyum
kecil. “Ya sudah, kalian istirahat dulu di sini! Saya akan coba menguji Halimah
sambil menunggu waktu sholat Ashar.”
“Siap, Ustadz!” sahut Ibrahim
dan yang lainnya bersamaan.
“Anjani boleh ikut, Ustadz?”
tanya Anjani sambil menatap wajah Ustadz Zuhri.
“Anjani sudah hafal
tingkatan lagu Tilawah juga?” tanya Ustadz Zuhri.
Anjani menggelengkan kepala.
“Saya uji Halimah dulu.
Boleh ikut kalau mau melihat,” ucap Ustadz Zuhri sambil melangkahkan kakinya. Ia
segera masuk kembali ke dalam masjid dan menghampiri Halimah yang sudah siap
dengan mukenah dan Al-Qur’an di hadapannya.
Ustadz Zuhri langsung tersenyum
lebar mendapati wajah cantik Halimah. Gadis belia itu tidak hanya memiliki
paras yang cantik, tapi juga memiliki sifat dan sikap yang baik pula. Ia selalu
merasa bangga dan mengagumi semua yang ada pada wanita ini. Terlebih saat ia
mendengar desas-desus jika Halimah menyukainya. Ia semakin tertarik dan
bersemangat untuk mengajar ilmu agama.
“Assalamualaikum, Halimah
Az-Zahra!” sapa Ustadz Zuhri sambil duduk di hadapan Halimah. Ia tetap menjaga
jarak sekitar dua meter dari tubuh Halimah agar tidak menimbulkan fitnah yang
tidak-tidak.
“Wa’alaikumussalam, Ustadz
...!” balas Halimah sambil mengangkat wajahnya dan menatap Ustadz Zuhri.
“Subhanallah ...! Kecantikanmu
sesuai dengan namamu, Halimah. Mewarisi kecantikan Fatimah Az-Zahra, putri
Rasulullah,” ucap Ustadz Zuhri sambil menatap wajah Halimah tanpa berkedip.
Halimah tersenyum dengan
pipi menghangat. “Ustadz Zuhri bisa saja. Aku merasa biasa saja, Ustadz. Masih
banyak wanita yang jauh lebih cantik dari saya.”
Ustadz Zuhri tersenyum
bangga mendengar ucapan Halimah yang begitu rendah hati. “Kata teman-temanmu,
kamu sudah bisa semua lagu Tilawah?”
Halimah mengangguk. “Insya
Allah, Ustadz.”
“Bisa saya dengarkan
sekarang?” tanya Ustadz Zuhri sambil tersenyum menatap Halimah.
Halimah mengangguk. Ia
segera membaca ta’awud dan mulai mengeluarkan lagu-lagu tilawah dengan suara merdunya.
Ustadz Zuhri terus
tersenyum menikmati suara merdu Halimah yang jarang sekali ia dengar.
“Halimah, hadiah apa yang
kamu inginkan dari saya karena kamu sudah berhasil menguasai lagu tilawah
dengan baik?” tanya Ustadz Zuhri begitu Halimah selesai melantunkan lagu-lagu
Al-Qur’an tersebut.
“Apa saja, Ustadz. Asal
Ustadz ikhlas memberinya untuk saya,” jawab Ainin sambil menundukkan kepalanya.
Ia tidak tahan jika bertatapan langsung dengan Ustadz Zuhri karena jantungnya tak
bisa diajak untuk berkompromi. Tatapan pria idaman itu berhasil membuat pipinya
mengeluarkan semburat warna merah muda.
“Aku akan meng-khitbah
kamu, Halimah. Aku akan menikahimu setelah kamu lulus SMA,” ucap Ustadz Zuhri.
DEG!
Halimah langsung menatap
wajah Ustadz Zuhri dengan perasaan tak karuan. Dunianya seolah berputar tak tentu
arah dan ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia tidak
menyangka jika Ustadz Zuhri memiliki niat untuk memperistri dirinya. Rasanya,
ia sedang berada di alam mimpi karena menjadi istri dari Ustadz Zuhri adalah
sebuah mimpi. Mimpi yang selalu ia ucapkan dalam doa-doa dan sholatnya hingga
Allah menyentuh hati Ustadz Zuhri untuk membalas semua perasaan yang sedang ia
pendam.
“Ustadz, ini sungguhan?
Tidak sedang bercanda untuk membuatku senang ‘kan?” tanya Halimah.
Ustadz Zuhri menggeleng sambil
tersenyum. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini karena Halimah adalah
wanita cantik dan sholehah yang menjadi bunga desa di desa sebelah. Saat Halimah
datang ke tempatnya untuk belajar mengaji, ia merasa jika Allah sedang memberikan
jalan agar jodohnya semakin dekat dengannya. Ia ingin memiliki Halimah, wanita
yang wajah dan akhlaknya begitu mengagumkan meski tinggal di pelosok desa.
[[Bersambung ...]]
Terima kasih buat kalian
semua yang udah mau mengikuti kisah Halimah Az-Zahra.
Semoga ada banyak pelajaran
hidup yang bisa kalian ambil dari tulisan ini karena kita hanya manusia biasa
yang tidak akan bisa lepas dari dosa dan noda.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
Wednesday, September 14, 2022
Extra Part 01 - [Prequel Assalamualaikum, Ya Habib!"] [I Lost You, Ustadz]
I Lost You, Ustadz |
“Halimah, mau ke mana?” tanya Annisa ketika melihat
Halimah sudah berpakaian rapi. Gamis panjang menutupi seluruh tubuhnya dan
kerudung segi empat yang dipakai dengan rapi, dilengkapi dengan bross bunga
kamboja sebagai pemanis.
“Halimah mau ke kampung sebelah, Kak. Belajar mengaji
sama Ustadz Zuhri,” jawab Halimah sambil tersenyum lebar.
“Bukannya kamu juga sudah ngajar ngaji? Buat apa
jauh-jauh ke kampung sebelah?”
“Beda, Kak. Imah ngajar Iqro’ yang masih alif ba’ ta.
Masih harus mendalami ilmu mengaji yang baik dan benar supaya nanti bisa jadi
Ustadzah beneran di kampung ini.”
“Ya sudah kalau begitu. Kamu berangkat sama siapa?
Sendirian?” tanya Annisa.
“Nggak, Kak. Aku pergi sama Anjani dan teman-teman
yang lain juga, kok.”
“Rame-rame? Syukurlah kalau ada temannya. Pulangnya
jangan malam-malam, ya!” pinta Annisa.
“Iya, Kak. Kalau tidak ada kajian tambahan, Imah akan
pulang setelah sholat Isya’.” Halimah tersenyum sambil menghampiri Annisa. Ia
menyalami tangan kakaknya itu, mencium punggung tangan dan kedua pipinya
sebelum ia benar-benar keluar dari rumah. Itu adalah kebiasaan yang selalu ia
lakukan setiap kali akan keluar rumah.
Halimah tidak memiliki siapa pun selain sang kakak. Ia
dan Annisa sudah menjadi anak yatim-piatu sejak mereka masih berumur belasan tahun. Meski begitu,
kehidupannya di kampung tidak terlalu buruk. Kedua orang tuanya meninggalkan
sarang walet di belakang rumah mereka dan mereka bisa bertahan hidup dengan
menjual air liur burung walet tersebut. Hidupnya tidak kaya, tidak miskin juga.
“Kak Annisa, Halimah pergi dulu. Assalamualaikum …!”
pamit Halimah sambil melangkah keluar dari dalam rumah mungil nan asri milik
mereka.
“Waalaikumussalam …! Hati-hati di jalan. Semoga ilmu
yang kamu dapat jadi berkah,” ucap Annisa sambil tersenyum manis menatap tubuh
Halimah yang bergerak pergi.
Halimah tersenyum lebar. Ia terus melangkahkan kakinya
sembari memeluk tas kain yang berisi mukenah dan Al-Qur’an. Ia langsung
menghampiri Anjani dan teman-temannya yang menunggu di jembatan yang tak jauh dari
rumah mungil miliknya.
“Assalamualaikum …!” sapa Halimah sambil tersenyum
ramah.
“Wa’alaikumussalam Halimah cantik …!” balas tiga orang
pria yang ada di sana. Mereka tersenyum lebar sambil menatap wajah Halimah yang
sangat cantik di mata mereka.
Anjani melirik ke arah tiga pria yang menjadi kawan
sepermainan mereka. Ia tersenyum ke arah Halimah dan merangkul lengan
sahabatnya itu. “Kita berangkat, yuk! Nggak ada yang ketinggalan ‘kan?”
“Insya Allah nggak ada.”
Anjani tersenyum. Ia melangkahkan kakinya beriringan
dengan Halimah, sementara tiga pria remaja itu berada di belakang mereka.
“Anjani, kamu sudah hafalin tajwid yang diajari Ustadz
Zuhri kemarin?” tanya Halimah.
“Sudah, dong.”
“Oh, ya? Materi tilawah gimana? Kamu udah bisa semua nadanya?”
tanya Halimah.
Anjani menggeleng. “Aku nggak begitu bisa, Halimah.
Apalagi suaraku jelek dan napasku pendek. Suaraku nggak seindah kamu.”
“Jangan merendah, deh! Semuanya pasti bisa kalau
berlatih keras. Aku juga berlatih keras tiap hari. Kata Ustadz Zuhri, kalau
kita udah bisa menguasai semua tingkatan lagu tilawah, dia mau kasih hadiah ke
kita. Kira-kira hadiahnya apa, ya?” tanya Halimah penasaran.
“Kamu minta hadiah apa, Halimah?” sahut Agus. Salah
satu pria remaja yang berjalan di belakang Halimah dan Anjani.
“Memangnya boleh minta?” tanya Halimah.
“Kata Ustadz Zuhri, kita boleh minta apa aja.” Ibrahim
menimpali.
“Iya juga, ya?” ucap Halimah sambil mengetuk-ngetuk
dagunya. “Minta apa ya kira-kira?”
“Kamu sudah bisa semua, Halimah?” tanya Ihsan yang
juga ada di sana.
“Sudah, dong. Aku mau kasih tahu Ustadz Zuhri hari ini
supaya aku bisa minta hadiah dari dia,” sahut Halimah sambil tersenyum ceria.
“Mau minta hadiah apa, Halimah?” tanya Anjani lembut.
“Halimah pasti minta hadiah dilamar sama Ustadz
Zuhri,” sahut Ibrahim.
“Iih … Ibrahim apa-apaan, sih!?” sahut Halimah
tersipu.
“Nggak usah sok jaim depan kita, Halimah. Kelihatan
mukamu merah banget kayak gitu. Kamu ‘kan naksir sama Ustadz Zuhri. Iya ‘kan?”
ucap Ihsan sambil memainkan alisnya.
Halimah tersenyum sambil menyentuh kedua pipinya yang
menghangat. “Kelihatan banget, ya? Jangan bilang-bilang ke Ustadz Zuhri, loh!
Ntar aku malu. Kalau dia sudah punya calon istri, gimana?”
“Kayaknya belum. Katanya Ustadz Zuhri nggak pernah
pacaran dan nggak punya calon istri, Halimah,” ucap Agus.
“Sok tahu. Tahu dari mana?” dengus Halimah.
“Yee … Agus gitu loh. Tahu, dong. Apa yang Agus nggak
tahu,” sahut Agus sambil menepuk dadanya dengan bangga.
Halimah tersenyum malu sambil merangkul lengan Anjani.
“Semoga aja Ustadz Zuhri memang belum punya calon istri. Kalau udah punya, aku
bakal patah hati banget. Cuma bisa jadi penggemarnya aja.”
“Kamu beneran suka sama Ustadz Zuhri, Halimah?” tanya
Anjani.
Halimah mengangguk. “Dia ganteng banget, pintar, baik
hati, sholeh. Pokoknya, dia itu cowok idaman banget! Gimana menurutmu, Anjani?
Aku cocok nggak sama dia?”
“Eh!?” Anjani melongo menatap wajah Halimah yang
sedang bermanja-manja di pundaknya itu. “Cocok, kok. Cocok,” ucapnya sambil
meringis.
“Cocok banget, Halimah. Ganteng sama cantik. Kalau
punya anak, anaknya pasti kayak barbie,” sambar Ihsan sambil mengacungkan
jempolnya.
“Kalau anaknya laki-laki, gimana?” sahut Halimah
sambil memutar kepalanya menatap Ihsan.
“Kalau laki-laki … dia ganteng kayak Nabi Yusuf,”
jawab Ihsan.
“Aamiin.” Halimah tersenyum lebar. Ia terlihat sangat
bersemangat setiap kali ingin pergi belajar agama dan mengaji di kampung
sebelah. Meski harus berjalan kaki selama satu jam lebih, ia tidak pernah
merasa lelah jika itu untuk bertemu Ustadz Zuhri. Sosok pria idaman yang sangat
ia kagumi dan ia inginkan menjadi imam di masa depannya.
[[Bersambung …]]
Ini akan jadi Prekuel untuk novel "Assalamualaikum, Ya Habib!" yang ada di aplikasi Fizzo.
Terima kasih buat kalian yang udah bersedia baca di blog aku ini!
Jangan lupa share ke temen kalian, biar makin banyak yang baca dan authornya makin semangat nulis setiap hari!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi