“Mas, tagihan air bulan ini
seratus enam puluh lima ribu. Ini hari terakhir pembayaran. Aku nggak punya
uang sama sekali karena sudah dua bulan nggak kerja,” tuturku pagi itu.
Ya, itulah kalimat terakhir yang
aku ucapkan sebelum suamiku tiba-tiba pergi lagi dari rumah. Ini bukan pertama kalinya,
sudah berkali-kali dia seperti itu.
Saat aku tidak punya uang dan
pekerjaan untuk menghidupi dia dan anak-anak, dia akan pergi begitu saja. Dia bilang,
mau pergi ngojek ke kota sebelah. Kota tempat tinggal orang tuanya. Berharap
bisa pulang dengan membawa uang. Tapi ... tetap saja, yang terjadi adalah
itu-itu saja. Dia tidak pernah pulang dengan membawa uang, apalagi memberi nafkah
untuk istri dan anak-anaknya. Bahkan, untuk membelikan satu buah es krim saja,
dia lebih memilih membiarkan anak-anaknya menangis.
Kejadian hari ini, persis dengan yang
terjadi dua tahun lalu. Saat itu, aku juga benar-benar tak punya uang. Hanya
punya uang dua puluh ribu rupiah saja. Aku sendiri tidak tahu, selembar uang
hijau itu akan bertahan berapa lama untuk jajan puteriku. Saat itu juga,
suamiku minta uang untuk beli rokok dan bensin. Aku tidak bisa memberinya
karena uang yang aku punya hanya cukup untuk jajan anak besok.
Sementara, aku tidak punya
pekerjaan tetap. Suamiku juga tidak pernah bekerja. Setiap hari hanya berdiam
diri di rumah, bermain game hingga larut malam, baru bangun tidur di siang
hari.
Hari itu, dia marah besar karena
aku tak bisa memberinya uang. Tanpa berkata apa-apa, dia tiba-tiba pergi dari
rumah. Meninggalkan aku dan puteriku begitu saja selama setahun. Tanpa memberi nafkah
bulanan. Dia hanya pulang jika ingat pada puterinya. Meninggalkan uang seratus
ribu rupiah untuk waktu yang tidak bisa diperkirakan. Bisa untuk sebulan, dua
bulan bahkan setahun.
Bagaimana aku bisa menghidupi puteriku
hanya dengan uang seratus ribu itu? Sementara, aku tidak punya pekerjaan tetap.
Aku terpaksa berhenti bekerja karena ingin mengurus anak. Berharap jika suamiku
bisa menggantikan posisiku sebagai pencari nafkah untuk keluarga. Sayangnya,
dia malah memilih untuk melepas tanggung jawabnya. Membuatku terpaksa masih
harus memenuhi kebutuhan keluargaku seorang diri.
Hal yang lebih menyakitkan lagi, aku
hamil saat suamiku tak pernah pulang ke rumah selama hampir satu tahun. Saat
lima bulan kepergian suamiku, aku juga baru mengetahui kalau aku sudah hamil
lima bulan juga. Rasanya seperti dicambuk ribuan kali. Sangat sakit karena aku
harus dibebani oleh anak lagi, sementara satu anak dan empat orang tua yang aku
hidupi, belum tahu bagaimana masa depannya.
Awalnya, aku ingin memilih
bercerai. Menghidupi dua anakku sendiri saja tanpa harus terbebani oleh suami
yang tidak mau memberi nafkah, tidak juga mau membantu mengurus rumah dan
anak-anak. Aku ingin fokus bekerja dan menghidupi anak-anakku. Sayangnya, keinginanku
untuk bercerai tidak bisa terpenuhi. Semua buku nikah dan surat-surat penting
dibawa pergi suamiku. Membuatku kesulitan untuk melayangkan gugatan perceraian.
Saat itu juga, keluarga memintaku
menyuruh suamiku pulang. Dengan berat hati, aku menghubungi suamiku.
Memberitahu kehamilanku dan membuat keluarga kami utuh lagi. Meski harus mengorbankan
seluruh perasaanku. Aku rela melakukannya demi anak dan keluarga. Demi menutupi
bahwa keluarga kami dalam keadaan baik-baik saja.
Hingga anak keduaku terlahir.
Suamiku masih tidak memberi uang sepeser pun. Biaya lahiran, semuanya harus kutanggung
sendiri. Terpaksa meminjam uang pada teman atau tetangga yang bersedia
membantu. Aku hanya menjadi penjahit kecil sejak berhenti bekerja dari
perusahaan. Pendapatanku tak tentu. Tidak setiap hari ada yang datang untuk menjahitkan
pakaiannya.
Meski aku kesulitan, aku tidak
ingin terlihat sulit di depan keluarga dan orang-orang terdekatku. Aku ingin,
tetap terlihat baik-baik saja sampai hari ini. Sampai aku benar-benar tak mampu
lagi menahannya.
Ya, hari ini ... aku putuskan
untuk bercerita. Sebab, aku tak mampu lagi menahan rasa sakit yang begitu
dalam. Aku takut, aku justru mengakhiri hidupku sendiri karena tak punya tempat
untuk bersandar dan berbagi.
Masih ada dua anakku, nenek-kakek
yang harus aku hidupi dan kedua orang tuaku yang sudah tak bekerja lagi. Aku
masih ingin membahagiakan mereka. Masih ingin hidup lebih lama dan mencurahkan
semua rasa sakitku dengan bercerita.
Jika hari ini aku memutuskan
untuk menuliskan kisah pelik ini. Itu semua karena aku ingin semua orang bisa
mengambil pelajaran hidup dari apa yang aku alami.
Menikah dengan orang yang belum
benar-benar kita kenal, memang sangat berisiko. Karena, kita tidak pernah tahu bagaimana
dia akan memperlakukan kita.
Aku menikah tanpa pacaran dan
menjadi bagian dari wanita yang tidak beruntung di dunia. Bukan karena aku
tidak bersyukur, tapi karena memang hidup ini telah banyak menyesatkanku. Dia
bukan hanya tidak memberi nafkah ekonomi, tapi juga tidak memberi nafkah
pendidikan, moral dan spiritual untuk keluarga kami.
Kata orang, jodoh adalah cermin. Membuatku
terus berpikir dan putus asa. Betapa buruknya aku hingga aku mendapatkan jodoh
yang begitu tidak bertanggung jawab.
Hari ini ... kejadian itu
terulang kembali. Dia kembali pergi saat aku sudah tidak punya uang, sudah
tidak bekerja menghasilkan uang lagi dan sakit-sakitan.
Saat ini, aku sedang berada di
titik “Hidup segan, mati tak mau”.
Aku tak punya semangat untuk
hidup, apalagi menghidupi anak-anakku.
Setiap hari yang aku pikirkan
adalah ... bagaimana aku bisa bercerai dengan suamiku sendiri. Aku ingin bisa
tenang menghidupi anak-anak dan keluargaku tanpa terhalang status pernikahan.
Sementara, semua tanggung jawabnya sebagai seorang ayah tak pernah terpenuhi.
Aku bahkan terus-menerus membayat
tagihan bpjs atas nama suamiku dan mengorbankan satu anakku karena aku tahu,
aku tidak akan mampu membayar lebih jika ditambah satu anggota keluarga lagi.
Rasanya sakit sekali ketika aku
memohon agar dia mau mengeluarkan uang untuk membayar bpjs keluarga. Tapi dari mulutnya
malah keluar kalimat “Nggak perlu bayarin punyaku! Bayar aja punya kamu dan
anak-anak!”
Itu adalah kalimat menyakitkan ke
sekian kali dari mulutnya. Membuatku sangat sakit. Bahkan, untuk membayar bpjs
dirinya sendiri saja, dia tidak mau. Bagaimana dengan nasibku dan anak-anak
saat aku sudah tidak bisa bekerja lagi?
Saat aku sudah sakit-sakitan. Dia
terus mengabaikanku. Bahkan, aku dan anak-anakku dibiarkan kelaparan karena dia
tidak bisa masak dan tidak bisa cari uang untuk kami. Jika tidak tinggal dengan
orang tuaku, mungkin aku dan anak-anakku akan dibiarkan mati begitu saja agar
tidak jadi beban hidup suami.
Sialnya lagi, orang tuaku membiarkan
semua ini terjadi. Meski suami sampai mencekik aku di depan nenekku sendiri,
mereka semua bertingkah seolah tidak pernah terjadi apa-apa denganku. Kata
mereka, pria ini adalah pria pilihanku. Aku tidak boleh menyesalinya.
Sungguh, aku sudah menyesalinya
sejak setahun pernikahan kami. Aku menyesal karena memaksakan diri menerima
lamaran karena desakan dari nenekku yang sudah tua. Setiap hari, dia selalu
bilang ... ingin melihatku menikah dan punya anak sebelum dia meninggal. Aku
tidak memedulikan diriku sendiri. Terlalu gegabah menerima pinangan dari pria
yang – aku sendiri sudah meragukannya sejak awal.
Menikah tanpa pacaran, mungkin
memang baik. Tapi sebaiknya kita lebih mengenal lebih jauh orang yang akan
menjadi masa depan kita. Sebab, akan berlaku selamanya. Menyesal pun, tidak akan
mengubah jalan hidup kita.
Saat ini, aku sedang berada di
titik putus asa. Aku selalu berserah diri pada Tuhan dan meminta semua
baik-baik saja. Tapi rasa sakit ini tidak bisa dipungkiri. Di kepalaku, seolah
ada seseorang yang memerintahkan aku untuk mengakhiri hidup. Aku benci keadaan
ini. Aku benci melawan ketidakmampuanku sendiri.
Saat suamiku pergi begitu saja
tanpa pesan untukku, hanya berpesan pada anak bahwa dia akan mencari uang.
Meski aku tahu, seminggu, sebulan atau setahun lagi ... dia tidak akan pernah
memberikan aku uang untuk hidup. Aku tetap harus bertahan hidup dan membuat
anak-anakku tetap hidup.
“Ya Tuhan ... jangan kembalikan
suamiku!”
Doa terburuk yang pernah aku panjatkan
seumur hidup. Setelah selama tujuh tahun aku berdoa agar suamiku diberi hidayah
dan menjadi suami yang bertanggung jawab. Aku tidak berniat untuk mencari
pengganti dia dalam hidupku. Rasanya sudah sangat sakit. Jika Tuhan mengabulkan
doa terakhirku, aku hanya ingin hidup tenang dan damai bersama dua anakku.
Meski berjuang seorang diri, setidaknya beban terbesar dalam hidupku bisa
lepas. Karena masih ada tangan-tangan kecil yang menggantungkan jemarinya di
tanganku. Jika dia bijak dan ingin membahagiakan anak-anak, dia pasti akan
dengan ikhlas melepasku menjalani kehidupanku sendiri.
Kuingin ... bahagiaku tanpa dia. Kuingin
... dia tidak pernah kembali dalam hidupku dan anak-anakku. Kuingin bisa memberikan kehidupan untuk anak-anakku.
Sedangkan dia, masih bisa mencari kehidupannya sendiri. Aku hanya ingin melepas
ikatan yang sudah terlalu erat hingga menyakitiku tanpa jeda.
Story by Rin Muna
0 komentar:
Post a Comment