“Secret Beloved”
A short story by Vella Nine
“Hei
...!” Rara langsung menyenggol lenganku saat aku sedang duduk di tepi lapangan.
Lapangan
futsal di sekolah disulap menjadi panggung pensi usai ulangan semester. Aku
salah satu siswa yang tidak pernah ketinggalan hadir di setiap harinya.
“Eh,
kamu kenapa sih? Dari tadi ngelamun terus?” tanya Rara sambil duduk di
sampingku. Ia menyodorkan kantong plastik berisi es teh ke hadapanku.
Aku
langsung meraih es teh tersebut. Ini pertama kalinya aku melamun di tengah-tengah
keramaian. Ah, entah berapa orang yang menyadari lamunanku. Kurasa, hanya Rara
seorang dari sekian ratus siswa.
“Kamu
nunggu Kak Ian tampil lagi?” tanya Rara sambil menatap panggung yang sedang
mempersembahkan tarian daerah khas Aceh.
Aku
menggelengkan kepala.
“Halah,
ngaku aja! Abis ini, jadwalnya Kak Ian tampil main tingkilan loh,” tutur Rara.
Aku
hanya tersenyum kecil. Entah kenapa, kali ini aku tidak begitu bersemangat
melihat penampilan Kak Ian. Apa karena kejadian dua hari lalu ...???
Kak
Ian termasuk cowok paling populer di sekolah. Dia tidak seganteng Li Hongyi,
tapi menjadi favorite semua cewek di sekolah karena sifatnya yang humble dan
banyak terlibat dalam kegiatan sekolah.
Kak
Ian, pemilik nama asli Satria Satwika itu tidak hanya terampil memainkan musik
tradisional tingkilan asal Kalimantan. Ia juga vokalis dan gitaris salah satu
band ternama di kota ini. Selain di dunia musik, Kak Ian aktif menjadi komandan
paskibraka sekolah, menjadi wakil ketua osis, juga aktif dalam kegiatan rohani
di sekolah.
Siapa
yang tidak mengenal Kak Ian di sekolah dengan kegiatan dan organisasinya yang
seabrek itu? Bahkan, anai-anai penghuni perpustakaan yang tidak pernah keluar
dari ruang perpustakaan pun mengenal Kak Ian.
Semua
cewek di sekolah mengagumi Kak Ian walau kelakuannya slengean dan penampilannya
selalu berantakan. Tidak pernah memasukkan baju ke dalam celananya, bahkan
memakai topi pun asal nempel di atas kepalanya. Kalau soal kerapian pakaian,
sudah pasti nilanya di bawah angka lima puluh.
Aku
juga tidak mengerti kenapa aku menjadi deretan cewek yang ikut mengagumi Kak
Ian. Yah, sekedar kagum saja. Bukan karena menyukai sosok cowok berkulit sawo
matang yang memiliki tinggi badan seratus tujuh puluh dua sentimeter itu.
Dari
mana aku tahu tinggi badan Kak Ian seakurat itu? Ah, sepertinya rasa kagumku
ini bukan hanya karena kegiatan organisasi dan prestasi-prestasi yang sudah ia
ukir. Tapi, mulai memerhatikan kehidupan pribadinya. Aku sangat mengetahui
ukuran nomor sepatu, ukuran kemeja dan celananya, makanan favoritnya juga
tempat dia biasa nongkrong bersama teman-temannya.
“Woy
... masih aja ngelamun!” Rara berteriak tepat di telingaku.
“Sialan
kamu!” makiku sambil menutup kuping. “Kupingku sampe ‘peng-peng-peng’ kayak
gini. Kalo gendang telingaku pecah gimana?”
“Hahaha.
Abisnya ngelamun terus,” tutur Rara. “Eh, itu Kak Ian. Cakep banget!” seru Rara
sambil menunjuk ke arah panggung.
Aku
hanya tersenyum kecil. Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi Kak Ian. Sejak
pertama masuk sekolah hingga aku duduk di kelas sebelas, aku sudah mengagumi
Kak Ian seperti yang dilakukan oleh semua cewek di sekolah. Satu setengah
tahun, cukup untuk mengetahui banyak hal tentang Kak Ian.
Dua
hari lalu, aku dihadapkan dengan keadaan yang membuatku menjadi canggung, malu
dan tidak punya nyali menghadapi Kak Ian. Aku terus membayangkan bagaimana
seluruh cewek di sekolah menyerangku karena mereka mengetahui apa yang telah
terjadi antara aku dan Kak Ian.
“Rin
...! Maurin!” Rara kembali menyadarkan lamunanku. Aku langsung menoleh Rara
yang duduk di sampingku.
Rara
menunjuk-nunjuk seseorang dengan bola matanya. Aku langsung menatap sepasang
kaki yang sudah ada di hadapanku. Aku menengadahkan kepala menatap sosok pria
pemilik kaki tersebut.
Oh
... Tuhan! Berapa lama aku melamun tentang Kak Ian? Kenapa aku terlarut dalam
lamunan yang begitu lama hingga aku tidak menyadari penampilan Kak Ian kali
ini. Lebih parahnya lagi, aku tidak menyadari kalau Kak Ian sudah berdiri di
hadapanku.
Kak
Ian melambaikan tangannya tepat di depan wajahku.
Aku
langsung gelagapan begitu menyadari kehadirannya. Oh, tidak! Aku tidak tahu
bagaimana ekspresiku saat ini. Otakku terasa sangat kacau. Sepertinya, aku
telah melakukan hal yang memalukan.
“Ayo!”
Kak Ian tertawa kecil sambil mengulurkan tangannya ke arahku.
“Eh!?
Ke mana?” tanyaku bingung.
“Pulang.”
Rara
membelalakkan mata begitu mendengar ucapan Kak Ian. “Rin, kamu diajak pulang
sama Kak Ian. Ini kesempatan langka, buruan!” bisiknya di telingaku.
“Mmh
... aku belum mau pulang. Tunggu pensi kelar,” jawabku sambil tersenyum ke arah
Kak Ian.
“Tapi
kita sudah janji sama mama kamu kalau ...”
Aku
langsung bangkit dan membungkam mulut Kak Ian. “Jangan bilang apa pun tentang
hubungan kita di sini!” pintaku berbisik.
“Kenapa?”
tanya Kak Ian sambil menggenggam pergelangan tanganku.
Aku
mengedarkan pandanganku. Semua mata tertuju pada kami berdua. Aku tidak sanggup
menjadi pusat perhatian banyak orang. Terlebih, Kak Ian punya banyak penggemar.
Aku tidak ingin semua orang tahu kalau ... kalau ... kalau aku dan Kak Ian
punya hubungan lain di luar sekolah.
“Eh!?”
Aku terkejut saat tangan Kak Ian menarik kuat pergelangan tanganku dan
membawaku keluar dari kerumunan banyak orang.
“Kak,
lepasin!” pintaku saat kami tiba di lorong yang sepi. Aku berusaha melepas
pegangan tangan Kak Ian yang begitu erat.
Kak
ian melepas tanganku dan berbalik menatap wajahku. “Kenapa?”
“Aku
malu diperhatikan banyak orang.”
“Kamu
malu punya pacar kayak aku?”
“Kita
nggak pacaran,” sahutku cepat.
“Rin,
aku nggak ngerti sama kamu. Semua cewek di sekolah ini pengen jadi pacarku.
Kenapa kamu malah nggak mau sama aku?”
Aku
menggelengkan kepala. “Kak, hubungan kita karena perjodohan orang tua. Bukan
karena kita saling mencintai. Aku tahu, Kakak seperti ini karena aku nggak enak
sama orang tuaku. Aku bakal mengatasi mereka supaya perjodohan kita
dibatalkan.”
“Kenapa
kamu pengen perjodohan ini batal?” tanya Kak Ian.
“Karena
aku nggak mau punya hubungan sama seseorang yang nggak sayang sama aku.
Lagipula, aku masih kelas dua SMA. Perjalanan kita masih panjang. Bisa aja
suatu saat nanti, kita bertemu sama orang yang benar-benar kita cintai.”
“Apa
aku pernah bilang kalau aku nggak sayang sama kamu?”
Aku
menggelengkan kepala. “Kamu juga nggak pernah bilang kalau kamu sayang sama aku,”
jawabku sambil tersenyum.
Kak
Ian merogoh saku celana dan mengeluarkan kain merah dari sakunya. “Ini punya
kamu kan?” tanya Kak Ian sambil menunjukkan syal paskibra di tangannya.
Aku
menggelengkan kepala. “Banyak yang punya syal kayak gitu.”
“Di
sini, ada bordiran nama Maurin,” tutur Kak Ian sambil mendekatkan tubuhnya.
Aku
melebarkan kelopak mataku. Ia hampir lupa kalau syal paskibra miliknya memang
pernah ia pinjamkan kepada Kak Ian setahun lalu. Pantas saja, aku terus mencari
dan tidak bisa menemukan syalku.
Aku
meringis ke arah Kak Ian. “Kakak ambil aja! Aku bisa beli lagi, kok.”
“Rin,
aku nggak ngembalikan syal kamu bukan karena aku nggak mampu beli syal lagi
atau nggak punya syal lain. Setiap aku paskibra, aku selalu pakai syal ini
sambil melihat kamu dari jauh.”
Aku
terdiam. Masih tidak mengerti maksud dari ucapan Kak Ian.
“Sejak
kamu ngasih pinjam syal ini, aku udah suka sama kamu. Aku cuma nggak tahu
gimana caranya bisa deketin kamu di sekolah. Bahkan aku nggak punya keberanian
buat nyapa kamu, Rin. Aku bahagia banget saat tahu orang tua kita bersahabat
dan mempertemukan kita.”
Aku
langsung menatap wajah Kak Ian. “Benarkah dia menyukaiku sejak setahun lalu?”
“Aku
nggak mau perjodohan kita batal. Aku mau kamu dari dulu. Aku nunggu lama banget
buat dapetin kesempatan ini. Kesempatan buat deket sama kamu. Bisa nggak kalau
kita ... pacaran bukan karena perjodohan itu?”
“Maksud
Kak Ian?”
“Aku
sayang sama kamu, jauh sebelum kita dijodohkan. Aku nggak bisa terus-terusan
memerhatikan kamu dari kejauhan. Aku pengen jadi orang yang paling dekat sama
kamu.” Kak Ian menyentuh lenganku. “Seperti ini ...” Ia menempelkan dahinya ke
dahiku.
Oh
... My God! Aku tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhku. Apa jantungku sudah
lepas dari tempatnya? Apa jantungku masih berdetak? Kenapa aku tidak bisa
mengatakan apa pun saat menatap wajahku yang tergambar jelas di dalam manik
matanya.
Perasaanku
tak karuan, telapak tanganku gemetaran, berusaha mencari sesuatu untuk bisa
menopang tubuhku agar tidak terjatuh. Tanpa sadar, aku langsung memeluk
punggung Kak Ian saat bibirnya berhasil membuat seluruh tubuhku membeku. Oh ... God! Ciuman pertamaku ...
((
Selesai ... ))
Terima
kasih sudah membaca. Ini adalah cerpenku yang ke ...? Ah, entahlah. Aku tak
pernah menghitungnya. Kalau suka sama ceritanya, silakan komen di bawah biar author makin semangat nulisnya!
Much
Love,
-Vella
Nine-
Salam kenal Kak. Kak, kalau untuk menulis cerpen seperti di atas, biasanya butuh berapa kata?
ReplyDeleteCerpen maksimalnya 8rb kata. Kalau mau pendek, bisa 1200-3000 kata udah cukup, kok. Yang penting bisa padatkan ceritanya.
Delete