“Rin, ojo tegang-tegang! Nanti
cepet tua kalo keakehan mikir!” Pak Slamet langsung memijat pundakku begitu ia
masuk ke kantor.
“Enaknya, Pak! Sering-sering aja
pijitin!” sahutku sambil terkekeh geli.
“Malah keenakan!” dengus Pak
Slamet. Ia langsung menarik salah satu kursi kosong yang tak jauh dari tempat dudukku,
kemudian duduk tepat di sampingku.
“Dari afdeling, Pak?” tanyaku
sambil menatap layar ponsel.
“Iya. Dari mana lagi? Masa dari
warung janda?”
“Halah, biasane juga mampir
warung janda,” sahut Pak Mesdi sambil terkekeh geli.
Kami semua yang ada di dalam
ruangan ini, ikut tertawa lebar.
“Ohh ... Pak Met, ya ...
diam-diam suka ke warung janda juga!” seru kerani yang lainnya.
“Cuma ngopi aja,” sahut Pak Slamet
sambil mengeluarkan buku agendanya.
“Rin, BKM ada masalah apa nggak?”
tanya Pak Slamet.
“Nggak ada sih, Pak. Tapi ini
anggaran bapak sudah mau habis, loh. Over budget untuk pekerjaan piringan.”
“Kok, bisa?” tanya Pak Slamet.
“Ya nggak tahu, Pak. Kemarin
pengajuan dananya gimana? Pasti copas, nih!” tuduhku ngasal sambil menahan
tawa.
“Kayak nggak tahu aja, Rin. Wes
mumet neng lahan, suruh bikin laporan lagi. Tambah mumet,” sahut Pak Slamet.
“Suruh kerani bapak, lah. Apa
gunanya gaji kerani kalau asistennya masih repot ngurusin laporan?” sahutku.
“Kamu aja yang jadi keraniku!”
sahut Pak Slamet.
“Hahaha. Lawan dulu Bos Besarnya,
Pak. Kalo boleh jadi keraninya Pak Met. Aku mau aja. Kerjaannya santai dan
nggak banyak. Daripada kayak gini, mumet juga aku, Pak,” sahutku.
Aku bekerja di kantor sebagai Kerani
Pembukuan. Tapi, bukan hanya mengerjakan laporan pembukuan saja. Di perusahaan
perkebunan yang memiliki keterbatasan anggaran. Kami sebagai kerani harus bisa
semuanya. Tapi, memang tidak semua kerani. Kalau kata bosku, aku adalah joker
di perusahaan. Salah satu kerani yang bisa mengerjakan semua pekerjaan di semua
divisi. Mulai dari laporan harian kerani sampai penyusunan budget perusahaan.
Hampir setiap hari, asisten
lapangan akan mengecek laporan yang sudah masuk ke akunku. Hanya akunku yang
bisa melihat semua transaksi perusahaan melalui sistem yang sudah terintegrasi
(Integrated Plantation System; iPlas), sehingga asisten kerap mengecek laporan
bersamaku. Kadang, aku juga sering berantem dengan asisten karena data lapangan
yang masuk ke akunku tidak sinkron. Hal biasa, tapi memang harus terjadi demi
kebaikan bersama.
Pak Slamet adalah asisten yang
paling aktif pergi ke kantor. Kalau istilah candaan kami, mereka rindu sama
aku. Rindu karena modus. Minta baikin laporan dan sebagainya.
Setiap jam dua siang, saat karyawan
lapangan sudah pulang kerja. Asisten akan pergi ke kantor untuk mengecek
laporan. Terkadang, mereka juga terpaksa datang saat aku menelepon. Aku hanya
menelepon ketika ada masalah dalam laporan yang masuk, sementara laporan harus
segera dikunci. Supaya tidak banyak revisi yang memberatkan sistem kami.
Sebenarnya, aku tidak tega kalau
harus menyuruh asisten harus bolak-balik ke kantor dan lapangan yang jaraknya
tidak dekat. Tapi itulah perjuangan seorang asisten lapangan. Menjadi atasan
yang dibenci karyawan karena keputusannya. Menjdi bawahan yang dimaki-maki
atasan karena belum menjalankan prosedur dengan baik. Kalau kata KTU, posisi
kami ini serba salah. Di atas ditojok sama bos, di bawah di dodos sama karyawan.
Hahaha.
Yah, mau diapakan lagi. Sudah nasib
kami yang berada di posisi tengah-tengah seperti ini.
Seperti saat ini, Pak Slamet
tiba-tiba datang ke kantor untuk mengecek laporannya.
“Haduh, Rin ... pusing aku. Di
lahan banyak masalah. Di kantor banyak masalah. Di rumah juga mumet. Mau mindahin
sekolahnya anakku, biayanya banyak banget,” keluh Pak Slamet.
Aku menanggapi ucapannya. Kami
bercerita sambil mengecek laporan yang ada di komputerku. Meski sambil
mengerjakan laporan, sesekali aku sering mendengar keluhan atasan kami. Mungkin,
ada beban hidup yang tak bisa mereka katakan pada orang lain, bercerita adalah
salah satu cara untuk melepaskannya perlahan. Dan aku hanya bisa menjadi
pendengar yang baik.
Pak Slamet ... setiap ke kantor,
bukan hanya curhat masalah pekerjaan dan pendidikan anak-anaknya. Tapi juga kerap
memberi nasehat padaku. Aku bisa membeli sepede motor, juga berkat saran
beliau. Biasanya, aku memilih jalan kaki dari rumah ke kantor atau ke mess. Saat
itu, gajiku hanya 1,3 juta. Tidak berani kredit motor karena aku harus
menghidupi nenek-kakek, dua orang tua dan adik-adikku. Tapi akhirnya, aku
memberanikan diri mengambil cicilan motor berkat saran dari dia.
Banyak hal yang tidak bisa aku
lupakan. Meski hanya sebagai rekan kerja, tapi kami sudah sepertu keluarga.
Kami bukan hanya berbagi suka-duka. Kami juga saling support, sering berantem.
Tapi tetap berjalan bersama-sama untuk saling support.
Saat aku tahu beliau sakit, aku
merasa iba. Tubuhnya semakin kurus dan ringkih. Tatapan matanya tak lagi
bercahaya. Tapi dia tetap semangat setiap hari. Bahkan, selalu menyempatkan
diri datang ke kantor hanya untuk menghibur kami.
Hari ini ... rasanya masih tak
percaya kalau beliau benar-benar sudah pergi untuk selamanya. Meski sudah 4
tahun aku resign dan tidak lagi menjadi bagian dari keluarga AMS/Gama Group,
tapi dedikasi atasan-atasanku tak kan pernah terlupakan.
Pak Slamet, bukan hanya rekan kerja
yang baik. Dia banyak memberi nasehat. Selalu menghibur meski kami tahu dia sedang
lelah. Baginya, anak-anak di kantor sudah seperti anaknya sendiri. Menjadi
tempat untuk menenangkan diri saat ia sudah lelah di lahan.
Hari ini ... tanggal 28 Mei 2021
adalah hari pemakaman beliau. Meski sudah 4 tahun tak lagi bekerja bersama.
Tapi kami sudah menjadi rekan kerja selama 7 tahun. Bagiku, dia sudah seperti seorang
ayah. Selalu memberi nasehat, menceritakan pengalamannya, mengajak diskusi, membuat
kami tertawa bersama, membuat kami merasakan kehangatan sebuah keluarga di
dunia kerja.
Selamat jalan, Pak Slamet ...!
Terima kasih untuk dedikasinya
selama ini. Terima kasih untuk semua ilmu dan pengalamannya. Mungkin, semua
ilmu yang pernah kamu berikan tak terlihat, tapi bisa dirasakan oleh orang
banyak. Kamu mengajarkan aku untuk kuat menghadapi masalah, berani mengambil
resiko. Hingga hari ini, mentalku yang kuat terbentuk karena peran darimu juga.
“Cintailah perusahaan tempatmu
bekerja. Meski tidak membuatmu kaya, tapi memberikanmu hidup.”
Kutipan ini seringkali kudengar
di tempatku bekerja. Kutipan sederhana yang membuat kami terus bekerja dengan
hati, memberikan dedikasi kepada perusahaan demi keluarga dan si buah hati.
Membuat kami selalu bekerja dengan sungguh-sungguh. Tak mudah pergi meski
banyak orang yang ingin menjatuhkan dan menyakiti.
Selamat jalan, Pak Slamet ...!
Banyak pelajaran hidup yang telah
beliau berikan. Pelajaran hidup yang tidak pernah terlupakan adalah ...
“Tetap semangat dan jangan menyerah pada
hidup. Yang hidup, akan terus menghadapi ujian kehidupan. Kalau sudah tidak
diuji, maka sudah waktunya untuk pulang.”
Tulisan
kecil ini aku persembahkan untuk mendiang Pak Slamet (Asisten Afdeling PT. Alam
Jaya Persada, PT. Tritunggal Sentra Buana – AMS GAMA GROUP)
0 komentar:
Post a Comment