I AM SITA
Sita
berjalan perlahan menyusuri jalan serapak dengan ransel di punggungnya. Setiap
hari libur sekolah, gadis kelas 2 SMU ini selalu menyempatkan waktu untuk pergi
mengunjungi adik-adik angkatnya. Butuh waktu satu jam untuk memasuki dusun
tempat adik-adiknya tinggal.
“Kak Sita
datang...!” teriak salah seorang bocah cilik yang sedang asyik bermain gundu.
Hanya dalam
hitungan detik, anak-anak mengerubungi Sita. Sila duduk bersila di sebuah
pondok yang hanya beratapkan ilalang. Tempat yang sangat sederhana untuk
berkumpul dengan adik-adik angkatnya. Sita mengeluarkan isi ranselnya, ada
banyak buku tentang pendidikan dan alat-alat tulis yang dibagikan satu persatu
kepada 16 adik-adiknya. Dengan ijin dari kepalam dusun, Sita mengajak anak-anak
bermain sambil belajar setiap hari minggu.
Beberapa
bulan kemudian...
“Sit, nanti
sore ada waktu nggak?” tanya Randi.
“Waktu
untuk apa?” tanya Sita.
“Ya untuk
jalan sama aku lah.” Jawab Randi.
“Hmm....
jalan ke mana?” tanya Sita.
“Ke mana
aja yang kamu suka.” Jawab Randi.
“Yang bener
nih?” tanya Sita.
Randi
mengangguk sambil memainkan matanya.
Sita
tersenyum geli, “Oke, kalau begitu jemput aku di rumah jam tiga ya!”
Randi
melompat kegirangan. Ini kesempatan pertama baginya setelah beberapa kali
mendapat penolakan.
Randi
datang ke rumah Sita tepat jam 3 sore.
“Ran, kamu
bisa bawa mobil kan?” tanay Sita saat melihat Randi datang dengan sepeda
motornya.
“Bisa lah,
kan setiap hari ke sekolah juga bawa mobil.” Jawab Randi.
“Kita pakai
mobil aku aja ya!” pinta Sita.
“Kenapa?
Trus motorku ini bagaimana?” tanya Randi.
“Masukin
aja ke garasi!” jawab Sita sambil menunjuk ke arah garasi rumahnya.
“Gimana
sih? Padahal kan lebih romantis kalau pakai motor. Emang dasar nih cewek kaya,
nggak mau banget kena debu dikit aja.” Celetuk Randi sambil memasukkan motor
kawasakinya ke dalam garasi.
Sita
tersenyum sambil memberikan kunci mobilnya pada Randi.
“Kita mau
ke mana?” tanya Randi.
“Nggak usah
banyak tanya! Nanti juga bakalan tau kok, ikutin aja petunjukku!” sahut Sita.
Mereka terdiam
untuk beberapa saat.
“Kamu nggak
salah kan?” tanya Randi kebingungan. Mereka sudah ada di jalur jalan luar kota.
Randi semakin bingung saat mereka sudah jauh dari kota dan tidak ada
tanda-tanda dari Sita untuk menepikan mobilnya. Randi melirik arlojinya, mereka
sudah menempuh tiga jam perjalanan. Randi melihat ke arah Sita yang sedang
asyik membuka-buka majalah fashion dengan earphone di telinganya. Randi
memberanikan diri menyentuh pundak Sita.
“Ada apa?”
tanya Sita yang tersadar dengan sentuhan Randi. Sita melepas earphone dari
telinganya.
“Masih jauh
kah?” tanya Randi.
Sita
memandang ke sekeliling jalan. “Tiga jam dari sini kita sudah sampai.” Jawab
Sita.
Randi
menginjak rem tiba-tiba karena kaget mendengar jawaban Sita.
“Eh, kamu
kalau ngerem kira-kira dong!” sentak Sita.
“Kamu juga
kalau ngajak jalan kira-kira dong!” jawab Randi.
“Lho? Kan
kamu sendiri yang menawarkan diri untuk jalan sama aku.” Sahut Sita.
“Tapi nggak
sejauh ini, aku Cuma pengen menikmati malam mingguku bareng kamu. Setidaknya
kamu punya waktu buat nonton bareng, makan bareng, dan pergi ke tempat-tempat
yang romantis...” ucapan Randi terhenti saat jemari telunjuk Sita mendarat di
bibirnya.
“Aku nggak
pernah memimpikan kencan romantis sama siapapun. Sekarang kamu mau pergi sama
aku atau pulang balik sendirian?” bisik Sita lembut di telinga Randi.
Randi
terdiam beberapa saat, sampai akhirnya ia memutuskan untuk menemani Sita. Randi
kembali melajukan mobilnya, mereka berhenti sejenak di sebuah warung makan
untuk mengisi perut mereka.
“Kamu yakin
makan di sini?” tanya Randi melihat kondisi warteg yang sangat jauh di luar
dugaannya.
“Kenapa?
Kamu nggak mau makan di sini? Nggak ada restoran di sini.” Jawab Sita.
Randi
tersenyum manis pada Sita. Randi tak menyangka kalau Sita yang selama ini
dikenal sebagai gadis kaya yang sombong dan borjuis, ternyata bisa juga makan
di sebuah warteg seperti ini.
“Pa kabar
Mbah?” sapa Sita pada nenekn pemilik warteg.
“Ya Ampun Mbak
Dewi. Sudah lama tidak kelihatan.” Sambut Nenek itu dengan hangat.
“Iya Mbah,
saya masih sibuk beberapa bulan ini.” Jawab Sita.
“Lagi sibuk
ngurusin proyek ya Mbak?” tanya si Mbah.
“Proyek apa
Mbah?” tanya Randi yang keheranan. Karena Sita sangat akrab dengan orang-orang
yang ada di sekitar situ. Semua orang sangat mengenal dan menghagrai Sita
dengan nama Dewi.
“Lho? Mas
ini ndak tau toh kalau Mbak Dewi ini yng suka nolong orang-orang di sini. Mbak
Dewi yang buat...” ucapan Mbah terhenti karena panggilan Sita.
“Mbah,
buatin nasi pecel ya!” pinta Sita memotong pembicaraan Mbah.
“Sit, ini
ada apaan sih? Banyak tanda tanya di otakku. Kenapa kamu di panggil Dewi dan
semua orang yang makan di warung ini kenal sama kamu sebagai Dew?” tanya Randi
yang kebingungan.
“Kali ini
kamu akan lihat sisi lain dari kehidupanku.” Jawab Sita singkat.
Randi masih
tak mengerti dengan jawaban Sita. Masih ada ribuan tanda tanya di otaknya.
Tiba-tiba
lelaki setengah baya menghampiri Sita. Sita tersenyum dan menyambut hangat
kedatangan lelaki itu. Sita memperkenalkan Randi pada lelaki itu. Randi menyambut
uluran tangannya dengan senyuman .
“Kenapa
tidak memberi kabar terlebih dahulu kalau mau ke sini mbak?” tanya Pak Wiryo,
lelaki setengah baya itu.
“Tidak
apa-apa Pak, saya hanya ingin berkunjung saja kemari. Sudah lama sekali saya
tidak berkunjung kemari. Bagaimana dengan proyeknya Pak? Apakah ada kendala?”
tanya Sita.
“Alhamdulillah
semua berjalan dengan lancar Mba, semua warga turut berpartisipasi, jadi semua
pekerjaan terasa lebih ringan. Warga sangat antusias dengan apa yang telah Mba
berikan kepada mereka,” jawab Pak Wiryo.
“Baik,
semuanya saya percayakan pada Bapak. Semoga saja semuanya bisa dikerjakan
dengan baik. Kalau ada kendala langsung hubungi saya!” pinta Sita.
Dengan
segala tanda tanya dan rasa penasarannya, Randi memberanikan diri untuk
bertanya pada Pak Wiryo. Apa yang sebenarnya terjadi. Dan akhirnya, Randi
mendapatkan jawaban setelah Pak Wiryo menceritakan semua yang telah Sita
lakukan untuk warga kampung dan dusun-dusun tertinggal. Sita yang mengucurkan
dana untuk pembangunan beberapa daerah tertinggal. Untuk pembuatan jalan akses
ke kota, pembangunan beberapa sekolah, fasilitas desa.
“Semulia
itukah hatimu, Sita?” batin Randi mengagumi sosok Sita yang ada di sampingnya
kini. Sangat berbeda sekali dengan Sita yang ia kenal di sekolah. Sita yang
angkuh, jutek, selalu bergaya hidup mewah dan galak sudah tidak di kenalnya
kali ini.
Seusai
makan, Pak Wiryo mempersilahkan Sita dan Randi untuk beristirahat di rumahnya
karena hari sudah larut malam.
“Sampai
kapan kita di tempat terpencil seperti ini?” tanya Randi.
“Sampai
semuanya selesai,” jawab Sita.
“Apa itu
Sit?” tanya Randi.
“Besok kamu
akan tahu, segeralah tidur dan siapkan tenagamu untuk besok!” perintah Sita.
Akhirnya
mereka masuk ke kamar masing-masing dan semua terlelap dalam hening malam
kecuali Randi. Randi gelisah dengan suara jangkrik yang tak ada hentinya. Randi
menutupi telinganya dengan bantal, namun tetap tidak berhasil. Randi membuka
jendela kamar karena kepanasan dan kembali berbaring di ranjang. Baru saja
matanya terpejam, ia di bangunkan oleh gigitan nyamuk.
“Aaaargh...!”
teriak Randi membangunkan orang-orang di rumah itu.
Pak Wiryo,
Istrinya dan Sita langsung menuju ke kamar Randi.
“Ada apa
Mas Randi?” tanya Pak Wiryo dari balik pintu.
Randi
membuka pintu kamarnya. “Pak, nggak ada AC ya? Nggak ada obat nyamuk? Panas
Pak, banyak nyamuk juga. Nggak bisa tidur saya.” Omel Randi.
“Maaf Mas,
ini di kampung. Tidak Ada AC di sini Mas, kalau obat nyamuk ada. Tolong
bakarkan ya Bu!” tutur Pak Wiryo pada istrinya.
“Apa? Obat
nyamuk bakar Pak? Saya nggak biasa pakai obat nyamuk bakar.” Sahut Randi.
Sita
tertawa kecil melihat kelakuan Randi. “Manja banget sih kamu jadi cowok!”
celetuk Sita.
“Aku bukan
manja. Tapi aku nggak biasa hidup susah. Kamu kan tau sendiri kalau aku...”
ucapan Randi terputus.
“Anak orang
kaya?” sahut Sita. “Yang nggak bisa hidup susah, yang nggak bisa cari duit
sendiri, yang semuanya bisa kamu lakuin cuma dengan nyuruh babu-babu kamu itu
kan!” sambungnya sambil berlalu pergi.
“Bukan gitu
Sit! Tapi...”
“Sudah lah
Pak, nggak usah di urusin tuh anak! Kalau udah ngantuk banget pasti bisa tidur
kok ” perintah Sita pada Pak Wiryo.
Keesokan
harinya...
“Masih pagi
kok sudah bangun Tuan?” sapa Sita saat Randi baru saja keluar dari kamarnya,
padahl sudah jam 10 pagi.
“Makan apa
kamu?” tanya Randi yang melihat Sita sedang asyik mengunyah makanan.
“Mandi dulu
sana! Bauuu...” sahut Sita sambil menutup hidungnya.
Randi
menciumi tubuhnya sambil mesam-mesem. “Nggak ada baju ganti”, celetuknya.
“Itu!”
tunjuk Sita dengan dagunya ke arah meja yang di atasnya ada tas belanjaan.
Randi
mengambil dan membukanya. Baju-baju cowok dan semuanya bermerek. Randi
tersenyum sumringah melihatnya. “Ini kamu yang siapin?” tanya Randi.
Sita hanya
mengangkat kedua alisnya sebagai tanda mengiyakan pertanyaan Randi.
“Pengertian
banget ya kamu jadi cewek”, celetuk Randi sambil berlalu pergi.
Setelah
Randi selesai mandi dan makan. Sita mengajak Randi untuk pergi ke sebuah tempat
yang sudah lama tak di datanginya. Sepanjang perjalanan Randi hanya mengomel
saja karena Sita mengajaknya berjalan kaki naik turun bukit dan melewati rawa. Namun
Sita tak memperdulikannya dan tetap saja melanjutkan perjalanan.
“Sit, kamu
lihat? Sepatu aku rusak kalau kayak gini, baju, celana. Ya ampun, ini mahal semua.
Mamaku belikan di luar negeri.” Tutur Randi yang sudah kelelahan.
“Aku ganti
tiga kali lipat.” Sahut Sita.
“Kalau
gitu, kita istirahat dulu”, pinta Randi.
Sita
tersenyum melihat Randi dan melemparkan sebotol minuman pada Randi. “Minumlah
dan lanjutkan perjalanan! Tempat yang kita tuju sudah dekat.”
“Di mana?”
tanya Randi sambil meneguk minuman dan membasuh wajahnya yang kepanasan oleh
terik matahari.
“Di balik
gunung itu.” Jawab Sita menunjuk gunung yang sangat jauh sekali.
“Apa!?”
Randi kaget dan tak sadarkan diri.
Sita panik
karena sebenarnya dia hanya bercanda. Kenapa pingsan betulan? Tapi ternyata
Randi tidak pingsan sungguhan.
“Kamu ini
jadi cowok ngerepotin banget sih”, celetuk Sita.
Beberapa
menit kemudian, mereka sampai di tempat yang mereka tuju. Sudah ada Pak Wiryo
yang menyambut mereka. Randi bingung melihat Pak Wiryo dan beberapa anak orang
yang di temuinya semalam sudah ada di tempat itu.
“Tidak usah
bingung Mas Randi. Tadinya Mba Dewi juga akan bersama kami pagi-pagi. Tapi Mas
Randi masih tertidur pulas dan susah sekali dibangunkan. Makanya Mbak Dewi
menunggu Mas Randi sampai bangun.” Tutur Pak Wiryo.
Randi
terdiam mendengar penuturan dari Pak Wiryo. Begitu baiknya hati Sita,
menungguku bangun hingga berjam-jam. “Aku sangat payah, bahkan untuk melakukan
perjalanan seperti ini saja aku selalu mengeluh selama perjalanan”, batin
Randi.
Ternyata
Sita mengajak Randi ke sebuah tempat yang masih sangat terpencil dan sulit di
jangkau. Ada sebuah perkampungan kecil, fasilitas yang tidak memadai dan tidak
ada sarana pendidikan yang layak. Randi melihat sekeliling dan mencoba memahami
kehidupan baru yang dikenalkan oleh Sita. Banyak hal yang dia pahami kali ini.
Saat ia berbicara dengan anak-anak di kampung itu. Saat ia melihat bagaimana
Sita bekomunikasi dengan orang-orang kampung itu. Seakan tak ada garis batas di
antara mereka. Sita mampu berbaur dengan warga kampung itu. Randi hanya berdiri
mematung memandang Sita yang sedang asyik bercengkerama dengan beberapa warga.
Randi sama sekali tak tahu kalau di dalam mobil yang mereka bawa ada begitu
banyak sembako untuk warga di sini. Pak Wiryo dan beberapa orang telah membantu
Sita untuk memasokkan barang-barang itu ke kampung ini dengan di pikul.
“Mbak,
alatnya sudah datang.” Tutur Pak Wiryo pada Sita.
“Langsung
dikerjakan saja Pak!” perintah Sita.
Dengan
bantuan dan partisipasi beberapa warga, akhirnya Sita dan beberapa warga mampu
membuka jalan akses ke kampung itu. Sehingga warga tidak harus kesulitan
berjalan kaki untuk bisa menjual hasil pertanian mereka. Sita menggunakan
beberapa alat berat untuk dapat membuka jalan. Semuanya tak akan selesai dalam
waktu satu hari, Pak Wiryo telah mendapatkan kepercayaan dari Sita untuk dapat
menjalankan semuanya.
“Ibu-Ibu,
Bapak-bapak, Adik-adik semuanya, saya mohon pamit. Saya tidak bisa berlama-lama
di tempat ini karena saya masih banyak urusan.” Pamit Sita pada warga yang
sedang mengerubunginya.
“Terima
kasih ya Bu Dewi. Berkat Ibu, Kampung kami ini menjadi lebih maju.” Tutur
seorang kepala dusun di tempat itu.
Sita dan
Randi segera bergegas dari tempat itu. Mereka harus segera pulang karena harus
kembali ke bangku sekolah sebagai seorang murid.
“Kamu lagi
kampanye politik kah?” tanya Randi.
“Maksudnya?”
tanya Sita tak mengerti.
“Kamu
sampai rela ngehabisin uang banyak untuk pembuatan jalan di kampung,
pembangunan sekolah-sekolah dan sebagainya. Bukannya itu urusan pemerintah?”
tutur Randi.
“Apa?
Urusan pemerintah? Pemerintah itu lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri
Ran. Kalau Pemerintah memperhatikan rakyatnya. Nggak akan ada tempat yang masih
tertinggal seperti itu. Apa kamu nggak miris melihat kehidupan mereka? Aku
punya uang lebih untuk membantu mereka. Dan tidak harus duduk di bangku
pemerintahan kalau memang kita mau membantu warga yang kekurangan.” Ucap Sita.
“Aku nggak
nyangka kamu punya hati sebaik ini, seandainya kamu di sekolah seperti ini tak
akan ada penilaian buruk tentang dirimu.”
Sita
memutar bola matanya. “ Biarlah. Anak-anak di sekolah pun semuanya hampir sama.
Ingin meneunjukkan kemewahan yang mereka miliki. Aku saja yang beruntung di
antara mereka semua karena aku punya yang lebih dari mereka semua.” Tutur Sita.
Randi
tersenyum memandangi wajah Sita yang sebenarnya tampak kelelahan. Namun, Sita
masih punya jutaan semangat untuk membantu orang-orang di sekelilingnya.
“Kamu nggak
dimarahi sama Ayah kamu kalau sampai pergi sejauh ini?” tanya Randi
“Marah
kenapa? Ayahku di luar negeri dan dia tahu semua kegiatanku. Aku yang membantu
bisnis ayah di sini. Dia sedang sibuk mengurus bisnisnya di Kanada.” Jawab Sita.
Sedangkan Mama Sita sudah meninggal saat Sita berusia 7 tahun. Mamanya lah yang
menjadikan inspirasi bagi Sita. Mama Sita salah satu anggota dewan pemerintahan
yang banyak memberikan partisipasi dalam pembangunan daerah terpencil. Namun
berbeda degan Sita. Sita sama sekali tak mau duduk menjadi anggota dewan
pemerintahan seperti ibunya. Sita ingin jadi pengusaha seperti ayahnya dan
tetap ingin membantu warga lain seperti ibunya tanpa duduk sebagai anggota
dewan.
“Jadi?
Hidupmu begitu bebas.”
“Tapi aku tidak
terlibat dalam pergaulan bebas.” Pootong Sita.
Randi
tersenyum menanggapinya.
“Aku tahu
itu Sit, kamu wanita yang sangat mulia. Seperti ibu kamu.”
Sita
tersenyum sambil menyandarkan tubuhnya di kursi mobil, memasang earphone di
telinganya dan bernyanyi mengikuti alunan musik santai dari earphonenya. Randi
hanya tertawa kecil melihat kelakuan Sita.
“Ini
pelajaran buat aku. Sebuah pengalaman terburuk dan aku ingin mengulanginya
kembali.” Tutur Randi sambil tersenyum.
Akhirnya
mereka pulang dan kembali memulai aktifitas di sekolah seperti biasa.
0 komentar:
Post a Comment